Pada saat itulah Akiyama menyerangnya.
Babatan pertama didengar si Bungsu suitan anginnya. Dia menangkis! Tapi inilah
kesalahannya. Tangkisannya justru mendatangkan bencana. Akiyama benar-benar
seorang yang tangguh. Kini dia menyerang dengan segenap konsentrasi dengan
dukungan moril yang tak tanggung-tanggung dari komandan dan teman-temannya.
Begitu samurai mereka beradu, begitu
tangan si Bungsu terasa pedih pada telapaknya yang memegang hulu samurai itu.
Namun dia masih menangkis serangan kedua. Dan kali ini tak tertahankan lagi,
smurainya terpental ke udara!
Dan babatan berikutnya datang! Si Bungsu
terkejut, namun dia segera ingat lompat tupai! Tapi tak urung behunya dirobek
samurai begitu dia akan membungkuk.
Dia bergulingan empat kali ke belakang.
Dan saat itu telinganya menangkap bunyi sesuatu yang meluncur turun. Dan crepp!
Samurainya menancap sehasta disampingnya. Dia sambar dengan cepat, dan kini dia
tegak!
Semua orang, tak terkecuali satupun, termasuk
Fujiyama pada menarik nafas. Lalu tepuk tangan pecah dengan gemuruh. Mereka
melihat sesuatu pertarungan yang bukan main. Namun beberapa pejuang Indonesia,
yang pernah melihat makan tangan anak muda ini jadi kaget. Kenapa si Bungsu
begitu lamban dan sempat terluka?
Darah merah memang mengalir membasahi
baju gunting cina si Bungsu dipunggungnya. Namun luka itu tak begitu
menyakitinya. Hanya luka sayatan yang agak dalam.
Akiyama menarik nafas panjang. Menahannya
pada rongga dada. Mengeluarkannya sedikit sekali dengan bunyi yang ganjil.
Kemudian menarik nafas lagi panjang-panjang lalu menahannya. Mukanya merah. Dan
dia maju lagi dalam kuda-kuda yang mantap.
Si Bungsu memutar tegak. Dia melangkah
dengan langkah biasa saja. Dan tentara-tentara Jepang takjub dan heran atas
langkah yang tak menurut semestinya itu.
Tak ada yang berani bersuara. Semua pada
terdiam. Si Bungsu masih melangkah melingkar. Dan Akiyama seperti memburunya.
Dan tiba-tiba kembali Akiyama menyerang. Kali ini si Bungsu tak berani menangkis
dengan samurainya. Dia juga balas menyerang sambil mengelak.
Tapi lagi-lagi dia terlambat! Sebuah
sabetan melukai dadanya. Kali ini tidak hanya sekedar luka goresan. Tapi
benar-benar luka yang dalam. Baju dan kulitnya menganga. Darah mengucur.
Beberapa penduduk pada terpekik.
Para anggota Heiho, Gyugun dan pejuang
pejuang-lainnya diam-diam pada berdoa untuk keselamatan anak muda ini. Beberapa
orang diantara mereka justru ada yang menitikkan air mata.
Tapi si Bungsu masih tegak. Dua jurus
berlalu sejak serangan pertama. Rasa sakit dan pedih terasa mencucuk. Dan
tiba-tiba si Bungsu ingat lagi betttapppa Akiyama menghantam luka dibahunya
ketika dia tertangkap di Koto Baru dahulu. Dan dia teringat betapa sambil duduk
Akiyama menghantam perut Datuk Penghulu sampai belah dan putus ususnya.
Dia teringat latihannya beberapa hari
yang lalau dibelakang rumah Salma. Betapa gadis itu melemparnya dengan delapan
putik jambu sementara matanya terpejam. Konsentrasi! Bukankah itu yang tak dia
lakukan? Bukankah selama ini dia mengandalkan kecepatan dan pendengarannya yang
amat terlatih? Bukankah Salma telah
menunjukkan hal itu padanya beberapa hari yang lalu?
Dan tiba-tiba si Bungsu mengatur
pernafasan. Menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba dia duduk bersila di tanah.
Dududk membelakangi Akiyama. Dan duduk memejamkan mata! Memusatkan konsentrasi
dengan samurai yang berada dalam sarungnya dan terpegang ditangan kiri!
Akiyama tak mau tertipu. Meski orang yang
melihat jadi kaget dengan sikap anak muda ini. Apakah anak muda ini telah
menyerah? Tak mungkin. Sebab sudah ada dalam peraturan, bahwa seorang samurai
yang menyerah haruslah melemparkan samurainya kehadapan lawannya dan harus
menghormat dengan menunduk ke tanah seperti orang sujud. Dan hal ini tidak
dilakukan oleh si Bungsu, berarti dia masih melawan!
Akiyama mulai melangkah mendekat. Dia tak
mau menyerang dari belakang. Sebagai seorang satria, pantang baginya menyerang
dari belakang. Kini dia menapak tegak kehadapan si Bungsu.
Sementara itu si Bungsu benar-benar telah
memusatkan inderanya. Dia kini tidak hanya mendengar langkah Akiyama yang
mengitarinya. Kini dia harus memisahkan suara-suara yang masuk ke inderanya
itu. Memisahkannya dan memusatkan pendengaran pada langkah dan angin yang
ditimbulkan oleh perpindahan samurai Akiyama.
Lambat-lambat Akiyama menghayun samurai.
Kemudian menggeser tegak. Lalu tiba-tiba dengan pekik Banzaaii yang mengguntur,
ia melakukan serangan penutup. Dua kali bacokan membelah kepala. Dua kali
bacokan menebas leher dari kiri kekanan. Dan dua kali tusukan ke dada!
Namun gerakan itu terbaca oleh si Bungsu
yang memejamkan mata. Tangannya bergerak mencabut samurai. Serangan pertama dia
tangkis dengan melintangkan sarung samurainya dikepala. Serangan kedua dengan
mengayunkan samurai itu. Dan serangan berikutnya dia elakkan dengan berputar,
kemudian lebih cepat beberapa detik dari kelajuan samurai Akiyama!
“Crasss!” Samurainya membabat perut
Akiyama. Dan dia berputar, lalu menikamkan samurainya ke belakang. Snapp!
Hampir seluruh samurai itu masuk ke dada Akiyama! Tikam Samurai!
Akiyama tertegak. Samurai masih
ditangannya. Terangkat ke atas. Siap dibacokkan ke bawah. Ketengkuk si Bungsu
yang menunduk dan membelakanginya. Yang jaraknya hanya sehasta dari tubuhnya.
Namun dia seperti tak ada tenaga. Dia seperti dipakukan di samurai anak muda
itu.
Tiba-tiba samurainya jatuh. Matanya layu.
Tangannya memegangi samurai yang menikam tentang jantungnya. Si Bungsu tegak,
masih memegang samurainya agar tubuh Akiyama tak jatuh. Mereka bertatapan.
Tubuh mereka sama-sama berlumur darah.
“Tuan seorang samurai yang tangguh. Saya
mendapat pelajaran yang banyak dari gerakan kaki tuan…’ si Bungsu berkata
perlahan. Mata Akiyama yang layu membuka sejenak.
“Anak muda. Demi Tuhan, engkaulah samurai
yang paling cepat yang pernah kutemui…. Saburo pun akan susah mengalahkanmu..”
Akiyama memandang keliling. Terutama pada
komandannya, pada teman-temannya yang saat itu sudah tertegak ditempat mereka.
Dan tiba-tiba kepalanya terkulai. Mati!
Jenderal Fujiyama dan para perwira itu
pada berlompatan maju. Mereka bernita menyambut tubuh Akiyama. Namun si Bungsu
telah memeluk tubuh lawannya itu. Dia membopongnya. Kemudian meletakkannya di
atas podium dimana Fujiyama tadi tegak.
Kemudian perlahan dia mencabut
samurainya. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal rasa haru. Emosi mereka telah
terlatih demikian rupa. Kematian merupakan suatu kehormatan. Mati untuk Tenno
Haika.
“Selamat atas kemenanganmu Bungsu. Engkau
memang berhak atas kebebasanmu. Sesuatu yang kau perdapat dengan ketangguhan…”
Jenderal Fujiyama berkata. Namun si Bungsu memasukkan samurai kesaringnya.
Kemudian di bawah tatapan ratusan pasangan mata, dia melangkah gontai
meninggalkan lapangan itu.
Ketika tiba di jalan raya yang lebih
tinggi dari lapangan dimana dia baru saja bertarung, dia menoleh ke belakang
dan di sana, di atas podium itu, dia lihat tubuh Akiyama masih terbaring di
kelilingi teman-temannya.
Dia memanggil sebuah bendi kemudian
menyebutkan alamat yang di tuju. Dan bendi itu berjalan terguncang-guncang. Dia
telah membalaskan dendam Datuk Penghulu, membalaskan kematiannya. Kematian yang
dibalas dengan kematian pula. Utang nyawa dibalas nyawa. Tapi sampai kapankah
dia akan mencabut nyawa manusia?
“Badan anak muda luka, apakah kita tidak
ke rumah sakit?” kusir bendi yang ikut menonton bertanya. Si Bungsu menggeleng.
“Tidak. Bawa saya pulang. Ada adik saya
yang akan merawat…” katanya perlahan.
Dan di rumah Kari Basa, Salma terpekik melihat luka didada
dan punggung si Bungsu. Dengan terhuyung si Bungsu dipapah oleh Salma
kepembaringan di bilik depan.
Salma membuka baju si Bungsu. Kemudian
mengambil baskom. Mengambil kain bersih dan membersihkan luka si Bungsu dengan
air panas-panas kuku.
“Mana pak Kari….” Tanyanya perlahan.
“Kata Ayah dia ke Padang….”
“Masih lama akan kembali…?”
“Saya tidak tahu uda. Tapi diamlah,
jangan banyak membuang tenaga….”
Dan anak muda itu memang terdiam. Bukan
karena tak mau bicara. Tapi karena tak bisa bicara. Dia pingsan! Hal itu
meleluasakan Salma untuk bekerja merawat luka si Bungsu.
Untuk kali ketiga, kembali gadis ini
merawatnya dengan penuh ketekunan. Si Bungsu sadar bahwa berkali-kali dia
datang pada gadis ini dalam keadaan luka. Dan Salma merawatnya hingga sembuh.
Dia tidak hanya merawat luka di tubuh si Bungsu tapi juga juga luka dihatinya.
Ketiak dia telah sembuh, suatu hari
didapatinya rumah itu penuh oleh beberapa perwira bekas Gyugun, Heiho dan
pejuang-pejuang Indonesia.
“Kami datang untuk menyampaikan rasa
terimakasih kami. Saudara telah banyak membantu perjuangan mencapai
kemerdekaan. Telah banyak jasa saudara. Untuk itu kami ingin menyampaikan tanda
penghargaan…’ salah seorang diantara pimpinan yang dia ketahui merupakan
pimpinan pejuang-pejuang bawah tanah ketika penjajahan dahulu berkata. Semua
orang yang hadir dalam rumah itu menatap padanya dengan kagum.
Dia juga menatap pada pejuang-pejuang itu
dengan tenang. Lalu berkata:
“Terimakasih atas perhatian bapak-bapak.
Tapi mohon dimaafkan saya tak berani menerima penghargaan dari bapak-bapak.
Penghormatan untuk tanah air, perjuangan demi kemerdekaan Nusa dan Bangsa? Ah,
saya bertanya pada diri saya, apakah hal itu memang pernah saya lakukan? Tidak,
seingat saya tak pernah, jangan jadikan saya bahan lelucon”.
“Maafkan kami Bungsu. Tak sedikitpun kami
berniat menjadikan saudara bahan lelucon. Penghargaan ini semata-mata karena
ikhlas. Karena memang sudah menjadi hak saudara. Saudara telah berjuang jauh
sebelum beberapa diantara kami berbuat apa-apa.
“Telah banyak korban saudara. Ayah, ibu,
kakak, tunangan. Dan telah banyak yang saudara bela. Saudara telah membantu
kami dan para pejuang ketika akan ditangkap Jepang di Birugo. Saudara telah
membantu Datuk Penghulu, salah seorang perwira kami. Saudara telah
memperlihatkan pengorbanan yang tak ada duanya…”
Si Bungsu menarik nafas.
“Baiklah, saya juga tak bermaksud untuk
mengatakan bahwa bapak-bapak akan menjadikan saya lelucon. Namun sayalah justru
yang merasa jadi badut kalau sampai menerima penghormatan itu. Secara riil saya
ingin menyampaikan bahwa kematian ayah, ibu dan kakak saya bukan karena saya seorang
pejuang. Tidak, mereka meninggal justru karena kebodohan saya. Kalau saja bukan
karena ibu ingin membawa saya lari, tentu mereka sudah pergi jauh. Dan selamat
dari pembantaian Jepang. Tapi malam itu saya tak dirumah. Ayah pulang menjemput
kami untuk lari. Ibu bertahan agar menunggu saya pulang kemudian bersama lari
dari kejaran Jepang.
Ayah akhirnya mengalah… tapi setelah hari
subuh, bukan saya yang datang melainkan Jepang. Mereka tertangkap. Dan ayah,
ibu serta kakak saya mati dihadapan mata saya. Tanpa sedikitpun saya dapat
berbuat apa-apa. Malah saya lari ketakutan. Itukah kepahlawanan yang tuan-tuan
katakan gagah perkasa, yang akan tuan-tuan beri penghargaan?”
Si Bungsu berhenti. Suaranya terdengar
getir. Dia tersenyum pahit. Menatap pada pejuang-pejuang itu dengan diam.
Karena tak ada yang bersuara, dia melanjutkan:
“Kemudian pembunuhan-pembunuhan kepada
Jepang itu,… kalau itu yang tuan-tuan katakan perjuangan saya buat Nusa dan
Bangsa, itu juga suatu kebohongan. Saya membunuhi mereka karena saya ingin
membalas dendam atas kematian keluarga saya. Ingin menutupi kepengecutan saya
dimasa lalu. Itulah yang saya lakukan mula-mula turun dari tempat mengasingkan
diri di Gunung Sago. Dan hari-hari setelah itu adalah ahari-hari dimana maut
selalu mengancam saya. Saya dicari Jepang, bukan karena saya seorang pejuang yang
akan memerdekakan negeri ini. Tidak. Saya tidak mau jadi orang munafik. Saya
dicari Jepang karena saya membunuh perwira dan prajurit-prajurit mereka.
Maka kalau kemudian banyak Jepang yang saya
bunuhi, itu juga bukan karena demi kemerdekaan, demi tanah air. Tapi
semata-mata karena saya membela diri. Saya takut dibunuh, maka saya membunuh.
Daripada dibunuh lebih baik membunuh. Terakhir, saya melawan Letnan Kolonel
Akiyama, itupun karena saya membalaskan sakit hati saya. Dia telah menghantam
luka saya ketika tertangkap di Koto Baru. Demikian kuatnya, hingga saya
pingsan. Kemudian dia juga telah membunuh Datuk Penghulu. Lelaki yang saya
anggap sebagai pengganti orang tua saya. Semuanya saya lakukan demi membalas
dendam.
Apakah tindakan begini yang akan
bapak-bapak beri penghargaan? Tidak, saya bukan seorang pejuang. Sebenarnya
saya seorang pembunuh. Hanya kebetulan saja membunuh orang yang menjajah negeri
ini”
Bersambung ke….. Tikam Samurai (33)
Komentar
Posting Komentar