Kapten Nurdin telah menembaknya sesaat
sebelum Letnan itu menembakkan pistolnya pada si Bungsu yang memangku Kopral
Aman. Dia bergegas. Dan mereka melompat ke atas Jeep. Jumlah mereka lengkap
tujuh orang. Dan kini delapan dengan Tuang. Jeep itu batuk-batuk sebentar.
Dia starter lagi dengan mempertemukan
kawatnya. Dan Hidup! Jeep itu seperti melompat. Keluar dari halaman markas.
Dari jauh terdengar suara deru mobil datang.
“Ke kanan!” Kapten Nurdin berteriak.
Mobil itu berbelok ke kanan. Lampu truk militer kelihatan datang dari arah
kiri. Jeep mereka rasanya ada yang tak beres. Berjalan lambat.
Sersan Kadir melompat turun.
“Kadir! Naik cepat!” Kapten Nurdin
berteriak.
“Saya akan menghalangi mereka pak.
Teruslah bapak!” Dia berkata sambil berlari lagi ke halaman markas. Tak ada
kesempatan bagi Kapten Nurdin untuk berlalai-lalai. Dia menyuruh Jeep itu
terus.
Sementara Sersan Kadir segera menaiki
Jeep yalng telah dikempeskan itu. Dia merenggutkan kabel kontak. Melekatkannya
diluar dengan ketenangan yang mengagumkan. Lalu menghidupkan mesin dan
meletakkan Jeep itu persis di tengah jalan yang akan dilewati truk Belanda yang
baru datang itu. Tapi ketika akan lurus
Belanda menembakknya. Kadir mati di Jeep itu.
Jeep mereka melaju menuju ke arah Sail.
Yaitu suatu daerah di luar kota yang masih berada dibawah kekuasaan tentara
Belanda.
Pak Tuang pemilik penginapan itu dirawat
di Kampung Sail tersebut. Tubuhnya cukup parah dipermak Belanda.
“Tolong kabarkan pada keluarga saya
dikampung, bahwa saya masih hidup….” Pemilik penginapan itu berkata esoknya.
Sebab berita dia tertangkap oleh Belanda sudah sampai ke kampungnya. Yaitu ke
Buluh Cina melalui penjual-penjual ikan yang datang ke Pekanbaru setiap pagi
dengan sepeda.
“Ya. Saya akan menugaskan seorang untuk
menyampaikan hal itu ke kampung bapak..” Kapten Nurdin berkata perlahan.
“Hati-hati. Di Simpang Tiga Belanda
memperketat penjagaannya. Mereka tahu bahwa pejuang-pejuang kini banyak yang
menyelusup ke kota. Dan pejuang-pejuang itu umumnya datang dari arah Taratak
Buluh….” Tuang memberi penjelasan yang berhasil dia monitor dari markas Belanda
ketika jadi tahanan itu.
“Terimakasih….” Jawab Kapten Nurdin.
Dan sore itu, tiga orang pejuang yang
berasal dari barisan Fisabilillah berangkat ke Buluh Cina dengan sepeda.
Sebenarnya hanya ada dua orang anggota Fisabilillah. Yang satu lagi adalah si
Bungsu.
Dia ikut ke Buluh Cina karena kapal yang
dia nanti-nantikan untuk berangkat ke Singapura atau Jepang itu tak kunjung
datang. Beberapa orang malah mengatakan, untuk ke Singapura mungkin lebih baik
lewat sungai Kampar. Dari sana banyak penyelundup-penyelundup membawa getah ke Singapura.
Mereka memakai tongkang atau
sampan-sampan besar menghiliri sungai Kampar. Kemudian lewat di pulau-pulau
yang ada di Laut Cina Selatan, terus menyelundup ke Singapura atau Malaya. Si
Bungsu sebenarnya kurang tertarik untuk ikut dengan para penyelundup itu.
Sebab, tujuan utamanya bukan ke Singapura. Melainkan Jepang.
Namun karena di Pekanbaru tak ada
pekerjaan yang akan dia lakukan, dia memutuskan untuk ikut ke Buluh Cina. Apa
lagi kampung itu adalah kampungnya Kapten Nurdin. Hanya saja Kapten itu tak
ikut bersama-sama mereka.
“Pergilah, disana ada sungai atau danau
dimana engkau dapat menenangkan dirimu. Memancing atau berenang…..” Kapten itu
membujuk si Bungsu untuk ikut serta bersama kedua anak buahnya. Dan si Bungsu
memamng memilih untuk ikut serta. Mereka berangkat pukul dua. Kalau tak ada
aral melintang, mereka akan sampai di kampung itu sekitar jam enam. Sepanjang
jalan dalam kota, kelihatan pasukan Belanda berjaga dengan ketat.
Mereka mengayuh sepeda keluar kota dengan
tenang. Di Kampung Simpang Tiga, dimana terletak sebuah lapangan udara kecil,
penjagaan Belanda nampak makin banyak.
Belanda nampaknya mempergunakan kampung
kecil ini sebagai basis perbatasan antara kota yang mereka kuasai dengan
kantong-kantong perjuangan yang dikuasai tentara Indonesia.
Mereka disuruh berhenti di persimpangan
menuju ke Taratak Buluh. Satu-satu disuruh masuk ke sebuah kamar kecil dimana
dua orang tentara KNIL mengadakan pemeriksaan dengan ketat.
Mula-mula yang masuk adalah si Bungsu.
Dia berniat membawa samurainya. Namun Korip temannya menggeleng perlahan. Si
Bungsu menangkap isarat itu. Dia segera ingat, kalau Belanda mengetahui bahwa
dia membawa samurai, maka itu akan membahayakannya. Bukankah Belanda sudah
mengetahui, bahwa teman-teman mereka dibunuh oleh seorang anak muda yang
membawa samurai kemana-mana?
Dengan pikiran demikian, si Bungsu masuk
ke kamar penjagaan itu teanpa membawa apa-apa. Samurainya tetap dia tinggalkan
dengan mengikatkannya ke batang sepeda yang dia bawa. Sepeda itu dia sandarkan
di pohon kelapa didepan rumah penjagaan itu.
Dengan tenang dia masuk kedalam.
“Buka pakaian….” Seorang sersan KNIL
memerintah. Si Bungsu agak tertegun. Orang yang memerintahkannya ini kulitnya
sama dengan dirinya. Meski kulit KNIL itu lebih hitam, tapi dia yakin bahwa
tentara Belanda itu pastilah orang Indonesia juga.
Perlahan dia membuka bajunya. Srsan itu
memberi isyarat pada prajurit yang satu lagi. Prajurit itu memeriksan isi
kantong baju si Bungsu. Mengeluarkan sebuah kartu keterangan diri. Kemudian
sehelai saputangan.
“Mau kemana?” sergeant itu bertanya dalam
aksen Melayu tinggi yang fasih.
“Ke Buluh Cina tuan…”
“Mengapa ke sana..?”
“Pulang ke kampung tuan…” dia menjawab
mngikuti petunjuk Kapten Nurdin pagi tadi.
“Apa kerjamu di kampung?”
“Memotong getah tuan…”
Sergeant KNIL itu memegang tangn si
Bungsu. Si Bungsu tetap tenang. KNIL itu melihat betapa pada pangkal jari-jari
tangan anak muda itu kelihatan benjolan yang mengeras. Dan dia jadi yakin bahwa
anak muda ini memang seorang penakik getah. Sebab benjolan yang mengeras
ditelapak tangannya itu membuktikan bahwa dia memang selalu memegang benda
keras.
Tanda demikian itu tak terdapat pada
pedagang ikan yang tiap pagi mengayuh sepeda atau pada pejuang yang hanya
memegang bedil.
“Dimana tinggal di Buluh Cina….” KNIL itu
menatap wajah si Bungsu. Seperti mencari sesuatu diwajahnya itu. Si Bungsu
hanya diam. Dan akhirnya sersan KNIL itu menyuruhnya kembali berpakaian. Dan
menyurhnya keluar.
Si Bungsu mengambil spedanya. Berdiri
dengan memegang sepeda itu di jalan raya. Menanti kedua temannya yang masuk ke
dalam. Dia menarik nafas-nafas lega. Telapak tangannya ada benjolan mengeras
adalah karena tiap hari dia melatih dirinya dengan samurai. Tapi siapa nyana,
bekas tangannya itu justru bisa menyelamatkan dirinya saat ini.
Tiba-tiba dia kaget mendengar bentakan
dari dalam kamar pemeriksaan. Dan tak lama kemduain disusul dengan suara
tamparan. Dia mulai mempelajari situasi. Kalau terjadi apa-apa, andainya kedua
temannya itu diketahui bahwa mereka adalah pejuang maka dia akan susah untuk
melarikan diri.
Sebab sekitarnya ada kira-kira dua belas
tentara Belanda yang menjaga dengan bedil terhunus. Mereka memang seperti tak
acuh saja. Tapi kalau kedua temannya itu tertangkap, maka dia tentu akan
ditangkap pula. Dan kalau dia berusaha melarikan diri, maka tentara Belanda
yang diluar ini pasti siap untuk merajamnya dengan semburan peluru.
Dia menanti dengan tegang.
Tak lama kemudian, kelihatan kedua
temannya itu keluar dengan mulut dan hidung berdarah. Mereka mengambil
sepedanya. Lalu mengangguk pada si Bungsu. Dan ketiga orang ini, di bawah
tertawaan tentara Belanda yang ada di luar mengayuh sepeda mereka ke arah
Teratak Buluh.
“Jahanam. Belanda hitam yang benar-benar
jahanam” Bilal yang kena tampar itu menyjmpah-nyumpah sambil menghapus darah
dari hidungnya.
“Nanti suatu saat, dia akan menerima
balasan. Akan kuhancurkan kepala mereka dengan bedilku…” Suman yang mulutnya
berdarah juga menyumpah.
“Kenapa kalian sampai kena tampar…?” si
Bungsu bertanya sambil mengayuh sepedanya.
“Kami tak menyanggupi untuk mencarikan
mereka perempuan” Suman menjawab.
“Belanda jahanam. Awaslah kau….!” Sambung
Suman. Dan mereka terus mengayuh sepeda melewati jalan berpasir dan berkerikil
kecil dari Simpang Tiga itu menuju perhentian Marpuyan. Di perhentian Marpuyan
yang merupakan sebuah kampung kecildimana jalan
bersimpang ke Buluh Cina, mereka minum disebuah kedai kecil.
“Masih jauh dari sini Buluh Cina itu?” si
Bungsu bertanya begitu selesai meminum
air kelapanya yang terasa sejuk dan nikmat.
“Dari sini delapan belas kilometer. Kita
akan sampai di desa Kutik. Dari sana menurun, kalau air Batang Kampar banjir, dari sana kita bisa
naik sampan ke Buluh Cina. Kalau tidak, kita bisa naik sepeda atau jalan
kaki….”
“Apakah patroli Belanda tak sampai
kemari?”
“Terkadang juga sampai. Meski ini daerah
Republik, tapi mereka selalu datang kemari memburu pejuang…”
“Tiap hari mereka lewat?”
“Tidak menentu…” pemilik kedai yang sejak
tadi hanya mendengarkan, kini ikut bicara.
“Sudah tiga hari ini mereka selalu
datang. Mereka mensinyalir didekat Bancah Litubat disana, disebuah rumah,
bersembunyi dua orang pejuang yang telah membakar pos penjagaan mereka di
Simpang Tiga dua minggu yang lalu…”
“Ada yang mereka tangkap dari kampung
ini?”
“Lelaki tidak”
“Apa maksud bapak dengan ucapan lelaki
tidak?”
“Mereka memang tak menangkap seorang
lelakipun. Tetapi sebagai gantinya, mereka menangkap seorang gadis dan ibunya.
Alasannya sederhana saja. Mereka ingin meminta keterangan. Dan keterangan itu
menurut mereka diketahui oleh kedua anak beranak itu. Sebab mereka tinggal
dekat rumah yang dicurigai itu..”
“Apa latar belakang yang sebenarnya?” si
Bungsu bertanya meskipun dia sudah bisa menduga.
“Latar belakangnya hanya satu. Gadis itu
cantik. Itu alasan penangkapannya. Dan ketika dia ditangkap bersama ibunya, tak
seorang pun yang bisa membela. Dia tak punya ayh. Sementara kaum lelaki
dikampung ini tak berdaya. Daripada ditangkap dan disiksa Nevis lebih baik diam
saja…”
“Bila mereka menangkapnya?”
“Sudah dua hari”
“Tak ada yang mengetahui dimana mereka
ditahan?”
Pertanyaan si Bungsu belum terjawab,
ketika dari kejauhan terdengar bunyi mobil. Semua mereka menoleh. Dari arah
Simpang Tiga kelihatan debu mengepul. Dan dari derunya diketahui bahwa
kendaraan yang mendekat itu adalah sebuah Jeep.
Mata si Bungsu yang amat tajam mengetahui
diatas Jeep itu ada enam manusia. Dua perempuan, empat tentara. Rasa bencinya
pada penjajah yang melaknati kaum wanita Indonesia itu tiba-tiba berkobar
didadanya.
Sebenarnya seperti yang pernah dikatakan
di Bukittinggi dahulu, yaitu ketika meolak penghargaan dari para pejuang itu,
dia tak punya sangkut paut dengan perjuangan kemerdekaan.
Kinipun sebenarnya dia tak berniat untuk
jadi pejuang. Atau tak pula bertindak sok pejuang. Yang muncul dalam hatinya
adalah kebencian pada orang yang menjajah negerinya. Yang menyakiti kaum
lelaki, kanak-kanak. Dan menodai kaum wanitanya.
Rasa benci inilah yang membakar dadanya.
Bukan niat untuk jadi pahlawan atau pejuang. Dan saat ini, setelah menyaksikan
betapa tadi kedua temannya ditampari hingga mulut dan hidung mereka berdarah,
kemudian mendengar cerita pemilik kedai ini tentang anak gadis yang tertangkap
tanpa sebab itu, kebenciannya jadi menyala.
Dan segara saja sebuah rencana muncul
dikepalanya. Dan dia berniat melaksanakan rencana itu, empat orang. Hmmm,
jumlah mereka hanya empat orang, pikirnya.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (41)
Komentar
Posting Komentar