Dan Salma mengangguk. Meskipun setelah
itu dia ingin memotong kepalanya yang sudi saja mengangguk. Padahal dia ingin
menggeleng dengan keras agak sepuluh atau dua puluh kali.
Dan soere itu, mereka memang pergi ke
sana. Ke “tempat” perempuan bernama Mei-Mei itu. Salam jadi heran ketika si Bungsu membawanya
ke sebuah pemakaman kaum di Tarok. Pekuburan itu terletak dalam paluhan hutan
bambu.
Dan… disebuah pusara, si Bungsu berhenti.
Salma tegak disisinya.
“Mengapa kita kemari….?” Tanyanya pelan
sambil menutupi kepalanya dengan kerudung.
“Engkau ingin mengenal Mei-mei bukan?
Disinilah dia. Dalam pusara ini. Dia meninggal setelah diperkosa bergantian
oleh selusin tentara Jepang…”
Salma merasa tubuhnya menggigil. Dia
berpegang ke tangan si Bungsu. Dan si Bungsu menceritakan bagaimana dia bertemu
dengan Mei-mei. Bagaimana penderitaan gadis itu semasa hidupnya. Dan dengan
jujur juga menceritakan bahwa mereka telah berniat menikah, namun maut lebih
duluan menjangkaukan tangannya.
Salma menangis terisak-isak. Si Bungsu
menunjukan pula tiga pusara lainnya. Masing-masing pusara Datuk Penghulu, kusir
bendi yang ternyata intel Republik itu. Kemudian pusara isteri Datuk itu dan
pusara si Upik, anak gadisnya yang meninggal malam itu ditangan kebiadaban
tentara Jepang.
Lama mereka terdiam. Kemudian Salma membersihkan
ke empat pusara itu bersama si Bungsu. Gadis itu mencari sepohin bunga kemboja.
Mematahkan dahannya yang berbunga lebat, menancapkannya dipusara Mei-mei.
“Terimakasih Salma. Kau baik sekali…”
kata si Bungsu.
Salma menghapus air matanya. Si Bungsu memeluknya
dalam tiupna angin sore yang semilir. Tak ada ucapan yang keluar.Namun Salma
merasakan pelukan itu alangkah membahagiakan. Kukuh dan tenteram. Dia ingin
berada disana, dalam pelukan yang membuat hatinya berbunga itu untuk selama
hidupnya.
-000-
Suatu hari, ketika dia kembali duduk di
beranda depan, dia melihat dan mendengar derap sepatu tentara.
“Salma…” katanya memanggil ketika melihat
enam orang serdadu Jepang lewat di depan rumah dengan bedil ditangan. Salma
datang ke beranda depan.
“Mereka selalu lewat di jalan-jalan kota
sejak kemerdekaan?”
“Ya, mereka mengadakan patroli. Setiap
hari mereka patroli tiga kali. Mengitari kota. Memasuki jalan-jalan kecil. Dan
setiap regu patroli terdiri dari enam orang. Begitu terus tiap hari…”
Si Bungsu mengangguk-ngangguk. Dan dia
berpikir lagi tentang rencananya beberapa hari yang lalu. Rencana yang disusun
untuk membuat sebuah pembalasan. Rencana gila, tapi dia berniat untuk
melaksanakannya.
“Kalau bapak pulang, katakan saya pergi
jalan-jala…” si Bungsu berkata sambil mengambil samurainya. Salma jadi
tertegun. Ada firasat tak enak menyelusup dihatinya. Katakanlah semacam rasa
cemas. Dia ingin mencegah anak muda itu untuk tak pergi. Tapi dia yakin, anak
muda itu tak tercegah.
“Uda…” hanya itu yang mampu diucapkan
ketika si Bungsu sudah sampai di jenjang. Si Bungsu berhenti, menoleh
kebelakang. Gadis itu menatapnya dengan sinar mata yang sulit untuk diartikan.
Lembut dan dalam. Seperti teluk yang damai dimana kapal-kapal berlabuh.
“Hati-hatilah…’ Akhirnya ucapan itulah
yang terlontar dari bibirnya. Namun dari matanya banyak sekali ucapan yang
tersirat. Si Bungsu menaiki lagi anak tangga yang dia turuni sebanyak dua buah.
Dia pegang tangan Salma, menggenggamnya.
“Terimakasih Salma…” kemudian dia
berbalik, buru-buru menyusul serdadu Jepang tadi. Salma menatapnya hingga
lenyap dibalik tikungan.
Keenam serdadu Jepang itu sudah memutari
separo kota Bukittinggi. Regu patroli jalan kaki itu dipimpin oleh seorang Syo
Cho (Sersan Mayor). Keenam mereka tak seorangpun yang memakai samurai. Syo Cho
memakai pistol dipinggangnya. Sementara lima orang lagi, yang terdiri
serdadu-serdadu berpangkat Itto Hei (Prajurit Satu) tiga orang dan berpangkat Djo
to Hei (Prajurit Kepala) satu orang. Satu orang lagi adalah wakil komandan
dengan pangkat Hei Cho (Kopral). Kelima mereka memakai bedil panjang lengkap
dengan sangkur terhunus diujung bedilnya.
Mereka tengah lewat di dekat penghentian
bendi tak jauh dari jenjang gantung yang melintasi jalan, yang menghubungkan
pasar teleng dengan pasar bawah, ketika tiba-tiba saja seorang anak muda
menghadang mereka. Syo Cho yang memimpin regu itu jadi gusar melihat anak muda
yang tegak bertolak pinggang di depannya. Dengan tangan kananya ia dorong anak
muda itu. Sebenarnya, kalau saja mereka tidak kalah perang dengan Sekutu, anak
muda ini barangkali telah dia tampar. Atau dia tangkap dan diseret ke markas.
Tapi kini situasi sudah berbeda jauh.
Mereka adalah tentara yang kalah. Makanya mereka cukup hati-hati.
“Minggir..” katanya sambil mendorong.
Namun saat itulah yang ditunggu anak muda yang tak lain dari pada si Bungsu,
samurainya bekerja dan tangan yang mendorongnya tiba-tiba dibabat putus hingga
kebatas siku!
Syo Cho itu memekik. Kelima anggota
regunya terkejut dan siap untuk mengadakan pembalasan. Namun keadaan sudah
diperhitungkan si Bungsu. Dia sudah mengira, bahwa rencananya itu rencana gila. Tapi dia merasa kasihan
pada pejuang-pejuang yang selalu kalah dalam tiap penyergapan di luar kota.
Begitu tangan Sersan Mayor itu putus, dia
menyergap tubuhnya dari belakang. Kemudian seperti dia mengancam Mayor Akiyama
di Birugo dahulu, begitu pulalah yang dia perbuat kini. Sersan itu dia ancam
dengan melekatkan mata samurainya kelehernya.
“Letakkan seluruh bedil kalian di tanah,
kalau tidak saya sembelih komandan kalian ini. Lekas!” si Bungsu menghardik.
Kelima serdadu itu tersurut. Mereka jadi ngeri melihat darah yang menyembur
dari tangan Sersan yang putus itu. Sersan itu memekik dalam bahasa Jepang agar
anak buahnya meletakkan bedil.
Dan keenam serdadu itu segera menyadari,
bahwa yang menghadang mereka itu adalah si Bungsu. Anak muda yang ditakuti itu.
Yang telah lolos dari tahanan di dalam terowongan dahulu. Menyadari bahwa yang
mencegatnya adalah si Bungsu, keenam mereka benar-benar tak mampu berkutik.
Dan kelima serdadu itu mencampakkan bedil
mereka ke tanah. Meski hari itu bukan hari balai, bukan Sabtu dan Rabu, namun
orang tetap ramai kepasar. Dan dalam waktu sebentar saja, tempat itu telah
dikerumuni orang. Penduduk melihat makin lama makain ramai dari kejauhan.
“Kalian tanggalkan pakaian kalian semua.
Cepaaat!!” si Bungsu berteriak lagi. Dan tanpa menunggu perintah kedua, mereka
berlomba menanggalkan baju dan celana dinasnya.
“Nah, kini dengarkan baik-baik. Katakanlah
pada Letnan Kolonel Akiyama bahwa si Bungsu mencarinya. Pergilah cepat!”
Berkata begini, dia mendorong tubuh
Sersan Mayor yang dia ringkus tadi. Sersan Mayor itu terjajar. Kemudian
melangkah menjauh.
“Pergilah sebelum saya berobah niat…”
kata si Bungsu. Yang lima mundur menjauh, Sersan itu juga. Namun si Sersan kini
mempunyai niat lain. Si Bungsu ternyata lupa melucuti senjata pistol
dipinggangnya. Kini jarak mereka ada sepuluh depa. Bukankah samurai si Bungsu
tak berdaya dalam jarak begitu? Dia pasti bisa menghajar anak muda itu.
Maka dengan perhitungan begini, tiba-tiba
tangan kirinya mencabut pistol dipinggang.
“Bagero! Bungsu jahanam, kubunuh kau!”
teriaknya begitu pistolnya keluar dari sarangnya. Dan kelima serdadu Jepang
yang lain pada berhenti.
Mata si Bungsu tiba-tibamenyipit.
Sepuluh depa! Dia perhitungkan jarak itu.
Berapa kalikah dia harus bergulingan maka sampai ke Jepang yang pontong
tangannya itu? Atau dia lemparkan sajakah samurainya dari sini? Peluru pistol
itu pasti lebih cepat.
Perhitungan ini diambil dalam waktu yang
hanya dua detik. Sebab pistol itu sudah akan diangkat untuk ditembakkan.
Penduduk pada terpekik dan mundur. Dan saat itulah tubuh si Bungsu bergulingan
di tanah. Lompat tupai!
Tiga kali, empat kali bergulingan
tiba-tiba dia dengar letusan. Kakinya terasa panas, luka! Saat itulah dia
bangkit. Sebuah letusan lagi, dan rusuknya terasa pedih. Luka! Jaraknya masih
empat depa. Samurainya tiba-tiba keluar dan melayang! Creep!!
Lemparannya tepat mengenai jantung Sersan
Mayor itu. Tertancap hingga kehulunya dan tembus terjulur panjang dibahagian
punggung. Sersan itu berusaha menarik pelatuk pistolnya. Namun tubuhnya
terkulai tiba-tiba. Jatuh, dan mati!
Si Bungsu cepat memburu, menyentakkan
samurai itu dn menatap lima Jepang yang hanya bercelana kolor di depannya.
Kelima Jepang itu tiba-tiba balik kanan dan ambil langkah seribu! Lari.
“Jangan lupa sampaikan pada Akiyama, saya
mencarinya!! Si Bungsu berteriak.
Dua orang tentara Jepang saking takutnya
sambil berlari itu lalu mengiyakan. Angguk ketakutan.
Si Bungsu melihat kaki dan rusuknya yang
pedih tadi. Hanya luka tergores. Tak Parah. Meski darah mengalir cukup banyak.
“Jika ada diantara kalian pejuang bawah
tanah, ambillah bedil ini dan pergi cepat sebelum Jepang tiba….” Dia berkata.
Sunyi sejenak.
Dan tiba-tiba saja empat lelaki berkain
sarung dibahunya muncul ketengah. Mengambil senjata-senjata dan pakaian yang
ditinggalkan Jepang itu. Mereka menatap sejenak pada si Bungsu.
“Kami sudah banyak mendengar tentang nama
besarmu anak muda. Dan hari ini kami lihat betapa nama besarmu itu tidak kosong
semata. Terimakasih atas bantuanmu. Tuhan akan selalu melindungimu…..” salah
seorang dari yang barkain dan bersebo yang berkumis dan bertubuh kekar berkata.
Dan sehabis berkata begini, keempat mereka hilang diantara palunan manusia.
Menyelinap dibalik-balik rumah. Dan lenyap entah kemana.
“Kalian menghindarlah dari sini, jangan
sampai didapati Kempetai nanti….” Si Bungsu memberi ingat pada penduduk sambil
berjalan cepat-cepat.
Pendudukpun pada bertebaran menghindarkan
diri. Namun beberapa orang masih tegak disana menatap pada sersan yang mati
itu. Dan saat itulah selusin lebih Kempetai telah mengepung tempat tersebut.
Ada enam orang lelaki, dan tiga orang
perempuan yang tak sempat menghindarkan diri. Yang masih terlongo-longo menatap
mayat sersan itu ketika Kempetai datang. Semua mereka ditangkap untuk
pemeriksaan dan menanyakan kemana si Bungsu dan siapa yang mengambil bedil yang
ditinggalkan tadi.
Kalau saja mereka mengikuti petunjuk si
Bungsu agar menghindar cepat dari sana, maka mereka tentulah tak usah dapat
kesusahan ditangkap Kempetai. Tapi mereka tak dapat pula disalahkan sepenuhnya.
“Pertunjukkan” seperti yang baru saja mereka lihat, dimana seorang pemuda
Indonesia melawan dan menelanjangi tentara Jepang, seorang lawan enam orang,
dan pemuda Indonesia yang seorang itu menang pula, benar-benar belum pernah
bersua dalam hidup mereka.
Bahkan mungkin takkan pernah lagi mereka
menemuinya. Mereka sudah banyak mendengar dari mulut ke mulut, bahwa ada
seorang anak muda yang bernama si Bungsu, yang berasal dari Payakumbuh, dari
kakai gunung Sago, yang selalu berhasil membunuhi Jepang.
Diam-diam, nama anak muda itu menjadi
macam tokoh dongeng dan legenda kehidupan mereka. Kaum lelaki dan perempuan, tua
dan muda, menganggap anak muda itu sebagai suatu tokoh pahlawan yang hanya
hidup dalam zaman dongeng.
Namun tiba-tiba saja, hari ini pahlawan
dongeng mereka itu muncul. Dan kemunculannya tidak hanya sambil lenggang
kangkung. Dia muncul lengkap dengan kemahirannya melucuti dan membunuh Jepang
dengan samurainya. Dia muncul lengkap dengan kehebatannya memainkan samurai.
Suatu kemunculan yang komplit seperti didalam dongeng yang mereka dengan selama
ini.
Memang tak dapat disalahkan penduduk yang
masih tetap tinggal ditempat kejadian itu. Barangkali mereka tak merasa rugi
telah ditangkap Kempetai. Malah bila telah bebas, meski kena tampar sebelas dua
belas kali, kepada teman dan kenalan, kepada sanak famili, kepada anak cucu,
mereka bisa menepuk dada. Bercerita tentang kehebatan si Bungsu. Bercerita
bahwa mereka ikut dalam “aksi” membunuh dan menelanjangi enam orang Jepang di
dekat jembatan gantung itu bersama si Bungsu. Bersama si Bungsu!
Hm, bayangkan kebanggan yang akan mereka
perdapat.
Demikian selalu rakyat kecil. Harapannya
tak pula besar. Kecil saja, sekecil kehidupan mereka. Bagi mereka,
kebanggaan-kebanggan bertegur sapa atau berdekatan dengan tokoh yang dikagumi,
sudah meruapakan suatu kebahagian. Dan itu mereka perdapat hari ini.
Peristiwa di dekat jembatan gantung itu
segera menyebar seperti menelan lalang. Bersambung dari satu mulut ke mulut
yang lain. Makin lama, kehebatan peritiwa itu makin menjadi-jadi. Ada yang
bercerita bahwa pakaian kelima serdadu Jepang itu tanggal hanya karena
bentakkan si Bungsu.
Artinya, bentakkan si Bungsu menagndung
tenaga dalam yang tangguh. Ada pula yang menceritakan bahwa dia melihat benar
dengan mata kepala sendiri, betapa si Bungsu tetap saja tegak ketika ditembak
belasan kali oleh Kempetai-Kempetai itu. Setelah perluru pistol Kempetai itu
habis barulah si Bungsu beraksi dengan samurainya. Bukan main hebatnya cerita
itu bertebar dan bersambung dari mulut ke mulut. Yang sejengkal djadi sedepa.
Namun begitulah selalu rakyat kecil. Jika
mereka tidak mampu memperoleh yang besar-besar, bahkan memperoleh yang kecil
sekalipun susah, maka mereka cukup merasa puas dengan hanya menceritakan sesuatu
yang besar.
Atau sekurang-kurangnya membesar-besarkan
peritiwa kecil. Bukankah itu termasuk juga suatu”pekerjaan” yang besar?
Letnan Kolonel Akiyama mencak-mencak
saking berangnya mendengar laporan kelima serdadu yang ditelanjangi itu.
Mukanya merah padam. Persis udang yang dibakar hidup-hidup. Kelima serdadu yang
hanya bercelana kotok itu dia biarkan terus bercelana kotok. Tak dia biarkan
memakai pakaian.
“Goblok! Pandir! Kalian tak punya otak.
Tak mampu melawan seorang anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan” dan
tangannya bekerja menampari kelima orang serdadunya itu. Puak…puak-puak…pak!
Berkatintam tangannya mendarat datar di pipi, kepala dan tengkuk kelima serdadu
itu.
Bersambung ke..... Tikam Samurai (31)
Komentar
Posting Komentar