“Ya. Oh ya. Saya lupa bahwa abang tak
mengetahui hal ini. Kita telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus. Dan sekarang sudah
tanggal dua puluh lima…”
Muka si Bungsu berseri.
“Merdeka. Alhamdulillah… Tuhan Maha
Besar….” bisiknya perlahan.
Dan Salma melihat betapa di sudut mata
anak muda itu kelihatan air menggenang. Kemudia di berbaring lagi perlahan.
“Akhirnya kita merdeka juga…..” bisiknya.
Dan pikirannya berlari kemasa yang lalu. Kekampung halamannya. Pada ayahnya.
Ayahnya yang dulu mengorganisir sebuah organisasi melawan penjajahan. Dan
ayahnya mati ditangan penjajah. Pikirannya melayang kepada ibunya. Pada kakaknya.
Pada peristiwa berdarah dan pembakaran kampungnya oleh Jepang. Dan dia kembali
tak sadar diri.
Diperlukan waktu yang cukup panjang bagi
si Bungsu untuk sembuh secara sempurna di rumah itu. Dan dalam waktu yang
panjang itu, Salma selalu merawatnya.
Kari Basa lah yang menyuruh antarkan anak
muda itu kerumahnya. Agar dirawat disana. Dia sangat merasa kasihan pada anak
muda tersebut. Salma, anak gadisnya kebetulan adalah murid Diniyah Putri Padang
Panjang. Dia diapnggil untuk pulang sejak Jepang setahun menjajah. Dirumah
rasanya lebih aman bagi gadis-gadis daripada jauh dari orang tua.
Dan tentu saja Salma bisa merawat ayahnya
dan si Bungsu dengan baik. Sebab di Diniyah pelajaran P3K diajarkan secara
intensif. Dan ketika Jepang masuk, Diniyah mengorganisir sebuah peleton P3K
disekolahnya. Memabntu pejuang-pejuang yang terluka. Kini jari-jari tangan si
Bungsu yang patah telah sembuh kembali.
Demikian juga seluruh tubuhnya yang
cabik-cabik dimakan samurai. Kari Basa juga telah sembuh. Meski telah
dikalahkan Sekutu, namun Jepang belum angkat kaki dati tanah Indonesia. Dan si
Bungsu suatu malam menyatakan niatnya untuk pergi.
“Kemana engkau akan pergi Bungsu? tanya
Kari Basa.
“Ke Jepang…” si Bungsu berkata perlahan.
Namun nada suaranya sangat pasti. Kari Basa dan Salma terbelalak mendengar
ucapan itu.
“Ke Jepang….?’ suara Kari Basa mengandung
ketidakyakinan.
“Ya. Saya berniat akan ke Jepang…”
“Sejauh itu. Mengapa engkau kesana?”
“Mencari seorang serdadu bernama Saburo
Matsuyama..”
Kari Basa menarik nafas panjang. Dia segera
mengetahui untuk apa anak muda itu pergi. Menuntut balas. Pastilah itu niatnya.
Dia sudah mendengar dari Datuk Penghulu, bahwa anak muda ini berdendam pada
pembunuh keluarganya. Seorang bernama Saburo Matsuyama.
Salma perlahan kembali melanjutkan sulamannya.
Meski berkali-kali penjahitnya menyasar entah kemana. Namun dia menyulam juga.
Hingga suatu saat telunjuknya tertusuk jarum.
Pikiranmu sedang tidak tenang Salma.
Lebih baik tak usah menyulam” Kari Basa memperingatkan anaknya. Dan muka Salma
segera saja jadi bersemu merah. Dan saat itu seorang lelaki masuk. Salma segera
beranjak ke belakang begitu lelaki itu masuk. Lelaki itu seorang kurir.
“Alhamdulillah, pak Kari ada dirumah.
Saya sudah kemana-mana….” katanya sambil menyalami Kari Basa dan si Bungsu.
“Saya disini selalu…” jawab Kari Basa
sambil memperhatikan lelaki itu. Dia dapat membaca ada sesuatu yang penting
dibawa lelaki tersebut. Si Bungsu juga melihat hal itu. Barangkali sesuatu yang
rahasia. Makanya, dia juga berniat untuk menghindar, agar kedua orang itu bebas
bicara. Namun Kari Basa mencegahnya.
“Tak ada yang tak boleh kau ketahui
Bungsu. Duduklah. Nah, Husin sampaikan apa yang terjadi”
“Malam tadi terjadi lagi bentrokan antara
pejuang-pejuang kita dengan tentara Jepang di Sungai Buluh..”
“Lalu…?”
“Seharusnya kita berhasil mendapatkan
belasan pucuk bedil. Tapi keburu datang pasukan Akiyama. Pejuang-pejuang kita
mereka pukul mundur. Dipihak kita dua orang luka-luka. Tak parah. Tapi
lenyapnya harapan untuk memiliki bedil itu membuat pimpinan merasa tak sedap
hati…”
“Lagi-lagi Akiyama…” Kari Basa berguman.
“Ya. Dengan itu sudah empat kali dia
menggagalkan sergapan kita….”
“Bagaimana dengan perundingan-perundingan
resmi?”
“Saya tak tahu dengan pasti. Itu
permainan tingkat atas…”
Mereka sama-sama terdiam. Saat itu
saat-saat setelah hari Proklamasi adalah saat-saat transisi diseluruh
Indonesia.
Jepang telah bertekuk lutut pada Sekutu.
Bom Atom telah dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima. Meski Indonesia telah
memproklamirkan kemerdekaannya, namun tak berarti segala sesuatu berjalan
lancar dan mudah.
Jepang ternyata tak mau begitu saja
menyerahkan pemerintahan pada bangsa Indonesia. Mereka juga tak mau begitu saja
menyerahkan persenjataan mereka pada pejuang-pejuang Indonesia.
Ada dua hal yang menyebabkan mereka tak
mau segera menyerahkan kekuasaan ataupun persenjataannya pada Bangsa Indonesia.
Pertama mereka menyerah pada Sekutu. Bukan pada bangsa Indonesia. Karena itu,
menurut peraturan maka pada tentara Sekutu lah persenjataan mereka harus diserahkan.
Jika hal ini tidak mereka lakukan maka mereka bisa mendapat kesulitan.
Sebab kedua adalah, mereka takut akan
pembalasan pejuang-pejuang Indonesia. Sebab pembalasan yang paling menakutkan
pastilah datang dari penduduk yang terjajah. Dan Jepang maklum sangat, bahwa
selama tiga setengah tahun di Minangkabau ini, merekla sudah membuat kekejaman
yang tak tanggung-tanggung. Karenanya mereka takut pada pembalasan penduduk
kalau senjata mereka serahkan.
Ada lagi sebab lain. Yaitu sedikit
harapan untuk tetap bertahan. Mereka berharap agar pimpinan tinggi angkatan
bersenjata memerintahkan untuk tetap berjuang sampai tetes darah terakhir.
Dan seluruh balatentara Jepang siap untuk
berjibaku kalau perintah itu datang. Dan di Minangkabau, serta seluruh Sumatera
umumnya, mereka menumpahkan harapan pertahanan di kota Bukittinggi. Bukankah
mereka sudah menggali ribuan meter terowongan yang simpang siur. Yang bisa
dijadikan pertahanan. Bukankah mereka telah mengisi terowongan itu dengan bahan
makanan dan amunisi yang cukup untuk bertahan bagi satu resimen pasukan selama
dua tahun.
Kini hanya soal perintah tetap bertempur.
Itu lah yang mereka tunggu. Dan karena itu, mereka tetap mempertahankan senjata
mereka. Mereka tetap memegang kendali Pemerintahan. Meski mereka tak lagi menjalankan
aksi-aksi kekerasan seperti sebelum ditundukkan Sekutu, namun mereka tetap
membalas serangan yang datang dari pejuang-pejuang.
Alasan mereka adalah menjaga ketertiban
menjelang datangnya Tentara Sekutu. Dan bila Sekutu datang mereka akan menyerah
dengan baik-baik. Itu yang mereka permaklumkan pada pemuka-pemuka Indonesia.
Namun pihak Indonesia sendiri bukannya
tak berusaha secara baik-baik untuk mendapatkan persenjataan dari Jepang. Engku
Syafei yang di Sumatera Tengah menjadi salah seorang tokoh Indonesia yang punya
kontak langsung dengan Soekarno, Hatta dan Panglima Sudirman di Jawa, berusaha
mengajak pihak Jepang berunding.
Beberapa kali pertemuan dengan Mayor
Jenderal Fujiyama telah dilakukan. Namun usahanya namapaknya belum menunjukkan
hasil. Sementara itu, pejuang-pejuang yang lebih radikal banyak yang tidak
peduli dengan perundingan itu. Bagi mereka perang jauh lebih efektif untuk
merebut senjata daripada berunding.
Beberapa pengalaman berunding dengan
Belanda dahulu sudah memberikan pengalaman pahit pada mereka. Itulah sebabnya
kenapa telah terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara pejuang-pejuang itu
dengan tentara Jepang.
Kontak-kontak senjata yang sering
menjatuhkan korban itu, semata-mata dimaksudkan oleh pejuang-pejuang Indonesia untuk
mendapatkan persenjataan dari Jepang. Mereka bukannya tak berhasil. Dari
pertempuran di Biaro, pejuang-pejuang itu berhasil merampas sebelas bedil. Dua
senapan mesin. Satu pistol dan beberapa ratus butir peluru.
Dan dari penghadangan di Gadut, Kabupaten
Agam, mereka juga mendapat setengah lusin bedil. Selebihnya, beberapa kali
penyergapan gagal karena Jepang mendatangkan bala bantuannya. Dan kini berita
itulah yang dibawa kurir tersebut kerumah Kari Basa.
“Lalu apa kabar lai dari Sutan
Baheramsyah?” Kari Basa bertanya.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (29)
Komentar
Posting Komentar