Masih ada enam lelaki dan tiga perempuan
lagi dalam kedai itu. Dan mereka semua mendengar suara anak muda itu dengan
jelas. Datuk itu terdiam.
“Rasanya saya salah dengar. Dengan apa
waang berniat menukar cincin berlian waang itu buyung….?”
Masih dengan kepala menunduk, dan dengan
ketenangan yang luar biasa, si Bungsu menjawab.
“Dengan kepalamu, Datuk!” Dan suara anak
muda ini lagi-lagi membuat isi kedai itu seperti mengkerut karena takut. Takut
akan akibatnya. Yaitu pada amarah yang bakal menyembur dari diri Datuk itu.
Tapi anehnya Datuk itu tak berang. Dia
justru tertawa terkekeh-kekeh. Sampai berair matanya karena tertawa.
Orang-orang jadi heran. Namun tetap terdiam ditempatnya. Tak seorangpun yang
berani beranjak.
“Kalian dengar Kudun? Muncak? Si buyung
ini berniat menukar kepala saya dengan cincinnya. Haa…haa…haa. Hu…hu..hu. Baik.
Saya tukar kepala saya dengan cincin waang. Tapi bagaimana caranya waang akan
mengambil kepala saya?”
Dengan masih menunduk, anak muda itu
berkata lagi dengan seluruh ketenangan yang ada padanya.
“Saya mampu mengambilnya Datuk. Saya bisa
mengambil kepala Datuk dengan tangan saya…!”
“Bagaimana kalau waang tak bisa?”
“Cincin dan kepala saya jadi
tukarannya…!”
Lelaki itu tiba-tiba berteriak
mengejutkan semua orang ada di kedai itu.
“Hei, kalian dengar : anak muda ini
berkata akan mampu mengambil kepala saya dengan tangannya. Kalau dia tidak
bisa, maka kepalanya dan cincin berlian ditangannya dia berikan kepada saya.
Kalian jadi saksi semua. Dengar?!. Dengar?! He?”
Semua yang ada dalam kedai itu mengangguk
seperti balam. Mengangguk karena takut.
“Nah anak muda, sudah banyak saksinya.
Sekarang cobalah ambil kepala saya. Usahkan mengambilnya, bisa saja waang
menjamah rambut saya, maka saya akan meminum kencing waang!”
Dan lelaki itu tegak berkacak pinggang
dihadapan si Bungsu. Jaraka mereka hanya dipisahkan oleh meja makan. Si Bungsu
jadi muak. Dia tahu benar tipe lelaki ini. Pejudi, pemerkosa anak bini orang.
Dan terakhir kerjanya pastilah mengkhianati bangsanya.
Mustahil dia akan berani berbuat onar
seperti ini dijantung kota yang dikuasai Jepang kalau dia tak punya tulang
punggung. Dan si Bungsu yakin, bahwa orang bagak ini adalah cecunguk Jepang.
“Berapa orang anakmu yang akan yatim
piatu kalau engkau mati?” si Bungsu bertanya dengan suara dingin. Tanya ini
sebenarnya bukan untuk menyakiti hati lelaki itu. Tapi pertanyaan yang jujur.
Kalau saja lelaki itu menjawab dengan jujur mengatakan bahwa anaknya banyak,
maka mungkin si Bungsu takkan menurunkan tangan jahat.
Tetapi lelaki yang dasarnya pongah, jadi
amat tersinggung.
“Jangan banyak cakap waang buyung. Kalau
dalam lima hitungan waang tak berhasil memegang rambut saya, waang akan saya
jadikan “anak jawi” pemuas selera saya…..hee…hee…!”
“Baiklah, engkau yang menghendaki…” si
Bungsu berkata perlahan.
“Satu…dua…!” lelaki itu mulai menghitung.
Ketika mulutnya akan mengana menyebut tiga, saat itulah si Bungsu menyambar
samurai didepannya. Samurai itu berkelabat sangat cepat. Dan tak seorangpun
yang tahu bagaimana terjadinya. Apa penyebabnya.
Yang terlihat setelah itu adalah, kepala
lelaki itu putus dan tercampak keluar kedai. Tubuhnya jatuh dan
menggelinjang-gelinjang seperti ayam disembelih. Darah menyembur-nyembur
kemana-mana. Sudah itu diam!
Suara pekik dan gaduh terdengar. Isi
kedai tercekam diam tak bisa keluar karena merasa lumbpuh melihat kejadian yang
mengerikan itu.
Dan kegemparan itu sampai ke telinga
Kempetai yang posnya hanya berjarak dua ratus meter dari stasiun itu.
“Anak muda. Lihatlah. Kempetai datang.
Datuk itu kaki tangan Kempetai. Sudah banyak pejuang-pejuang dan penduduk yang
jadi korban Datuk itu. Datuk itu tukang tunjuk. Mata-mata Jepang. Pergilah
sebelum engkau ditangkap…”
Pemilik kedai itu berkata dengan gugup.
Sementara ketiga teman Datuk itu terhenyak di tikar ditempat mereka berjudi
tadi. Usahkan untuk bangkit, untuk bernafaspun mereka takut. Mereka benar-benar
seperti melihat hantu pada anak muda itu.
Dalam sekali tebas, kepala Datuk Hitam
putus. Siapa bisa menyangka? Siapa tak kenal Datuk Hitam? Juara silat dan orang
yang sangat ditakuti di Luhak Lima Puluh ini. Tapi kini anak muda itu telah
menebas kepalanya dengan penuh ketenangan.
Ketiga teman Datuk itu tak berani
bergerak. Malah yang bernama Sarip, celananya telah basah sendiri. Si Bungsu
melihat pada pemilik kedai itu. Kemudian menghela nafas. Dia menghirup kopinya
dengan tenang. Dan tetap pula duduk dengan tenang.
Di luar terdengar orang berbisik-bisk.
Kempetai datang! Empat orang Kempetai muncul dihadapan kedai itu. Keempatnya
tertegak kaget melihat kepala Datuk Hitam yang tergolek dengan mata mendelik.
Dan serentak keempat Kempetai itu memandang ke dalam kedai. Belum begitu jelas.
Sebab diluar cahaya sangat terang. Di dalam kedai itu agak samar-samar.
“Tangkap semya yang ada dalam lapau
itu…!” terdengar perintah salah seorang dari ke empat Kempetai tersebut. Tiga
diantaranya menyerbu masuk. Namun sebuah suara yang dingin menghentikan gerakan
mereka.
“Saya yang membunuh Datuk itu. Kalau akan
ditangkap, cukup saya sendiri…”
Ketiga Kempetai itu menoleh. Dan mereka
tersurut takkala melihat siapa yang bicara sambil menghirup kopi itu.
“Bungsu…!!” tanpa dapat ditahan, mulut
mereka bicara serentak. Si Bungsu hanya diam. Tapi semua orang yang ada dalam
kedai itu pada menatap padanya. Si Bungsu! Siapa yang tak pernah mendengar nama
itu? Dan kini ternyata anak muda itu muncul dihadapan mereka.
Sopir truk yang membawa si Bungsu pun
menoleh padanya. Dia jadi ternganga. Benar-benar tak dia sangka, penumpangnya
yang pendiam itu ternyata si Bungsu. Si Bungsu yang namanya jadi buah bibir
itu. Dia jadi malu kenapa tak melayani anak muda ini dengan hormat.
Ketiga Jepang itu berlari keluar. Berkata
kepada komandan yang memerintahkan untuk menangkapi semua isi kedai itu.
Komandannya ini tertegun mendengar laporan ketiga bawahannya, ia bergegas
masuk. Dan tertegak dipintu begitu melihat si Bungsu.
“Bungsu…! mulutnya juga berkata tertahan.
Lambat-lambat si Bungsu menatap padanya.
Kemudian berkata perlahan.
“Ya. Sayalah si Bungsu. Ingin menangkap
saya sekarang?”
Kempetai yang berpangkat Go Cho (Sersan
dua) itu cepat-cepat menggeleng.
“Tidak! Tak seorangpun diantara
balatentara Jepang yang boleh menangkap si Bungsu. Panglima Pasukan Balatentara
Dai Nippon di Sumatera telah menjamin kebebasanmu sejak pertarungan dengan
Overste Akiyama di Bukittinggi. Tentara Jepang tak pernah memungkiri janjinya…”
“Tapi saya telah membunuh kaki tangan
kalian. Mata-mata kalian”
“Oh itu… itu resiko dirinya sendiri. Hai”
berkata begitu Go Cho ini membungkuk memberi hormat, kemudian memerintahkan
beberapa penduduk mengangkat mayat Datuk Hitam itu. Lalu cepat-cepat
meninggalkan kedai itu.
Si Bungsu menarik nafas. Dia menoleh pada
ketiga teman Datuk Hitam yang masih terduduk di sudut ruangan. Dengan tubuh
menggigil dan muka pucat.
“”Lelaki itu….” Kata si Bungsu sambil
menunjuk pada suami perempuan muda yang menamparnya tadi. “tadi kalah main
dengan kalian. Dan kali kedua dia menggadaikan gelang isterinya. Kini
kembalikan semua padanya…”
“Teta…tetapi…semuanya ada pada Datuk….”
Ucapannya terputus ketika melihat si Bungsu meraih samurainya.
“Yiy…ya..yay… Ya! Pada kami ada, kami
kembalikan…” dengan pucat dan menggigil dia merogoh kantong. Mengambil
segenggam uang. Lalu mengode temannya. Temannya merogoh kantong pula. Kemudian
mengeluarkan sebuah gelang.
Si Bungsu menoleh pada suami perempuan
muda itu.
“Ambillah….” Katanya perlahan. Lelaki itu
bergerak ke arah ketiga pejudi tersebut. Menerima uang dan gelang isterinya
kembali.
“Nah, kalian yang bertiga, dengarlah.
Kalian harus meninggalkan Luhak Lima Puluh ini segera. Kalau sore nanti kalian
masih saya lihat di Luhak ini, atau lain kali saya dengar kalian masih membuat
huru hara, saya akan cari kalian. Dan saya akan menebas kepala kalian seperti
menebas kepala Datuk itu. Kini pergilah!”
Ucapan si Bungsu baru saja habis, ketika
ketiganya lari berhamburan. Yang satu lari terbirit-birit lewat pintu, yang dua
lagi mengambil jalan singkat, yaitu meloncat dari jendela di dekat mereka.
Ketiganya lenyap. Ya, bagi mereka itulah saat yang paling berbahagia. Berbahagia
terlepas dari elmaut.
Saat itu juga mereka tak kembali ke
rumah. Tapi terus cigin meninggalkan Luhak Lima Puluh itu seperti yang
diperintahkan si Bungsu. Tak seorangpun yang tahu kemana mereka lenyap.
Kini keadaan dalam kedai sepi. Si Bungsu
kembali menoleh pada suami perempuan muda itu. Ia berkata perlahan-lahan.
“Hei sanak. Saya dulu juga pejudi. Tapi
saya tidak hanya sekedar pejudi kelas murahan. Saya raja judi dinegri ini.Tak
pernah saya kalah dalam tiap permainan. Tapi ketahuilah, hidup saya tak pernah
tenang. Sedangkan saya yang selalu menang hidup tak tenang, apalagi kalau
selalu kalah. Nah, saya pesankan pada sanak, lebih baik mencangkul daripada
harus berjudi. Istrimu seorang perempuan lembut dan cantik. Bagaimana kalau
tadi dia sempat dilaknati oleh Datuk itu?”
Lelaki itu menunduk.
“Terimakasih sanak. Terimakasih. Saya
berhutang budi pada sanak…”
Lelaki itu berkata perlahan. Matanya
basah. Istrinya bangkit. Berjalan mendekati si Bungsu. Pada wajahnya kelihatan
penyesalan. Dia teringat betapa tadi dia menampar anak muda ini. Dia menyangka
anak muda ini temannya Datuk jahanam itu. Itulah sebabnya dia menampar si
Bungsu begitu dirinya didorong kepangkuan anak muda ini.
“Maafkan saya bang…saya telah salah
sangka tadi…” katanya perlahan. Si Bungsu menatapnya. Kemudian tersenyum.
“Tidak apa. Saya lihat engkau mencintai
suamimu. Tapi mencintai suami bukan berarti harus menuruti segela kehendaknya.
Kalau engkau merasa pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan tercela, engkau
berkewajiban melarangnya. Seperti tadi ketika dia meminta gelangmu untuk
berjudi. Walaupun engkau dia tampar, tapi jangan berikan. Soalnya bukan berapa
nilai gelangmu, tapi yang penting adalah akibat judi itu sangat buruk. Paham
bukan…?”
Perempuan itu menghapus air matanya. Dan lambat-lambat
duduk dihadapan si Bungsu.
“Kalian dari mana?”
“Kami dari Pekan Baru”
“Hmm, merantau ke sana?”
“Ya. Kami merantau sejak lama di Tanjung
Pinang. Disana kami bertemu dan kawin…”
“Kini akan kemana?”
“Pulang ke kampung…”
“Dimana, masih jauh?”
“Tidak, kampung kami di Situjuh…”
“Situjuh?” tanya si Bungsu kaget.
“Ya. Situjuh Ladang Laweh…”
“Disana kampung kalian keduanya?”
“Tidak. Disana kampung saya.pung uda
Rasid di Kubang…”
“Siapa ayahmu di Situjuh..?”
Perempuan itu menatap padanya.
“Abang pernah kesana?” si Bungsu
menunduk. Menarik nafas panjang.
“Tidak hanya sekadar “pernah” upik.
Disana lah darah saya tertumpah. Situjuh Ladang Laweh adalah kampung saya
pula…” gadis itu terbelalak.
“Abang orang Situjuh Ladang Laweh?”
“Ya. Kita Sekampung…. Siapa nama ayahmu?”
“Datuk Maruhun…..” si Bungsu kaget.
“Ya. Datuk Maruhun. Abang kenal padanya?”
Si Bungsu menatap gadis itu tepat-tepat.
Seingatnya tak ada anak Datuk Maruhun seperti perempuan ini. Datuk itu hanya
punya dua orang anak. Yang satu lelaki. Kini jadi Gyugun di Padang. Yang satu
lagi perempuan, namanya Renobulan.
Dan betapa dia tak kenal pada Datuk
Maruhun?
Renobulan anak Datuk itu adalah bekas
tunangannya dahulu. Pertunangan mereka putus karena Datuk itu tidak suka calon
menantunya seorang pejudi. Dan sejak putus tunangannya itu, dia tidak lagi
pernah mengetahui kemana perginya Renobulan. Gadis tercantik dikampungnya itu.
“Maaf, saya rasa anaknya hanya dua orang.
Satu lelaki bernama Mukhtar, kedua perempuan bernama Renobulan…”
“Ya. Datuk Maruhun itulah ayah saya…”
“Tapi…”
“Ayah berbini dua. Ibu Kak Reno adalah
istrinya yang tua. Ibu saya istrinya yang kedua. Ayah menika dengan ibu ketika
berdagang ke Tanjung Pinang. Sejak Jepang masuk ayah tak pernah lagi datang ke
Pinang. Kini kami datang untuk mencarinya. Apakah beliau ada sehat-sehat…?
Si Bungsu terdiam. Dikepalanya terbayang
lagi masa lalunya di kampung Situjuh Ladang Lawehh itu. Terbayang betapa suatu
malam dia tertangkap ketika mengintai orang sedang latihan silat. Yang sedang
latihan adalah Datuk Maruhun dan anak buahnya. Datuk Maruhun adalah wakil
ayahnya. Wakil ayahnya sebagai guru silat. Dia sedang mengintai ketika Jepang
datang menangkapnya.
Dan beberapa murid Datuk Maruhun terbunuh
malam itu oleh Jepang. Dan Datuk Maruhun menyangka dia yang memberitahu Jepang
tempat latihan itu. Dia dituduh membocorkan tempat latihan itu demi mendapatkan
uang untuk berjudi.
“Apakah ayah masih hidup?” tiba-tiba si
Bungsu kembali dikagetkan oleh pertanyaan perempuan muda didepannya.
“Saya tak tahu dengan pasti upik. Suatu
malam dia ditangkap oleh Jepang. Rencananya akan dikirim ke Logas untuk kerja
paksa. Tapi sebulan kemudian dia lolos bersama tiga orang temannya setelah
membunuh dua orang tentara jepang yang menjaganya.
Mereka pulang ke kampung dimalam buta. Kemudian
membawa istri dan anak-anaknya pergi melarikan diri. Sejak saat itu saya tak
lagi mendengar dimana beliau. Tapi kini mungkin sudah dikampung. Kalau tidak
ada disana, carilah anaknya. Anaknya yang tua, yang bernama Mukhtar kini
menjadi anggota Gyugun di Padang. Pangkatnya kalau tidak salah Gun Syo (Sersan
satu). Dari dia barangkali engkau dapat tahu dimana beliau..”
“Abang juga tak tahu dimana Kak
Renobulan?” si Bungsu menggeleng. Perempuan itu menarik nafas. Wajahnya murung.
Kemudian berkata perlahan…:
Bersambung ke….. Tikam Samurai (35)
Komentar
Posting Komentar