Kelima serdadu itu hanya dapat tegak
dengan diam dan sikap sempurna. Masih untung mereka ditampar disana dan
dibiarkan berserawa kotok. Bagaimana kalau mereka diseret ketahanan kemudian
disiksa? Cukup banyak serdadu Jepang yang mengalami siksaan dibawah perintah
Letnan Kolonel ini. Dia memang arsitek bidang siksa menyiksa.
Tapi tiba-tiba Letnan Kolonel itu jadi
terdiam pula. Dia ingat kembali kata-katanya barusan. “Goblok, pandir, beruk.
Kalian tak punya otak, tak mampu melawan anak ingusan yang hanya pakai samurai.
Sialan” begitu ucapan makiannya sebentar ini. Dan dia jadi terdiam tertegak
seperti patung justru mengingat kejadian di Birugo dahulu. Bukankah dia juga
dibuat tak berkutik oleh ancaman samuari anak muda itu?
Bahkan waktu itu dia justru punya
kekuatan jauh lebih besar. Dia membawa hampir tiga puluh orang serdadu. Tapi
dengan kekuatan begitu, dia justru berhasil direndam anak muda itu dalam tebat.
Bahkan Letnan Atto, ajudannya mati dibabat anak muda itu di depan matanya! Dia
terdiam karena merasa malu. Dia baru saja memaki anak buahnya. Bukankah itu
juga berarti memaki dirinya sendiri?
“Jahanam. Pergi kalian dari hadapanku!
Bagero, beruk semuaa!” dia membentak sambil menendangi pantat anak buahnya yang
lima orang itu. Ada yang terpancar kentutnya kena tendangan itu. Selagi ada
kesempatan, ketika diusir itu lebih cepat menghindar lebih baik pikir mereka.
Dan kini tinggallah Overste itu sendiri.
Terengah-engah dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Si Bungsu sudah
keterlaluan.Sudah melumuri kepala botakku dengan cirit, pikirnya. Dengan
menelanjangi tentara Jepang dimuka orang ramai, membunuh komandan regunya,
kemudia berpesan pula agar menyampaikan ancaman pada Akiyama, bukankah itu
sebuah tantangan yang tak alang kepalang.
Oh Budha, kalau saja bom atom tak meledak
di Nagasaki dan Hirosyima, kalau saja Jepang tak bertekuk lutut pada Sekutu,
dia pasti sudah menyuruh menangangkapi semua orang di Bukittinggi ini.
Menangkapin mereka sambil memaksa buka mulut untuk menunjukkan dimana si Bungsu
sembunyi. Anak setan itu pasti dalam kota ini. Pasti, tapi dimana?
Malangnya Jepang telah menyerah. Jadi
kekuatan mereka tak begitu berarti lagi. Mereka harus banyak menekan perasaan.
Tapi Akiyama bersumpah, dia harus menangkap dan membunuh si Bungsu jahanam itu.
Harus!
Sebaliknya si Bungsu juga bersumpah pada
dirinya untuk menuntut balas pada Akiyama. Masih ingat dia betapa Letnan
Kolonel itu, semasa dia masih berpangkat Mayor, menghantam luka dibahunya.
Lukanya dia tusuk dengan keempat jarinya sehingga jebol ke dalam. Bukan main
sakitnya.
Tapi yang paling sakit perasaannya adalah
ketika dia ketahui bahwa Datuk Penghulu mati dihantam samurai Akiyama. Inilah
dendam yang harus dia balaskan. Membalas kematian Datuk Penghulu.
Dan akhirnya kedua musuh bebuyutan yang
saling membenci ini bertemu muka. Mereka bertemu dalam saat-saat yang
menguntungkan bagi posisi si Bungsu. Waktu itu ada suatu upacar dimana selain
bala tentara Jepang, juga hadir anggota-anggota pejuang Indonesia dan anggota
Gyugun.
Tentara Jepang yang hadir sekitar satu
kompi (seratus orang). Pihak pejuang-pejuang Indonesia agak kurang, namun sudah
mempunyai senjata agak komplit.
Upacara itu berlangsung di depan asrama
militer Birugo. Ada lapangan luas di depan markas itu. Upacra dipimpin langsung
oleh Mayor Jenderal Fujiyama.
Ketika upacara itu selesai, pasukan
Indonesia sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan upacara. Demikian pula
pasukan Jepang siap untuk kembali ke markas mereka yang terletak di belakang
lapangan upcara itu. Saat itulah Akiyama tiba-tiba melihat seorang anak muda di
antara puluhan penduduk sipil yang tegak di tepi lapangan melihat jalannya
upacara itu.
“Bungsu!!!” dia berseru dari tempat
tegaknya. Semua orang terkejut. Termasuk Jenderal Fujiyama. Akiyama saat itu
tengah bertindak sebagai Komandan Upacara. Dia masih tegak dititik putih tengah
lapangan ketika dia menyebut nama si Bungsu.
Setiap tentara Jepang, setiap anggota
Gyugun mengenal nama itu dengan baik. Makanya tentara yang sudah siap-siap
untuk meninggalkan lapangan itu, segera tegak kembali ditempatnya. Jenderal
Fujiyama sendiri juga tertegak di atas podium kehormatan. Demikian pula
perwira-perwira Jepang lainnya.
Penduduk yang tegak diarah mana Akiyama
menoleh pada surut dengan takut. Dan kini tinggalah disana seorang anak muda.
Memakai pantalon biasa. Memakai baju gunting cina dan sebuah tongkat di
tangannya.
“Ya, sayalah ini, Akiyama….” Anak muda
itu berkata perlahan. Seruan-seruan tertahan terdengar dari mulut para serdadu
Jepang. Sementara anggota-anggoat Heiho, Gyugun, para pejuang lainnya dan
penduduk pada berbisik.
“Akhirnya kau kudapatkan Bungsu…” Akiyama
berseru lagi.
“Ya, saya memang datang untuk
mencarimu….” Si Bungsu tak kalah gertak. Dan sebelum Akiyama mempergunakan kekuasaannya
untuk memerintahkan menangkap dirinya, si Bungsu cepat-cepat berkata dengan
lantang.
“Sebagai seorang Samurai, saya tantang
anda untuk bertarung sampai mati. Bertarung secara kesatria dihadapan semua
yang hadir sebagai saksi. Itu kalau anda memang benar-benar seorang Samurai
Sejati!” suaranya lantang. Bergema diudara yang begitu panas. Muka Akiyama jadi
merah.
“Seluruh tentara Jepang jadi saksi untuk
tuan. Seluruh tentara Indonesia menjadi saksi untuk saya…” si Bungsu berkata
lagi. Suasana sepi.
Tiba-tiba Letnan Kolonel itu menghadap
pada Jenderal Fujiyama kemudian melangkah mendekatinya. Pada jarak empat depa
dia berhenti. Kemudian memberi hormat dengan sikap gagah. Lalu bicara dalam
bahasa Jepang, Fujiyama kelihatan mengangguk-ngangguk. Kemudian Akiyama memberi
hormat lagi. Kali ini Jenderal Fujiyama memutar tegak menghadap si Bungsu. Lalu
terdengar suaranya bergema :
“Saya sudah lama mendengar namamu anak
muda. Hari ini engkau menantang saya. Bagi samurai Jepang adalah suatu
kehormatan tertinggi untuk menerima tantangan berkelahi dengan Samurai melawan
musuh. Namun untuk engkau ketahui, baru kali ini terjadi dalam sejarah
kemiliteran Jepang, ada seorang asing yang menantang seorang Jepang untuk
bertarung dengan pedang Samurai. Saya telah mendengar permintaanmu, kemudian
mendengar penjelasan Akiyama. Dia bersedia melayanimu. Dan saya merestuinya.
Akiyama adalah seorang perwira kami yang sangat mahir dengan samurainya. Saya
sangat menyesalkan kalau engkau sampai mati ditangannya. Baik, saya jadi saksi,
berikut seluruh tentara Jepang. Dan segenap pejuang-pejuang Indonesia serta
masyarakat umum yang ada saat ini jadi saksi untukmu. Saya menjamin kebebasan
bagimu, andainya engkau menang. Engkau boleh pergi kemana engkau suka, jika
engkau keluar dengan selamat dalam pertarungan ini. Bagi kami, tantanganmu
adalah suatu kehormatan, dan bila engkau menang adalah menjadi kehormatan pula
bagi kami untuk membiarkan engkau bebas, Bersiaplah!”
Pasukan Jepang dan Heiho serta
pejuang-pejuang Indonesia itu segara saja membentuk sebuah lingkaran yang
besar. Perlahan-lahan si Bungsu memasuki lingkaran besar itu dan lingkaran itu
menutup di belakangnya.
Akiyama membuka pistolnya memberikannya
pada ajudannya. Membuka penpels air dipinggang, topi waja dikepala, dan ransel
di punggung. Semua yang memberatkannya untuk bergerak leluasa ini dia lucuti
dan dia serahkan pada ajudan yang meletakkannya ke pinggir.
Akhirnya dipinggangnya hanya ada samurai
yang tergantung di pinggang kanan, seperti telah diceritakan terdahulu, ketika
dia menyergap rapat di Birugo, dia adalah seorang yang kidal dalam
mempergunakan pedang samurainya.
Tapi Akiyama belum merasa cukup dengan
menanggalkan benda-benda yang bergayut ditubuhnya itu. Dia membuka bajunya dan
kini dengan dada telanjang, yang meperlihatkan tubuh yang kekar, dia tegak
menghadap si Bungsu.
Jenderal Fujiyama diambilkan tempat
duduknya. Dia duduk dengan perwira-perwira di belakangnya.
Kini kedua orang itu tegak berhadapan
dalam jarak lima depa. Rambut si Bungsu yang agak gondrong, berkibar-kibar
ditiup angin yang berhembus dari kaki gunung Merapi. Sementara kepala Akiyama
yang botak licin, berkilat ditimpa cahaya matahari pagi.
Akiyama berlutu ditanah. Menghadap pada
Jenderal Fujiyama. Menghormati dengan membungkuk dalam kebumi sampai tiga kali.
Lalu berputar menghadap si Bungsu. Masih dalam keadaan berlutut, dia membungkuk
memberi hormat. Si Bungsu kaget dan buru-buru membalas penghormatan itu dengan
merangkapkan kedua telapak tangannya dan meletakkan di depan wajah.
Pengjormatan silat seperti yang pernah ia lihat almarhum ayahnya lakukan.
Akiyama nampaknya menjalankan semacam
sembahyang dan doa akhir. Mulutnya berkomat-kamit. Ketika tegak, seorang
serdadu masuk ketengah membawa selembar kain hitam. Memberikannya kepada
Akiyama. Dan Akiyama menerimanya, lalu mengebatkannya di kepala.
“Banzaaaaii!” tiba-tiba terdengar pekik
gemuruh para serdadu Jepang. Demikian gemuruhnya, hingga seluruh yang hadir,
anggota-anggota Heiho, pejuang-pejuang, penduduk pada terkejut. Tak terkecuali
si Bungsu.
“Dia siap bertarung sampai mati. Pekikan
Banzaaii itu adalah pekikan akhir seorang tentara Jepang yang siap menghadapi
maut…” seorang perwira Heiho berbisik pada temannya.
Dan memang demikian keadaannya. Akiyama
memang bernita bertarung habis-habisan. Sebab kalau sampai dia sampai kalah,
maka jalan yang akan dia tempuh kalau tidak mati yaitu harakiri. Bunuh diri!
Dia tak mau menanggung malu. Tapi jauh lebih terhormat lagi kalau dia berhasil
memenangkan perkelahian ini.
Dia memang seorang pendekar samurai kidal
yang jarang tandingannya. Kalau ada tandingannya diantara perwira Jepang, maka
orangnya adalah Saburo Matsuyama. Saburo termasuk pelatihyan mempergunakan
samurai ketika diketentaraan. Kini Saburo sudah pulang ke Jepang.
Namun demikian, meski dia seorang yang
amat andal dalam mempergunakan samurai, kali ini dia tak berani main-main. Yang
dia hadapi adalah si Bungsu. Dan dia telah merasakan sendiri kehebatan anak
muda ini di Birugo dahulu. Masih dia ingat dengan jelas betapa anak muda ini
bergulingan di tanah kemudian ketika dia mencabut samurai, samurai anak muda
ini menghantam samurainya, dan tangannya kesemutan. Dan samurainya terlempar ke
tanah. Dan anak muda ini meringkus dirinya dan mengancam lehernya dengan
samurai!
Tindakan itu masih dia ingat. Masih dia
ingat dengan jelas kehebatan si Bungsu itu. Makanya kini dia tak sedikitpun
berani pandang enteng. Berlainan sekali halnya dengan si Bungsu. Kalau Akiyama
mengetahui dengan pasti keadaan dirinya, maka si Bungsu tak mengetahui keadaan
diri Akiyama. Dia tidak tahu dimana letak kemahiran Akiyama.
Yang dia tahu, seperti dikatakan Jenderal
Fujiyama, Akiyama ini seorang yang mahir. Itulah semua yang diketahui.
Akiyama tiba-tiba menghunus samurainya.
Memegang hulu samurai itu erat-erat. Tangan yang kanan pada bahagian bawah
yaitu pada bahagian keujung gagang samurai, dan tangan kiri pada bahagian atas.
Yaitu pada bahagian yang dekat ke mata samurai.
Kaki Akiyama terpentang selebar bahu. Dia
mengambil kuda-kuda Haisoku Dachi. Yaitu kaki mengangkang selebar bahu. Lau
lambat-lambat lututnya ditekik. Dan tubuhnya turun sedikit. Kuda-kudanya kini
bertukar jadi Kiba Dachi yaitu sebuah kuda-kuda tangguh dalam sikap menanti
serangan.
Si Bungsu mencabut samurainya pula. Dia
tegak sebagaimana adanya. Kini semua mata menatap pada anak muda yang dianggap
luar biasa ini. Para perwira Jepang pada berbisik ketika dia mencabut
samurainya dan mereka menatap dengan dia ketika melihat betapa kaki anak muda
itu tegak seenaknya saja. Tak ada dasar-dasar seorang samurai pada sikap awalnya.
Akiyama memindahkan kaki kirinya kedepan
dengan ketat menekukkan kedua lututnya. Kuda-kudanya kini beralih menjadi
kuda-kuda Neko Ashi Dashi. Kuda-kuda yang siap menerima serangan dan siap untuk
menyerang dengan cepat. Kakinyua bergeser perlahan di atas rumput lapangan.
Si Bungsu masih tegak dengan diam. Namun
hatinya tidak diam. Dia bicara dalam hatinya berdoa pada Tuhan. Bicara pada
almarhum ayahnya.
“Kuserahkan diriku padaMu Tuhan. Dan
kuharapkan doamu dari alam barzah…ayah dan ibu. Kalau dingin perutmu
mengandungku dulu ibu, maka Tuhan akan menyelamatkan diriku dari maut ini.
Kalau tidak, maka disinilah ajalku. Aku masih ingin menuntutkan balas dendam
kalian. Mencari Saburo Matsuyama jika aku keluar dari pertarungan ini dengan
selamat. Membalaskan nista yang telah dia buat untuk keluarga kita…”
Bersambung ke..... Tikam Samurai (32)
Komentar
Posting Komentar