Tak kelihatan pihak mana yang akan
menang. Datuk Maruhun dan kedua temannya merasa gembira dan berdoa agar teman
mereka menang. Namun posisi itu tak bertahan lama. Si Komandan memberi petunjuk
dengan bahasa kampung mereka. Jepang Jangkung itu tiba-tiba tegak dengan diam.
Dan ketika tiba-tiba kedua pesilat itu menyerang lagi, dia bergerak berputar
dengan cepat. Terdengar pekikan beruntun. Kedua pesilat itu rubuh mandi darah.
Mati saat itu juga. Yang tadi memegang tombak buntung itu, dadanya robek lebar.
Yang memegang pedang kepalanya seperti akan belah dua.
Sasaran itu kini bergenang darah dalam
hujan rintik yang makin lebat.
“Nah, kalian sudah lihat. Bahwa
silat kalian tak ada artinya jika melawan Samurai. Karena itu jangan coba-coba
membangkang perintah kami. Kini kalian yang masih hidup ayo ikut kami kembali
ke kampung. Tunjukkan di mana teman-teman kalian yang lainnya. Termasuk Ayah
monyet ini, . .”
Datuk Maruhun menatap pada si Bungsu yang
disebut sebagai beruk oleh komandan Jepang itu.
“Waang tidak hanya pantas disebut beruk
buyung. Tapi waang memang seekor beruk yang paling jahanam di dunia ini. Kenapa
tak waang katakan sekaligus di mana Ayah waang bersembunyi pada Jepang-Jepang
ini?”
Dia bertanya dengan penuh rasa benci pada
si Bungsu. Namun anak muda itu tetap diam. Berjalan dengan kepala tunduk, mata
sayu dan wajah murung. Kalau saja dia tak dibatasi oleh tiga orang serdadu,
mungkin dia telah mati ditikam oleh ketiga lelaki itu. Bahkan kalau ayahnya ada
di sana, mereka yakin bahwa Datuk Berbangsa yang akan membunuh anaknya ini.
Sudah bisa dipastikan, bahwa untuk mendapatkan uang untuk berjudi, anak celaka ini telah membuka rahasia tentang latihan yang diadakan di kampungnya pada Jepang, berikut di mana latihan diadakan. Bisa diterima akal betapa berangnya penduduk padanya.
Kabar tentang khianatnya si Bungsu segera menjalar seperti api dalam sekam di kampung itu. Belum dua bulan yang lalu dia diberitakan dari mulut ke mulut perkara pertunangannya yang diputus pihak Reno, kini dia kembali diberitakan dari mulut ke mulut soal khianatnya. Namun tak ada yang berani turun tangan secara lang¬sung. Di kampung itu kini ditempatkan lima orang serdadu Jepang.
Sudah bisa dipastikan, bahwa untuk mendapatkan uang untuk berjudi, anak celaka ini telah membuka rahasia tentang latihan yang diadakan di kampungnya pada Jepang, berikut di mana latihan diadakan. Bisa diterima akal betapa berangnya penduduk padanya.
Kabar tentang khianatnya si Bungsu segera menjalar seperti api dalam sekam di kampung itu. Belum dua bulan yang lalu dia diberitakan dari mulut ke mulut perkara pertunangannya yang diputus pihak Reno, kini dia kembali diberitakan dari mulut ke mulut soal khianatnya. Namun tak ada yang berani turun tangan secara lang¬sung. Di kampung itu kini ditempatkan lima orang serdadu Jepang.
Jepang-jepang itu tak berhasil menemukan
Datuk Berbangsa dan teman-temannya. Untuk itu mereka menem¬patkan lima orang
serdadunya untuk menjaga dan menang¬kap kalau-kalau Datuk itu muncul
sewaktu-waktu. Sementara Datuk Maruhun serta kedua temannya yang tertangkap di
sasaran itu, dibawa ke Bukittinggi. Ditahan di sana. Tapi ada yang mengatakan
bahwa ketiga mereka telah dikirim ke Logas. Di berbagai daerah perang melawan
serdadu Jepang belum lagi mulai. Sebab Jepang baru saja menggantikan kedudukan
tentara Belanda.
Suatu malam terjadi kegemparan di kampung
itu. Kelima serdadu Jepang yang ditempatkan di surau mengaji, yang dijadikan
pos darurat, subuh-subuh kedapatan mati semua. Pada tubuh mereka ada bekas
tikaman. Jelas tikaman keris. Lewat subuh sedikit, hampir seratus serdadu
Jepang mengepung kampung itu Ternyata Datuk Maruhun dan kedua temannya lolos
dari tahanan. Kabarnya bersama Datuk Berbangsa dan beberapa pejuang lainnya
mereka membunuh pula empat orang serdadu Jepang di penjara. Lalu malam itu juga
menyelusup ke kampung. Mereka membawa anak dan isteri melarikan diri.
Ketika kampung itu dikepung Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi. Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di depan surau di mana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi. Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka hanya petani biasa. Malahan satu di antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak perduli.
Seorang Kapten yang memimpin pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda lelaki dan perempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang kampung itu.
Ketika kampung itu dikepung Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi. Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di depan surau di mana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi. Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka hanya petani biasa. Malahan satu di antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak perduli.
Seorang Kapten yang memimpin pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda lelaki dan perempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang kampung itu.
“Ini sebuah contoh dan peringatan bagi
orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri Matahari Terbit.
Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka
akan dibalas dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi. Jika tak ada lelaki,
maka perempuan yang akan dibunuh. Jika tak ada, anak-anak kami jadi¬kan
gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau di antara kalian ada yang mata-mata,
sampaikan ucapan saya ini pada orang ¬orang yang menyusun kekuatan untuk
melawan kami, yang kini bersembunyi entah di mana. . .”
Keempat lelaki itu disuruh berjongkok.
Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dan dengan suatu komando, empat
orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan
keempat serdadu itu tergeng¬gam sebuah Samurai. Sebuah komando dalam bahasa
Jepang terdengar bergema. Dan dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah
dari tubuhnya. Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke tanah menyaksikan
kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik.
Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari
dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan melihat ke
Utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada
pasukannya. Sekitar tiga puluh ser¬dadu segera berhamburan ke Utara. Dalam
sekejap mereka kini telah mengepung sebuah rumah. Rumah itu adalah sebuah rumah
adat yang besar, rumah si Bungsu! Saburo segera tampil ke halaman rumah yang
telah dikepung ketat itu. Dia menghadap ke atas anjungan.
“Kalian telah terkepung. Keluarlah!.
Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar rumah ini. . !!”
seru Komandan tentara Jepang itu.
Beberapa penduduk memberanikan diri
melihat keja¬dian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa yang disuruh
keluar oleh Jepang itu. Sebab setahu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh
tadi bersama anak isterinya. Sementara itu, si Bungsu yang tadi tegak di antara
penduduk, kini menyeruak ke depan di antara barisan penduduk yang melihat dari
kejauhan itu.
Wajahnya yang biasa murung kini jadi
pucat. Dia me¬natap ke rumahnya dengan tegang. Dan benar, tak lama kemudian
kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu! Menyusul ibu dan
kakaknya.Melihat ayah, ibu dan kakaknya itu, si Bungsu berlari ke depan.
“Ibu…. !!” himbaunya.
“Ibu…. !!” himbaunya.
Tapi seorang serdadu Jepang
menghantamnya. Dia tersungkur di tanah. Ayah, Ibu dan kakaknya tertegun. Mereka
mamandang padanya dengan tatapan tak berkedip. Ada jarak dua puluh depa antara
dia tertelungkup dengan ayah dan ibu serta kakaknya. Namun dia serasa dapat
merasakan panasnya tatapan mata keluarganya. Terutama sekali tatapan ayahnya.
“Engkau memang dilahirkan untuk menjadi dajal, buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa ber¬judi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?” suara ayahnya terdengar bergema tajam.
“Engkau memang dilahirkan untuk menjadi dajal, buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa ber¬judi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?” suara ayahnya terdengar bergema tajam.
Si Bungsu tertegak kaku. Bulu tengkuknya
merinding mendengar ucapan ayahnya itu. Mulutnya bergerak ingin bicara. Namun
tak satupun suara yang keluar dari mulutnya. Dia menatap ayahnya. Menatap
ibunya. Menatap kakaknya. Akhirnya dia menatap pada ibunya. Perempuan itu tegak
dengan gagah. Menatap padanya dengan kepala tegak.
“Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu.. . Nak!” Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh. Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil di hadapan keluarganya yang gagah perkasa ini. Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut. Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten Saburo.
“Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu.. . Nak!” Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh. Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil di hadapan keluarganya yang gagah perkasa ini. Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut. Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten Saburo.
“Saya bersedia ditangkap. Tapi isteri dan
anak saya, harap dibebaskan. . .”
“Heh, setelah kau bunuh sembilan orang
serdadu kami, kau minta keluargamu dibebaskan he? Bagero!”
“Kalau tak ada jaminan itu, saya takkan
menyerah!” Datuk Berbangsa berkata dengan suara yang pasti.
Saburo mengagumi sikap jantan lelaki itu.
Namun dia tertawa terbahak.
“He…he….ha! Apa yang kau banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk”.
“He…he….ha! Apa yang kau banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk”.
“Saya akan berkelahi sampai mati!”
“Siapa yang kau sangka bersedia mati
konyol bersamamu?”
“Jangan lupa, Anda seorang Samurai. Saya
tahu, seorang Samurai sejati takkan menampik tantangan ber¬kelahi dari orang
lain!”
Saburo terdiam. Matanya menatap tajam
pada Datuk itu.
“Atau barangkali serdadu Jepang yang
datang kemari adalah Samurai-samurai pengecut yang mengabaikan sikap satria
sebagaimana layaknya Samurai sejati?”
“Diam kau! Jangan sembarang berkata.
Tidak ada di antara kami yang tidak berjiwa Samurai. Kau takkan pernah saya
bebaskan. Kalaupun kau memilih berta¬rung dengan salah seorang samurai, kau
juga tetap takkan bisa memenangkan perkelahian. Tak ada di antara kalian yang
akan mampu mengalahkan ilmu Samurai kami. Ilmu silat kalian masih terlalu
rendah untuk berhadapan dengan kecepatan Samurai . . “
“Kebenarannya akan kita buktikan sebentar
lagi!” Datuk Berbangsa menjawab dengan tenang dan pasti.
Saburo yang berang segera memberi
perintah. Enam orang serdadunya segera meletakkan bedil panjang mereka.
Kemudian mem¬bentuk lingkaran besar di halaman rumah gadang tersebut. Datuk
Berbangsa yang terkenal sebagai Guru Silat Kumango itu melangkah dengan pasti
ke tengah lingkaran. Dia tak bicara sepatahpun pada isteri dan anak gadisnya.
Nampaknya mereka sudah bicara saat bersem¬bunyi di loteng. Datuk ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau. Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa. Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.
Nampaknya mereka sudah bicara saat bersem¬bunyi di loteng. Datuk ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau. Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa. Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.
“Duluanlah. Saya menyusul . .” ujar Datuk
Berbangsa kepada Datuk Maruhun.
Dia tak dapat segera melarikan diri bersama Datuk Maruhun disebabkan isterinya sakit. Dia telah diminta oleh isterinya untuk lari duluan bersama anak gadisnya. Namun Datuk Berbangsa menolak. Mana mau dia meninggalkan isterinya. Dan anak gadisnya juga tak mau meninggalkan ibunya. Padahal si Ibu tak begitu parah sakitnya. Perempuan ini sebenarnya tak mau pergi dari kampung itu karena dia masih menunggu seorang anak lagi, si Bungsu!. Dia tahu suaminya tak menyukai si Bungsu.
Dia tak dapat segera melarikan diri bersama Datuk Maruhun disebabkan isterinya sakit. Dia telah diminta oleh isterinya untuk lari duluan bersama anak gadisnya. Namun Datuk Berbangsa menolak. Mana mau dia meninggalkan isterinya. Dan anak gadisnya juga tak mau meninggalkan ibunya. Padahal si Ibu tak begitu parah sakitnya. Perempuan ini sebenarnya tak mau pergi dari kampung itu karena dia masih menunggu seorang anak lagi, si Bungsu!. Dia tahu suaminya tak menyukai si Bungsu.
Tapi dia seorang Ibu. Bagaimana dia bisa
membenci anak yang dia lahirkan, yang dia kandung selama sembilan bulan, yang
dia susui dari kecil, yang dia besarkan dengan air mata dan keringat? Dia
mengakui anaknya yang seorang itu tak bisa dididik. Tapi bagaimana seorang Ibu
akan membenci anaknya?. Demikianlah hati seorang Ibu. Jika sangat terpaksa,
sekali lagi ”jika sangat terpaksa”, dia lebih rela kehilangan suami dari pada
kehilangan anaknya.
Karena hari telah siang, untuk melarikan
diri tak mungkin lagi. Mereka khawatir akan bertemu dengan patroli Jepang.
Mereka lalu memutuskan untuk bersembunyi di loteng rumah. Bersembunyi dan
menanti malam berikutnya datang. Sementara itu, si Ibu tetap berharap, agar
siang ini si Bungsu pulang. Dia akan mem¬bujuk suaminya untuk membawa
serta anaknya itu mengungsi. Namun nasib mereka memang sedang malang. Persembunyian
mereka diketahui oleh serdadu yang tadi memeriksa rumah itu.
Serdadu itu melihat tangga naik ke loteng. Tangga itu rupanya tak ada yang membuang. Sebab semua sudah naik ke loteng. Siapa lagi yang akan membuang tangga? Waktu sudah kasip. Jepang sudah memasuki kampung. Maka mereka tetap bertahan di loteng itu sambil berdoa. Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan. Dan kini, Datuk itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat sebuah Samurai.
“Kau boleh memilih senjata Datuk …,” kata Saburo.
Serdadu itu melihat tangga naik ke loteng. Tangga itu rupanya tak ada yang membuang. Sebab semua sudah naik ke loteng. Siapa lagi yang akan membuang tangga? Waktu sudah kasip. Jepang sudah memasuki kampung. Maka mereka tetap bertahan di loteng itu sambil berdoa. Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan. Dan kini, Datuk itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat sebuah Samurai.
“Kau boleh memilih senjata Datuk …,” kata Saburo.
“Terima kasih. Saya dilahirkan oleh Tuhan
lengkap dengan bekal untuk melawan kekerasan dengan tulang yang delapan kerat”
suara Datuk itu terdengar perlahan.
Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak berkedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat. Datuk Berbangsa tegak dengan dua kaki dirapatkan.
Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak berkedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat. Datuk Berbangsa tegak dengan dua kaki dirapatkan.
Tatapannya lurus ke depan. Dia berdoa
dengan kedua tangannya menampung ke atas. Kemudian tangan kanan meraba dahi,
dan tangan kiri meraba dada di tentang jantung. Setelah itu memberi hormat
dengan tegak lurus dan kedua telapak tangan dirapatkan di depan wajah. Dia
memberi hormat dengan cara penghormatan Silat Tuo Pariangan. Yaitu silat induk
yang menjadi ibu dari silat-silat yang ada di Minangkabau.
“Engkau boleh menyerang duluan Datuk……,”
Saburo berkata.
Datuk Berbangsa tetap tegak dengan tubuh
condong sedikit ke depan. Matanya melirik ke tangan kanan Jepang besar di hadapannya.
Semua orang pada terdiam. Tak terkecuali Kapten Saburo sendiri. Ada sesuatu
yang membuat Kapten ini iri pada Datuk itu. Yaitu keyakinan pada kemampuan
dirinya. Dia sudah banyak menyaksikan kehebatan penduduk pri¬bumi di Indonesia
ini. Namun jarang yang punya keyakinan atas dirinya seperti Datuk ini. Biasanya
sesudah tertangkap, orang lalu berhiba-hiba minta ampun. Jika perlu dengan
membuka semua rahasia atau menjual harga dirinya. Tapi tak demikian halnya
dengan Datuk ini. Dia menantang berkelahi bukan karena dia kalap dan nekad.
Tapi karena dia memang seorang satria sejati.
Saat itu Datuk Berbangsa tengah melihat
betapa tangan kanan Jepang itu mulai bergetar dan secara perlahan pula,
hampir-hampir tak kelihatan, bergerak mili demi mili mendekati gagang
samurainya. Ini adalah gerakan pendahuluan. Tiba-tiba tangan itu bergerak
cepat. Dan saat itu pula Datuk Berbangsa melompat ke kiri kemudian berguling di
tanah dan tumitnya menghantam siku kanan Jepang itu. Sungguh sulit untuk
diceritakan. Kejadiannya demikian cepat. Demikian fantastis. Hampir-hampir tak
bisa dipercaya. Gerakan Samurai yang terkenal cepat itu terhenti tatkala
samurainya baru keluar separoh.
Siku si tinggi besar itu kena dihantam
tumit Datuk Berbangsa. Terdengar suara berderak. Jepang itu terpekik. Sikunya
patah! Dia mencabut samurainya dengan tangan kiri. Tapi gerakan ini juga
terlambat. Guru Silat Kumango itu telah mengirimkan sebuah tendangan lagi ke
selangkangnya. Tubuh Jepang itu terangkat sejengkal, kemudian tertegak lagi di
tanah. Mula-mula hanya agak hoyong. Masih berusaha untuk tetap tegak. Tapi
Datuk Berbangsa telah tegak dan mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan
kanannya ke leher Jepang itu.
Itu adalah sebuah serangan yang disebut
”Tatak Pungguang Ladiang” dari jurus Kumango yang terkenal ampuh. Tetakan
dengan sisi tangan itu mendarat di leher Jepang tersebut. Begitu suara berderak
terdengar, begitu nyawa Jepang itu berangkat ke lahat. Tubuhnya rubuh ke tanah
tanpa nyawa! Hanya dalam sekali gebrak, serdadu Jepang itu mati! Beberapa saat
suasana jadi sepi. Benar-benar sepi.
Keenam serdadu yang membuat lingkaran
besar itu ternganga. Kapten Saburo sendiri hampir-hampir tak mempercayai
matanya. Lelaki pribumi ini telah membunuh seorang samurai dari Jepang hanya
dengan tangan kosong. Mungkinkah ini? Apakah ini tidak semacam sihir? Tapi ini
memang kejadian. Dia tak melihat lelaki itu mempergunakan sihir sedikitpun.
Serangan itu benar-benar sebuah serangan silat yang telak dan tangguh dari
silat aliran Kumango!
Kini
Datuk Berbangsa tegak dengan kaki dipentang. Tegak dengan gagah menatap kepada
Kapten Saburo. Kapten itu memberi aba-aba dalam bahasa Jepang. Dua orang
serdadu maju ke depan. Kedua mereka juga menyisipkan samurai di pinggang.
Mereka kembali saling memberi hormat. Ini adalah per¬kelahian kaum satria.
Salah satu dari Jepang yang maju ini bertubuh pendek dan kurus. Gerakannya
gesit sekali. Yang satu lagi agak tinggi dengan tubuh sedang. Begitu habis
memberi hormat, begitu dengan cepat sekali mereka menghunus samurai dan
menyerang!
Datuk itu berbarengan
diserang dari muka dan belakang. Saburo dengan jelas sekali melihat kedua
prajuritnya masing-masing mengirim serangan tiga jurus. Berarti Datuk itu
diserang enam jurus dalam gebrakan pertama saja. Enam bacokan yang cepat dan
terarah! Namun ketika kedua Jepang itu kembali tegak dengan diam sambil
memegang samurainya, Datuk itu juga tegak tiga depa dari mereka dengan diam dan
tak kurang satu apapun! Luar biasa!!. Tanpa dapat ditahan, dan diluar sadar,
beberapa serdadu Jepang yang menyaksikan pada bertepuk tangan.
Saburo harus mengakui, bahwa Datuk itu
memang patut mendapat tepuk tangan dari serdadu. Tatkala kedua serdadu itu tadi
menyerang, Datuk Berbangsa segera bergulingan ke tanah. Dua kali bergulingan
dia berhasil menghindarkan dua bacokan. Kemudian seperti kucing dia melompat
bangun dengan gerakan seenteng kapas. Lompatannya tinggi dengan kaki dilipat.
Dengan gerakan yang diperhitungkan ini, empat bacokan berhasil pula dia
elakkan. Gerakan selanjutnya dia melompat dan menunduk sambil memutar. Gebrakan
pertama berakhir.
Kini mereka saling menatap. Yang bertubuh
agak sedang lambat-lambat mengingsut tegaknya. Telapak kakinya beringsut di
pasir mili demi mili. Kedua tangannya dengan kukuh memegang hulu samurai. Kini jarak
mereka hanya tinggal sedepa. Datuk Berbangsa memiringkan tubuh dengan jari
kanan lurus di depan dada dan sudut mata memandang pada mata Jepang itu. Mereka
tegak bertatapan. Tiba-tiba dengan sebuah pekik Bushido, sejenis pekik khas
para pesilat Samurai, serdadu itu membuka serangan.
Namun ternyata Datuk Berbangsa lebih cepat lagi. Dia ternyata cepat menangkap jurus-jurus Samurai. Setiap samurai pasti mengawali gerakannya dengan membawa samurai itu agak ke kanan atau ke kiri sedikit. Gerakan ini diperlukan untuk memberi kekuatan hayun bagi samurai itu bila dibacokkan.
Namun ternyata Datuk Berbangsa lebih cepat lagi. Dia ternyata cepat menangkap jurus-jurus Samurai. Setiap samurai pasti mengawali gerakannya dengan membawa samurai itu agak ke kanan atau ke kiri sedikit. Gerakan ini diperlukan untuk memberi kekuatan hayun bagi samurai itu bila dibacokkan.
Hanya saja, makin tinggi kepandaian
seorang samurai, makin tak kelihatan gerak mengambil ancang-ancang itu. Dan
makin cepat dan halus pula gerakannya. Jepang ini gerakannya cukup cepat. Namun
tak begitu cepat di mata Datuk yang guru silat Kumango ini. Sebagaimana
jamaknya pesilat-pesilat tangguh, dia tidak melihat pada gerakan senjata lawan.
Dia menatap langsung ke mata serdadu itu. Di sana pesilat-pesilat tangguh dapat
membaca kemana gerakan tangan dan kaki setiap lawan. Itulah yang dilakukan oleh
Datuk Berbangsa. Begitu tangan Jepang itu bergerak, dia segera mengetahui bahwa
tangan Jepang ini akan bergerak sedikit ke kanan.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (4)
Komentar
Posting Komentar