”Kalian mencari teman kalian si Kempetai
gendut bernama Sumite itu bukan?”
Ketiga jepang itu seperti dikomandopada
mengangguk. Mereka masih terpesona melihat kehebatan anak muda ini memainkan
samurai.
”Nah, dia dan dua kempetai lainnya, juga
mati di tangan saya. Mati seperti anjing. Bukan salah saya. Mereka yang
meminta. Karena kalian sudah mendengar, maka kalian juga harus mati. Tapi
sebelum kalian mati, kalian harus menjawab pertanyaan saya. Dimana Kapten
Saburo Matsuyama kini berada?”
Tak ada yang menjawab. Ketiga jepang itu
saling pandang. Dan tiba-tiba seperti dikomando, mereka melompat mencabut
samurai mereka. si Bungsu meloncat ke atas meja. Ketiga samurai itu memburu ke
sana. Dia meloncat turun. Ketiga jepang itu memburunya. Dan kembali terjadi apa
yang harus terjadi Dua buah sabetan yang amat cepat, kemudian disusul sebuah
tikaman ke belakang. Tikaman yang pernah dipergunakan Datuk Berbangsa ketika
melawan belasan purnama yang lalu.
Dua kali babatan pertama merubuhkan dua
tentara jepang. Yang satu robek dadanya. Yang
satu hampir putus lehernya. Dan tikaman
membelakang terakhir, menyudahi nyawa serdadu yang ketiga. Anak muda itu terhenti
sesaat. Kemudian cepat dia mencabut samurai yang tertancap di dada jepang itu.
Dan-..trap samurai itu masuk ke sarung di tangan kirinya. Kini dia hanya
seperti memegang sebuah tongkat kayu.
Siti dan ayahnya seperti terpaku di
tempat mereka. Anak muda itu berjalan lagi dengan tenang ke mejanya, di mana
Siti duduk dengan diam. Dia mengangkat gelas kopinya. Kemudian meminum kopinya
tiga teguk.
Kemudian memandang pada siti. Kemudia
menoleh pada pemilik kedai itu. ”Maafkan saya
terpaksa menyusahkan Bapak…” dia
melangkah ke dekat lelaki tua itu.
Lalu tiba-tiba samurainya bekerja. Sret..
Lelaki itu terpekik. Siti terpekik. Lelaki tua itu merasakan dadanya amat
perih. Samurai si Bungsu memancung dadanya. Mulai dari bahu kanan robek ke
perut bawah. Siti menghambur dan memukul anak muda itu sambil memekik-mekik.
Namun lelaki tua itu masih tegak dengan wajah pucat.
”Pergilah lari ke markas jepang di ujung
jalan ini. Laporkan di sini ada serdadu yang mabuk
dan berkelahi. Cepatlah”
Lelaki tua itu kini tiba-tiba sadar apa
sandiwara yang akan dia mainkan. Luka di dada dan perutnya hanya luka di kulit
yang tipis. Meski darah banyak keluar, tetapi luka itu tak berbahaya. Anak muda
ini nampaknya seorang yang amat ahli mempergunakan samurainya. Siti yang juga maklum,
jadi terdiam. Dia jadi malu telah memaki dan memukuli anak muda itu.
”Pergilah. Kami akan mengatur keadaan di
sini…”
Si Bungsu berkata. Orang tua itu mulai
berlarian dalam hujan yang mulai lebat. Memekik dan berteriak-teriak hingga
sampai ke Markas Tentara jepang. Dalam waktu singkat, lebih dari selusin
serdadu jepang dan puluhan penduduk datang membawa suluh. Kedai itu berubah
seperti pasar malam. Kedai itu kelihatan centang perenang. Meja dan kursi
terbalik-balik.
Seorang anak muda kelihatan tersandar ke
dinding di lantai. Dada dan tangannya berlumur
darah. Nampaknya dia kena bacokan samurai
pula. Siti kelihatan menangis di dapur. Baju di punggungnya robek panjang. Dari
robekan itu kelihatan darah merengas tipis. Di antara mereka kelihatan keempat
serdadu jepang itu telah jadi mayat. Samurai-samurai mereka kelihatan berlumur
darah.
”Mereka mabuk. Minum sake dan minta kopi.
Kemudian entah apa sebabnya mereka lalu saling mencabut samurai. Main bacok.
Kami tak sempat menghindar…saya terkena bacokan, entah samurai siapa saya tak
tahu. Anak muda itu yang sudah sejak sore tadi terkurung hujan juga kena
sabetan samurai….Siti juga…”
Lelaki pemilik kedai itu bercerita dengan
wajah pucat penuh takut.
”Lihatlah kedai saya…centang perenang.
Saya rugi…” katanya.
Tiga orang Kempetai yang juga ikut nampak
sibuk mempelajari situasi kedai itu dan mencatat di buku laporan mereka.
”Saya sudah bilang jangan biarkan mereka
minum sake dalam tugas..”
Komandan Kempetai itu berkata dengan
berang. Kemudian menghadap pada pemilik kedai.
”Maaf, anak buah saya membuat kekacauan.
Dia sudah pantas menerima kematian atas kebodohan mereka ini. Bapak besok bisa
datang ke Markas. Kami ingin minta keterangan tambahan dan memberikan ganti
rugi yang timbul malam ini. Kami tak mau tentara jepang
merugikan rakyat…Nipong Indonesia
sama-sama. Nipong saudara tua, Indonesia saudara muda…”
Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk
mengangkut mayat-mayat itu ke markas.
Penduduk lalu berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. orang terpaksa pulang karena hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggalah mereka bertiga. Siti menghentikan tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti. ”Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang manjur…” katanya.
Penduduk lalu berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. orang terpaksa pulang karena hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggalah mereka bertiga. Siti menghentikan tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti. ”Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang manjur…” katanya.
Siti menurut. si bungsu menaburkan obat
ramuan yang dia bawa dari gunung Sago itu ke luka di punggung gadis tersebut.
Ramuan itu mendatangkan rasa sejuk dan nyaman di luka itu.
”Terima kasih… gadis itu berkata perlahan.
”Terima kasih… gadis itu berkata perlahan.
Luka itu sengaja dibuat oleh si bungsu
dengan samurainya. Agar kelihatan bahwa memang ada perkelahian dalam kedai itu.
Demikian pula samurai jepang itu dia lumuri dengan darah. Kemudian dia juga
menaburkan bubuk obat itu di luka yang dia buat di dada ayah Siti. Lelaki itu
menatap padanya.
”Maaf saya harus berbuat ini pada Bapak…”
katanya perlahan
”Kami yang harus berterima kasih padamu,
Nak. Saya dengar engkau tadi menanyakan Tai-I (Kapten) Saburo Matsuyama pada
serdadu-serdadu itu…”
Si bungsu tertegun.
”Benar. Bapak mengenalnya?”
”Tidak ada yang tak kenal padanya Nak..”
”Dimana dia sekarang?”
”Nampaknya ada sesuatu yang amat penting
hingga kau mencarinya….”
Hampir saja si bungsu menceritakan apa
yang telah menimpa keluarganya. Namun dia segera sadar, hal itu tak ada
gunanya.
”Ya, ada sesuatu yang penting yang harus
saya selesaikan..”
”Balas dendam?”
Kembali anak muda itu tertegun. Menatap
dalam-dalam pada lelaki tua itu.
”Engkau menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?” Ucapan lelaki itu lagi lagi membuat si Bungsu terdiam.
”Engkau menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?” Ucapan lelaki itu lagi lagi membuat si Bungsu terdiam.
”Tidak perlu kau sembunyikan padaku siapa
dirimu Nak. Setiap orang di sekitar Gunung Sago ini mendengar tentang kematian
ayahmu. Saya mengenalnya. Kami dulu sama-sama belajar silat Kumango. Dan semua
orang juga mengetahui, bahwa anak lelakinya bernama si Bungsu…”
Anak muda itu menunduk.
”Apakah bapak mengetahui di mana Saburo
kini?”
”Beberapa hari yang lalu masih di sini.
Tapi tempat yang mudah mencari opsir jepang adalah di Lundang…”
”Di Lundang?”
”Di tepi batang Agam itu?”
”Ya. Di sanalah.”
”Ada apa di sana. Apakah mereka
mendirikan markas di sana?”
”Tidak. Di sana tempat mereka memuaskan
nafsu dengan perempuan-perempuan..”
”Tempat pelacuran?”
”Begitulah..”
”Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana.”
”Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana.”
”Marilah kita naik. Besok kau teruskan
perjalananmu. ”
”Terima kasih Pak. Saya harus pergi
sekarang.”
”Tapi hari hujan dan malam telah larut.”
”Tidak apa. Saya biasa berjalan dalam
suasana bagaimanapun”
”Tapi bukankah engkau disuruh datang
besok ke markas Kempetai?”
”Ah, saya kira biar Bapak saja. Katakan
saya sudah pergi.”
”Engkau benar-benar tak ingin bermalam di
sini agak semalam?”
”Terima kasih pak…”
Dia kemudian menoleh pada Siti yang masih
duduk. Gadis itu menunduk.
”Terima kasih kopinya Siti. Engkau pandai
membuatnya. Saya belum pernah minum seenak
itu….”
Siti melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya
itu….”
Siti melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya
”Benar kopi itu enak?” tanya gadis itu
perlahan-
”Benar…”
”Saya lupa memberinya gula,” karena ketakutan Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum malu.
”Saya lupa memberinya gula,” karena ketakutan Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum malu.
”Ya, ya. Itulah justru kenapa kopinya
jadi enak. Nah, selamat tinggal.”
Dia genggam tangan Siti sesaat. Kemudian
melangkah keluar.
”Doa kami untukmu Nak…”
”Terima kasih Pak…”
”Kalau suatu hari kelak kau lewat di
sini, singgahlah…”
”Pasti saya akan singgah..”
Dan dia lenyap ke dalam gelap yang basah
di luar sana. Siti menangis ketika dia pergi. Ayahnya menarik nafas panjang.
-000-
Ya. Untuk
sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk
kenaikan pangkat bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan
melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali Eraito memberi jawaban bahwa
kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito
meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu,kemudian mengirimkannya
untuk upacara kenaikan pangkat di Bukittinggi.
Eraito berharap,
waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati
dalam perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit.
Penguburan seperti biasa bisa dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel
Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam pertempuran seperti
tahun – tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito.
Kolonel Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan
Fujiyama mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen
itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam – diam Chu Sha ini mengirim
dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari diterimanya laporan Eraito.
Kedua mata –
mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak
menemui nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan
daftar nama pada pos – pos komando di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama
kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajurit – prajurit
Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan
penyelidikannya. Langsung ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa.
Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada
Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan
Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang melapor ke Markas
Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila
keduanya sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
Eraito menerima
surat itu. Apa yang harus dia perbuat ? Kedua perwira itu telah mati beberapa
bulan yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak
dikenal. Akan datangkah dia ke Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali
kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah busuk ? Akhirnya dia
membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu
berwarna kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera
Jepang bergambar matahari. Dia buka bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua
jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek ! Dia mengangguk pada
tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi
hormat padanya.
Eraito
melilitkan bendera itu kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari
terbit. Ke arah kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai.
Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi itu juga berlutut.
” Tai – I Sambu
.. ” Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai – I ( Kapten ) masuk memberi
hormat. Dia terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya
terpandang pada bendera yang melilit kepala komandannya, kemudian pada samurai
di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia mengangguk
memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.
” Setelah tugas
saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka ..”
Eraito berkata.
” Hai ..!!”
perwira itu mengangguk dalam – dalam. Kemudian Eraito mengambil samurai itu.
Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian menghujamkan samurai itu keperutnya.
Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia iriskan
kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian
jatuh. Kepalanya mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai.
Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia telah melakukan Seppuku, yang
juga disebut Harakiri. Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan
laporan berkas kematian perwira – perwira itu pada ketiga Kapten utusan
Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak
membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun,
kendati jabatannya Kepala Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu.
Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya dengan teliti. Laporan
itu antara lain berisi:
”Ada seorang
anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini
entah dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat
tinggi. Diduga dia mencari seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya.
Mungkin yang dia cari adalah Tai – I Saburo, yang dulu menjabat sebagai Cho (
Komandan Peleton ) Kempetai di Payakumbuh.
Saburo memang terkenal terlalu ganas di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati dimakan samurai anak Minang itu.
Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama si Bungsu ( anak paling kecil ) dari Dusun Situjuh Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya, anak muda itu segera dapat ditangkap.”
Saburo memang terkenal terlalu ganas di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati dimakan samurai anak Minang itu.
Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama si Bungsu ( anak paling kecil ) dari Dusun Situjuh Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya, anak muda itu segera dapat ditangkap.”
Demikian bunyi
dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (
Komandan Batalyon ) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu
dilampirkan nama – nama yang diduga mati di tangan si Bungsu. Kolonel Fujuyama
menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan tugasnya dengan
baik. Menutup rahasia itu rapat – rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di
puncak hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam
pertempuran. Hukuman bagi komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito
memilih yang kedua. Laporan itu dimasukkan ke dalam penyimpanan dokumen paling
rahasia oleh Kolonel Fujiyama.
Kolonel Fujiyama terkenal sebagai seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara. Seorang tentara berperang untuk negaranya. Bukan untuk diri pribadi.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata – mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Kolonel Fujiyama terkenal sebagai seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara. Seorang tentara berperang untuk negaranya. Bukan untuk diri pribadi.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata – mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai
Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia
berhak mengambil putusan – putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia
lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito, seorang mayor yang gagal untuk Harakiri.
Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa si Bungsu ini. Dia
memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha ( Mayor ) dan
menjabat sebagai Bu Tei Cho ( Komandan Batalyon ) di Batu Sangkar, untuk datang
menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo Matsuyama datang dia dipaksa oleh
Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang. Putusan
ini mengejutkan perwira – perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira
yang cekatan. Namun itulah putusan Fujiyama.
” Saya punya
keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak
muda bersamurai yang bernama si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu,
perkelahian tak terhindarkan. Saya tak dapat menerka bagaimana cara anak itu
berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya. Karena itu
pulanglah kekampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan
memperkosa anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap
mengejarmu kemanapun engkau pergi ..”
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
” Apakah engkau
punya anak ?”
” Ada Kolonel
..”
” Berapa orang
?”
” Seorang, dan
perempuan ..”
” Dimana dia
kini ?”
” Di Nagoya.
Baru berumur enam belas ..”
” Dalam agama
ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari
perbuatannya. Saya khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo ? Saya tak menakut – nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu melupakan.
perbuatannya. Saya khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo ? Saya tak menakut – nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu melupakan.
Nah selamat
jalan.. !”
Kata – kata ini
masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus
pulang ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian
ibu ketika anak itu masih berumur sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan
yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang dia perkosa di rumah
adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu
sendiri setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini
ternyata anak lelakinya itu memburunya dengan samurai di tangan. Dengan
Samurai. Ya Tuhan, tiba – tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu tubuhnya
pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai.
Dan menurut
cerita Fujiyama, anak muda itu amat lihai dan tangguh mempergunakan samurainya.
Dia segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat
itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
” Saya akan
menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya
bersumpah untuk membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu
baik –baik ..”
Suara itu
seperti bergema. Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak
kandungnya. Dulu dia menganggap hal – hal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini
anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu
perwujudan dari sumpah Datuk itu ? Saburo mulai seperti dikejar bayang –
bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang – orang Minangkabau. Namun
selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti.
Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat –
manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu
banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian
itu yang mempan pada mereka ?.
Kabarnya ada
pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari
jarak jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun
di antara pasukan Jepang yang terkena senjata rahasia itu ? Ataukah hanya
mempan untuk sesama orang Minang saja ? Saburo termasuk orang praktis yang tak
mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk
Berbangsa yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus
takut ? Dia ingin segera pulang ke kampungnya di Jepang sana. Dia ingin
bersenang – senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia
ambil dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura.
Tapi senja ini perempuan-perempuan di
Lundang itu merasa surprise bercampur heran. Sebab kesana datang seorang anak
muda. Meskipun wajahnya murung, namun tak dapat disangkal bahwa dia seorang
yang gagah. Sinar matanya yang kuyu justru membuat perempuan-perempuan kembang
di sana menjadi tertarik. Sejak senja tadi dia ”dikawal” oleh dua perempuan.
Untuk ukuran disana, kedua perempuan itu adalah perempuan pilihan. Biasanya
mereka hanya mau melayani opsir-opsir berpangkat tinggi. Paling rendah yang
berpangkat kapten. Tak sembarangan saja mereka mau melayani orang. Senja ini
keduanya merasa perlu melayani anak muda itu. Soalnya belum pernah mereka
dikunjungi urang awak, gagah pula. Mereka bercerita perlahan hilir mudik.
Bercerita di bawah bayangan pohon cery. Minum teh manis dan makan pisang
goreng. Anak muda itu kelihatannya bukan dari golongan orang berada. Pakaiannya
sederhana saja. Pakai baju gunting Cina, celana Jawa dengan kain sarung
menyilang dari bahu kiri ke kanan. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu. Kalau
saja dia pakai Saluak, maka orang akan percaya bahwa pastilah dia seorang
penghulu. Gayanya memang mirip seorang kepala kaum.
”Nampaknya uda tengah menanti
seseorang….”, perempuan yang bekulit hitam manis, berhidung mancung dengan mata
yang gemerlap dan menarik, berkata. Dia memperhatikan anak muda itu beberapa
kali melirik ke gerbang setiap ada orang yang datang.
”Ada teman yang akan datang?” perempuan
itu bertanya lagi.
”Ya, saya menanti seseorang.”
”Perempuan?”
”Tidak, bukankah kalian sudah ada?”
”Ya. Tapi kenapa sejak tadi hanya duduk
saja di sini? Ayolah ke rumah…”. Perempuan yanng satu lagi, yang berkulit
kuning dan dan bertubuh montok, berkata sambil menarik tangan anak muda itu.
Umur kedua perempuan itu barangkali tak lebih dari 22 tahun. Masih terlalu
muda.
”Tunggulah. Sebentar lagi mungkin dia
datang. Tapi bagaimana saya akan ke rumah, kalian berdua.”
”Tak jadi soal. Bisa gantian toh Uda?”
ujar perempuan hitam manis itu sambil mengerdipkan matanya yang indah. Muka
anak muda itu jadi merah. Dia melirik ke meja di seberang sana, pada beberapa
serdadu dan opsir Jepang yang sedang minum. Rasanya dia mengenal dua orang
diantara mereka. Dia coba mengingat-ingat.
”Bagaimana? Ayolah ke rumah!” Perempuan
cantik berkulit kuning itu merengek lagi sambil menarik tangannya. Saat itulah
salah seorang dari serdadu Jepang yang duduk tak jauh darinya berdiri. Berjalan
menuju meja di mana mereka duduk. Tubuh Jepang itu berdegap. Dia menatap pada
kedua perempuan yang ada di samping anak muda itu.
”Hmmm…nona mari ikut aku…” katanya sambil
memegang tangan si hitam manis. Perempuan itu menyentak tangannya.
”Maaf Kamura, saya sedang ada tamu…”,
ujarnya mengelak. Jepang yang bernama Kamura dan berpangkat Gun Syo (Sersan
Satu) itu menyeringai. Menatap pada tamu yang disebutkan si hitam manis
tersebut. Ketika yang dia lihat tamunya itu hanyalah seorang lelaki tanggung,
pribumi pula, dia tertawa. Memperlihatkan seringai yang memuakkan.
”Ha, kalian orang ada berdua. Ada si
hitam ada si kuning. Kamu jangan serakah ya. Saya bawa yang hitam manis ini…”
Jepang itu berkata sambil tetap menyeret tangan si hitam manis. Tak ada daya
perempuan itu selain menuruti kehendak Kamura. Teman-temannya tertawa dan
bertepuk tangan. Sementara itu si cant ik berkulit kuning segera merapatkan
duduknya dan memegang lengan anak muda itu erat-erat.
”Cepatlah kita ke bilik. Nanti datang
yang lain membawa saya…”, perempuan itu merengek lagi. Anak muda itu, yang tak
lain dari pada si Bungsu tak mendengar ucapan si cantik ini. Pikirannya tengah
melayang. Dia coba mengingat seringai buruk Gun Syo Kamura tadi. Dimana dia
pernah melihatnya? Tiba-tiba kini dia ingat. Bukankah Jepang itu yang
menghadangnya ketika dia akan mendekati ayah, ibu dan kakaknya sewaktu
penyergapan di rumah mereka dulu? Dia ingat peristiwa itu. Ayah, kakak dan
ibunya baru saja diperintahkan untuk keluar dari persembuyian di atas lot eng
oleh Kapten Saburo. Ketika mereka muncul di tangga rumah Gadang, si Bungsu yang
berada di antara kerumunan penduduk berlari ke depan sambil memanggil ayah dan
ibunya. Tapi seorang serdadu Jepang bertubuh kurus menghadangnya. Dia berhenti,
menatap pada serdadu kurus itu. Serdadu itu menyeringai. Dia tertegak ngeri di
tempatnya. Nah, serdadu itulah tadi yang membawa si hitam manis ke atas. Dia
tandai seringainya itu. Tadi dia lupa karena serdadu itu tubuhnya tidak lagi
kurus seperti belasan purnama yang lalu. Kini tubuhnya besar berdegap. Senang
nampaknya dia di Lima Puluh Kota ini.
”Kita masuk?” si cantik kuning itu
gembira melihat dia tegak. Si Bungsu menatapnya.
”Ya. Kita masuk..” katanya. Dengan
gembira si kuning itu memegang tangannya. Kemudian membimbingnya ke atas rumah
di mana Kamura tadi juga masuk bersama kawannya si hitam manis. Di dalam kamar,
si kuning cantik itu mendudukkan anak muda berwajah murung itu di tempat
tidurnya yang beralaskan kain satin dan berbau harum.
”Duduklah. Mau minum apa?” tanyanya
dengan manja. Si Bungsu menatap perempuan itu. Menatapnya diam-diam.
”Jangan memandang seperti itu Uda. Hatiku
luluh uda buat….”, katanya manja sambil memegang kedua belah pipi si Bungsu.
”Kulihat engkau mencari seseorang
kemari…” perempuan itu berbisik. Si Bungsu masih duduk diam. ”Kulihat engkau
mengenali dan menaruh dendam pada Jepang yang tadi membawa temanku si hitam
itu….” perempuan itu berkata lagi perlahan.
Si Bungsu mengagumi ketajaman penglihatan
perempuan ini.
”Di balik matamu yang sayu, di balik
wajahmu yang murung, tersimpan lahar gunung berapi. Yang akan memusnahkan
orang-orang yang kau benci. Sesuatu yang sangat dahsyat dalam hidupmu pastilah
telah terjadi. Sehingga engkau menyimpan demikian besar gumpalan dendam di
hatimu. Apakah keluargamu dilaknati oleh Jepang?”
Si Bungsu benar-benar terkejut mendengar
ucapan perempuan ini. Dia menerkanya seperti membaca halaman sebuah buku.
”Upik, siapa namamu?” tanyanya sambil
menatap perempuan cantik itu.
”Tak perlu engkau ketahui. Setiap lelaki yang
datang kemari menanyakan namaku. Kemudian mereka akan melupakannya.”
”Katakanlah, siapa namamu!”
”Mariam…”
”Mariam?”
”Ya”
”Apakah itu namamu yang sebenarnya?”
”Tak ada yang harus kusembunyikan. Sedang
kehormatan saja di sini diperjual belikan. Apalah artinya menyembunyikan sebuah
nama.”
”Maaf. Tapi engkau menerka diriku seperti
sudah demikian engkau kenali…”
”Bagi orang lain mungkin sulit buat
menebak siapa dirimu. Tapi tidak bagiku. Aku kenal apa yang ada dalam hatimu,
karena aku jaga mengalami hal yang sama…”
”Keluargamu dibunuh Jepang?”
”Tepatnya suamiku…”
”Suamimu?”
”Ya. Aku yatim piatu. Ibu dan ayah
meninggal setelah aku menikah dan suamiku di bunuh Jepang karena tak mau ikut
ke Logas.Kemudian diriku mereka nistai. Tak cukup hanya demikian, aku mereka
seret kemari. Pernah kucoba untuk melarikan diri, tapi negeri ini tak cukup
luas untuk lepas dari jangkauan tangan Kempetai. Akhirnya aku diseret lagi
kemari untuk memuaskan nafsu mereka. Di sini aku…hidup dan menanti mati.”
Perempuan itu mulai terisak. Si Bungsu
jadi luluh hatinya. Perempuan secantik ini, yang barangkali sama cant iknya
dengan Renobulan, bekas tunangannya dulu. Atau dengan Saleha. Atau dengan Siti.
Kini terdampar di Lundang ini. Penuh noda. Dibenci orang kampungnya. Namun
tahukah mereka apa penyebabnya maka dia sampai kemari?
”Mariam. Dimana kampungmu…” tanyanya
sambil memegang bahu perempuan itu. Perempuan itu menghapus air mata. Berusaha
menahan tangis.
”Saya berasal dari Pekan Selasa…”,
jawabnya perlahan.
”Engkau kenal siapa yang menistai dirimu
dan yang membunuh suamimu, Mariam?” ”Jepang yang tadi membawa teman saya, yang
berkulit hitam manis itu salah seorang di antara mereka….”
”Maksudmu Jepang yang tadi dipanggil
dengan nama Kamura oleh temanmu itu?” Mariam mengangguk.
”Jahanam. Dia jugalah yang dulu ikut
membantai kedua orang tuak dan kakakku. Dia yang menerjangku ketika aku lari ke
arah ayahku…” desis si Bungsu.
”Siapa lagi yang kau kenal Mariam?”
”Saya tak ingat. Tapi komandannya adalah
Saburo…”
Si Bungsu tersentak. ”Saburo?” katanya
mendesis tajam.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (10)
Komentar
Posting Komentar