Keempat anggota Kumagaigumi itu
menghentikan gerakan mereka dan menoleh ke pintu. Si Bungsu juga menoleh ke
pintu. Lewat keempat tubuh lelaki itu dia melihat seorang lelaki Jepang tegak
di pintu. Lelaki yang baru muncul itu berambut sangat pendek. Hanya satu senti.
Tubuhnya agak gemuk. Memakai kimono
berwarna coklat. Dia tegak dibalik pintu yang telah ditutupkan. Rupanya tak
seorangpun yang tahu kapan dia membuka pintu dan masuk kemudian menutupkan
pintu.
Kini dia tegak dengan kepala menunduk.
“Siapa kau?” bentak yang memegang tombak.
Lelaki itu masih menunduk.
Di tangannya dia memegang sebuah tongkat
panjang. Dan si Bungsu segera mengenali, bahwa tongkat di tangan lelaki itu
mirip dengan “tongkat” yang selalu dia bawa.
Tongkat di tangan lelaki itu pasti
samurai! Tapi berlainan dengan samurai yang dia miliki, samurai di tangan
lelaki itu nampaknya lebih kecil ukurannya. Meski panjangnya sama, tapi
lebarnya berbeda.
“Siapa kau!!” yang bertombak itu
membentak lagi. Dengan masih menunduk, terdengar suara lelaki yang baru muncul
itu perlahan:
“Hmmm… alangkahnya tak bermalunya.
Ramai-ramai mengeroyok orang asing di kota ini”
Keempat lelaki itu saling pandang
sesamanya. Mereka sungguh mati tak pernah mengenal lelaki ini. Si Bungsu juga
heran.
Dia tak pernah mengenal lelaki ini
sebelumnya. Mengapa lelaki tak dikenal ini tiba-tiba saja muncul dalam
kamarnya?
“Engkau pemilik samurai ini orang asing?”
lelaki itu bertanya perlahan. Dan di tangannya rupanya telah tergenggam samurai
si Bungsu yang tadi disepakkan ke dekat pintu oleh anggota Kumagaigumi itu.
“Ya….” Kata si Bungsu perlahan.
“Nah, ambillah kembali…” lelaki asing
yang baru datang itu berkata dan tiba-tiba melambungkan samurai itu
tinggi-tinggi. Melewati kepala keempat anggota Kumagaigumi itu. Dan tanpa dapat
dicegah jatuh tepat di depan si Bungsu.
Sudah tentu si Bungsu tak mau
menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan sisa tenaga, dia menyambar samurainya
itu.
Keempat anggota Kumagaigumi itu bukan
main berangnya. Mereka sesaat melupakan si Bungsu yang tak berdaya. Serentak
mereka menyerang orang lancang yang baru masuk itu.
Namun yang berada paling depan, yaitu
yang memakai samurai, terpekik dan terguling rubuh. Dia mendekap mukanya yang
berdarah.
Ketiga lelaki lainnya segera maju. Namun
lagi-lagi mereka terpekik. Dan kali ini, dua diantaranya mati. Yaitu yang
memegang tombak bercabang tiga dan yang memekai rantai!
Si Bungsu sendiri kaget bukan main
melihat kecepatan lelaki ini. Dia seperti tak melihat pada keempat anggota
Kumagaigumi itu. Namun gerakannya demikian cepat. Samurainya berkelabat seperti
kilat yang amat sulit diketahui.
Dua orang anggota Kumagaigumi yang masih
hidup jadi kaget. Mereka kini terjepit antara dua lelaki yang kemahirannya
bersamurai bukan main. Yaitu antara lelaki baru masuk itu di pintu, dengan
orang Indonesia itu dibahagian dalam kamar.
“Sis…siapa engkau….?” Yang memakai tombak
itu bertanya gugup.
Lelaki itu mengangkat wajahnya. Dan
dengan kaget, baik si Bungsu, terlebih lagi anggota Kumagaigumi itu mengetahui,
bahwa lelaki ini ternyata buta!
“Zato Ichi….!” Suara anggota Kumagaigumi
itu terdengar seperti tangisan.
Lelaki yang buta itu menunduk. Dan yang
tak tanggung-tanggung kagetnya adalah si Bungsu. dia kaget mendengar nama Zato
Ichi itu.
Siapa di antara orang di Jepang yang tak
mengenal dan mendengar nama Zato Ichi?
Nama itu sebuah legenda. Nama seorang
pahlawan rakyat Jepang.
Seorang lelaki buta yang kecepatan
samurainya hampir-hampir tak tertandingi. Dan dengan kemahiran bersamurai itu,
meskipun buta, dia malang melintang di seluruh tanah Jepang. Berkelana dari
satu negeri ke satu negeri menegakkan keadilan. Dia seperti malaikat penolong
orang-orang teraniaya. Meskipun matanya buta, tapi hatinya sangat mulia. Orang
Jepang mendewakan dia. Kaum penjahat sangat menakutinya.
Dan si Bungsu mendengar kisah
kepahlawanan Zato Ichi si pendekar buta ini. Dia mendengar cerita itu dari
Kenji dan adik-adiknya.
Namun, bukankah masa Zato Ichi sudah lama
sekali berlalu? Nama itu kini hanay terdengar sebagai suatu legenda. Seorang
tokoh di masa lalu.
Dan kalu kini dia hadir dalam kamarnya,
bukankah itu suatu keanehan? Dan keanehan itu juga terasa di hati anggota
Kumagaigumi itu. Zato Ichi sudah lama lenyap. Bahkan banyak orang menyangka dia
telah lama mati. Kini siapa yang tegak di pintu itu?
Dan suara lelaki buta itu seperti
menjawab pertanyaan tersebut:
“Ya, saya Zato Ichi….”
Suaranya perlahan, lembut dan sabar
sekali.
“Tet….tet…tetapi engkau sudah lama mati…”
Zato Ichi tertawa renyai. Dia menunduk.
“Ya, saya sudah lama mati. Dan yang ada
kini adalah hantu yang akan memusnahkan kejahatan kalian….” Suaranya seperti
bergurau, namun anggota Kumagaigumi itu takutnya bukan main.
Dia mundur, dan tiba-tiba tangannya yang
bertombak itu menyerang si Bungsu. kalau orang ini benar Zato Ichi, maka dia
harus berjuang keras untuk bisa hidup.
Dan jalan pertama yang dia tempuh adalah
menyudahi orang Indonesia yang masih duduk terhenyak ke dinding itu.
Tombaknya terangkat. Namun si Bungsu
sudah waspada. Begitu tombak orang itu terayun, tangannya yang bersamurai juga
terayun.
Tombak itu meluncur amat kencang. Tapi
pada saat yang bersamaan, samurainya juga lepas terhayun menyerang anggota
Kumagaigumi itu. Si Bungsu melontarkan samurainya sambil menggulingkan tubuhnya
ke lantai.
Tombak bercabang tiga itu menghujam ke
dinding, sejari dari leher si Bungsu. dan lelaki anggota Kumagaigumi itu
terlolong. Lontaran samurai si Bungsu persis menerkam jantungnya.
Lelaki itu mendelik, menggelepar. Dan
mati!
Kini hanya seorang anggota Kumagaigumi
lagi. Yaitu yang tadi mukanya disabet dengan samurai hingga berlumur darah oleh
Zato Ichi.
Lelaki itu mundur ketakutan. Dia
mengambil rantainya dan menyerang Zato Ichi di pintu. Suara rantainya gemercing
dan menimbulkan angin yang bersuit.
Namun dengan sebuah putaran tubuh yang
cepat samurai Zato Ichi bekerja. Lelaki itu mati dengan bahu belah!
Kamar itu kini berubah jadi kamar
pembantaian. Darah membanjir dimana-mana. Dan empat mayat melang melintang.
Kini yang hidup dalam kamar itu hanya
mereka berdua. Si Bungsu dari Situjuh Ladang Laweh dan Zato Ichi, pahlawan
samurai negeri Jepang!
Si Bungsu kembali duduk di sisi tombak
bercabang tiga yang menancap dalam di dinding kamar. Dia belum mampu tegak.
Sebab dada, perut, tangan dan pahanya luka parah. Yang terasa sangat sakit
adalah luka dipahanya bekas dihujam tombak bercabang tiga itu.
Dia menatap pada Zato Ichi.
Zato Ichi bersandar ke pintu. Dan
perlahan, tubuhnya yang bersandar itu meluncur turun lalu duduk dilantai dengan
tetap bersandar.
Kepalanya terangkat. Dia seperti menatap
pada si Bungsu.
Dan untuk pertama kalinya si Bungsu melihat
bahwa lelaki yang bernama Zato Ichi ini sebenarnya sudah tua.
Kerut di wajahnya, serta rambutnya yang
sudah memutih membuktikan ketuaannya itu. Namun, secara menyeluruh, lelaki itu
kelihatan penyabar dan tenang. Sikapnya tidak hanya menimbulkan rasa kasihan,
tapi juga menimbulkan rasa simpati.
“Domo arigato gozaimasu Ichi-san. Saya
banyak mendengar kehebatan Zato Ichi-san…” dia berkata perlahan.
Zato Ichi menarik nafas panjang. Kemudian
menunduk.
“Luar biasa. Benar-benar luar biasa.
Seorang asing menjadi jagoan samurai yang ditakuti di negeri Jepang.
Heh…heh..engkau benar-benar seorang yang luar biasa Bungsu-san…”
Zuara Zato Ichi bergema dari tempat
duduknya di lantai dan bersandar ke pintu. Si Bungsu diam. Dia berusaha tegak.
Namun dengan keluhan sakit, dia terduduk lagi.
“Hmmm, nampaknya engkau luka parah. Kamar
ini terlalu bau bangkai, engkau harus keluar dari sini anak muda….” Zato Ichi
berkata.
“Ya, saya rasa saya menang harus keluar.
Tapi….” Suaranya terhenti.
“Saya bisa membantumu. Mari…..” Zato Ichi
berdiri. Dan si Bungsu melihat betapa lelaki itu tegak bertumpu dengan
samurainya yang merangkap sebagai tongkat.
Kemudian dengan tongkat itu pula, dia
melangkah tertatih-tatih mencari jalan. Bila ujung tongkatnya menyentuh mayat
salah seorang anggota Kumagaigumi, dia lalu menghindarkan langkahnya dari sana.
Caranya berjalan sangat mengharukan.
Dengan beberapa kali tersandung pada tubuh mayat-mayat itu, akhirnya Zato Ichi
sampai ke dekat si Bungsu.
Dia berjongkok. Meraba tangan, dada dan
paha si Bungsu.
“Hmmm, mereka membantaimu Bungsu-san…”
katanya perlahan.
Dan dengan berpegang ke tangan Zato Ichi
si Bungsu berdiri.
Diam-diam Zato Ichi merasa kagum atas
ketangguhan anak muda ini. Tangguh dalam bersamurai dan tangguh dalam
mengahadapi derita.
Dan senja itu, dia pindah dari hotel
tersebut. Dengan sebuah taksi yang dipanggilkan oleh pelayan hotel dia dibawa
Zato Ichi jauh ke luar kota. Ke sebuah kuil tua.
Di bahagian belakang kuil itu ada sebuah
rumah kecil. Dan rupanya di rumah inilah Zato Ichi tinggal. Itu terbukti dengan
bergantungan beberapa helai pakaian Zato Ichi.
“Nah, tenanglah. Kita akan coba mengobati
luka-lukamu. Disini engkau aman. Takkan ada orang yang mencarimu kemari….” Kata
Zato Ichi sambil berjalan ke meja.
Kamar ini nampaknya sudah dia kenali
betul letak-letak barangnya. Sebab si Bungsu melihat betapa dengan mudah dia
melangkah ke segenap penjuru tanpa menabrak benda-benda dalam rumah kecil itu.
Sementara Zato Ichi merabut obat, si
Bungsu masih digeluti penasaran heran dan takjub. Heran kenapa lelaki yang jadi
tokoh legenda itu bisa hadir di kamarnya tadi?
Takjub, apakah benar bahwa lelaki ini
adalah Zato ichi, pahlawan samurai yang tersohor itu?
“Kota nampaknya semakin ramai….” Suara
Zato Ichi terdengar perlahan. Si Bungsu yang terbaring di tempat tidur
menolehkan kepala. Tak berniat memberikan komentar. Dia ingin mendengar lebih
banyak tentang lelaki ini.
“Dahulu, tiga puluh tahun yang lalu,
ketika saya masih muda, Kyoto adalah kota yang tenang. Penduduknya memang
ramai. Tapi mobilnya tak sebanyak sekarang. Hanya ada dua atau tiga mobil. Kini
ribuan. Ah, orang buta seperti saya akan hancur digilasnya kalau sering ke
kota….”
Si Bungsu tetap tak memberikan komentar.
Zato Ichio meneruskan meramu obat. Dan si Bungsu segera mengetahui, bahwa Zato
Ichi ternyata juga seorang yang mahir dalam meramu obat tradisional. Hal itu
segera dia ketahui ketika melihat lelaki itu mengeluarkan akar-akar dan
beberapa jenis batu-batuan yang dia kikis.
“Negeri ini dahulu adalah negeri yang
aman. Tapi tentara membuat seluruh jadi berobah. Keinginan untuk berkuasa di
Asia merembet untuk berkuasa di dunia. Akhirnya menjerumuskan bangsa kedalam
kancah peperangan yang menghancurkan diri sendiri….” Zato Ichi berkata terus
sambil terus pula meramu obat.
“Nah, selesai….” Katany sambil menuangkan
obat dari tempat penggilingan ke dalam sebuah pring kecil. Lalu seperti orang
yang bisa melihat sepenuhnya, dia melangkah ke pembaringan.
Dari dalam baskom yang diisi air panas
dia mengeluarkan handuk kecil yang bersih. Lalu dengan handuk itu dia mencuci
luka di sekujur tubuh si Bungsu. si Bungsu masih tak habis pikir, kenapa tokoh
legendaris Jepang ini mau menolong dirinya.
Tak hanya sekedar menolong menyelamatkan
nyawanya dari pembantaian anggota Kumagaigumi, tapi juga menolong merawat
dirinya. Dia tak menemukan jawaban apa sebenarnya.
Sementara Zato Ichi yang telah tua itu,
tapi gerakannya masih kukuh dan lincah, selesai membersihkan seluruh luka di
tubuhnya.’
“Nah, kini saatnya obat ini saya tuangkan
ke luka di tubuhmu. Obat ini sangat manjur. Dalam tiga hari akan sembuh lukamu.
Tapi pedihnya memang tak tertahankan. Pedih dan memilukan. Saya pernah diobat
dengan ramuan ini. Dan untuk itu seluruh tangan dan kaki saya diikat ke
pembaringan. Saya rasa ada baiknya kakimu dan tanganmu juga diikat Bungsu-san…”
“Tidak….tak apa. Barangkali saya bisa
tahan…”
“Engkau sungguh-sungguh?”
“Saya coba…”
Tangan kanan Zato Ichi mengangkat piring
berisi obat itu. Tangan kirinya meraba bekas luka di tubuh si Bungsu.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (70)
Komentar
Posting Komentar