Perbedaan antara menanti dan mendatangi adalah
lama dan cepatnya pertarungan itu terjadi. Jika Jakuza ingin menyiksa mental
mereka lebih lama, maka itu berarti penantian itu bisa sebulan, dua bulan atau
lebih.
Dalam saat penantian begitu, keseimbangan
jiwa dan keteguhan mental benar-benar diuji. Mungkin dalam penantian itu mereka
lengah. Menyangka Jakuza telah melupakan peristiwa itu. Dan disaat lengah
itulah Jakuza beraksi.
Atau kalau tidak lengah, maka mereka yang
menanti dengan tegang itu bisa pecah sarafnya. Hanya soalnya dia kini sendiri.
Kalau saja Kenji tidak luka parah, maka dia yakin bisa berbuat lebih banyak
jika pergi berdua.
Tapi kini Kenji luka parah. Dan kini
masih belum pulih. Dia tak memberitahu Kenji akan niatnya itu. Yang jelas dia
harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Betapapun jua, Kenji dan
adik-adkinya harus dia bantu.
Dia berhutang budi banyak pada Kenji yang
telah mengajarnya bahasa Jepang. Yang telah mengajarkan padanya tentang segala
sesuatu kehidupan di negeri ini.
Dia datang kemari untuk membunuh orang
Jepang. Dia datang karena orang Jepang telah melaknati negeri dan keluarganya.
Dia datang sendiri, ternyata ada keluarga jepang yang mau bersahabat dengannya.
Yang mengajarkan padanya tentang tatacara kehidupan negeri asing ini. Kalau tak
ada Kenji, dia tak tahu bagaimana dia hidup di Tokyo ini. Bayangkan, berada di
suatu negeri yang asing sama sekali. Asing bahasa dan asing segala-galanya.
Dia datang hanya dengan modal dendam
dihati, samurai ditangan dan keberanian di dada. Hanya itu modalnya. Dan di
negeri ini modal itu ditambah oleh Kenji dan adik-adiknya.
Dan kini Kenji serta dik-adiknya terancam
bahaya. Bukankah dia harus membelanya? Esoknya, sehabis makan pagi., dia berkat
akan pergi ke stasiun kereta api.
Siang itu di rumah Kawabata ada rapat
penting yang dihadiri oleh Tokugawa. Yaitu kepala Jakuza untuk wilayah Tokyo
dan sekitarnya.
Rapat itu dihadiri oleh dua puluh anggota
pilihan. Ada pengangkatan kepala-kepala Cabang baru. Dalam organisasi Jakuza
ada suatu wilayah tertentu yang dikepalai oleh pimpinan cabang.
Saat ini Tokyo dibagi dalam 12 cabang
utama. Dan Tokyo merupakan kota kedua bagi organisasi Jakuza. Kota pertamanya
adalah Kyoto. Yaitu suatu kota yang terletak sekitar 500 kilometer di selatan
Tokyo.
Wilayah Tokyo dan sekitarnya dipimpin
oleh Tokugawa. Tokugawa adalah keluarga turunan samurai yang tersohor sejak
zaman dahulu. Dari suku Tokugawa inilah lahir pahlawan-pahlawan samurai yang
tersohor diseluruh Jepang. Dinasti Tokugawa terkenal dengan pemerintahannya
yang bersih.
Dari suku mereka lahir perwira-perwiara
yang tangguh. Prajurit-prajurit yang bersedia mati untuk kerajaannya. Dan
kalaun ada Tokugawa yang hari ini menjadi seorang kepala begal seperti
organisasi Jakuza ini, maka itu hanyalah sebagai kewajaran proses zaman saja.
Tak seluruh suku pahlawan akan melahirkan
pahlawan. Ada juga diantaranya yang jadi pengkhianat. Sama halnya, tak semua
penjahat melahirkan turunan penjahat. Ada pula yang melahirkan penegak hukum,
ulama atu pendidik.
Mereka sedang mengangkat minuman sake
atas selesainya pemilihan pimpinan cabang yang baru takkala seorang anak muda
tiba-tiba saja sudah berada di ujung ruangan.
“Gomenkudasai…” katanya tenang.
Suaranya menyebabkan gelas-gelas yang
diangkat untuk meminum sake itu pada terhenti. Dan dengan cawan masih
terangkat, semua kepala menoleh ke ujung ruangan.
Semua mereka, tak terkecuali Kawabata,
merasa heran atas kehadiran orang asing bertongkat ini. Tokugawa yang bermata
tajam segera dapat mengetahui bahwa yang ditangan orang asing itu bukanlah
tongkat biasa. Melainkan sebilah samurai! Perbedaan samurai biasa dengan
samurai yang di tangan orang asing itu adalah pada hulu dan sarungnya.
Samurai anak muda ini sarungnya sudah
dibuat sedemikian rupa, sehingga jika mata tak terlalu tajam akan kelihatan
seperti tongkat kayu biasa saja.
Namun Tokugawa memang seorang keturunan
samurai.
Dia mengenal dengan baik puluhan jenis
buatan samurai yang ada di seluruh Jepang. Dan sekali pandang saja, meluhat
lengkung dan ukuran panjang samurai di tangan anak muda itu, dia segera tahu
bahwa anak muda itu memegang samurai buatankota Sakamoto. Yaitu sebuah kota
kecil di tepi danau Biwa di Propinsi Chubu. Dan samurai dari negeri tepi danau
Biwa itu adalah salah satu diantara tiga samurai terbaik yang dibuat oleh
Jepang.
“Maafkan saya mengganggu…” lelaki asing
itu, yang tak lain daripada si Bungsu, berkata lagi.
Kawabata memberi isyarat pada dua orang
lelaki untuk menyuruh orang itu keluar. Tapi Tokugawa memberi isyarat lain. Dia
justru tertarik dengan kedatangan orang asing ini.
“Siapa anda?” tanyanya sambil meletakkan
cawan berisi sake yang belum diminum. Ke 20 orang pimpinan Jakuza daerah Tokyo
itu ikut meletakkan cawan mereka seperti yang dilakukan Tokugawa.
“Watashi wa Indonesia-jin desu, Bungsu
desu…” (nama saya Bungsu, saya ornag Indonesia..) katanya tenang.
“Aa, orang Indonesia, Selamat datang.
Anda rupanya datang dari jauh, mari silakan minum bersama kami….” Tokugawa
memberi isyarat pada pelayan.
Pelayan segera mengisi sebuah cawan
dengan sake. Karena si Bungsu tetap tak mendekat, maka Tokugawa menyruh
mengantarkan Sake itu padanya dekat pintu.
“Terimalah. Mari kita minum bersama. Kami
baru saja mengangkat pimpinan-pimpinan cabang yang baru. Sekalian sambil
mengucapkan selamat datang pada anda, mari kita minum sake…”
Tokugawa mengangkat cangkirnya. Ke 20
orang pemuka Jakuza Tokyo itu, termasuk Kawabata mengangkat cangkirnya.
Si Bungsu menerima cangkir sake tersebut.
Dan ketika semua mengangkat cawan tinggi-tinggi, dia juga ikut mengangkatnya.
Semua memandang padanya sebelum meminum sakenya. Kemudian serentak mereka
meminum sake tersebut. Si Bungsu juga meminumnya.
Selama di Jepang ini, dia sudah terbiasa
minum sake. Minuman itni memanaskan badan. Tak banyak bedanya dari air tapai di
kampungnya. Hanya saja sake yang dia minum di Jepang ini, kwalitasnya lebih
baik dan wangi serta lebih keras. Itu menyebabkan tubuh lebih cepat panas dalam
cuaca dingin bersalju seperti sekarang.
Tokugawa meletakkan cangkirnya.
“Nah, anak muda dari Indonesia, apa yang
bisa kami bantu? Patut anda ketahui, kami adalah kelompok Jakuza. Kau pernah
dengar nama itu?”
“Di Indonesia saya tak pernah
mendengarnya. Saya hanya merasakan kekejaman tentara Jepang di negeri saya itu.
Saya baru mendengar nama Jakuza di Tokyo ini. Dan saya segera melihat bahwa
kelompok tuan adalah kelompok penjahat yang benar-benar tak kenal peri
kemanusiaan…”
Ke 20 anggota pilihan Jakuza wilayah
Tokyo itu pada menahan nafas mendengar kekuarang ajaran anak muda dari
Indonesia itu. Mereka menahan nafas, karen aykin sebentar lagi anak muda ini
akan disembelih oleh Tokugawa.
Namun suatu keanehan terjadi. Tokugawa
justru tertawa menyeringai.
“Ya. Anda benar. Kelompok kami adalah
kelompok bandit. Nah, kalau sudah mendengar bahwa kami adalah manusia yang tak
berperi kemanusiaan, kenapa berani masuk kemari?’
Ucapan ini adalah semacam ancaman. Dan ke
20 anggota Jakuza itu pada diam tak bergerak.
“Saya datang mencari tuan Kawabata…”
suara si Bungsu terdengar perlahan. Matanya meneliti mencari mana lelalki yang
bernama Kawabata itu.
Semua mata, kecuali mata Tokugawa, pada
menoleh pada seorang lelaki berdegap yang duduk persisi di depan Tokugawa. Dan
si Bungsu segera mengetahui, dialah Kawabata!
Dan dengan cepat dia mengukur lelaki itu.
Dia yakin lelaki itu adalah lelaki
tangguh. Tapi licik dan sadis.
Kawabata sendiri kaget mendengar bahwa
dialah yang dicari anak muda ini. Dia benar-benar tak pernah mengenalnya.
“Hmm, ada perlu apa engkau mencari salah
seorang pimpinancabang Jakuza anak muda?” suara Tokugawa terdengar bergema.
“Saya mempunyai perhitungan dengan dia…”
kembali semua mata menatap pada Kawabata.
“Saya tak mengenal… “ Kawabata coba
memutus pembicaraan, tapi tangan Tokugawa yang terangkat membuat dia terdiam.
“Teruskan anak muda. Perhitungan apa yang
ada diantara kalian berdua?” suara Tokugawa terdengar lagi.
Si Bungsu segera mengerti, orang inilah
pastilah pimpinan Jakuza yang disegani. Sebab semua hormat sekali padanya.
“Saya telah membunuh lima orang anak
buahnya” dan kali ini tak ada yang terdiam. Suara seperti lebah terdengar
berdengung. Tak kurang dari Tokugawa sendiri juga jadi kaget.
“Siapa yang kau bunuh?”
“Empat orang Jakuza yang beroperasi di
terowongan bawah tanah di daerah Yotsui. Saat itu mereka mencoba dengan kasar
menangkap seorang gadis bernama Hannako. Saya telah memintanya untuk melepaskan
gadis itu dengan baik-baik. Tapi mereka melakukan kekerasan. Maka saya terpaksa
membunuhnya”
Kawabata jadi merah mukanya. Semua yang
hadir di sana jadi berpandangan. Mereka sudah lama menyelidiki siapa yang
membunuh keempat Jakuza itu. Mereka selama ini yakin bahwa yang membunuh
keempat anggota mereka adalah seorang samurai Jepang. Sebab luka ditubuh
anggota mereka jelas bekas samurai. Mana mereka pernah berfikir bahwa ada orang
asing yang melebihi kemahiran anggoat Jakuza memakai samurai.
Kini rupanya anak muda inilah yang telah
membunuh anggota mereka itu. Betapa mereka takkan kaget.
“Setelah itu, mereka datang ke rumah kami
di Uchibori Dori. Mereka memperkosa Hannako disana. Dan melukai kakaknya Kenji.
Mereka datang bertiga. Yang satu mati ditangan Kenji. Yang satu saya yang
membunuhnya, yang satu lagi saya suruh menyampaikan pesan kemari, pada
Kawabata. Bahwa saya menanti Jakuza di rumah itu. Pesan itu saya suruh
sampaikan dengan memotong sebelah tangannya..”
Ruangan itu benar-benar sepi seperti di
kuburan,. Suara anak muda itu mengagetkan mereka. Ceritanya seperti tak bisa
mereka percayai. Namun itulah yang terjadi. Mereka menatap anak muda itu dengan
pandangan takjub.
Mungkinkah anak Indonesia ini sanggup
melakukan seperti yang dia ceritakan?
“Apakah gadis yang kau ceritakan itu,
e…siapa namanya?’
“Hanako..”
“Ya, apakah Hanako itu adalah isteri atau
kekasihmu?” Suara Tokugawa terdengar lagi.
“Tidak”
“Lalu kenapa engkau membelanya?”
Si Bungsu lalu menceritakan pertemuannya
dengan Hannako di terowongan di daerag Yotsui itu. Kemudian ternyata Hannako
adalah adik Kenji. Teman sekapal yang telah mengajarnya bahasa dan tatacara
kehidupan Jepang.
“Tapi terlepas dari masalah hubungan saya
dengan Kenji, saya merasa perlakukan Kawabata atau Jakuza terhadap gadis itun
sudah sangat keterlaluan. Terlalu biadab. Untuk itulah saya datang kemari.
Mereka kini dicekam ketakutan di rumahnya. Mereka tak lagi punya ayah dan ibu.
Setiap saat mereka merasa Jakuza yang ditakuti itu, yang bagi saya tak lain
daripada bajingan busuk yang hanya berani menindas orang lemah, akan datang
mencelakai mereka. Kini saya datang untuk membuat perhitungan..”
Tokugawa sampai berdiri mendengar ucapan
anak muda ini. Yang lain juga pada tegak segera. Suara kursi bergeser terdengar
bising sejenak. Mereka semua memakai kimono pelindung udara dingin.
Kini mereka membuat setengah lingkaran.
Di ujung lingkaran yang setengah itu, tegak si Bungsu!
“Perhitungan bagaimana yang maksud akan
kau buat dengan Kawabata?” Suara Tokugawa terdengar berat dan mengandung
amarah.
Si Bungsu tahu gelagat itu. Dia kini
berada di sarang Harimau. Namun dia datang sendiri. Kalaupun dia mati, maka
takkan ada seorang pun yang akan menangisinya di Minangkabau sana. Tak
seorangpun!
“Maaf, bolehkah saya tahu siapa tuan?”
suara si Bungsu tetap tenang. Tangan kirinya memegang samurai dengan kukuh.
Sementara tangan kanannya lemas tergantung. Seperti tak bertenaga. Namun
Tokugawa arif bahwa tangan kanan anak muda ini siap menyebar maut, setiap
detik.
Dia arif benar akan hal itu. Dan dia
segera dapat mengetahui bahwa anak muda ini adalah seorang samurai yang
otodidak. Seorang yang mahir karena belajar sendiri. Diam-diam dia merasa
bangga. Bangga bahwa ada anak muda asing yang mahir mempergunakan samurai.
Senjata kebanggan sukunya. Suku Tokugawa yang masyur turun temurun.
“Nama saya Tokugawa. Saya pimpinan bandit
yang tak berperikemanusiaan, Jakuza, untuk daerah Tokyo dan sekitarnya….”
Tokugawa memperkenalkan diri sambil mengulangi ucapan si Bungsu tadi.
Si Bungsu membungkuk memberi hormat. Dan
tanpa merasa rendah diri Tokugawa juga membungkuk dalam-dalam membalas
penghormatan itu. Ke 20 anggota Jakuza disana menjadi heran bercampur kaget
melihat sikap pimpinan mereka ini. Bahkan Gubernur atau Walikota sendiri tak
pernah dia hormati seperti itu.
“Tokugawa..”
“Ya, saya Tokugawa. Kau pernah mendengar
nama itu?”
“Maaf, saya banyak mendengar nama
Tokugawa. Tapi yang saya dengar hanya tentang yang baik-baik saja. Tokugawa
yang saya dengar adalah turunan pahlawan sejati. Turunan samurai yang tak ada
duanya si seluruh Jepang. Tak pernah saya dengar seorang Tokugawa yang kepala
bandit”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (55)
Komentar
Posting Komentar