Berkata begini dia melangkah lagi. Ketiga
Jepang anggota Beruang Gunung itu mundur terus.
Akhirnya mereka terpepet ke pintu.
Salah seorang tiba-tiba maju sambil
mencabut samurai. Tapi Jepang ini sungguh bernasib malang. Dia memang sudah
lama belajar samurai. Tapi orang dia hadapi adalah “malaikat” nya samurai.
Samurai baru terangkat sedikit, ketika
dia rasakan perutnya pedih bukan main. Ayunan samurainya terhenti. Dia melihat
ke bawah. Dan wajahnya jadi pucat. Pucat karena kaget dan malu.
Celananya telah dibabat putus oleh
samurai anak muda itu persis di bawah pusatnya!
Celananya terluncur ke bawah. Dan
perutnya berdarah. Dan darhanya mengalir hingga ke bawah!
Dia lari turun ke jalan. Si Bungsu maju
terus. Dan kini mereka tegak di bawah, di depan stasiun kecil di kota Gamagori
itu.
Pimpinan mereka tadi, yang telah turun
lebih duluan merasa kaget melihat anak buahnya belum juga berhasil menyudahi
orang asing ingusan itu.
Peristiwa itu tentu saja menarik penduduk
yang memenuhi stasiun tersebut. Mereka secara otomatis membuat lingkaran yang
amat lebar.
Angin bersuit panjang membawa udara musim
dingin yang menusuk tulang.
Kini dia telah dikepung oleh empat orang.
Penduduk hanya melihat dari kejauahan. Ada seorang Polisi dengan pistol di
tangan yang menyeruak di antara kerumunan orang ramai.
“Hentikan semua i….!” bentakkannya
terhenti takkala dia melihat siapa yang sedang mengepung seorang asing itu.
“Oh…eh…glep…plzf..” mulutnya berkomat
kamit tak menentu. Dan akhirnya dia menyuruk lagi kedalam kerumunan orang ramai
itu.
Yang dia bentak sebentar ini adalah
kepala bandit kelompok Kumagaigumi. Niat hatinya tadi ingin dianggap pahlawan
oleh orang banyak. Karena berhasil mengatasi sebuah kericuhan. Tapi kini
nyalinya jadi ciut. Dan dia harus menelan pil pahit takkala penduduk
mengejeknya. Dia menyuruk dan menghindar dari sana.
Sudah bukan hal yang aneh lagi, bila di
kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu, Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa
sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak hukum. Melainkan kelompok-kelompok
bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi.
Demikian berkuasanya mereka, sehingga
dengan kekuatan uang dan keuatan fisik mengandalkan jumlah anggota yang banyak
mereka bisa saja menggeser kedudukan seorang penguasa kota kecil itu.
Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi
itu bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan. Melainkan teror dan pembunuhan
yang tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga
mereka. Baik siang ataupun malam.
Bagaimana kalau suatu saat mereka
mendapati anak mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta apai?
Nampaknya kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini.
Kedua kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini
membuat para bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.
Kini mereka berhadapan.
Si Kurus kembali menyerang pertama kali
di depan stasiun itu dengan samurainya. Dia maju dengan menghayun tiga langkah
ke depan dan tiba-tiba melangkah kekanan dengan cepat sambil memancung ke arah
si Bungsu!
Dan pada saat yang sama, ketiga lelaki
lainnya membabat dari tiga penjuru.
Peluit kereta berbunyi. Ini adalah
kesempatan bagi si masinis untuk berangkat.
Roda kereta mulai bergerak. Michiko
tertegak.
“Bungsu-saaaan …..!” himbaunya sambil
menjulurkan kepala ke jendela.
Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu
bekerja! Entah bagimana caranya, entah dari mana mulanya, entah siapa yang
lebih dahulu. Semua terjadi demikian cepat. Bahkan orang-orang yang menatap
dengan diampun tak bisa melihat bagaimana kejadian itu berlangsung satu demi
satu.
Yang jelas, si kurus tinggi yang memulai
serangan itu, robek rusuk kanannya yang terangkat bersama samurai.
Yang tadi luka di bawah pusarnya, kena
hantam lagi tentang lukanya itu. Perutnya terbosai keluar. Yang satu lagi kena
pancung lehernya. Jakunnya putus. Dan darah menyembur dari sana.
Dan terakhir, kepala bandit itu, yang
bergelar si tangan besi, tersate di ujung samurai si Bungsu. dengan suatu gerak
berputar, si Bungsu menikamkan samurainya ke belakang sambil merendahkan diri
di atas lutut kananya.
Tikam Samurai! Itulah gerakan Datuk
Berbangsa dari Situjuh Ladang Laweh takkala dia mencoba melawan Saburo
Matsuyama enam atau tujuh tahun yang lalu.
Mata pimpinan Kumagaigumi itu mendelik.
Dia rubuh. Semua orang terdiam. Kereta mulai berlari.
“Bungsu-saaan…!” Michiko memanggil di
antara tangisnya. Semua penompang yang ada dalam gerbong itu juga pada
mengeluarkan kepalanya. Beberapa orang berdoa atas kematian anak muda itu.
Berdoa semoga Budha menerimanya.
Michiko menangis terduduk lemah di
kursinya. Kereta telah berlari kencang meninggalkan kota Gamagori itu. Dia
menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Bungsu-saan…” desahnya di antara isak.
Beberapa perempuan juga meneteskan air mata. Terutama ibu yang tadi ditolong
anak muda itu.
“Jangan menangis…..” sebuah suara
terdengar di sisi Michiko.
Michiko masih menangis.
“Diamlah…Michiko-san…” suara itu
terdengar lembut. Michiko terdiam. Mengangkat kepalanya. Dan di sampingnya
tegak si Bungsu. dia tertegun tak percaya.
“Saya berjanji akan kembali kemari
bukan?” kata si Bungsu tersenyum lembut. Dan tiba-tiba Michiko menghambur ke
pelukannya.
“Oh, Bungsu-san…oh, Bungsu-san…saya
khawatir engkau dicelakai keempat orang itu….”
“Tidak. Mereka ternyata orang baik-baik.
Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata si Bungsu.
Para penompang menatap mereka dengan
bahagia. Ternyata si Bungsu berhasil naik ke kereta yang sedang berjalan itu di
saat yang tepat. Meninggalkan empat maya anggota Kumagaigumi itu malang
melintang di depan stasiun kota kecil Gamagori.
Si Bungsu membawa Michiko duduk.
Gadis itu menyandarkan terus kepalanya ke
bahu si Bungsu. dan tangan si Bungsu memeluk tubuh Michiko.
Kereta api itu berjalan menembus dinding
senja menuju Nagoya. Michiko benar-benar merasa aman dan bahagia berada
dipelukan anak muda Indonesia itu. Tubuhnya yang lelah akhirnya tertidur dalam
pelukan si Bungsu.
Hari telah larut malam ketika dia
tersentak bangun. Dia bangun karena lapar.
“Lapar?” tanya si Bungsu.
Michiko tersenyum dan mengangguk.
“Saya sudah beli roti dan kue Pau. Nah,
ini diminum dengan sedikit sake. Bisa memanaskan badan”
Michiko lalu makan roti tersebut. Roti
dari bar Kereta Api itu masih mengepul asapnya. Panas dan nikmat.
“Engkau akan kemana?” tanya si Bungsu
ketika Michiko selesai makan.
“Saya akan ke Kyoto, Bungsu-san akan
kemana?”
“Saya juga akan ke sana…”
“Saya gembira kita setujuan…” kata
Michiko.
“Di Kyoto dimana Bungsu-san menginap?”
“Saya tak tahu. Saya baru pertama kali ke
sana…”
“Kalau begitu menginap di rumah saja.
Rumah kami besar dan penghuniya tak berapa orang. Ayah akan gembira sekali
kalau Bungsu-san datang ke sana..”
“Terimakasih undanganmu Michiko-san. Saya
lihatlah nanti bagaimana baiknya. Saya ke sana juga mencari seorang teman….”
“Dimana dia tinggal? Saya tahu seluruh
kota Kyoto. Say tinggal disana selama tiga tahun sebelum melanjutkan sekolah ke
Universitas Tokyo tahun lalu….barangkali saya bisa menunjukkan alamatnya…”
“Baik, baik. Nanti sesampai di Kyoto saya
akan minta tolong padamu. Nah, tambah lagi minumnya?”
“Tidak, terimakasih”
Kereta meluncur terus. Mereka terlibat
dalam pembicaraan tentang Tokyo. Tentang Kyoto.
“Bungsu-san, apa bedanya antara negerimu
dengan negeriku?”
“Banyak. Di negeri kami tak ada musim
dingin. Tak ada musim bunga atau musim gugur. Di sana matahari bersinar terus
sepanjang tahun….”
“Oh, alangkah indah dan senangnya hidup
di sana. Apakah di sana juga ada danau, gunung dan laut seperti di sini?”
“Engkau tak pernah melihatnya di peta
dalam sekolah?”
Michiko tersenyum. Kemudian dengan manja
menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
“Saya sudah melihatnya dalam peta. Tapi
saya ingin mendengarnya dari mulutmu…. Ceritalah yang banyak Bungsu-san.
Ceritalah tentang negerimu. Tentang dirimu. Tentang apa saja…”
“juga tentang bangsamu yang menjajah dan
memperkosa negeriku?” hampir saja pertanyaan itu melompat dari mulut si Bungsu.
untung dia segera dapat menahan diri.
Dia sadar, gadis ini tak ada sangkut
pautnya dengan fasisme militer yang menjajah negerinya.
“Saya takkan bercerita, saya akan
menyanyi. Engkau mau mendengarkan nyanyiku…?” tanyanya sambil memeluk bahu
Michiko. Gadis itu bangkit dari bahu si Bungsu. Menatap wajahnya dengan
pandangan berbinar.
“Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…”
katanya gembira dan kembali dia merebahkan kepalanya ke bahu si Bungsu. si
Bungsu memeluk bahu gadis itu dan mulai batuk-batuk kecil mengatur suara.
Dan dia mulai menyanyi dengan suaranya
yang berat dan lembut.
“Meskipun turun hujan,
Saya akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupakan saya
Selamat tinggal”
Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu
itu berakhir. Menatap anak muda itu tepat-tepat.
“Anata wa nippon no uta o shitte imasu…’
(Anda mengetahui lagu Jepang), kata Michiko heran.
“Hai, sukhosi dekimasu…” (Ya, mengetahui
sedikit)
“Itu lagu yang sangat mengharukan. Lagu
perpisahan antara dua kekasih. Dimana anda belajar?”
“Saya belajar dari seorang sahabat. Seorang
pelaut. Kami sekapal dari Singapura ke Tokyo…”
“Ya, itu adalah lagu pelaut-pelaut yang
meninggalkan pelabuhan sepinya. Anda menyukai lagu itu?”
“Ya…saya suka sekali…”
“Kenapa?”
“Karena saya adalah pelaut. Bukankah
setiap pengembara adalah pelaut dalam arti kata yang lain? Pengembara pergi dan
datang ke suatu negeri seperti pelaut datang dan pergi ke satu, dan lain laut
sepi. Begitulah saya…”
“Oh, Bungsu-san….” Michiko menyembunyikan
rasa harunya ke dada pemuda itu.
Si Bungsu memeluk bahu gadis itu kembali.
Tanpa dia ketahui, air mata gadis itu mengalir di pipi. Pemuda itu menyanyikan
lagu sepi dan mengucapkan selamat tinggal.
Dan Michiko merasa bahwa lagu itu
ditujukan untuk dirinya. Dengan halus si Bungsu tadi telah menolak untuk
menginap di rumahnya. Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda itu tak lagi akan
bertemu dengannya?
Dia merasakan tangan anak muda itu
memeluk bahunya. Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke rambutnya yang
lebat. Michiko memegang tangan si Bungsu yang memeluknya. Memegangnya dengan
lembut.
Dengan sikap demikian, dia kembali
tertidur. Dan dengan sikap demikian pula si Bungsu mengenang kembali masa
lalunya di Minangkabau.
Ingatannya menikam masa tahun-tahun yang
lenyap dalam jejak zaman.
Teringat akan kegemarannya berjudi ketika
muda. Pada kebenciannya belajar silat. Meski ayahnya, Datuk Berbangsa adalah
Guru Tuo dalam aliran silatnya di kaki Gunung Sago itu.
Teringat pada Mei-Mei. Pada “Isteri”
pertamanya yang tak sempat dia nikahi itu. Gadis Cina itu meninggal di atas
loteng surau di Tarok, Kota Bukittinggi sesaat sebelum mereka membaca ijab
kabul di depan Kadhi. Gadis itu meninggal karena diperkosa oleh selusin serdadu
Jepang.
Kemudian dia teringat pada Salma. Gadis
murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di Panorama Bukittinggi. Gadis
itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita dengan penuh kasih sayang.
Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba
jari manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar disana. Dinin
pemberian Salma.
“Pakailah cincin ini. Bila uda sakit atau
rindu ke kampung, lihatlah cincin ini, saya selalu mendoakan kebahagiaan udaa…”
Begitu Salma berkata sesaat sebelum dia
pergi dahulu.
Dia menoleh ke cincin itu. Dan dia justru
terpandang pada wajah Michiko yang tidur bersandar ke bahunya.
Gadis itu tidur dengan tenteram dan
nyenyak dalam pelukan tangan kirinya.
Dia menoleh ke luar. Lewat jendela kaca
yang kain gordennya belum ditutupkan, dia melihat kegelapan yang pekat di luar
sana.
Angin dingin pastilah menusuk-nusuk.
Sebab kini musimnya. Dalam kegelapan di luar, dia membayangkan perjalanannya
selama di Jepang ini.
Membayangkan Kenji, Hannako dan Tokugawa.
Hannako! Ah, sedang mengapa gadis itu kini? Dia tahu gadis itu mencintainya.
Itu terlihat dari tindak tanduknya.
Apakah dia juga mencintai gadis itu? Dia
tak berani menjawabnya. Dia menyayangi gadis itu seperti dia menyayangi
adiknya. Dan tiba-tiba dia menatap wajah Michiko yang tidur dalam dekapannya.
Yang mana antara Michiko dan Hannako yang
cantik? Dia tak dapat mengatakan yang pasti. Keduanya memiliki kelebihan
masing-masing. Dan mana yang cantik antara kedua gadis ini dengan Salma yang di
Bukittinggi.
Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu pada
dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu. Dan dengan pikiran demikian, dengan
tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (64)
Komentar
Posting Komentar