“Dia disana?”
“Ya, begitu katanya tadi”
Si Bungsu jadi tertarik. Dia sudah
melihat betapa para serdadu Jepang di Minangkabau dahulu berkelahi dengan
tangguh dengan mengandalkan Karate atau Judo. Dia sangat mengaguminya.
Karenanya dia ingin melihat tempat latihan itu.
Dia pernah dengar nama Budokan. Yaitu
pusat latihan Judo dan Karate di Tpkyo. Kiranya inilah gedungnya.
“Akan ke sana?” Hanako bertanya.
Si Bungsu mengangguk.
“Akan saya suruh Naruito mengantarkan.
Oto-san antarkan Bungsu-san ke Budokan…”
Naruito muncul. Tersenyum pada si Bungsu.
Si Bungsu membalas senyum adik Kenji yang paling kecil ini.
Kemudian mereka berangkat. Melangkah
dihalaman rumah mereka yang terbuat dari batu bulat-bulat tipis.
Kemudian menusuri jalan Uchibori. Lalu
berbelok ke kanan. Melalui jalan selebar dua meter menuju ke gedung Budokan
itu. Jalan yang terbuat dari semen.
“Budokan ini semacam gedung serba guna….”
Naruito bercerita, ”disini sering diadakan pertandingan Judo, Karate atau
pementasan besar lainnya. Ruang latihan Karate ada disamping kanan. Ruang
latihan Judo disudut kiri. Nah, kita akan ke ruang utama…”
“Kenapa harus ke sana. Bukankah kita
melihat Kenji?’
“Ya, Kenji-san pasti ada di ruang utama.
Kini ada ujian kenaikan tingkat bagi pemegang Sabuk Hitam…”
Si Bungsu jadi sangat tertarik. Mereka
memasuki gedung itu dari arah Selatan. Yaitu dari pintu utamanya.
Dan disaat mereka masuk, disaat itu pula
nama Kenji dipanggil. Di ruang tengah kelihatan ada sekitar enam puluh Karateka
pemegang Sabuk Hitam. Duduk berjejer dengan diam.
Di seberang mereka kelihatan benda-benda
tersusun.
“Abang akan ujian memecah benda-benda
keras…” Naruito bicara perlahan. Kenji nampak tegak di tengah. Membungkuk ke
arah Utara, dimana disana ada seorang lelaki gemuk duduk di lantai Tatami
dengan bendera Jepang besar dilatar belakangnya.
Terdengar aba-aba. Dan Kenji menuju ke
susunan batu genteng setinggi pinggang.
Bungsu menatap dengan tegang. Kenji
melakukan konsentrasi. Dan memukul genteng itu perlahan sekali. Lalu mengangkat
tangannya. Ada tiga kali hal itu dia lakukan, seperti memukul tapi hanya
meletakkan tangannya saja.
Kemudian dia mengangkat tangannya kembali
kesisi pinggang. Dan seiring dengan teriakan yang mengguntur pukulannya
meluncur keras ke bawah. Terdengar suara berderam. Dan genteng setinggi
pinggang itu ambruk semua!
Si Bungsu kaget melihat kekuatan ini.
Lalu disusul dengan ujian pemecahan benda keras lainnya.
Empat orang Karateka Sabuk Coklat maju.
Di tangan mereka terpegang papan setebal dua jari dengan ukuran empat segi.
Mereka membuat lingkaran disekitar Kenji.
Kenji tegak ditengah dan kembali
memusatkan konsentrasi. Ketika aba-aba “Hajime” (mulai) terdengar, dengan cepat
sekali tangan dan kakinya bekerja menghantam keempat papan yang diatur dan
dipegang oleh keempat karateka itu.
Yang pertama adalah pukulan tangan kanan
lurus ke papan yang seukuran dada. Papan tebal itu pecah dua. Gerakan
berikutnya adalah menendang melingkar ke papan yang ada di sebelah kiri yang
ditaruh setinggi kepala.
Papan itu kena tendang dengan bantalan
dipangkal jari kaki persisi ditengah. Dan patah dua! Masih dalam gerakan yang
sama, Kenji berputar menghantam papan ditangan Karateka yang ketiga. Papan itu
dia hantam dengan ujung-ujung keempat jari kanannya. Persisi seperti orang
menikam sesuatu.
Papan yang ditaruh setinggi dada itu
anjlok! Pecah dua. Dan dengan pekikan kuat, tubuhnya melambung dan tendangan sambil
melompat yang dia lakukan menghantam papan ke empat.
Papan keempat ini dipegang dengan kuat
dan ditaruh jauh di atas kepala karateka yang keempat. Untuk mencapainya dengan
tendangan, Kenji harus melompat terlebih dahulu.
Tapi papan itu kembali hancur dimakan
kakinya.
Tak ada tepuk tangan. Ujian ini dianggap
hal yang lumrah saja. Para Karateka yang puluhan jumlahnya itu yang kesemuanya
bersabuk hitam, pada memandang dengan wajah tenang.
Kenji menarik nafas dan menghapus peluh.
Kini tiba gilirannya ujian Kumite bebas.
Yaitu ujian perkelahian.
Karateka yang telah menempuh ujian
terdahulu maju ke depan. Mereka saling berhadapan. Seorang Karatekan lain maju
ke tengah. Nampaknya dia adalah salah seorang sensei (pelatih)nya.
Dia memerintahkan memberi hormat.
Kemudian memberi aba-aba untuk mulai.
Mereka mencari posisi.
Saling mengintai. Tiba-tiba lawan Kenji
membuka serangan dengan mengirimkan sebuah tendangan kilat ke lambung Kenji.
Kenji menyilankan tangannya ke bawah. Sebuah tendangan Mae Geri ditangkis dengan
tangkisan Gedan Juji Uke yang menyilang.
Namun disaat itu pula pukulan tangan
kanan lawan Keji meluncur dengan cepat sekali.
“Waza ari Oui-tsuki!” instruktur itu
memberi isyarat kemenangan ke arah lawan Kenji. Naruito adik Kenji menahan
nafas.
Kedua orang itu saling intai lagi.
Saling maju, saling mundur, saling
gertak. Suatu saat kaki kanan Kenji menyapu kaki kiri lawannya yang ada di
depan. Teknik sapuan Ashi Barai yang sempurna.
Keseimbangan lawannya lenyap, tubuh
lawannya miring ke kiri. Dan saat itulah pukulan kanan Kenji meluncur dengan
cepat ke arah pelipis kiri lawannya.
Terdengar suara pukulan mendarat. Lawan
Kenji terpekik dan tubuhnya terbanting ke lantai. Si Bungsu menarik nafas lega.
Hampir saja dia bertepuk tangan. Namun di bawah sana terdengar bentakan guru
besar yang duduk di depan bendera Jepang itu.
“Hansoku mate!” katanya sambil menunjuk
pada Kenji. Kenji berlutut dan memberi hormat dalam-dalam. Lawannya yang
tergolek dengan mulut berdarah itu digotong oleh karateka-karateka yang lain.
“Abang dihukum…” Naruito berkata
perlahan.
“Dihukum..?” tanya si Bungsu kaget.
“Ya, dia melakukan kesalahan yang berat.
Mencederai lawannya”
“Mencederai? Bukankah pukulannya masuk
dengan telak?”
“Ya. Telak dan tak terkontrol. Itu
terlarang dalam karate. Setiap karateka harus mampu mengontrol pukulannya.
Kontrol pukulan sebagai simbol dari kontrol diri. Orang yang tak bisa
mengontrol pukulan, tandanya tak mampu pula mengontrol diri di luaran. Orang
yang begini berbahaya bila tak diawasi. Sebab di negeri ini ada peraturan,
setiap pemegang sabuk hitam Karateka disamakan dengan seseorang yang memakai
senjata tajam…”
Si Bungsu tak dapat mengerti keseluruhan
ucapan Naruito. Dan ketika di pintu keluar dia bertemu dengan Kenji, dia lihat
temannya itu tersenyum kecut.
“Saya kurang latihan….” Kenji berkata
sambil menghapus peluh diwajahnya.
“Tapi engkau sanggup memecah genteng,
memecah empat papan penguji, dan memukul roboh lawanmu Kenji-san” si Bungsu
berkata mengerti.
“Ya, saya lulus dalam ujian memecah
benda-benda keras. Tapi tak lulus dalam ujian Kumite. Kau ingat peristiwa saya
dipukul penumpang di bawah kerek di kapal dulu Bungsu-san?”
Si Bungsu tentu segera saja ingat
peristiwa itu.
“Ya, saya ingat, kenapa?”
“Kau tahu Bungsu-san, kalau saya mau,
waktu itu saya bisa menghancurkan kepalanya. Dengan sekali genjot tidak hanya
giginya yang rontok, tapi nyawanya juga bisa rontok. Namun saya telah diajar di
perguruan untuk tidak melakukan kekerasan begitu Bungsu-san. Percuma saya
belajar dan membaca sumpah perguruan selama bertahun-tahun kalau saya tak bisa
menguasai diri saya…”
“Tapi orang itu terlalu kurang ajar…”
“Ya. Dan apakah kekurang ajarannya itu
harus saya pergunakan untuk menghancurkan dirinya? Orang memang menghendaki
saya melakukan kekerasan. Tapi perguruan tak menghendaki demikian Bungsu-san…”
“Saya tak mengerti apa tujuan perguruanmu
Kenji-san. Kalu untuk membela diri saja kepandaian yang kita miliki tak bisa
digunakan saya rasa percuma saja belajar payah-payah..”
“Ya pendapatmu tak salah Bungsu-san.
Bahkan diantara murid-murid Karate dan Judo sendiripun pendapat begitu cukup
banyak terdapat. Tapi, percayalah ada hal-hal yang tak dapat saya tuturkan
dengan kalimat. Betapa sumpah perguruan itu mengikat kami para senior. Ada
hal-hal yang mendasar dan sangat hakiki, yang saya tak bisa mengutarakannya.
Terkadang hal itu juga menyiksa saya. Saya toh manusia biasa juga bukan?
Sekali saat saya juga ingin menghantam
lawan saya. Dan kalu itu sampai terjadi, lawan seperti yang di kapal itu,
mungkin sekedar enam atau tujuh orang bisa saya libas semua. Namun hidup ini
rupanya tidak hanya sekedar untuk memuaskan hati saja…ah, sudahlah Bungsu-san…”
Dan si Bungsu memang jengkel untuk
memikirkannya. Kenji ternyata memiliki kepandaian yang tak tanggung-tanggung.
Tapi kenapa dia tak mau membalas kekasaran yang ditujukan padanya?
Dan tadi dalam ujian kenaikan tingkat,
jelas pukulannya bisa merobohkan lawannya, lalu kenapa dia tak dinyatakan
lulus. Malah dinyatakan dihukum? Bah, dia jadi malas memikirkannya.
+++00+++
Bandit-bandit Jakuza bawahan Kawabata
akhirnya mendapat kesempatan yang elok untuk membawa Hannako kembali ke rumah
Kawabata.
Kesempatan itu datang ketika di rumahnya
tinggal Hannako sendiri. Hannako memang dilarang Kenji untuk sering keluar. Dia
tahu bahwa Jakuza adalah bandit-bandit yang tak kenal kasihan.
Hari itu kedua adiknya yang lelaki sedang
pergi sekolah. Kenji pergi latihan ke Budokan. Sementara si Bungsu telah lebih
dahulu pergi ketempat yang tak dia sebutkan. Hannako tengah menyediakan makan
tengah hari ketika pintu depan diketuk orang.
“Gomenkudasai…”(Assalamualaikum)
Hannako meletakkan piring, kemudian
bergegas ke depan.
“Haai, Donata desu ka…”(ya, siapa?)
katanya sambil membuka pintu.
Dan pintu itu didorong dengan kasar.
Tiba-tiba saja tiga lelaki telah ada dalam rumah.
“Hmmm, Hanako. Kawabata mencarimu. Dia
rindu sekali” salah seorang yang bertubuh gemuk bicara. Sementara matanya
seperti akan menerkam tubuh Hannako. Hannako benar-benar kecut. Dia kenal
tampang para lelaki ini.
“Jangan ganggu saya…” katanya sambil
berusaha lari ke belakang.
Tapi seorang anggota Jakuza yang lain
menghadangnya. Hannako sampai menubruk tubuh orang itu karena gugupnya. Dan
orang itu memeluknya sambil tertawa menyeringai. Temannya yang dua lagi ikut
tertawa.
Hannako meronta dan berhasil melepaskan
diri.
“Ayo ikut kami baik-baik. Kawabata ingin
bicara denganmu….”
“Jangan ganggu saya….” Hannako mulai
menangis. Ketika anggota Jakuza itu saling pandang. Mata mereka seperti akan
menjilati tubuh Hannako yang padat berisi. Kemudian mata mereka juga meneliti
rumah itu.
“Hmmm, kalau kau tak mau pergi segera,
kita boleh main-main dulu disini…”
Hannako kembali bermohon agar ketiga
lelaki itu pergi. Dia khawatir kalau-kalau abangnya atau si Bungsu kembali. Dia
tahu lelaki-lelaki ini adalah orang yang tak kenal belas kasihan.
Namun dia salah duga kalau menyangka
ketiga lelaki itu akan pergi begitu saja.
Yang seorang lalu menangkap tangan
Hannako. Kemudian menyeretnya ke kamar Kenji. Hannako berteriak-teriak.
Musim salju di Tokyo adalah musim yang sepi.
Namun demikian, daerah Uchibori Dori dimana rumah mereka berada tetap saja
daerah yang cukup ramai.
Ada orang-orang yang lalu lalang di
jalan. Dan mereka mendengar teriakan Hannako. Tapi Tokyo saat itu adalah Tokyo
yang depresi. Tokyo yang kalut setelah kalah perang.
Orang lebih suka mengurus diri sendiri
daripada mengurus urusan orang lain. Itulah sebabnya kenapa tak seorangpun yang
datang melihat apa yang terjadi dirumah itu.
Beberapa orang menolehkan kepala. Tapi
cepat-cepat melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tak mau berurusan dengan
Jakuza atau tentara Amerika. Bagi mereka, kedua badan itu sama saja
menakutkannya.
Hannako memang bernasib malang. Lelaki
yang menyeretnya ke kamar itu telah merobek pakaiannya. Dan menampar Hannako
berkali-kali hingga gadis itu terkulai lemah.
Dan dalam keadaan begitulah dia memuaskan
nafsu jahanamnya! Cukup lama dia berbuat demikian. Kemudian keluar kamar sambil
menghapus peluh.
“Giliranku….” Kata yang bertubuh pendek
sambil berjalan ke kamar. Dan saat itu di luar terdengar orang bernyanyi menuju
ke rumah.
Suaranya terdengar berat dengan nada
barito.
“Watashi o wasurenaide kudasai…
Nakanaide kuda-sai
Ame ga futtemo ikimasu”
(Jangan lupakan saya
Jangan menangis
Meskipun hujan turun, saya akan pergi)
Nyanyian itu adalah nyanyian
pelaut-pelaut yang berangkat meninggalkan pelabuhan. Yang menyanyi adalah Kenji
abang Hannako.
Dia tiba di pintu depan yang tertutup.
Berhenti sejenak di bawah teras depan.
Membuka mantel tebalnya yang dipenuhi salju. Mengipaskannya.
“Hanako-saaan……” panggilnya sambil
menyangkutkan mantelnya di paku di tiang depan. Kemudian dengan menjinjing
Judoki (pakaian Judo) nya dia membuka pintu. Dia membuka pintu sambil hidungnya
mencium bau harum masakan Hannako yang terletak di meja.
Siulnya berhenti. Dua lelaki berpotongan
kasar yang tak dia kenal kelihatan duduk di meja dan di kursi. Duduk dengan
sikap yang benar-benar kurang ajar.
Kedua orang itu memandang padanya dengan
sikap cengar cengir dan anggap enteng.
Kenji masih akan bersikap sopan bertanya
siapa mereka, tapi pertanyaan itu dia lulur cepat takkala dari pintu yang
terbuka dia lihat Hannako terlentang tanpa pakaian. Dan disampingnya berdiri
seorang lelaki yang tengah menanggalkan celana.
“Hanako………!” serunya sambil menghambur.
Namun secepat itu pula kedua lelaki itu memegangnya. Dia meronta.
“Diamlah anak baik. Adikmu tak apa-apa.
Dia justru tengah merasakan nikmatnya hidup….”
Kenji menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba
dengan sebuah bentakan nyaring, orang yang memegang tangan kanannya dia
renggutkan. Dan dengan sebuah bantingan yang telak orang itu terhempas ke
lantai.
Tak hanya berhenti disitu, tangan
kanannya bergerak cepat pula. Dan yang tegak di kirinya kena bogem mentah yang
tak tanggung-tanggung. Sebuah pukulan karate bernama Cudan tsuki menghajar gigi
lelaki itu hingga rontok senam buah! Lelaki itu terlolong.
Lelaki yang dikamar mengurungkan niatnya.
Mengahmbur ke luar kamar dan di tangannya memegang samurai pendek.
“Hai! Berani kau melawan Jakuza…” katanya
sambil mengayunkan samurai pendek itu. Namun Kenji yang telah kalap melihat
adiknya diperkosa menghantam tangan lelaki itu dengan sebuah tendangan Mae Geri
yang telak.
Tangan orang itu berderak. Sikunya kena
tendangan Kenji. Samurainya terlempar ke atas dan menancap di loteng. Dan
serangan berikutnya merupakan sebuah tendangan Kikomi. Tendangan menyamping
yang menghajar dada lelaki itu.
Dia tersurut dengan mata mendelik.
Jantungnya pecah kena tendang. Dan maut merenggutnya segera!
Namun saat itu pula sebuah tikaman
samurai dari lelaki yang tadi dia banting tak bisa dihindarkan. Lelaki itu,
setelah merasakan sakit yang amat sangat, merangkak bangkit dan menghunus
samurainya.
Dan ketika Kenji memusatkan amarah dan
konsentrasinya pada lelaki yang keluar dari kamar adiknya itu saat itu pula
tikaman tiba.
Rusuknya terasa pedih begitu samurai
merobek kimono dan pakaian dalamnya. Darah menyembur. Tikaman samurai itu cukup
dalam dan memanjang.
Dia berbalik, dan samurai itu kembali
menghajar perutnya. Dia terpekik. Perutnya robek dan darah menyembur lagi. Dia
jatuh terduduk. Dan saat itu pintu terbuka.
Di pintu tegak si Bungsu!
Bersambung ke…..Tikam Samurai (53)
Komentar
Posting Komentar