Sepekan
setelah itu persidangan dibuka lagi.
“Kami berpendapat, percuma sidang ini
diadakan kalau tak ada saksi utama. Tak ada yang melihat atau mendengar bahwa
ada perkosaan kecuali tertuduh. Dan tertuduh tak bisa diminta keterangannya
sebagai saksi. Hukuman mati patut dijatuhkan padanya…” Oditur Militer itu
berkata tegas setelah bertegang urat leher
dengan Yamada.
Yamada bangkit. Dia memandang keliling.
Kemudian memandang pada Hakim Militer yang mengadili perkara ini.
“Amerika sudah cukup banyak membunuh
orang di negeri ini. Hitunglah yang mati di kancah peperangan. Terakhir hitung
pula mereka yang mati tanpa dosa di Hiroshima dan Nagasaki. Dimakan Bom Atom
laknat itu. Apakah kalian masih akan menambah angka kematian itu lagi?”
Tubuh Yamada sampai menggigil mengucapkan
kalimat ini. Dia mengucapkan itu memang
dengan penuh kebencian. Tapi juga dengan penuh tantangan. Dia bisa diseret
sebagai menghina tentara Amerika!
Beberapa pejabat kota Tokyo pada duduk
dengan pucat. Meskipun yang diucapkan pembela itu adalah isi hati mereka, namun
mereka menilai Yamada terlalu berani dengan ucapannya ini.
Ruangan pengadilan itu jadi sepi.
Semua pada terdiam dan gugup. Yamada
sendiri tetap tegak ditempatnya yang mirip api yang membakar sumbu dinamit.
Yang bisa meledakkan seluruh Jepang dalam peperangan yang lebih dahsyat.
Seperti dikatakan, hampir seluruh
balatentara Jepang tak menghendaki menyerah pada sekutu. Semua mereka siap
untuk berperang sampai tetes darah terakhir. Itulah kenapa ribuan di antara
mereka yang memilih mati bunuh diri dengan harakiri ketika Tennoheika tetap
menyuruh mereka menyerah.
Dan kini, masalah bom atom di Nagasaki
dan Hiroshima itu merupakan sesuatu yang tak pernah dibicarakan orang. Sesuatu
yang amat sensitif.
Akhirnya Hakim menarik nafas. Menjilat
bibirnya. Kemudian bicara, suaranya terdengar tenang berwibawa:
“Anda benar tuan Yamada. Kami tak dapat
lagi untuk menambah korban. Oleh karena itu peperangan harus dihentikan.
Pengadilan ini akan berjalan terus. Tak ada korban yang boleh jatuh dengan
sia-saia. Kedua tentara Amerika itu menurut file pemeriksaan sebelum tuan jadi
pembela, membuktikan bahwa mereka memang membawa gadis ke penginapan itu.
Saya undurkan sidang ini 15 hari untuk
memberi kesempatan pada anda tuan untuk mencari saksi utama itu. Saya juga akan
memerintahkan Polisi Militer Amerika untuk mencari gadis itu. Demi kemurnian
hukum”
Dan dia mengetukkan palunya. Semua
pengunjung di pengadilan bertepuk menyambut putusan Hakim yang luar biasa itu.
Yamada sendiri sampai berpeluh karena tak yakin akan putusan itu.
Orang-orang pada berdatangan memberi
salam padanya. Rasa simpati makin hari makin mengalir pada si Bungsu. Orang
jadi tahu, bahwa pemuda asing dari negeri bekas jajahan Jepang ini diadili
karena membela seorang gadis Jepang. Dan terungkap pula, pemuda itu juga telah
menyambung nyawanya melawan komplotan Jakuza dalam membela Hannako dan
saudara-saudaranya.
Sebuah badan sosial mengumpulkan dana
untuk membiayai pembelaan si Bungsu. semuanya berjalan tanpa diketahui oleh
anak muda itu. Dia tetap berada dalam kamar tahanannya. Dan sama sekali tak
terpengaruh oleh jalannya sidang.
Baginya, bebas ya syukur. Dengan demikian
bisa melanjutkan pencariannya terhadap saburo Matsuyama. Perwira Jepang yang
membunuh keluarganya.
Kalau tak bebas dan dihukum kamti, dia
juga tak keberatan. Dia sudah pasrah pada Tuha. Apakah lagi yang paling pokok
dalam kehidupan ini selain daripada pasrah pada kehendak Tuhan?
Orang yang telah berusaha, kemudian
memasrahkan dirinya pada kehendak Tuhan YME, adalah orang yang paling bahagia.
Tenteram dan tenang hidupnya. Kebahagiaan, ketenteraman dan ketenangan hidup
tidak terletak pada harta atau kekayaan. Tapi terletak pada hati.
Itulah yang dilakukan si Bungsu.
Memasrahkan dirinya pada kehendak Yang Satu!
***0***
Yamada tengah mempelajari berkas
perkara itu di kantornya di daerah Ginza
ketika tiga orang berpakaian parlente masuk.
“Kami dari Yayasan Universitas Tokyo.
Ingin menyumbangkan pada tuan sedikit uang untuk membiayai pembelaan terhadap
si Bungsu…” kata salah seorang diantara mereka.
Yamada menatap mereka. Pengacara terkenal
dan termahal bayarannya ini kemudian tersenyum.
“Terimakasih. Semula saya memang menerima
bayaran dari seseorang untuk membela pemuda itu. Tapi, semakinsaya pelajari
kasus ini, semakin saya malu pada diri saya. Kenapa saya harus menerima bayaran
untuk membela orang ini?
Yang saya bela ini bukan seorang
Indonesia. Lebih dari itu. Yang sedang diadili ini adalah harga diri dan moral
orang Jepang.
Selama bertahun-tahun di negeri ini,
terjadi erosi terhadap harga diri. Terjadi erosi terhadap moral bangsa. Selama
perang dunia berakhir, di negeri ini kota-kota berobah jadi neraka bagi
penduduk.
Kita tak lagi terharu melihat orang-orang
yang teraniaya. Kita tak lagi prihatin mendengar berita perkosaan terhadap
perempuan-perempuan kita. Kita tak lagi peduli terhadap penderitaaan orang
lain.
Padahal sebelum tentara Amerika menduduki
negeri kita ini, kita terkenal sebagai bangsa yang berbudi halus. Terkenal
sebagai masyarakat yang paling homogen di dunia.
Kita cepat menaruh perhatian dan membantu
penderitaan orang lain. Kini kemana semuanya itu? Kita kini saling
menyelamatkan diri sendiri. Kita malah menjauh dari penderitaan orang lain.
Takut kalau-kalau kita terserang pula oleh penderitaan itu.
Tiba-tiba seorang anak muda entah dari
mana, entah siapa dia, datang kemari. Dia datang dari negeri yang pernah
dijajah dan dirobek-robek oleh balatentara yang kita banggakan.
Dia datang dari negeri yang dimana
ratusan ribu rakyat mati menjadi romusha. Kerja paksa di hutan belantara. Dia
datang dari negeri dimana balatentara Kemaharajaan Jepang pernah melakukan
pembantaian-pembantaian yang tak berperikemanusian.
Dari sanalah dia datang. Dan untuk kalian
ketahui, secara kejiwaan saya dapat menebak, anak muda ini datang kemari dengan
membawa dendam yang dahsyat.
Dia mencari seseorang di negeri ini.
Seseorang dari bangsa kita. Yang barangkali pernah membunuh sanak keluarganya.
Dia datang untuk membalas dendam.
Tapi takkala dia tiba di negeri ini, di
saat dia sebenarnya bisa membiarkan gadis di penginapan Asakusa itu ternoda
oleh tentara Amerika. Atau di saat seorang gadis lain bernama Hannako dan
saudara-saudaranya terancam dibunuh oleh Jakuza. Dia bisa saja membiarkannya.
Apa guna dia ikut campur? Dia tak kenal dengan mereka.
Tapi ternyata dia tak berlaku masa bodoh.
Dia menyimpan dendam yang dia bawa menyebrang laut itu di dalam hatinya. Tapi
turun tangan mempertaruhkan keselamatan dan nyawanya untuk membantu gadis itu
di Asakusa. Dan dia turun tangan membantu Hannako dan saudara-saudaranya dari
ancaman Jakuza.
Anak muda Indonesia ini, yang berasal
dari Gunung Sago, dari sebuah kampung kecil bernama situjuh Alang Laweh di
Minangkabau, yang dia perbuat di sini hanya dapat disimpulkan dengan satu
kalimat : dia telah membela harga diri orang Jepang. Dia membelanya, disaat
orang Jepang sendiri berlaku Homo Homonilupus. Orang Jepang yang satu jadi
serigala bagi orang Jepang lain.
Saya bisa buktikan itu dengan ketidak
acuhan kita terhadap sesama bangsa. Saya berani buktikan itu dengan ribuan
manusia yang kini hidup di terowongan bawah tanah. Ribuan kanak-kanak tanpa
orang tua. Ribuan orang miskin tanpa tempat berteduh. Sementara kita di atas
ini hidup serba berkecukupan.
Saya merasa malu pada diri saya. Kenapa
tak sadari dulu saya bela anak ini. Saya telah menerima bayaran cukup tinggi
dari seseorang yang tak mau disebutkan nama dan alamatnya.
Uang bayarannya yang tinggi untuk
menyelamatkan anak muda itu telah saya kembalikan dua hari yang lalu. Dan kini
saya akan mebelanya mati-matian. Kalau sampai dia tak bisa saya bebaskan, saya
tidak hanya akan berhenti menjadi pengacara, tapi saya akan berhenti jadi orang
Jepang! Saya akan harakiri!
Demi Budha, saya akan menepati sumpah
saya ini. Membebaskannya atau bunuh diri. Dan kini, tuan-tuan datang kepada saya
untuk menyerahkan uang pembayar pembelaan anak muda itu. Seharusnya saya marah,
tapi karena tuan-tuan tak tahu, tak apalah.
Bawalah uang itu kembali. Serahkan pada
yayasan lain. Bantu anak-anak yang ada dalam terowongan itu. Bantu orang-orang
miskin itu. Tentang pembelaan anak muda ini, serahkan pada saya. Seluruh
kekayaan saya akan saya pergunakan untuk menyelsaikan perkara ini”
Yasuaki Yamada berhenti. Matanya
berkaca-kaca. Namun wajahnya memperlihatkan sikap yang teguh.
Ketiga lelaki, yang terdiri dari para
Sarjana Universitas Tokyo itu, yang datang menyerahkan bantuan, duduk terdiam
seperti patung mendengarkan ucapan pengacara mashyur tersebut.
“Lalu, apa yang bisa kami perbuat untuk
membantu membebaskan anak Indonesia itu?” tanya salah seorang di antara mereka.
Yamada menarik nafas panjang.
“Ada satu hal, dan itu adalah soal
terbesar yang bisa tuan bantu. Yaitu mencari gadis yang akan diperkosa tentara
Amerika itu, yang kemudian dibela oleh si Bungsu. sampai saat ini saya belum
bisa menemukannya. Jejaknya lenyap seperti salju yang mencair kemudian menguap
lagi ke udara. Kita tak tahu siapa namanya. Dimana tinggalnya, nah tolonglah
saya mencari gadis ini. Kalau dia bertemu, dan dia berada dipihak kita, maka
saya yakin anak muda itu bisa dibebaskan…”
Dan akhirnya soal itulah yang mereka
rembukan. Bagaimana mencari gadis tersebut.
“Apakah tuan telah menanyakan pada pihak
Polisi Milter Amerika tentang gadis itu? Mungkin saja mereka mengetahui
datanya…”
“Saya
sudah tanyakan hal itu. Mereka memang mengakui menahan gadis itu
semalam. Lalu dilepas lagi. Tapi mereka mengatakan tak menanyakan namanya dan
tak mencatat alamat siapa-siapa…”
“Itu adalah dusta sama sekali…” kata
seorang profesor diantara anggota Tokyo University itu.
“Ya. Saya tahu itu dusta yang paling
jahanam. Tapi mereka memang berhak berbuat begitu menurut hukum di negeri
mereka. Kitalah yang harus mencari bahan bukti…”
“apakah tak bisa didesak agar pengadilan
itu diadili oleh Hakim Jepang. Bukankah negeri ini bukan negeri Amerika,
sehingga secara Juridis hukum Amerika tak bisa diterapkan disini?”
“Ucapan tuan benar seandainya negeri kita
tidak kalah perang. Status negri kita ini, diatas sedikit dari negeri jajahan,
tak memungkinkan hal itu terjadi. Mereka berhak menerapkan pengadilan menurut
sistim di negeri mereka, karena yang terbunuh justru tentara mereka. Hukum
negeri kita bisa dipakai kalau kedua belah pihak yang diadili tidak ada sangkut
pautnya dengan warganegara atau kepentingan orang Amerika”
“Apakah namanya juga tak diketahui?”
“Pihak Amerika mengatakan Michiko atau
Machiko. Mereka tak begitu jelas perbedaaannya. Soalnya gadis itu masih nerfus
malam itu”
“Michiko, Machiko…ribuan gadis bernama
seperti itu di kota ini…”
“Ya, itulah kesulitannya. Apalagi pihak
Amerika katanya tak menyanyakan siapa nama keluarganya. Tak pula mencata
alamatnya. Menurut proses verbal, gadis itu didapat oleh tentara Amerika dari
suatu taman di tengah kota. Kalu keterangan itu benar, maka gadis itu pastilah
kupu-kupu malam. Tapi saya tak yakin, sebab menurut si Bungsu, si gadis
menangis tak mau dinodai. Terjadi pergumulan cukuplama. Si Bungsu mendengar
suara gadis itu merintih…jangan, jangan nodai saya. Jangan! Itu suatu pertanda,
bahwa gadis itu bukan seorang pelacur. Dia pastilah seorang gadis baik-baik.
Hanya kenapa sampai ke taman itu dimana berkumpul pelacur-pelacur yang lain?
Inilah hal-hal yang menyulitkan pencaharian terhadap gadis itu.
Saya juga telah menanyai dua perempuan
yang sama-sama dibawa ke penginapan Asakusa itu. Kedua perempuan itu yang telah
lama beroperasi sebagai pelacur mengatakan bahwa mereka baru malam itu bertemu
dengan gadis itu. Mereka tak mengenalnya sebelum peritiwa itu”
“Ya, di Universitas juga ada ratusan
mahasiswi yang bernama Michiko atau Machiko…” kata ketua Yayasan yang bergelar
Profesor itu.
Mereka semua terdiam. Dan peradilan itu
akhirnya dideponir oleh pihak Amerika. Meski dibawah peraturan yang sangat
ketat, namun puluhan mahasiswa dan penduduk sipil suatu hari membawa poster
berdemonstrasi menuntut pembebasan si Bungsu.
**000**
Tak kurang dari Jenderal Mac Arthur
sendiri yang turun tangan mendeponir perkara ini. Jenderal ini adalah Panglima
balatentara sekutu untuk wilayah Pasifik.
Dia bersama pasukannya semula “terusir”
dari Filiphina oleh tentara Jepang. Tapi dalam suatu pertarungan ulang, dia
berhasil “revans” dan tidak hanya merebut Filiphina saja, tapi menaklukan
seluruh kawasan Asia yang diduduki Jepang. Termasuk menduduki Jepang sendiri!
Bersambung ke…..Tikam Samurai (60)
Komentar
Posting Komentar