“Dekat pohon beringin, ada dua orang
lelaki pura-pura memancing. Tapi mereka adalah anggota Nevis. Mata-mata
Belanda. Mana ada orang memancing didekat akar beringin bukan? Di sana banyak
orang mandi. Mereka mata-mata yang konyol….” Emylia bicara sambil tetap menyuap
nasinya. Si Bungsu menatap ke arah beringin yang disebutkannya. Dan di bawah
pohon itu memang dia lihat kedua pemancing itu.
Sebenarnya bisa saja orang memancing
dimanapun. Tapi selain tempat itu ramai oleh orang mandi, hingga mustahil ada
ikan yang kesana, sikap kedua orang itu juga membuat si Bungsu hampir ketawa.
Kedua orang itu secara bergantian setiap
sebentar menoleh ke pintu penginapan. Sama sekali mereka tak menyadari, bahwa
mereka dimata-matai pula dari atas!
Si Bungsu meninggalkan jendela itu. Kembali
ke meja makan. Mata Emylia sudah berair, mukanya merah padam. Hidungnya juga
berair.
“Pedasy. Pedasy betul…” katanya menghapus
air mata. Namun dia melanjutkan juga menghabiskan nasinya. Selera makan si
Bungsu timbul melihat cara makan perempuan ini. Apalagi melihat gulai ikan
patin yang kini tinggal tulang belulangnya saja. Dia membuka bungkus nasinya
yang masih panas. Mencuci tangan. Dan mulai menyuap. Di depannya Emylia
menghembus-hembuskan nafasnya tiap sebentar karena kepedasan.
“He Salemo meleleh…nanti masuk mulut..”
si Bungsu berkata. Emylia tak mengerti apa yang dikatakan salemo, tapi karena
mata si Bungsu menatap pada hidungnya, dia segera bisa menebak bahwa salemo itu
pastilah air yang mengalir dari hidungnya. Mau tak mau si Bungsu juga ikut tertawa,
sikap perempuan cantik ini terasa lawak dihatinya.
Dalam waktu tak begitu lama, si Bungsu
selesai makan. Sementara Emylia menyuap gula pasir untuk menghilangkan pedas
yang menyengat mulutnya. Si Bungsu kini berfikir, bagaimana cara sebaiknya agar
perempuan ini mau beranjak dari biliknya. Dan Emylia memang membuktikan bahwa
dia adalah seorang ahli ilmu jiwa yang tangguh. Dengan senyum tetap dibibirnya
perempuan Amerika yang cantik ini lalu berkata:
“Sebelum anda usir saya keluar, lebih
baik saya permisi dulu bukan? Tapi ingat setiap saat tentara Belanda akan
datang kemari. Jika itu terjadi jangan malu-malu untuk meminta bantuan.
Betapapun di dunia ini kita tak bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan
bantuan orang lain. Itu namanya hidup bermasyarakat. Nah, istirahatlah….”
Berkata begini perempuan itu mengambil
bungkus nasi yang telah kosong itu. Kemudian keluar dari kamar, si Bungsu
menarik nafas lega. Lalu mempelajari kamar itu baik-baik. Kalau sergapan
Belanda datang dia harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Tak menggantungkannya
pada perempuan asing itu.
Dia meneliti jendela. Kalau dia keluar
dari jendela ini maka dia akan tiba di jalan didepan penginapan. Dari sana
rasanya tak mungkin menyelamatkan diri.
Belanda tentu meninggalkan pengawal di
depan penginapan untuk menjaga setiap kemungkinan. Dia kemudian menoleh ke
loteng. Tak ada bahagian yang bisa dibuka. Loteng penginapan itu terbuat dari
papan yang dipakukan memanjang.
Maka tak ada jalan lain. Kalau datang
lagi tentara Belanda menyergapnya jalan satu-satunya hanyalah melawan sampai
mati. Tapi kemungkinan lain tetap ada. Yaitu pindah dari penginapan ini. Dengan
adanya dua orang mata-mata Belanda di luar sana, yang pura-pura memancing itu,
berarti Belanda telah menduga bahwa dia menginap disini. Kini bagaimana keluar
dari sini tanpa tak diketahui kedua orang mata-mata jahanam itu?
Dia raba lehernya. Berbalut dengan
perban. Si Bungsu akhirnya memutuskan untuk istirahat sebentar. Dia harus
mengumpulkan kekuatan dulu, Dia sudah bertekad untuk keluar dari penginapan
ini. Dengan kesimpulan begitu dia lalu kembali membaringkan diri di atas tempat
tidur dan meletakkan samurainya disampingnya. Dan matanya mulai memberat. Dia
mendengar suara kaki melangkah dijenjang penginapan. Ada orang naik ke atas. Suara
langkah itu sangat perlahan, tapi bagi telinganya yang sangat terlatih, suara
itu amat jelas. Dia lihat pintunya didorong perlahan. Dia memegang samurai.
Pintunya terbuka sedikit. Dia pura-pura tidur. Tapi bukan pura-pura, matanya
memang sangat berat. Dia berusaha bangkit, tak bisa!
Kenapa tidak bisa? Dia buka matanya.
Terbuka sedikit. Tapi tubuhnya terasa letih sekali. Di pintu sebuah kepala
muncul. Dan dia segera mengenali wajah itu. Wajah salah seorang dari mata-mata
yang tadi memancing di bawah sana.
Lelaki itu menatapnya. Kemudian masuk ke
bilik. Ditangannya sebuah pisau. Si Bungsu berusaha mencabut samurai tapi tak
bisa. Benar-benar tak bisa! Lelaki itu mengangkat pisaunya. Dan si Bungsu
merasa betapa tangan kirinya disayat oleh pisau itu. Darah mengucur keluar.
Tapi lelaki itu tak meneruskan niatnya.
Dia kemudian keluar dari kamar itu. Si Bungsu diantara rasa rasa kantuk dan
lelahnya amat sangat, hanya bisa menatap. Kenapa mata-mata Belanda itu tak mau
membunuh?
Tapi dia segera ingat sesuatu, Racun! Bukankah
dia telah terluka dilehernya dengan pisau beracun. Dan meski dia tak ditikam
langsung di jantungnya dia juga akan segera mati karena racun itu. Jahanam,
benar-benar jahanam.
Atau barangkali dia memang tak dibunuh
dengan sesuatu kesengajaan. Yaitu agar dia tetap hidup sampai Belanda datang
menangkapnya? Racun itu hanya sekadar untuk melumpuhkannya saja. Dia melihat
tangan kirinya yang luka. Darah mengalir membasahi alas kasur. Rasa lelahnya
dia tekan. Kantuknya lenyap melihat luka dan karena berang dihatinya.
Dia bangkit. Meski dengan perasaan tak
stabil dia berjalan ke pintu. Dan saat itu dia lihat lelaki tadi memasuki kamar
Emylia.
Perempuan itu tengah berbaring tak
berbaju ketika kedua lelaki yang pura-pura memancing itu masuk. Perempuan itu
kaget.
“Mau apa kalian masuk…..?” bentaknya
sambilbangkit tanpa mempedulikan dadanya yang telanjang. Namun kedua lelaki
pribumi itu menatapnya dengan jijik.
“Mata-mata jahanam!” kedua lelaki itu
mendesis. Dan sebelum Emylia sempat berbuat apa-apa yang seorang menghujamkan
pisau ditangannya ke dada perempuan tersebut.
Perempuan itu tersentak. Terhenyak ke
kasus. Lelaki itu mencabut pisaunya. Darah menyembur. Dan kedua lelaki itu
cepat mengindar ketika diluar sana terdengar suara deru mobil berhenti di depan
hotel. Ketika mereka keluar dari bilik, mereka berpapasan dengan si Bungsu. Si
Bungsu masih sempat melihat Emylia terbaring dengan darah membasahi dada.
“Jahanam. Mata-mata jahanam!” si Bungsu
berteriak sambil mencabut samurainya. Tapi kedua lelaki itu telah jauh di gang
penginapan tersebut. Di bawah suara derap sepatu terdengar memasuki penginapan.
“Ikut kami kalau kau mau selamat!” salah
seorang diantara lelaki itu berkata pada si bungsu. Anak muda itu mendengar
suara derap sepatu di bawah jadi sadar bahwa Belanda datang untuk menangkapnya.
Sesaat dia menoleh pada Emylia. Perempuan itu juga kebetulan tengah menatap
padanya. Dia tak sampai hati membiarkan begitu saja perempuan yang telah
membantunya itu.
Dan melangkah masuk. Membungkuk dekat
tubuh Emylia.
“Larilah… Bungsu…. Belanda datang untuk
menangkapmu. Aku…. Aku mencintaimu…Bungsu!” dan matanya terpejam. Dan dia
mati…!
“Jahanam! Kubunuh mereka!” si Bungsu
memaki. Dan dia mendengar suara langkah sepatu mulai menaiki jenjang menuju ke
tingkat atas dimana dia berada. Dengan cepat dia lari keluar. Di ujung gang,
mata-mata tadi masih tegak, nampaknya dia menghalangi jalan si Bungsu untuk
keluar.
Si Bungsu bergegas menoleh ke jendela
depan. Di bawah ada selusin Belanda siap menanti dengan bedil terhunus.
Akhirnya dia berlari ke arah mata-mata itu. Betapapun jua, mata-mata itu lebih
mudah membunuhnya. Dan dengan membunuh mata-mata Belanda keparat itu dia bisa
meloloskan diri lewat gang kecil ke belakang!.
Ketika lewat didekat tangga bawah,
seorang serdadu Belanda telah muncul kepalanya. Tangga naik itu hanya untuk
ukuran seorang. Sambil berlari si Bungsu menghunus samurai, dan membacokkannya
ke leher serdadu itu.
Tengkuk serdadu itu hampir putus. Dan
tubuhnya melosoh turun. Menimpa dan membawa jatuh empat teman-temanya yang
berada dihadapannya.
Setelah itu si Bungsu meneruskan larinya
ke arah mata-mata itu.
“Ikut kami…!” mata-mata itu berkata
sambil bergegas turun lewat pintu kecil itu. Si Bungsu memang tak mempunyai
pilihan lain. Jalan kecil ini memang satu-satunya jalan untuk keluar. Dia
menuruni anak tangga dan tiba disebuah gang kecil yang terletak di belakang
beberapa buah bangunan.
Kedua mata-mata tadi lari
menyelinap-nyelinap. Dan si Bungsu memburunya terus. Tapi dia merasa heran
juga. Kenapa kedua mata-mata Belanda ini justru menjauh dari para Belanda yang
mengepung penginapan itu?
Beberapa kali lagi mereka membelok
diantara gang. Masuk ke kebun, lari terus. Masuk ke bawah kolong rumah. Lari
terus. Masuk lagi. Nerbelok lagi. Dan tiba-tiba kedua mata-mata itu lenyap. Si
Bungsu tertegak kehilangan arah.
Azan magrib terdengar sayup-sayup. Dia
melangkah ke depan. Dan tiba-tiba dia dengar seseorang memanggil perlahan. Dia
menoleh. Mata-mata tadi! Mata-mata itu memberi isyarat untuk masuk ke sebuah
rumah. Si Bungsu ragu sejenak.
Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk
ikut. Dia melangkah memasuki sebuah rumah tua. Di dalamnya tak ada apa-apa. Di
ujung sana mata-mata tadi kelihatan menuju keluar. Dia mengikuti terus. Ada
beberapa buah gang lagi.
Dan tiba-tiba saja berada dalam sebuah
rungan yang diterangi oleh lampu-lampu lilin yang antik. Dan didalam ruangan
itu ada sekitar sembilan lelaki.
Mereka semua tegak begitu si Bungsu
masuk. Dan si Bungsu segera saja mengenali lelaki yang tegak paling depan.
Dia adalah pejuang yang melukai lehernya
di pasar Tengah siang tadi! Lelaki itu menyongsongnya. Mengulurkan tangan dan
mereka bersalaman.
“Selamat datang di kota kami Bungsu.
Maafkan kekhilafan saya siang tadi. Hmm, lukanya sudah diperban…” lelaki itu
berkata dengan hangat.
“Kenalkan ini teman-teman saya. Ini
Letnan Badu. Pemimpin front Simpang Tiga. Ini sersan Yunus….” Lelaki itu
memperkenalkan semua yang hadir.
“Dan ini kpral Aman dan prajurit Asir.
Mereka yang mengawasi engkau di penginapan ditepi sungai Siak itu….” Si Bungsu
tertegun mendengar penjelasan ini. Kedua lelaki itu adalah mata-mata yang dia
duga dan juga diduga Emylia sebagai mata-mata Nevis.
Kedua lelaki itu tersenyum ketika
menyambut uluran tangan si Bungsu.
“Oh ya, tentang diri saya. Nama saya
Nurdin. Saya pemimpin front Pekanbaru ini…” lelaki itu memperkenalkan dirinya.
Si Bungsu segara terlibat dalam pembicaraan dengan pejuang-pejuang di Kota
Pekanbaru itu.
Pejuang-pejuang itu ternyata juga sudah
mendengar cerita tentang diri si Bungsu jauh sebelum si Bungsu sampai di
Pekanbaru.
“Siang tadi, waktu dikedai kopi itu saya
memang curiga pada saudara. Soalnya saya pernah kecolongan sebulan yang lalu.
Yaitu ketika Jepang masih berkuasa. Saya mengenal hampir tiap orang di kota
ini.
Saudara tak saya kenal, dan saya selalu
curiga terhadap semua orang baru. Sebab Belanda biasanya mengirim orang-orang
baru untuk jadi mata-matanya. Sebab semua mata-mata Nevis di kota ini kami
kenali dengan baik…..” Nurdin yang berpangkat Kapten itu menjelaskan tentang
pertemuan mereka di kedai kopi siang tadi.
“Ya, tapi saya hampir saja mati kena
pisau beracun Saudar…” si Bungsu menyela. Dan semua mereka tertawa. Kapten itu
menceritakan kembali pada semua teman-temannya tentang peristiwa mula pertama
dia didekati si Bungsu. Kemudian dia bentak untuk tak meletakkan tongkatnya di
atas meja. Sampai pada dia melempar si Bungsu dengan dua buah pisau. Kemudian
dia menyergap si Bungsu dan mengancam lehernya dengan pisau. Lalu pada
peristiwa bagaimana si Bungsu melepaskan dirinya dari sergapan itu dan
menghabisi Belanda-Belanda itu.
Mereka bercerita dengan asik.
“Tapi ada yang saya ingin tahu. Yaitu
perempuan Amerika yang di penginapan itu….” Si Bungsu akhirnya tak dapat untuk
tak menanyakan hal itu pada Kapten Nurdin.
“Oh ya. Saya yang memerintahkan untuk
membunuhnya….”
“Kenapa harus dibunuh? Bukankah dia orang
Amerika? Dan bukankah dia ahli sejarah yang akan menyelidiki kerajaan Siak Sri
Indrapura?”
Kapten itu menarik nafas dalam.
“Demikian yang tertulis di paspornya.
Tapi kami sudah mendapatkan informasi jelas. Kedua orang itu sebenarnya orang
Kanada dan mempergunakan paspor palsu.
Mereka adalah bangsa Belanda yang
kebetulan lahir di Kanada. Mereka memang profesor pubakala. Tapi mereka telah
melakukan kegiatan mata-mata mulai dari Jakarta, Bandung, Medan dan kini di
Kota ini. Perempuan cantik itu memang meta-mata yang sempurna. Di kota ini saja
tak kurang dari sepuluh perwira Jepang yang masuk perangkapnya.
Dia menjebak para perwira itu ketempat
tidur. Kalau cara itu tak dapat menaklukan perwira itu untuk membukakan rahasia
militer Jepang di kota ini, mereka mempergunakan sistim racun. Rahasia yang
diperoleh lalu dikirim dengan radio ke Singapura.
Dan sepuluh hari yang lalu, dua orang
letnan kita juga masuk kedalam perangkapnya. Kedua letnan itu akhirnya dibunuh
di Tanjung Rhu. Kami sudah berbulan-bulan dibuat pusing oleh bocornya
rahasia-rahasia militer. Tak taunya, dia lah biangnya.
Telah tiga kali kami mengikuti dia dan
berhasil memergoki dia memasuki markas rahasia Belanda yang dari luar seperti
rumah biasa. Setiap dia masuk ke rumah itu, sehari kemudian pasti ada
pengebrekan dan korban pihak kita berjatuhan.
Akhirnya kami berhasil mencuri paspornya
dan dikirim salinannya ke Jakarta. Dari sana didapat jawaban, bahwa perempuan
ini adalah seorang mata-mata yang berbahaya. Demikian juga suaminya”.
Si Bungsu hampir-hampir tak percaya akan
pendengarannya. Tapi ketika Kapten itu menunjukkan bukti-bukti berupa radiogram
dari markas pejuang, maka dia jadi yakin. Hanya yang jadi tanda tanya baginya
adalah, kenapa Emylia menyelamatkan nyawanya dari luka beracun itu? Dan kenapa
perempuan itu juga menyelamatkan dirinya dari tangkapan Belanda ketika Belanda
menggedor kamar hotel?
Bukankah perempuan itu tegak ke pintu
tanpa baju, mengatakan bahwa yang berbaring itu adalah suaminya yang sakit?
“Saya melihat saudara ragu dengan
penjelasan saya…” Kapten Nurdin berkata.
“Tidak. Saya tak meragukannya. Tapi yang
saya ragukan adalah beberapa soal…” dan si Bungsu menceritakan soal bagaimana
perempuan Kanada itu mengobati lukanya. Kemudian menyelamatkan dari tangkapan
Belanda.
Kapten Nurdin tak menjawab segera. Tapi
dia baru menjelaskan hal itu ketika mereka hanya tinggal berdua saja.
Bersambung ke….. Tikam Samurai (39)
Komentar
Posting Komentar