Ya. Dialah yang tegak menghadang itu. Di
sudut bibirnya masih menetes darah dari bekas
dilanyau Malano dan teman-temannya
beberapa menit berselang.
”Apakah bangsa kalian tak beradab
sedikitpun, sehingga masuk rumah ibadah tanpa membuka sepatu yang kotor?”
Anak muda itu berkata dengan nada suara
yang setajam pisau. Jepang-jepang itu tertegun. Mereka lebih banyak heran
daripada kaget. Heran ada lelaki pribumi yang berani menghadang Kempetai.
Apakah lelaki ini edan, pikir mereka. Namun yang bertubuh gemuk itu segera
ingat anak muda ini.
”Hei beruk. Bukankah kamu orang yang kami
tangkap malam itu ketika bersembunyi dekat
Sasaran silat rahasia itu? Ya, engkaulah
orangnya. Kamu orang anak Datuk Berbangsa jahanam itu ya?” penduduk pada
terdiam.
”Tangkap anak jahanam ini. Ayahnya
seorang pemberontak. Anaknya tentu sama saja…” si
gemuk itu berkata lagi.
Si bungsu segera ingat bahwa si gemuk ini
adalah jepang yang dulu memimpin penangkapan atas pesilat-pesilat di sasaran
rahasia yang waktu itu dilatih oleh Datuk Maruhun.
”Lepaskan gadis itu…” dia berkata
perlahan.
”Tangkap dia” perintah si gemuk
menggelegar.
Salah seorang Kempetai itu melepaskan
pegangannya dari Malano. Kemudian maju menangkap si bungsu. Namun sebuah
tendangan menyebabkan Kempetai ters urut dengan perut mual.
”Bagero Habisi nyawanya” si gemuk yang
merasa sudah banyak waktunya yang terbuang
segera memerintahkan untuk membunuh anak
muda itu. Kedua jepang itu maju dengan menghunus samurai mereka. Mata si bungsu
tiba-tiba berkilat. orang yang hadir tak melihat perubahan sedikitpun pada diri
anak muda itu. Wajahnya tetap murung. Sinar matanya tetap luyu. Begitu dulu,
begitu sekarang. Tiba-tiba kedua jepang itu membabat. Dan tiba-tiba….snap Tiga
bacakon yang terlalu cepat untuk bisa diikuti. Akhirnya sebuah tikaman yang
telak ke belakang. Persis seperti jurus yang dipergunakan oleh ayahnya, Datuk
Berbangsa, di halaman rumahnya belasan purnama yang lalu.
Kedua Kempetai itu tertegak diam. Mata
mereka menatap kosong ke depan. Wajah mereka
seperti keheranan. Tiba-tiba mereka rubuh
Si bungsu tegak diam di tempatnya. Samurai di
tangannya berada kembali dalam sarungnya.
Semua orang terdiam. Bahkan anginpun seperti berhenti bertiup, jepang gemuk itu
juga tertegun. Namun hanya sesaat, kemudian dengan memaki dalam bahasa jepang
dia maju. Tangannya tergantung dekat samurai. Dia maju setelah mendorong Saleha
hingga rubuh.
”Kubunuh kau jahanam” jepang gemuk itu
memaki, dan samurainya berkelebat.
Aneh, tiba-tiba pula seperti halnya
ketika dia melawan harimau jadi-jadian di gunung sago
sebulan yang lalu, wajah Kempetai gemuk
ini seperti berubah. Wajahnya kini mirip wajah Saburo Matsuyama. Komandan
Kempetai yang membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakaknya. Wajahnya yang murung
berubah jadi keras. Gerakan samurai si gemuk itu bukan main cepatnya. Namun
lebih cepat lagi gerakan lompat tupai yang dipergunakan oleh si bungsu.
Tubuhnya tiba-tiba berguling ke kanan.
Samurai si gemuk memburu ke sana. Kosong Tiba-tiba dia melambung tegak dua depa
di depan Kempetai itu. Kini mereka berhadapan. Tak seorangpun di antara
penduduk yang percaya atas apa yang baru saja mereka saksikan.
Mulai dari saat kematian kedua Kempetai
itu, sampai pada peristiwa sebentar ini. Benarkah
yang berada di hadapan mereka dan yang
berhadapan dengan Kempetai itu adalah si Bungsu anak Datuk Berbangsa? Si
penjudi yang terkenal penakutnya itu?. Mereka tak sempat berpikir. Kedua lelaki
itu berhadapan lagi. Kempetai gemuk itu menggeser telapak kakinya di tanah,
inci demi inci. Tiba-tiba samurainya bekerja.
Tapi saat itu si bungsu mencabut
samurainya. Tak seorangpun yang melihat bergeraknya
samurai kedua orang itu. Kedua-duanya
alangkah cepatnya. Namun, kini si bungsu kelihatan berlutut di lutut kirinya.
Samurainya menghujam ke belakang. Dan di ujung samurainya Kempetai gemuk itu
tertusuk persis di dada kiri Kempetai itu tertegak diam. Matanya mendelik.
Samurainya terangkat tinggi.
Dia menggertakkan geraham. Menghimpun
tenaga. Kemudia menghayunkan samurai di tangannya ke tengkorak si bungsu yang
berlutut disebelah kaki membelakanginya. Saleha terpekik. Begitu pula beberapa
perempuan yang tegak dengan kaku di sekitar halaman masjid itu. Namun hayunan
samurai si gemuk hanya sampai separoh. Kempetai itu rubuh ke tanah. Si bungsu
menyentakan samurainya dan dengan amat cepat memasukkan kembali ke sarungnya.
Gerakan cepat Bungsu mencabut samurainya
diawal pertarungan tadi membuat konsentrasi si gemuk terganggu. itulah salah
satu sebab kenapa serangannya tak terarah. Tak pernah dia sangka sedikitpun,
bahkan hampir tak masuk di akal, ada penduduk pribumi yang masih sangat muda
memilki kecepatan luar biasa mempergunakan samurai. Lebih cepat dari seorang
Kempetai Apakah ini bisa terjadi? Ketika kedua anak buahnya meninggal tadi, sebenarnya
dia sudah merasa heran.
Kuda-kuda dan langkah kaki anak muda ini
tak menurut aturan dan teori seorang samurai.
Nampaknya asal melangkah saja. Bahkan
beberapa gerakannya terlihat canggung dan lucu. Tapi kenapa dia bisa secepat
itu? Kempetai gemuk itu tak sempat mengambil kesimpulan atas pertanyaan di
kepalanya. Dia keburu mati.
Kalau Kempetai itu sudah menganggap bahwa
si bungsu terlalu cepat dengan samurainya,
maka penduduk kampung itu benar-benar tak
tahu apa yang terjadi. Mereka melihat si Bungsu hanya sekali memegang samurai
terhunus. Yaitu ketika dia menikamkan samurai itu pada si gemuk di belakangnya.
Kemudian samurai itu disentakkan, dan lenyap ke dalam sarungnya. Kini anak muda
itu seperti hanya memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya kurang sedepa.
Si Bungsu tegak di antara mayat-mayat
Kempetai itu. Menatap pada Saleha, kemudian pada
Sawal dan Malano. Sementara mereka
membalas tatapannya dalam diam. Mereka benar-benar takjub. Kejadian ini terlalu
luar biasa bagi mereka. Anak muda itu masih tegak dengan muka murung. Lalu si
Bungsu menoleh pada Imam yang masih tersandar di pintu masjid.
”Saya rasa Kempetai ini hanya datang
bertiga. Mudah-mudahan yang lain tak tahu. Kuburkan mereka jauh-jauh. Lenyapkan
segala tanda kedatangan mereka kemari. Jangan sampai yang lain tahu. Kalau
mereka tahu mereka mati di sini, yang lain akan mereka bunuh. Terima kasih atas
bantuan pak Imam pada saya….” lalu dia menoleh pada Sawal.
”Tinggaikan kampung ini buat sementara.
Agar jepang-jepang itu tak curiga.” Kemudian dia
menghadap lagi pada Malano yang tadi
melayanyaunya dengan tangan.
”Terima kasih Malano, engkau seorang
pejuang. Ayah pasti bangga mempunyai murid seperti engkau. Siang tadi kalian
memberiku waktu sampai sore untuk berada di kampung ini. Sudah tiba saatnya
bagi saya untuk pergi…”
Lalu dia memandang pada Saleha. Gadis itu
juga menatap padanya.
”Terima kasih Saleha. Atas air hangat dan
kain lap yang engkau berikan tadi….”
Tak ada yang menjawab. Tak ada yang
bersuara. Dan anak muda itu berjalan menuju hilir
kampung. Suaranya tadi terdengar tenang.
Tak ada nada dendam. Tak ada nada sakit hati. Dia tetap seperti dahulu.
Wajahnya tetap murung dengan tatapan mata yang kuyu. Ya, tak ada yang berobah
pada dirinya. Dia tetap seperti dulu. Bedanya kini hanyalah Samurai di tangan
dan bara dendam di hatinya
Si bungsu makin lama makin jauh. Semua
orang ingin memanggil dan berkata agar dia jangan pergi. Semua orang ingin
minta maaf atas apa yang telah mereka perlakukan terhadap anak muda itu.
Saleha, Malano, Sawal. Semuanya. Namun tak seorangpun yang mampu membuka mulut.
Tak ada suara yang mampu diucapkan. Tak tahu bagaimana cara memulai kalimat.
Imam ayah Saleha itulah yang bicara. Dia bicara perlahan, di antara air matanya
yang mengalir turun- Dia bicara daripintu masjid, sambil bersandar ke pintu dan
memegangi luka di dadanya.
”Setahun yang lalu, ketika semua kita
melarikan diri dari kampung ini, dialah yang menguburkan jenazah anak kemenakan
kalian. Dialah yang menguburkan suami dan isteri kalian. Dia tak ingin mayat-mayat
itu dimakan binatang buas. Dia kuburkan mereka dalam keadaan dirinya sendiri
luka parah. Bukankah engkau Datuk Labih yang melihat bahwa dia kena bacokan
samurai sebelum engkau sendiri melarikan diri? Meninggaikan kakak perempuanmu
diperkosa dan dibunuh tentara jepang? Kemudian engkau pula yang mengatakan pada
orang kampung bahwa tak mungkin dia menguburkannya. Bahwa bangkainya pasti
telah dimakan anjing atau diseret binatang buas ke rimba?. Bahwa kalian semua
mempercayai, bahkan memang berharap. anak itu mendapat celaka seperti itu?
Bukankah begitu?”
Tak ada yang menjawab. Beberapa orang
kelihatan menghapuskan air mata. Imam itu juga
menghapus air mata di pipinya yang tua.
Tiba-tiba dia menjadi muak melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada
dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempunyai keberanian untuk berkata begini?
Seekor burung Gagak terbang tinggi. Suaranya menyayat pilu.
Gaaak….gaaak…gaaak. Di ujung sana, tubuh
si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama tenggelamnya matahari senja. Hilang
si Noru tampak pagai Hilang dilamun-lamun ombak. Hilang si bungsu karanosansai
Hilang di mato urang banyak.
–odowo—
Malam itu gerimis turun membasahi bumi.
Empat orang serdadu jepang kelihatan berkumpul di sebuah kedai kopi di kampung
Tabing. Kampung itu masih terletak dikaki gunung Sago. Sebuah desa kecil yang
tak begitu ramai. Namun karena letak kampung itu di dalam kacamata militer
cukup strategis, maka jepang menjadikan kampung itu sebagai salah satu
markasnya.
Ada beberapa markas jepang yang termasuk
besar di sekitar kaki Gunung sago di Luhak 50
kota ini. Yaitu Padang Mang atas, Tabing,
Pekan Selasa dan Kubu Gadang . jepang menganggap daerah Luhak 50 Kota ini
sebagai daerah strategis. Karena dari sini dekat mengirimkan pasukan atausuplay
ke Batu Sangkar atau ke Logas dan Pekanbaru. Di daerah mana jepang mempunyai
tambang-tambang emas dan berbagai kepentingan militer lainnya.
Kedai kopi itu sebenarnya sudah akan
tutup, Pemiliknya seorang lelaki tua sudah akan tidur. Namun keempat serdadu
jepang itu tetap menggedor pintu kedainya.
”Jangan bobok dulu Pak tua. Kami ingin
makan paniaram dengan sake. Ayo keluarkan paniaramnya..” salah seorang bicara.
Dari mulut mereka tercium bau sake. Semacam minuman keras khas jepang.
”Paniaram sudah habis tuan…”
”Ah jangan ngicuh laa. Tak baik ngicuh.
Tadi siang masih banyak. Ayooo.”
Dan orang tua itu mereka dorong sampai
terdede-dede masuk ke kedainya. Mereka langsung saja duduk di kursi panjang dan
mengambil empat buah gelas. Dari kantong mereka mengeluarkan beberapa buah
botol porselin. Menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Hanya sedikit, lalu
meminumnya. Mereka lalu berbisik. Salah seorang lalu berseru : ”Hei, pak tua.
Mana paniaramnya.”
Lelaki itu terpaksa mengambil kaleng
empat segi yang berisi paniaram. Kemudian meletakkannya ke depan tentara jepang
tersebut.
”Mana Siti pak tua. Suruh dia membuatkan
kami kopi”
Hati gaek itu jadi tak sedap. siti adalah
anak gadisnya. Biasanya dia berada di Padang Panjang. Sekolah Diniyah Putri di
sana. Tapi sejak jepang masuk. dia merasa anak gadisnya tak aman di sana.
Lagipula, banyak orang tua yang menyuruh pulang anak-anaknya yang sekolah jauh.
Pak tua ini juga menjemput Siti. Dan selama di kampung dia lebih banyak di
rumah.
”Tak ada lagi air panas untuk membuat
kopi tuan…” dia masih coba mengelak.
Tapi terus terang saja hatinya sangat
kecut. Keganasan jepang terhadap perempuan bukan
rahasia lagi. Meskipun belum lewat dua
tahun mereka di Minangkabau ini. Beberapa hari yang lalu, dua orang penduduk
yang dituduh mencuri senjata di Kubu Gadang, dipenggal ditepi batang Agam. Dan
segera saja tentara jepang itu memaki. Belasan perempuan, tak peduli gadis atau
bini orang, telah jadi korban perkosaan.
“Jangan banyak cincong pak tua. Suruh
anakmu turun membuatkan kopi untuk kami….” bentak salah seorang tentara itu.
Lelaki tua itu tak punya pilihan lain
selain menyuruh anaknya turun dan membuatkan kopi. Siti memakai pakaian yang
buruk. Mengusutkan rambutnya kemudian turun membuatkan kopi. Namun meski dia
berusaha memburuk-burukkan badannya dan pakaian yang dia pakai longgar, tetap
tak dapat menyembunyikan kecantikan dan kepadatan tubuhnya. Tak dapat
menghilangkan bahwa pinggulnya padat berisi. Dadanya sedang ranum. Semua itu
masih jelas terbayang. Bahkan makin merangsang dalam cahaya pelita yang eram
temaram dalam kedai kecil itu.
Ketika dia lewat hendak ke dapur di dekat
ke empat serdadu itu, dengan kurang ajar sekali
yang seorang meremas pinggulnya. Yang
seorang dengan cepat mencubit dadanya, gadis ini terpekik dan menangis. Dia
segera akan lari ke atas rumahnya kembali. Namun dia terpekik lagi ketika
larinya dihadang oleh sebuah samurai. Samurai itu berkelebat. Dan ujung kain
batik yang dia pakai sebagai selendang putus Dapat dibayangkan betapa tajamnya
senjata itu.
”Kau Siti, dan kau juga pak tua, jangan
banyak tingkah. Kami ingin minum kopi, makan
Paniaram sediakan cepat kalau tidak ingin
dimakan mata samurai ini…”
Siti menggigil. Ayahnya mengangguk tanda
menyuruh. Sambil menangis terisak-isak, gadis
berumur tujuh belas tahun itu menghidupkan
api untuk membuat kopi.
”Assalamualaikum…….” tiba-tiba terdengar
suara perlahan dari luar.
Tak ada yang menyahut kecuali tolehan
kepala. Lelaki tua itu, anak gadisnya, dan keempat
serdadu jepang itu menoleh ke pintu. Di
ambang pintu muncul seorang lelaki muda dengan wajah murung. Matanya yang kuyu
menatap isi kedai. Dia memandang pada siti. Sebentar saja. Tapi dia melihat
pipi gadis itu basah. Dia memandang pada pemilik kedai. Kemudian pada keempat
serdadu itu. Dia mengangguk memberi hormat. Anggukan pelan saja. Meski tak di
balas, dia melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu.
Ke empat serdadu jepang itu kembali
meminum sake mereka. Nampaknya minta kopi hanya sekedar untuk menyuruh anak gadis itu
untuk turun ke kedai ini saja. Untuk minum mereka mempunyai sake. Anak muda
yang baru masuk itu duduk di sudut kedai. Membelakangi pada keempat serdadu
itu.
Apakah saya bisa minta kopi secangkir
upik? dia bertanya perlahan pada Siti yang duduk dekat tungku menuggu air,
sedepa di sampingnya. Gadis itu menoleh padanya. Anak muda itu menunduk.
Seperti sedang melihat daun meja. Gadis itu tak menyahut. Meski dia yakin anak
muda itu tak melihat anggukannya, dia mengangguk juga sebagai tanda akan
menyediakan kopi yang diminta. Meski menunduk, anak muda itu dapat melihat
anggukan gadis itu.
”Hei pak tua, bukankah Sumite yang
bertubuh gemuk itu minum di sini lima hari yang lalu?”
Tentara jepang itu bertanya pada lelaki
pemilik kedai. Lelaki itu tak segera menjawab.
”Sumite. Kempetai yang bertubuh gemuk
itu. Bukankah dia minum bersama dua orang anak buahnya di sini lima hari yang
lalu?”
Pemilik kedai itu segera tahu siapa yang
ditanyakan jepang itu. Kempetai bertubuh gemuk itu memang minum d is ini lima
hari yang lalu. Kemudian dia pergi. Tapi sejak hari itu, Kempetai itu lenyap
tak berbekas. Dia harus hati-hati menjawab .Jangan sampai dia berurusan pula ke
Kempetai nanti. Kempetai telah datang kemari dua kali. Dia menjawab seadanya.
”Ya tuan. Dia minum di sini bersama dua
orang temannya.”
”Tak ada dia mengatakan kemana dia akan
pergi?”
”Tak ada tuan”
”Nah, dia lenyap tak berbekas. Dia
diperintahkan untuk menangkap dua orang lelaki yang
mencuri senjata di kampung di kaki gunung
sana. Tapi tak pernah kembali. Kampung itu sudah diperiksa. orang yang
ditangkap itu juga tak pernah pulang ke kampungnya.”
”Barangkali dia melarikan diri ke Agam.
Dan Sumite memburunya ke sana…” jepang yang satu lagi memotong pembicaraan.
”Tak tahulah. Di negeri ini memang banyak
setannya. Hei Siti, cepat bawa kemari kopi itu…Naah, bagus, bagus….Yoroshi…”
Siti datang membawa empat gelas kopi.
Ketika dia akan meletakkannya jepang yang bertubuh kurus memeluk pinggangnya.
Siti terpekik.
”Tak apa. Tak apa. Saya sayang Siti. Saya
sayang Siti. Saya akan belikan Siti kain.” Jepang kurus itu merayu sambil
mencium-cium punggung Siti. Siti menangis. Segelas kopi terserak. Jepang-jepang
itu tertawa. Ayah Siti pernah belajar silat. Namun menghadapi empat serdadu
dengan samurai ini hatinya jadi gacar. Apalagi tak jauh dari kedainya terdapat
kamp tentara jepang. Dia terpaksa diam.
Jepang kurus itu sudah mendudukkan siti
di pangkuannya. Kemudian membelai wajah gadis itu. Kemudian mencium pipinya.
Bau sake membuat Siti ingin muntah. Bau keringat jepang itu membuat Siti hampir
pingsan.
”Mana kopi saya Siti….”
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang
jepang-jepang itu. jepang-jepang yang sedang tertawa itu terdiam. Mereka
menoleh. Dan melihat pada lelaki yang masuk tadi yang duduk menunduk
membelakangi mereka. Di kanannya di atas meja kelihatan tongkat kayu melintang.
Dialah yang barusan minta kopi pada Siti.
”Kamu orang bicara sebentar ini?” si
kurus bicara.
”Ya,” orang itu menjawab perlahan
”Apa bicara kamu orang?”
”Saya tadi meminta kopi. Dan siti terlalu
lama.”
”Kamu bisa bikin sendiri kopi. Itu ada
air di tungku.”
”Tidak. Saya meminta siti yang
membikinkan…”
”Siti ada perlu dengan saya…”
”Tidak. Dia harus membikin kopi untuk
saya…
”Bagero. Kurang ajar….”
”Siti mana kopi saya,” anak muda itu
tetap tenang dan menunduk tanpa mengacuhkan jepang yang berang itu. Siti
melepaskan dirinya dari pelukan jepang tersebut. Namun si kurus mendorong tubuh
Siti ke pangkuan temannya satu lagi. Lalu dia sendiri tegak dengan gelas kopi
di tangannya. jepang itu berjalan ke arah anak muda yang meminta kopi itu.
”Kau minta kopi ya ini minumlah”
Berkata begitu si kurus menyiramkan kopi
itu ke kepala anak muda tersebut. Namun tiba-tiba ada cahaya berkelebat cepat
sekali. Dan...trasss Gelas di tangan jepang itu belah dua. Kopinya tumpah ke
wajahnya sendiri. Tangannya luka mengucurkan darah jepang itu terpekik kaget
dan melompat mundur. Anak muda itu masih membelakang. Kini kelihatan dia
lambat-lambat meletakkan tongkatnya. Samurai tanpa terasa keempat serdadu itu
berkata sambil tegak. Mereka menatap dengan kaget. siti.
”Ambilkan kopi untuk saya…”
Anak muda yang tak lain daripada si
Bungsu itu berkata lagi perlahan. Dia masih teap duduk memunggungi keempat
serdadu jepang tersebut. Si kurus yang tangannya luka, tiba-tiba dengan
memekikkan kata Banzai yang panjang mencabut samurainya. Dan menebas leher si
Bungsu. Namun tiba-tiba setengah depa di belakang anak muda itu, sebelum dia
sempat membabatkan samurainya sebacokpun, tubuhnya seperti ditahan.
Ternyata yang menahan adalah ujung
tongkat kayu anak muda itu. Samurai itu tak dia cabut. Hanya sarungnya yang dia
hentakkan ke dada tentang jantung si kurus. Kini mereka berempat, termasuk Siti
dan ayahnya, baru dapat melihat dengan jelas wajah anak muda itu. Seorang anak
muda yang berwajah gagah, tapi amat murung.
”Saya tak bermusuhan dengan kamu kurus.
Kalau engkau coba melawan saya, engkau akan
mati seperti anjing. Pemilik kedai ini
serta anak gadisnya juga tak bermusuhan dengan kalian-Kalian datang menjajah
kemari. Kalian telah banyak menangkapi para lelaki. Dan memperkosa wanita
negeri ini. Karena ini jangan ganggu gadis ini. Saya meminta kopi, jangan
ganggu saya minum….”
Sehabis berkata begini, dia menolakkan
tongkatnya. Dan si kurus terdorong ke belakang tanpa sempat membabatkan samurai
di tangannya yang telah terangkat. si Bungsu menatap pada Siti yang masih duduk
di pangkuan salah seorang jepang tersebut. ”Siti, ambilkan kopi saya…” katanya
perlahan.
Siti segera berdiri. jepang yang
memeluknya seperti tersihir, tak berani menahan gadis itu. Siti segera
membuatkan kopi. Kemudian meletakkannya di depan anak muda itu.
”Duduklah…” anak muda itu menyuruh Siti
duduk di kursi di depannya. Sudah tentu dengan segala senang hati Siti
menurutinya.
”Apapun yang akan terjadi Siti, tetaplah
diam…” dia berkata perlahan sekali sebelum meneguk kopinya.
Siti mendengar ucapan itu. Matanya tak
lepas menatap anak muda tersebut. Dia mengangguk. Dan saat itu si kurus yang
tadi masih tertegak dengan samurai terhunus tak dapat membiarkan dirinya
dilumuri taik seperti itu. Tanpa teriakan Banzai seperti tadi, dengan diam-diam
saja agartidak di ketahui, dia melangkah maju. Dan tiba-tiba dia membabatkan
samurainya ke tengkuk anak muda tersebut.
Ketiga temannya memperhatikan dengan
tenang. Siti ingin berteriak. Namun dia segera ingat pada pesan anak muda ini
barusan- Agar dia tetap tenang, apapun yang akan terjadi. Meski matanya
terbeliak karena kaget dan ingin memperingatkan, namun dia menggigit bibirnya.
Sudah terbayang olehnya leher anak muda di depannya ini putus dibabat samurai.
Namun apa yang harus terjadi, terjadilah Jepang kurus itu tetap tak sempat
membabatkan samurainya meski seayunpun. Dengan kecepatan yang amat luar biasa,
si Bungsu mencabut samurainya. Dua kali ayunan cepat dan sebuah tikaman ke
belakang mengakhiri pertarungan itu. Babatan pertama memuat putus lengan si
kurus yang memegang samurai. Lengan dan samurainya terlempar menimpa barang
jualan di kedai itu. Darah menyembur-nyembur Babatan kedua merobek dadanya. Dan
tikaman terakhir menembus jantungnya. Tikam Samurai Ketiga jepang lain tertegak
dengan wajah takjub dan pucat.
”Sudah saya katakan. Kalau dia melawan
saya, dia akan mati seperti anjing…” anak muda ini berkata perlahan.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (9)
Komentar
Posting Komentar