Tapi anak muda, yang, yang engkau lakukan
telah mengobarkan semangat juang didada pemuda kita. Telah mengobarkan semangat
dan rasa percaya bahwa kita juga mampu mengadakan perlawanan, Dihati para
Gyugun pun semangat itu berkobar. Tak ada seorangpun diantara kami ataupun
penduduk yang memungkiri, bahwa engkau adalah seorang pahlawan.”
Si Bungsu tertawa letih. Ada kepahitan
dalam ketawanya.
“Pahlawan. Jangan buat saya menjadi
tersiksa seumur hidup. Kalau penghargaan itu saya terima, saya akan senantiasa
teringat, bahwa sayalah seorang pahlawan yang telah membiarkan dengan pengecut
keluarganya punah. Carilah orang lain, yang pantas untuk diberi penghargaan
itu. Cari pejuang lain yang pantas untuk diberikan gelar pahlawan. Orang yang
benar-benar berjuang demi Nusa dan Bangsa. Gelar mulia itu tak pantas orang seperti
saya menyandangnya. Saya bukan pejuang, bukan pahlawan. Maafkan saya. Saya
terpaksa menolak anugerah itu…apapun bentuknya…”
Beberapa orang diantaranya jadi
tertunduk. Diam dan merasa kecil dihadapan anak muda ini. Mereka malu dan kecil
karena sikapnya yang jujur. Mereka teringat, betapa banyak diantara mereka yang
saling rebut tempat dan kekuasaan. Saling rebut pangkat dan jabatan, padahal
kemerdekaan baru dalam bentuk “orok”. Ada diantara mereka yang hadir hari ini,
yang kerjanya hanya ongkang-ongkang, tapi mengaku telah banyak berjuang.
Kini anak muda yang tubuhnya pernah
dicabik-cabik samurai musuh ini, yang darahnya banyak sudah tersiram kebumi
pertiwi dalam memerangi penjajahan, ternyata menolak sebutan pahlawan bagi
dirinya. Usahkan sebutan pahlawan, sebutan sebagai pejuang saja dia tak mau.
Dia merasa tidak pernah berjuang.
Bayangkan, kemana muka mereka disrukkan dihadapan anak muda itu. Dan hari itu
mereka pulang dengan perasaan campur aduk.
Ada yang bangga terhadap sikap anak muda
tersebut. Bangga karena ada seorang pemuda Indonesia yang berpendirian mulia
dan teguh seperti itu. Ada pula yang merasa malu. Malu karena dirinya bertolak
belakang dengan anak muda itu.
Dan hari itu, dihari dia tidak mau
menerima penghargaan itu, si Bungsu mohon diri. Dia kembali menyampaikan
niatnya untuk pergi ke Jepang. Salma termenung. Demikian pula Kari Basa.
“Saya
dengar ada kapal yang akan berangkat sepekan lagi dari Pekan Baru ke
Singapura. Kemudian langsung ke Jepang. Kapal pembawa minyak, mungkin saya
dapat menumpang…”
“Bila engkau berniat untuk pergi….?”
“Kalau bisa besok pagi-pagi pak…”
“Tak ada yang dapat kami perbuat, selain
mendoakan engkau selamat pulang pergi….”
“Terimakasih pak…”
“Teman-teman….para pejuang yang tadi
kemari, sebenarnya memang sangat menghormatimu. Mereka tak berniat untuk
menyakiti hatimu. Mereka memang ikhlas memberikan penghargaan itu….”
“Saya tahu. Dan saya juga tidak
tersinggung. Saya khawatir merekalah yang tersinggung. Karena saya menolak.
Saya benar-benar merasa tidak pantas untuk menerima penghargaan itu pak.
Bagaimana saya menerima pemberian sehelai baju misalnya, kalau saya menjadi
demam dan tersiksa memakainya. Atau kalau baju itu terlalu longgar bagi tubuh
saya yang kecil. Itulah yang saya rasakan. Dan itu saya kemukakan dengan
segenap kejujuran pula”.
Dan percakapan itu terhenti sampai
disana. Si Bungsu bersiap-siap malam itu. Dia masih memiliki uang dari
penjualan perhiasan yang mereka ambil dengan Mei-mei dirumah Cina di Payakumbuh
dahulu.
Sebenarnya tak banyak yang dia
persiapkan. Hanya ada sepasalinan pakaian. Kemudian uangnya dia simpan dalam
kantong kain. Lalu sebuah samurai. Itulah bekalnya.
Salma tengah menyulam diruangan tengah
ketika si Bungsu muncul. Mereka bertatapan, dan si Bungsu dapat melihat betapa
mata gadis itu basah sejak sore tadi.
“Salma….” Katanya. Gadis itu tidak mau
mengangkat wajah. Dia menunduk. Tidak menyulam karena tubuhnya
terguncang-guncang menahan tangis.
“Saya banyak berutang budi padamu. Tak tahu
bagaimana saya membalasnya. Hanya pada Tuhan saya berdoa agar kebaikanmu dan
kebaikan ayahmu dibalasNya setimpal”
Dia lalu meletakkan sebuah bungkusan
dimeja di depan Salma.
“Ini bukan sebagai tanda terimakasih
saya. Tidak. Ini sebagai kenang-kenangan. Saya tidak tahu apakah warnanya
engkau senangi atau tidak. Guntinglah kain ini, saya beli kemarin. Gunting dan
buatlah kebaya panjang, kemudian ini ada sebuah untuk kebaya pendek. Ini kain
baik. Dan…ada sepasang subang dan gelang serta peniti….saya tak tahu apakah
benda-benda ini berguna bagimu. Tapi… inilah tanda mata dari saya. Dan… ini
sebuah cincin. Saya senang kalau kelak engkau memakainya ketika hari
pernikahanmu….”
Salma tak lagi dapat menahan tangisnya.
Dia menangis terisak-isak mendengar ucapan si Bungsu. Banyak yang ingin
dibicarakan gadis ini. Tapi dia seorang wanita. Orang yang lebih banyak
berbicara dengan hatinya. Berbicara dan menyimpan apa yang tersasa dibatinnya
jauh-jauh tanpa seorangpun yang tahu. Begitulah kaum wanita selalu. Dan sebagai
ganti ucapan, dia hanya mampu menangis.
Karena sebagai perempuan, apakah lagi
yang bisa dia perbuat? Dia tatap kain dan perhiasan yang ditinggalkan si Bungsu
untuknya. Kainnya dari bahan yang halus. Berwarna biru dengan kain batik buatan
jawa yang halus.
Dan malam itu adalah malam yang tak
terpicingkan oleh mata Salma. Demikian pula dengan si Bungsu. Dia ingin tinggal
di kota ini. Dia jatuh hati pada gadis yang telah merawatnya itu. Namun apakah
itu mungkin?
Bukankah dia telah bersumpah akan
menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakaknya? Dan satu hal yang amat penting,
apakah gadis itu juga mencintainya? Ah, dia tak berani memikirkan itu. Gadis
itu baik padanya pastilah hanya karena dia dianggap sebagai abangnya.
Dia bolak-balik ditempat tidurnya.
Menelungkup. Menelentang.
Dan akhirnya kedua mereka sama-sama
tertidur takkala subuh hampir datang. Dan pagi harinya si Bungsu bersiap-siap
untuk berangkat. Salma hanya sebentar tertidur. Kemudian bangkit sembahyang
subuh. Lalu bertanak dan memasak kopi.
Ketika ayahnya dan si Bungsu selesai
sembahyang, dia telah selesai pula dengan masakannya. Di tikar di ruang tengah
telah terhidang nasi padi baru. Gulai ayam yang telah disembelih sore kemarin.
Kopi panas.
Tanpa banyak yang bisa dipercakapkan
mereka makan bertiga.
Akhirnya sampai juga saatnya bagi anak
muda itu mohon diri. Mereka bersalaman. Lalu si Bungsu pun mengambil buntalan
pakaiannya. Berjalan ke pintu. Dia terhenti ketika didengarnya Salma memanggil.
Gadis itu mendekat dengan kepala tunduk.
“Terimakasih atas pemberian uda kemarin.
Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih. Tapi….saya berharap
uda mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada,
lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknua selalu mendoakan semoga
selamat dan bahagia selalu…” Salma menanggalkan cincin bermata intan dijari
manisnya. Kemudian dengan masih menunduk, dia meraih tangan si Bungsu.
Memasukkan cincin itu kejari manis si Bungsu.
Persis ukurannya. Cincin itu ternyata
pas. Tubuh si Bungsu yang tak begitu besar ternyata memungkinkan cincin itu pas
dijari manisnya. Dan sehabis memakaikan cincin itu, Salma berlari kekamarnya.
Dia menangis disana.
Si Bungsu hanya tertegak diam. Sekilas
tadi dia melihat dijari manis itu terpasang cincin yang kemaren dia berikan.
Dia menoleh pada Kari Basa. Orang tua itu hanya menatapnya dengan tenang.
Sekali lagi si Bungsu menyalami orang tua itu. Kemudian cepat berbalik dan
melangkah ke jalan raya.
Pagi itu dia meninggalkan Bukittinggi.
Kota itu, seperti halnya seluruh kota-kota lainnya di Sumatera, masih dikuasai
Jepang secara de facto. Kekuasaan menjelang datangnya tentara sekutu yang akan
mengambil alih kekuasaan tersebut.
Dengan sebuah truk mengangkut
sayur-sayuran dia meninggalkan kota itu. Jalan yang ditempuh bukan main
buruknya. Berlobang-lobang dan hanya dibeberapa bahagian saja yang beraspal.
Tiga jam kemudian dia memasuki kota
Payakumbuh. Truk itu berhenti dekat stasiun kereta api. Penumpang di atasnya
yang berjumlahh empat orang orang, umumnya pedagang sayur dan beras, turun
untuk mengisi perut.
Dengan perasaan berdebar, si Bungsu turun
pula. Ada perasaan lain menyelinap dihatinya ketika kakinya menjejak kembali
kota Payakumbuh. Kota itu sudah seperti kampung halamannya. Ketika ayahnya
masih hidup dahulu, dia sering dibawa kemari. Itu waktu kecil. Ketika dia telah
dewasa, dia sering pula ke kota ini. Pergi berjudi.
Dan kini dia datang lagi. Kenangan masa
launya berlarian sempanjang jalan raya. Kereta api kelihatan mengepul asapnya
dari kejauhan. Peluitnya terdengar memekik sayu. Dibelakang lokomotofnya yang
tua terlihat enam buah gerbong. Merangkak lambat-lambat memasuki kota.
Si Bungsu telah matang oleh penderitaan.
Telah masak oleh pengalaman hidup. Emosinya sudah tertempa. Dia kini seperti
karang di samudera. Namun, dia tetap saja manusia. Melihat kereta api itu
merangkak perlahan, mendengar pekik peluitnya yang sayu, dia segera teringat
masa kecilnya.
Ketika bersama ayahnya pergi ke Baso, ke
Biaro, ke Bukittinggi. Mereka naik kereta api. Tanpa dapat diatahan, air
matanya mengalir dipipinya. Dia memandang keselatan. Jauh disana kelihatan
Gunung Sago tegak dengan gagah disapu awan.
Dan dikaki gunung itu adalah kampung
halamannya. Tempat darahnya tertumpah. Disanalah ayah ibu dan kakaknya
berkubur. Kampung kecil bernama Situjuh Ladang Laweh.
Dan tak berapa ratus meter dari stasiun
itu adalah rumah dimana dahulu dia bertemu dengan Mei-mei.
Dahulu dia naik bus tua ke Bukittinggi
dari kota ini berdua dengan Mei-mei. Dan kini dia datang lagi. Sendirian. Dan
di Bukittinggi pagi tadi dia meninggalkan seorang gadis, gadis yang dia-diam
telah mencuri sebahagian hatinya. Salma!
Dia menarik nafas. Menghapus air mata.
Dan perlahan-lahan berjalan masuk kedai. Kedai nasi itu cukup besar. Ruangan
dalamnya lebar. Pada sudut kiri dia lihat beberapa lelaki duduk. Dan selintas
saja dia mengetahui bahwa lelaki-lelaki disudut itu sedang berjudi.
Dia teringat masa lalunya. Dia melihat
seperti dirinya yang duduk ditikar itu. Bersila dan membagi kartu. Diablik kain
dipinggang para lelaki itu dia yakin tersisip sebilah pisau. Hal itu dia
ketahui sebab disitulah dahulu dunianya.
Pada bahagian depan kelihatan orang
sedang makan. Si Bungsu menuju ke meja dekat seorang perempuan muda. Duduk
dihadapnnya karena tak ada lagi tempat lain yang kosong.
“Nasi satu….” Katanya.
“Apa sambalnya?”
Dia memalingkan kepala ketempat ikan-ikan
yang telah dimasak. Memperhatikannya.
“Dendeng bakar dan sambal lado serta
petai muda”
Orang kedai mengambilkan pesanannya.
Meletakkan diatas meja. Si Bungsu mengangguk pada perempuan muda didepannya.
Kemudian pada lelaki disampingnya. Lalu mulai menyuap.
“Nampaknya kita berhenti disini agak
lama. Ada per yang patah. Dan ban bocor. Harus ditambal dulu. Jalan yang akan
kita tempuh bukan main parahnya. Jauh lebih parah dari jalan yang telah kita
lalui” sopir truk berkata sambil mengempaskan diri di balai-balai.
Dan sopir itu meminta nasi.
Seorang lelaki tiba-tiba mendekati
mereka. Dia mendekati perempuan muda yang duduk dihadapan si Bungsu. Berbicara
perlahan. Perempuan itu menolak. Tapi lelaki itu nampaknya memaksa. Perempuan
itu menolak kembali.
Dan akhirnya perempuan muda yang cukup
cantik itu menyerah pada paksaan lelaki tersebut. Dia membuka gelang
ditangannya. Memberikannya pada si lelaki. Dan lelaki itu kembali ke balai-balai
disudut ruangan. Kembali berjudi!
Si Bungsu mengangkat kepala. Menatap
perempuan itu. Perempuan itu menunduk. Dan si Bungsu dapat melihat betapa wajah
perempuan muda itu kelihatan murung. Sebentar-sebentar dia melirik pada lelaki
yang tadi mengambil gelangnya.
Si Bungsu meneruskan makan. Demikian pula
sopir di meja yang satu lagi. Ketenangan rumah makan itu tiba-tiba dipecahkan
oleh suar pertengkaran. Pertengkaran itu berasal dari sudut dimana sedang
berlangsung perjudian.
“Kalian main curang. Saya tak mau. Saya
sudah banyak kalah!”
Terdengar suara seorang lelaki. Dan
sebagai jawaban suaranya itu terdengar tertawa terkekeh.
“Ini Judi Sutan. Tak ada kata-kata
curang. Mulut Sutan berbisa kami dengar. Apakah Sutan muak hidup…” suara lain
mengancam.
Dan pemilik kedai serta orang-orang lain
nampaknya tak mau ikut campur. Mungkin disebabkan dua hal kenapa mereka lebih
baik diam saja. Pertama memang sudah biasa dalam setiap perjudian disudahi
dengan pertengkaran. Atau sebab kedua adalah karena penjudi-penjudi itu orang
bagak.
Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Dan
sebentar saja setelah suara tadi, kini terdengar orang main hantam. Perempuan
didepan si Bungsu terpekik. Tegak berlari kearah perjudian itu. Dan saat itu
pula lelaki yang meminjam gelangnya terpental. Jatuh melabrak meja.
Meja terjungkir. Dua buah stoples yang
berisi paniaram jatuh pecah. Perempuan itu menangis memeluk lelaki tersebut.
Nampaknya mereka adalah suami isteri yang baru menikah. Tak diketahui apa
sebabnya sampai terseret ke meja judi ini. Mungkin suaminya ini pencandu judi
pula. Hingga tak segan-segan meminta gelang isterinya seleha kalah dalam tahap
pertama. Pada tahap kedua, gelang istrinya ludes dan dia kena terjang pula.
“Kalau akan berkelahi diluar lah Datuk.
Jangan dalam lapau saya!” pemilik kedai berkata perlahan. Aneh, dia berkata
perlahan saja. Padahal meja dan stoples serta kuenya berserakkan. Dari nada
pembicaraan ini setiap orang bisa tahu, betapa pera penjdui itu amat ditakuti.
Dan benar saja, orang yang dipanggil
Datuk itu tertawa menggerendeng.
“Berani waang melarang saya kini ya
Murad? Apakah ingin saya panggang lapau waang ini?”
Pemilik kedai tak menjawab. Dengan
menunduk habis-habisan dia membenahi meja dan toplesnya yang berserakkan.
Dan lelaki yang dipanggil dengan sebutan
Datuk itu maju. Melihat ke arah gulai dan sambal yang terletak dalam panci.
Matanya menatap liar. Kemudian tangannya beraksi. Dengan tangan telanjang, dia
mengacau panci yang dipenuhi gulai ayam.
Kemudian mengambilnya sepotong. Lalu
duduk di kursi dimana perempuan muda tadi duduk. Persis berhadapan dengan si
Bungsu. Dia mengunyah gulai ayam itu dengan rakus. Sementara tangannya hingga
ke pergelangan dipenuhi kuah.
Dan sambil mengunyah gulai ayam itu,
matanya tiba-tiba terpandang pada jari manis si Bungsu. Kunyahnya terhenti.
“Hmm, cincin berlian…” desisnya menatap
lurus-lurus pada cincin itu. Lalu tiba-tiba saja tangannya yang berkuah-kuah
itu menyambar tangan kiri si Bungsu. Memegangnya kuat-kuat lalu menatap cincin
itu.
Kemudian dia tertawa menyeringai sambil
menatap si Bungsu.
“Hei, waang mau menjual cincin ini pada
saya buyung…?” katanya.
Si Bungsu menggeleng.
“Saya beli dengan harga tinggi. Berapa
waang mau menjual?”
“Ini tanda mata dari adik saya. Saya tak
berniat menjualnya…” si Bungsu menjawab perlahan.
“Ahh. Pasti tanda mata dari gendak waang.
Bikin apa dia waang pikirkan. Cukup banyak betina lain yang bisa waang bawa
tidur. Ayo jual saja pada saya..” Datuk itu masih berkata sambil mengguncang
tangan si Bungsu.
Dia menarik nafas panjang. Lalu menggeleng.
Dia berusaha menahan marahnya.
“Saya tak berniat menukarnya atau
menjualnya pak…” jawabnya.
“Hei, akan saya buktikan pada waang,
bahwa cukup banyak perempuan yang bisa ditiduri. Saya lihat waang dari tadi
berminat pada perempuan itu..” Datuk ini menunjuk dengan mulutnya ke arah
perempuan yang tadi duduk di depan si Bungsu. Yang kini duduk dikursi lain
bersama suaminya.
Datuk itu bangkit. Tiga temannya tertawa
menyeringai dari sudut memperhatikan.
“Jangan mengganggu bini orang di lapau
ini Datuk…” pemilik kedai tadi coba memperingatkan. Sebab kedainya bisa jadi
lengang kalu terjadi hal-hal yang tak baik pada orang yang singgah makan.
Namun ucapannya baru saja habis ketika
tangan Datuk itu mendarat dipipinya. Suara tamparannya keras. Dan bibir pemilik
kedai itu pecah!
“sekali lagi waang mencampuri urusan saya
Murad, saya jemur waang seperti dendeng di labuah sana…” ancamnya.
Dan dia meneruskan langkah ke dekat
perempuan muda itu.
“Hei, upik manis. Laki upik baru saja
kalah berjudi. Kenapa kau mau berlaki dengan penjudi tanggung seperti dia?
Lebih baik kau menikah dengan anak muda itu. Lihat, dia punya cincin berlian.
Hayo kuantar kau padanya…!”
Berkata begitu. Datuk itu menyentakkan
tangan perempuan mud atersebut.
Perempuan itu terpekik. Suaminya bangkit.
Namun sebuah terjangan membuat tubuhnya tercampak ke luar. Melihat kejadian
ini, enam orang lelaki lain yang ada dalam kedai itu cepat-cepat membayar
makanan mereka dan pergi meninggalkan kedai itu. Menghindar dari bencana yang
akan timbul.
Nampaknya Datuk dan ketiga koleganya
adalah “orang bagak” di kota ini. Sebab kalu tak demikian, mustahil dia akan
mau berbuat seperti itu. Stasiun kereta api ini terletak persis ditengah kota.
Dan ditengah kota ini dia mau berbuat demikian, sungguh suatu perbuatan yang
bagak benar.
Tangan perempuan itu derenggutkannya. Dan
sekali dorong, perempuan itu terlempar ke pangkuan si Bungsu. Perempuan itu
bangkit kemudian menampar wajah si Bungsu beberapa kali.
Si Bungsu tetap duduk dan tetap diam.
Datuk penjudi itu tertawa terkekeh-kekeh.
“Hei buyung, kalau dia menampar lelaki,
itu tandanya dia mengajak ke tempat tidur, bawalah dia!”
“Saya mau menjual cincin ini..” tiba-tiba
suara si Bungsu bergema. Datuk itu terhenti tertawa. Dia mendekat. Orang-orang
lai pada terdiam.
“Naah, itu bagus. Berapa waang jual?”
“Tidak dengan uang. Saya ingin bertukar…”
si Bungsu berkata dengan kepala masih menunduk.
“Bagus! Bagus! Dengan apa? Dengan
perempuan muda ini? Boleh!”
“Tidak!”
“Lalau dengan apa?”
“Dengan kepalamu, Datuk!”
Bersambung ke…. Tikam Samurai (34)
Komentar
Posting Komentar