“Baiklah saya akan kesana….”
Kurir itu pergi. Kini kembali mereka
tinggal berdua. Bari Basa dan si Bungsu.
“Akiyama lagi…” Kari Basa mendesis
perlahan.
“Siapa dia?: si Bungsu bertanya. Kari
Basa menatapnya.
“Engkau tak tahu siapa dia?”
Si Bungsu menggelang. Kari Basa menarik
nafas panjang.
“Dalam tentara Jepang ada beberapa
serdadu yang kejamnya bukan main. Masih ingat perlakuan yang kita terima dalam
tawanan di terowongan itu?”
Si Bungsu mengangguk. Bagaimana dia akan
melupakannya? Masih dia ingat betapa kuku jari Kari Basa dicabuti satu demi
satu. Dan saat ini dia lirik jari-jari kaki Kari Basa tak berkuku sebuahpun.
Dan dia juga masih ingat betapa tubuhnya disayat-sayat dengan samurai. Kemudian
jarinya dipatahkan.
“Nah, cukup banyak tentara Jepang yang
sadis begitu. Dan tukang ciptanya hanya seorang. Yaitu Akiyama!”
“Lalu Akiyama itu siapa?” si Bungsu
kembali bertanya.
“Pangkatnya kini Letnan Kolonel. Dulu
Mayor. Masih ingat Mayor yang engkau ancam dengan Samurai ketika mereka
menyergap rapat di Birugo?”
Tubuh si Bungsu tiba-tiba menegang
mengingat Mayor itu.
“Masih ingat bukan?” Kari Basa bertanya
lagi. Dengan perasaan sumbang si Bungsu mengangguk.
“Nah, dialah Akiyama!”
“Akiyama…!” si Bungsu berkata perlahan.
“Ya. Dialah orangnya…”
Pikiran si Bungsu segera merekam kembali
saat penangkapannya di Koto Baru. Betapa Mayor itu memerintahkan mereka untuk
keluar dari rumah Tabib tempat dia berobat.
Kemudian ketika dia keluar bersama Kari
Basa, Mayor itu menyuruh melemparkan samurainya ketanah. Ketika samurainya
telah dia lemparkan, dan telah dipungut oleh seorang Kempetai. Mayor itu maju.
Kemudian dengan tusukan jari-jari tangannya dia menghantam luka dibahunya. Dua
kali. Dan dia jatuh ketanah dalam sakit yang tak terkira. Dan saat itu dia
lihat Datuk Penghulu melayang. Menendang Mayor itu… dan Datuk Penghulu mati
dicabik samurai Mayor tersebut. Dia iangat lagi semuanya itu. Ingat benar.
Kiranya Mayor itu masih hidup.
“Hei, kami ada oleh-oleh untukmu….” Kari
Basa tiba-tiba ingat sesuatu.
“Salma, bawa kemari yang ayah suruh
simpan kemarin….” Kari Basa berseru tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu
untuk bicara. Tak lama kemudian anak gadis Kari Basa itu muncul dengan sebuah
kayu ditangannya. Si Bungsu segera saja tertegak melihat oleh-oleh yang berada
di tangan gadis itu.
“Samurai….” Katanya begitu dia mengenali
benda itu sebagai samurai miliknya.
“Ya. Itu samurai milikmu…” kata Kari
Basa.
“Ya. Ini milikku, dimana bapat dapat?”
“Bukan saya yang mendapatkannya. Dua
malam yang lalu ada pejuang yang mencoba memasuki rumah Akiyama. Maksudnya
ingin membunuhnya. Sebab sudah banyak kekejaman yang dilakukan Akiyama di
negeri ini. Namu Akiyama tak dirumah. Yang ditemuinya hanya seorang Kopral. Kopral
itu dibunuh. Dan di dinding, dia meliaht samurai ini. Dia segera mengenalinya
sebagai samuari milikkmu. Karena dia ikut dalam penjagaan rapat di Birugo yang
digerebek Jepang itu. Dia melihat engkau yang memakai samurai ini. Dia ambil,
dan dia berikan kepada kami…”
“Ah, terima kasih. Terima kasih…” si
Bungsu menerima dan mencabut samurainya. Melihat matanya. Menjamahnya dengan
ibu jari. Kemudian tanpa dia sadari matanya terpejam. Dan tiba-tiba tangannya
berkelabat. Amat cepat, dan samurai itu masuk kembali kesarangnya. Dan di meja,
seekor lalat mati dengan tubuh terbelah dua.
Kari Basa menatap pada anaknya. Salma
tegak terpaku melihat kecepatan anak muda itu.
“Ah…sudah lama sekali rasanya tak
mempergunakan samurai. Saya harus berlatih lagi dari awal. Sudah kaku
sekali,,,,” dia berkata sambil menimbang-nimbang samurainya.
“Lambat? Lihatlah, engkau berhasil
membelah seekor lalat yang sedang terbang. Persis belah dua…” Kari Basa
menunjuk pada lalat yang terhantar di meja itu.
Si Bungsu tersenyum tipis.
“Hanya seekor… Bapak tahu berapa ekor
yang ingin saya bunuh tadi? Ada empat ekor mereka terbang. Dan ternyata hanya
seekor yang kena. Dahulu keempatnya pasti mati. Tapi kini, lihatlah, saya sudah
terlalu lambat….” Dia berkata.
Kari Basa menggeleng-geleng. Takjub.
Kagum.
Dan siang itu si Bungsu memang mulai
berlatih mempergunakan samurainya. Dia berlatih dihalaman belakang. Mula-mula
dia berlatih mencabut samurai itu. Sekali-dua, tiga kali, empat kali,
sebelas….tiga puluh, delapan puluh, seratus dua puluh. Dan peluh membasahi
tubuhnya.
Tangan kananya yang mencabut samuari itu
rasa kesemutan. Sebab kecepatannya mencabut samurai sudah agak lumayan. Dia
sadar sepenuhnya, dalam pertarungan dengan samurai kecepatan mencabut samurai
sangat menentukan. Apalagi kalau perkelahian dilakukan dalam jarak sejangkauan
tangan.
Dan perkelahian antara pesilat-pesilat
yang tangguh dan perkelahian satria, memang dilakukan dalam jarak jangkau
samurai.
Namun tak kalah pentingnya dari kecepatan
adalah faktor kecepatan. Cepat dala mencabut samurai, dan tepat dalam tekhnik
menyerang. Itulah yang sempurna. Kecepatan saja tanpa ketepatan serangan,
percuma saja. Setelah samurai dicabut, lalu diapakan? Maka ketepatan yang
menentukan.
“Makanlah, nasi telah saya letakkan…”
tiba-tiba dia mendengar suara Salma. Dia mengambil handuk kecil di jemuran.
Kemudian melangkah ke bawah pohon jambu perawas.
“Apakah bapak sudah kembali?” tanyanya.
“Tidak. Bapak sudah berpesan, bahwa dia
akan ke Tigo Baleh. Ada urusan di sana. Dan mungkin sampai malam nanti dia tak
kembali…”
Si Bungsu segera ingat bahwa malam nanti
akan ada rapat di “tempat biasa” seperti yang dikatakan kurir tadi pagi.
Dia menatap pada Salma. Sebuah rencana
muncul dikepalanya. Sebuah rencana lagi. Tapi harus dia laksanakan. Yaitu
sebelum dia pergi meninggalkan negeri ini menuju Jepang. Namun sebelum rencana
itu dilaksanakan, dia harus latihan dulu dengan baik.
“Salma, mau membantu saya ?”
Salma menatapnya. Kemudian tersenyum. Dan
turun kehalaman belakang.
“Apa yang dapat saya perbuat ?”
“Tunggu sebentar…” dan si Bungsu memanjat
batang jambu perawas didekatnya. Mengambil putiknya. Ketika dia tengah memetik
putik buah perawas itu dia teringat belum minta izin. Dia menoleh lagi pada
Salam.
“Boleh kuambil putiknya ini bukan ?”
tanyanya. Salma hanya tersenyum.
“Boleh ndak?” tanyanya ragu melihat
senyum gadis itu. Dia ragu dan berdebar melihat senyum Salma yang memikat.
Masih tetap tersenyum, gadis itu menjawab:
“Ambillah. Abang tinggal memilih mana
yang abang suka untuk memetiknya…” si Bungsu merasa disindir. Tapi dia memetik
terus.
“Tolong tampung di bawah…” katanya. Salam
mengambil sebuah panci. Kemudian menampung putik-putik perawas itu. Umunya yang
dipetik si Bungsu adalah yang sebesar ibu jari. Cukup lama dia memetik. Ketika
sudah terkumpul sekitar seratus buah, dia baru turun. Salma jadi heran, untuk
apa putik perawas sebanyak ini oleh anak muda itu? Tapi keherannya dia simpan
saja dihati.
“Nah, kini tetaplah tegak di sini, ambil
dua buah kemudian lemparkan kearahku kuat-kuat. Mengerti…?”
Salma mengangguk. Kini dia mengerti bahwa
putik jambu itu akan dipergunakan sebagai alat untuk latihan. Si Bungsu
mengambil jarak sepuluh depa di depan Salma. Kemudian memandang pada gadis itu.
Samurainya dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung
lemas disisi tubuh. Dia memusatkan konsentrasi. Menatap diam-diam pada Salma.
Salma jadi gugup ditatap begitu. Kemudian menunduk.
“Hei, jangan menunduk!” si Bungsu
berseru. Salma jadi merah mukanya.
“Habis abang tatap begitu terus-terusan.
Saya jadi gugup…” katanya tersipu-sipu. Dan tiba-tiba si Bungsu pula yang jadi
jengah. Namun dia kuat-kuatkan hatinya. Dengan muka yang juga bersemu merah,
dia kembali menatap Salma. Gadis itu juga menatapnya.
“Nah…siaplah. Engkau boleh melemparkan
dua buah putik jambu itu bila saja engkau sukai. Dan jangan berhenti. Lemparkan
terus sekali dua buah. Mengerti ?”
Salma mengangguk. Dia ingin membantu anak
muda ini. Membantu mengembalikan semangat dan kepercayaan terhadap dirinya.
Dialah yang paling mengetahui, betapa
anak muda ini kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sejak disiksa dalam
terowongan itu. Dia mengetahui hal itu ketika merawatnya dibiliknya lebih dari
sebulan. Dia mendengar betapa anak muda ini merintih. Memekik. Mengeluh dan
bahkan menggigil melihat jari-jari tangan kirinya yang dipatahkan Jepang.
Dan ketika telah sembuh, dia melihat
betapa setiap kali anak muda itu merenung. Menatap pada tangannya.
Mengepal-ngepalkan tangannya itu. Kemudian menggerak-gerakkannya. Kini
nampaknya dia ingin berlatih. Dan Salma berniat membantunya sekuat tenaga.
“Awas…!” gadis itu berteriak tiba-tiba
sambil melemparkan dua buah putik perawas. Lemparannya cukup cepat dan kuat. Si
Bungsu terkejut, dan tangannya menggapai kehulu samurai. Tapi kedua putik
perawas itu telah mengenai tubuhnya sementara samurainya belum keluar
sedikitpun!
Salma jadi kaget. Kenapa terlalu lamban
anak muda itu?
“Uda, kenapa?” tanyanya sambil mendekat
pada si Bungsu. Si Bungsu menggelan. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tanganmu sakit lagi…?” tanyanya
sambil memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas.
Panjang, kemudian menatap pada Salma.
“Ya. Tidak hanya tangan, tapi tubuh saya
juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa…?” bisiknya.
“Karena matamu..” jawab si Bungsu. Salma
membelalak. “ Ya. Saya seperti lumpuh engkau tatap begitu Salma”.
Dan tiba-tiba gadis itu menunduk. Hatinya
berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dan si Bungsu terkejut, ketika
dilihatnya pipi gadis itu basah.
“Salma..? saya menyakitimu…?’ Salma masih
menggaris-garis tanah dengan ibu jari kakinya. Kemudian menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya
perlahan. Dia sebenarnya bahagia. Tapi sekaligus juga sedih. Bukankah dalam
mimpinya, dalam igaunya ketika sakit, dia dengar si Bungsu puluhan kali
menyebut nama Mei-Mei?
“Mempermainkan…? Sungguh mati, saya jadi
gugup seperti lumpuh kau tatap seperti itu…. Tapi maafkan kalau ucapan saya itu
menyinggung perasaanmu…”
Salma mengangkat kepala. Kemudian
tersenyum. Betapapun dia harus membantu anak muda itu mengembalikan kepercayaan
dirinya.
“Tidak marah…? Tanya si Bungsu. Salma
menggeleng. Salma tersenyum. Si Bungsu menarik nafas. Si Bungsu balas
tersenyum. Kemudian Salma kembali ketempatnya, kesisi baskom yang berisi putik
jambu di atas meja kecil di bawah batang perawas.
“Kita mulai lagi…?” tanyanya.
“Ya, tapi jangan kau sihir dengan matamu.
Tangan saya bisa tak bergerak…” jawab si Bungsu bergurau. Salma tertawa kecil.
Tangannya mengambil dua buah putik perawas disampinya. Kemudia tegak lurus.
“Siap..?” tanyanya.
Si Bungsu menarik nafas. Memusatkan
perhatian kemudian mengangguk. Salma tak segera melemparkan putik jambu itu.
Ada beberapa saat dia berdiam, kemudia baru melemparkannya sekuat tenaga.
Samurai si Bungsu berkelabat. Memancung
kekiri dan kekanan. Kemudian samurainya masuk kembali kesarangnya. Namun kedua
putik jambu itu mengenai tubuhnya. Gagal! Salma menatapnya.
“Saya gagal…” kata si Bungsu perlahan.
Namun saat ini Salma sudah mengambil dua buah lagi putik jambu dari dalam
baskom. Dan ketika kata-kata “gagal” itu diucapkan si Bungsu, Salma melemparkan
putik jambu tersebut. Jambu itu melayang cepat sekali. Si Bungsu tak sempat
berfikir, dengan cepat mengandalkan instingnya, tangannya bergerak. Mencabut
samurai dan membabat ke depan.
Kena! Ya, sebuah dari putik-putik jambu
itu kena. Meski tak tepat, tapi putik jambu itu sempat sumbing. Mereka
bertatapan lagi.
“Sudah mulai sedikit…!” Salma berkata
sambil mengambil lagi putik jambu tersebut. Dan tiba-tiba melemparkannya
kembali, si Bungsu mencabuty samurainya. Membabatkannya. Gagal! Dia gagal lagi.
Samurainya memang tercabut dengan cepat.
Bahkan hampir-hampir tak terkejutkan oleh mata Salma. Namun babatannya meleset.
Demikian mereka ulangi berkali-kali. Sampai akhirnya si Bungsu mulai biasa
lagi. Tangannya mulai melemas tidak kaku seperti awalnya. Beberapa kali,
samurainya sempat membelah sebuah putik jambu itu persis di tengah. Kemudian
gagal lagi. Kemudian tepat lagi. Begitu silih berganti.
Tapi menjelang putik jambu itu habis dua
pertiga, dia sudah bisa membelah dua putik jambu yang dilemparkan Salma. Mereka
hanya istirahat kalau tangan Salma atau tangan si Bungsu sendiri sudah penat
dan pegal. Lalu mereka mengulangi lagi latihan itu.
Suatu saat, Salma berkata:
“Nah, itu ayah pulang…” si Bungsu menoleh
kebelakang, dan saat itulah Salma melemparkan kedua putik jambu di tangannya ke
arah si Bungsu. Telinga si Bungsu tajam mendengar sesuatu menuju ke arahnya.
Dia berpaling, dan saat itulah kedua putik jambu yang dilemparkan Salma
menghantam dada dan kepalanya! Si Bungsu tertegun. Dia kaget bukan main. Salma
menarik nafas panjang.
“Abang tertipu, dan kurang waspada…”
katanya perlahan. Si Bungsu mengangguk. Dia jadi kagum akan kecerdasan gadis
ini.
“Terimakasih Salma. Engkau mengingatkan
aku sesuatu…kini kita lanjutkan latihan dengan caramu itu, engkau lelah…?”
Salma menghapus peluh di wajahnya yang
memerah seperti tomat. Kemudian menggeleng. Si Bungsu membelakang kemudian
berkata:
“Nah, untuk tahap pertama, engkau harus
bersuara bila melemparkan putik jambu itu. Nanti kalau sudah tebiasa, baru
engkau lemparkan tanpa peringatan…”
“Awas…!!” Salma melemparkan putik jambu
ditangannya tanpa memberi kesempatan jarak pada si Bungsu. Si Bungsu menajamkan
pendengaran. Kemudian mencabut samurai dan berputar sambil menghayunsamurai
ditangannya.
“Tras! Tras! Tapi samurainya menerpa
angin kosong! Salah satu diantara putik jambu itu mengenai dadanya yang satu
lagi terus ke belakang jatuh ke tanah.
“Gagal, kita teruskan…” katanya sambil
berputar. Salma kali ini memberi kesempatan pada anak muda itu untuk bernafas.
Perlahan mengambil buah jambu di baskom. Kemudian dengan teriakkan “Awas”
sekali lagi, dia melemparkan putik jambu itu.
Si Bungsu mencabut samurai menanti sesaat
kemudian berputar sambil menghayun samurainya. Kena! Ya, kini satu diantara
putik jambu itu kena persis pada pertengahannya.
Dan latihan itu mereka ulangi terus.
Terus dan terus hingga si Bungsu dengan tepat mengenai kedua putik jambu yang
dilemparkan disaat dia membelakangi itu.
Hari-hari berikutnya si Bungsu mencoba
methode yang dulu pernah dia lakukan di Gunung Sago. Yaitu mengendalikan
pendengarannya sambil memicingkan mata. Dia duduk bersila di tanah kemudian
memejamkan mata. Dan Salma kembali melemparkan putik-putik jambu itu.
Seperti halnya setiap permulaan, pada
awal-awalnya dia selalu gagal. Tetapi makin lama, tangannya makin mahir. Dan
pendengarannya makin terlatih. Dan kini kedua putik jambu itu senantiasa
terbabat belah dua!.
Suatu saat si Bungsu merasa ada lebih
dari dua putik jambu yang menyerangnya. Dia membabat tiga kali. Kena. Suatu
saat empat, lima, enam. Dan dengan kecepatn yang luar biasa, sambil tetap
memicing dia membabat terus. Dan kena!
Dan akhirnya dia mendengar tarikan nafas
di kejauhan. Tak ada lagi putik jambu yang dilemparkan. Lambat-lambat dia
membuka mata. Dan dibawah pohon perawas sana, dia lihat Salma dengan tubuh
berpeluh. Gadis itu menatap padanya dengan tersenyum.
“Lelah…?” tanyanya sambil bangkit
mendekati Salma.
“Penat dan kehabisan peluru….” Jawab
Salma. Dan si Bungsu melihat betapa panci di depan gadis itu sudah kosong. Dia
tersenyum.
“Bukan main, yang terakhir delapan buah
sekali saya lemparkan. Lihatlah…semua kena” kata Salma.
“Lapan buah?” si Bungsu kini balik
bertanya dengan heran.
“Ya, delapan buah. Masa tak tahu..”.
“Saya hanya merasa ada enam buah..”
“Ya, saya lihat hanya enam kali tebas.
Tapi dengan enam kali tebas itu kedelapannya kena. Barangkali ada yang sekali
tebas dua buah…” Salma berkata perlahan. Matanya menatap ketempat si Bungsu
sejak tadi. Dan disana, terdapat belahan-belahan putik jambu. Berserakan
memenuhi halaman belakang rumah itu.
“sudah merasa lega kini?” tanya Salma. Si
Bungsu menatap dalam-dalam kemata gadis itu. Aneh, ada suatu perasaan yang
membuat hatinya jadi buncah dan tak tenteram. Perasaan yang membuat hatinya
berdebar.
“Terimakasih Salma. Engkau telah bersusah
payah. Merawat diriku, membantu mengembalikan kepercayaan pada diriku. Membantu
melatihku…. Terimakasih, aku takkan melupakan budimu…” katanya perlahan. Salma
tersenyum, mukanya bersemu merah.
“Hari sudah sore. Tidak lapar?” tanyanya
pda si Bungsu. Si Bungsu sudah akan mengangguk, ketika gelang-gelangnya
berbunyi. Dia tersenyum malu, Salma juga tersenyum. Dan sore itu dia makan
dengan lahap. Makannya bertambuh-tambuh.
Hubungan antara keduanya berjalan makin
akrab. Salma tak banyak bicara, namun tatapan matanya yang gemerlap lebih
banyak berucap. Dan suatu hari, dia menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin
dia tanyakan pada si Bungsu. Sesuatu yang membuat hatunya sebagai gadis yang
pertama kalin jatuh cinta jadi luluh. Yaitu tentang perempuan lain, yang
namanya selalu disebut si Bungsu dalam igauannya ketika sakit dulu.
“abang berkali-kali memanggil
namanya…Mei-Mei!…tentulah dia seorang gadis yang cantik…” kata Salma hari itu,
sambil tangannya meneruskan sulamannya.
Si Bungsu tak segera menjawab. Salma
menanti dengan berdebar. Sebagai perempuan, dia tak mau ada perempuan lain
dalam lelaki yang dia cintai. Tapi sebaliknya, dia tak pula mau merebut lelaki
yang telah jadi milik orang lain.
“Ya… dia seorang yang cantik dan amat
berbudi..” akhirnya si Bungsu menjawab pelan. Salma merasa jantungnya ditikam.
Penjahit ditangnnya terguncang, ibu jarinya tertusuk. Sakitnya bukan main,
namun lebih sakit lagi jantungnya.
“Dia ada dikota ini…?’ tanyanya dengan
suara nyaris gemetar.
“Ada…” jawab si Bungsu pelan.
Salma ingin meletakkan sulamannya. Ingin
berlari ke kamar dan menangis disana. Tapi dia kuatkan hatinya.’
“kenapa tak uda bawa dia jalan-jalan
kemari…” tambahanya. Dan dia jadi heran, kenapa mulutnya bisa bicara begitu.
Padahal hatinya menjerit luka.
“Dia tak mungkin datang kemari. Tapi saya
ingin ketempatnya sore ini, kalau engkau mau aku ingin membawamu kesana. Kau
mau bukan…?”
Bersambung ke..... Tikam Samurai (30)
Komentar
Posting Komentar