Langsung ke konten utama

Tikam Samurai (9)




”Kalian mencari teman kalian si Kempetai gendut bernama Sumite itu bukan?”
Ketiga jepang itu seperti dikomandopada mengangguk. Mereka masih terpesona melihat kehebatan anak muda ini memainkan samurai.
”Nah, dia dan dua kempetai lainnya, juga mati di tangan saya. Mati seperti anjing. Bukan salah saya. Mereka yang meminta. Karena kalian sudah mendengar, maka kalian juga harus mati. Tapi sebelum kalian mati, kalian harus menjawab pertanyaan saya. Dimana Kapten Saburo Matsuyama kini berada?”
Tak ada yang menjawab. Ketiga jepang itu saling pandang. Dan tiba-tiba seperti dikomando, mereka melompat mencabut samurai mereka. si Bungsu meloncat ke atas meja. Ketiga samurai itu memburu ke sana. Dia meloncat turun. Ketiga jepang itu memburunya. Dan kembali terjadi apa yang harus terjadi Dua buah sabetan yang amat cepat, kemudian disusul sebuah tikaman ke belakang. Tikaman yang pernah dipergunakan Datuk Berbangsa ketika melawan belasan purnama yang lalu.
Dua kali babatan pertama merubuhkan dua tentara jepang. Yang satu robek dadanya. Yang
satu hampir putus lehernya. Dan tikaman membelakang terakhir, menyudahi nyawa serdadu yang ketiga. Anak muda itu terhenti sesaat. Kemudian cepat dia mencabut samurai yang tertancap di dada jepang itu. Dan-..trap samurai itu masuk ke sarung di tangan kirinya. Kini dia hanya seperti memegang sebuah tongkat kayu.
Siti dan ayahnya seperti terpaku di tempat mereka. Anak muda itu berjalan lagi dengan tenang ke mejanya, di mana Siti duduk dengan diam. Dia mengangkat gelas kopinya. Kemudian meminum kopinya tiga teguk.
Kemudian memandang pada siti. Kemudia menoleh pada pemilik kedai itu. ”Maafkan saya
terpaksa menyusahkan Bapak…” dia melangkah ke dekat lelaki tua itu.
Lalu tiba-tiba samurainya bekerja. Sret.. Lelaki itu terpekik. Siti terpekik. Lelaki tua itu merasakan dadanya amat perih. Samurai si Bungsu memancung dadanya. Mulai dari bahu kanan robek ke perut bawah. Siti menghambur dan memukul anak muda itu sambil memekik-mekik. Namun lelaki tua itu masih tegak dengan wajah pucat.
”Pergilah lari ke markas jepang di ujung jalan ini. Laporkan di sini ada serdadu yang mabuk
dan berkelahi. Cepatlah”
Lelaki tua itu kini tiba-tiba sadar apa sandiwara yang akan dia mainkan. Luka di dada dan perutnya hanya luka di kulit yang tipis. Meski darah banyak keluar, tetapi luka itu tak berbahaya. Anak muda ini nampaknya seorang yang amat ahli mempergunakan samurainya. Siti yang juga maklum, jadi terdiam. Dia jadi malu telah memaki dan memukuli anak muda itu.
”Pergilah. Kami akan mengatur keadaan di sini…”
Si Bungsu berkata. Orang tua itu mulai berlarian dalam hujan yang mulai lebat. Memekik dan berteriak-teriak hingga sampai ke Markas Tentara jepang. Dalam waktu singkat, lebih dari selusin serdadu jepang dan puluhan penduduk datang membawa suluh. Kedai itu berubah seperti pasar malam. Kedai itu kelihatan centang perenang. Meja dan kursi terbalik-balik.
Seorang anak muda kelihatan tersandar ke dinding di lantai. Dada dan tangannya berlumur
darah. Nampaknya dia kena bacokan samurai pula. Siti kelihatan menangis di dapur. Baju di punggungnya robek panjang. Dari robekan itu kelihatan darah merengas tipis. Di antara mereka kelihatan keempat serdadu jepang itu telah jadi mayat. Samurai-samurai mereka kelihatan berlumur darah.
”Mereka mabuk. Minum sake dan minta kopi. Kemudian entah apa sebabnya mereka lalu saling mencabut samurai. Main bacok. Kami tak sempat menghindar…saya terkena bacokan, entah samurai siapa saya tak tahu. Anak muda itu yang sudah sejak sore tadi terkurung hujan juga kena sabetan samurai….Siti juga…”
Lelaki pemilik kedai itu bercerita dengan wajah pucat penuh takut.
”Lihatlah kedai saya…centang perenang. Saya rugi…” katanya.
Tiga orang Kempetai yang juga ikut nampak sibuk mempelajari situasi kedai itu dan mencatat di buku laporan mereka.
”Saya sudah bilang jangan biarkan mereka minum sake dalam tugas..”
Komandan Kempetai itu berkata dengan berang. Kemudian menghadap pada pemilik kedai.
”Maaf, anak buah saya membuat kekacauan. Dia sudah pantas menerima kematian atas kebodohan mereka ini. Bapak besok bisa datang ke Markas. Kami ingin minta keterangan tambahan dan memberikan ganti rugi yang timbul malam ini. Kami tak mau tentara jepang
merugikan rakyat…Nipong Indonesia sama-sama. Nipong saudara tua, Indonesia saudara muda…”
Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut mayat-mayat itu ke markas.
Penduduk lalu berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. orang terpaksa pulang karena hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggalah mereka bertiga. Siti menghentikan tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti. ”Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang manjur…” katanya.
Siti menurut. si bungsu menaburkan obat ramuan yang dia bawa dari gunung Sago itu ke luka di punggung gadis tersebut. Ramuan itu mendatangkan rasa sejuk dan nyaman di luka itu.
”Terima kasih… gadis itu berkata perlahan.
Luka itu sengaja dibuat oleh si bungsu dengan samurainya. Agar kelihatan bahwa memang ada perkelahian dalam kedai itu. Demikian pula samurai jepang itu dia lumuri dengan darah. Kemudian dia juga menaburkan bubuk obat itu di luka yang dia buat di dada ayah Siti. Lelaki itu menatap padanya.
”Maaf saya harus berbuat ini pada Bapak…” katanya perlahan
”Kami yang harus berterima kasih padamu, Nak. Saya dengar engkau tadi menanyakan Tai-I (Kapten) Saburo Matsuyama pada serdadu-serdadu itu…”
Si bungsu tertegun.
”Benar. Bapak mengenalnya?”
”Tidak ada yang tak kenal padanya Nak..”
”Dimana dia sekarang?”
”Nampaknya ada sesuatu yang amat penting hingga kau mencarinya….”
Hampir saja si bungsu menceritakan apa yang telah menimpa keluarganya. Namun dia segera sadar, hal itu tak ada gunanya.
”Ya, ada sesuatu yang penting yang harus saya selesaikan..”
”Balas dendam?”
Kembali anak muda itu tertegun. Menatap dalam-dalam pada lelaki tua itu.
”Engkau menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?” Ucapan lelaki itu lagi lagi membuat si Bungsu terdiam.
”Tidak perlu kau sembunyikan padaku siapa dirimu Nak. Setiap orang di sekitar Gunung Sago ini mendengar tentang kematian ayahmu. Saya mengenalnya. Kami dulu sama-sama belajar silat Kumango. Dan semua orang juga mengetahui, bahwa anak lelakinya bernama si Bungsu…”
Anak muda itu menunduk.
”Apakah bapak mengetahui di mana Saburo kini?”
”Beberapa hari yang lalu masih di sini. Tapi tempat yang mudah mencari opsir jepang adalah di Lundang…”
”Di Lundang?”
”Di tepi batang Agam itu?”
”Ya. Di sanalah.”
”Ada apa di sana. Apakah mereka mendirikan markas di sana?”
”Tidak. Di sana tempat mereka memuaskan nafsu dengan perempuan-perempuan..”
”Tempat pelacuran?”
”Begitulah..”
”Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana.”
”Marilah kita naik. Besok kau teruskan perjalananmu. ”
”Terima kasih Pak. Saya harus pergi sekarang.”
”Tapi hari hujan dan malam telah larut.”
”Tidak apa. Saya biasa berjalan dalam suasana bagaimanapun”
”Tapi bukankah engkau disuruh datang besok ke markas Kempetai?”
”Ah, saya kira biar Bapak saja. Katakan saya sudah pergi.”
”Engkau benar-benar tak ingin bermalam di sini agak semalam?”
”Terima kasih pak…”
Dia kemudian menoleh pada Siti yang masih duduk. Gadis itu menunduk.
”Terima kasih kopinya Siti. Engkau pandai membuatnya. Saya belum pernah minum seenak
itu….”
Siti melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya
”Benar kopi itu enak?” tanya gadis itu perlahan-
”Benar…”
”Saya lupa memberinya gula,” karena ketakutan Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum malu.
”Ya, ya. Itulah justru kenapa kopinya jadi enak. Nah, selamat tinggal.”
Dia genggam tangan Siti sesaat. Kemudian melangkah keluar.
”Doa kami untukmu Nak…”
”Terima kasih Pak…”
”Kalau suatu hari kelak kau lewat di sini, singgahlah…”
”Pasti saya akan singgah..”
Dan dia lenyap ke dalam gelap yang basah di luar sana. Siti menangis ketika dia pergi. Ayahnya menarik nafas panjang.
-000-
Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu,kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan pangkat di Bukittinggi.
Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam pertempuran seperti tahun – tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam – diam Chu Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari diterimanya laporan Eraito.
Kedua mata – mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos – pos komando di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajurit – prajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa. Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
Eraito menerima surat itu. Apa yang harus dia perbuat ? Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah dia ke Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah busuk ? Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia buka bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek ! Dia mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat padanya.
Eraito melilitkan bendera itu kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi itu juga berlutut.
” Tai – I Sambu .. ” Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai – I ( Kapten ) masuk memberi hormat. Dia terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang melilit kepala komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia mengangguk memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.
” Setelah tugas saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka ..” Eraito berkata.
” Hai ..!!” perwira itu mengangguk dalam – dalam. Kemudian Eraito mengambil samurai itu. Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian menghujamkan samurai itu keperutnya. Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia iriskan kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian jatuh. Kepalanya mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai. Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia telah melakukan Seppuku, yang juga disebut Harakiri. Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira – perwira itu pada ketiga Kapten utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun, kendati jabatannya Kepala Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu. Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya dengan teliti. Laporan itu antara lain berisi:
”Ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah Tai – I Saburo, yang dulu menjabat sebagai Cho ( Komandan Peleton ) Kempetai di Payakumbuh.
Saburo memang terkenal terlalu ganas di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati dimakan samurai anak Minang itu.
Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama si Bungsu ( anak paling kecil ) dari Dusun Situjuh Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya, anak muda itu segera dapat ditangkap.”
Demikian bunyi dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho ( Komandan Batalyon ) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama – nama yang diduga mati di tangan si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu rapat – rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua. Laporan itu dimasukkan ke dalam penyimpanan dokumen paling rahasia oleh Kolonel Fujiyama.
Kolonel Fujiyama terkenal sebagai seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara. Seorang tentara berperang untuk negaranya. Bukan untuk diri pribadi.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata – mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak mengambil putusan – putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito, seorang mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa si Bungsu ini. Dia memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha ( Mayor ) dan menjabat sebagai Bu Tei Cho ( Komandan Batalyon ) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang. Putusan ini mengejutkan perwira – perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun itulah putusan Fujiyama.
” Saya punya keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda bersamurai yang bernama si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya. Karena itu pulanglah kekampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi ..”
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
” Apakah engkau punya anak ?”
” Ada Kolonel ..”
” Berapa orang ?”
” Seorang, dan perempuan ..”
” Dimana dia kini ?”
” Di Nagoya. Baru berumur enam belas ..”
” Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari
perbuatannya. Saya khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo ? Saya tak menakut – nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu melupakan.
Nah selamat jalan.. !”
Kata – kata ini masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih berumur sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya itu memburunya dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba – tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu tubuhnya pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai.
Dan menurut cerita Fujiyama, anak muda itu amat lihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
” Saya akan menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik –baik ..”
Suara itu seperti bergema. Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak kandungnya. Dulu dia menganggap hal – hal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu ? Saburo mulai seperti dikejar bayang – bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang – orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat – manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka ?.
Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang terkena senjata rahasia itu ? Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang saja ? Saburo termasuk orang praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut ? Dia ingin segera pulang ke kampungnya di Jepang sana. Dia ingin bersenang – senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura.
Tapi senja ini perempuan-perempuan di Lundang itu merasa surprise bercampur heran. Sebab kesana datang seorang anak muda. Meskipun wajahnya murung, namun tak dapat disangkal bahwa dia seorang yang gagah. Sinar matanya yang kuyu justru membuat perempuan-perempuan kembang di sana menjadi tertarik. Sejak senja tadi dia ”dikawal” oleh dua perempuan. Untuk ukuran disana, kedua perempuan itu adalah perempuan pilihan. Biasanya mereka hanya mau melayani opsir-opsir berpangkat tinggi. Paling rendah yang berpangkat kapten. Tak sembarangan saja mereka mau melayani orang. Senja ini keduanya merasa perlu melayani anak muda itu. Soalnya belum pernah mereka dikunjungi urang awak, gagah pula. Mereka bercerita perlahan hilir mudik. Bercerita di bawah bayangan pohon cery. Minum teh manis dan makan pisang goreng. Anak muda itu kelihatannya bukan dari golongan orang berada. Pakaiannya sederhana saja. Pakai baju gunting Cina, celana Jawa dengan kain sarung menyilang dari bahu kiri ke kanan. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu. Kalau saja dia pakai Saluak, maka orang akan percaya bahwa pastilah dia seorang penghulu. Gayanya memang mirip seorang kepala kaum.
”Nampaknya uda tengah menanti seseorang….”, perempuan yang bekulit hitam manis, berhidung mancung dengan mata yang gemerlap dan menarik, berkata. Dia memperhatikan anak muda itu beberapa kali melirik ke gerbang setiap ada orang yang datang.
”Ada teman yang akan datang?” perempuan itu bertanya lagi.
 ”Ya, saya menanti seseorang.”
”Perempuan?”
”Tidak, bukankah kalian sudah ada?”
”Ya. Tapi kenapa sejak tadi hanya duduk saja di sini? Ayolah ke rumah…”. Perempuan yanng satu lagi, yang berkulit kuning dan dan bertubuh montok, berkata sambil menarik tangan anak muda itu. Umur kedua perempuan itu barangkali tak lebih dari 22 tahun. Masih terlalu muda.
”Tunggulah. Sebentar lagi mungkin dia datang. Tapi bagaimana saya akan ke rumah, kalian berdua.”
”Tak jadi soal. Bisa gantian toh Uda?” ujar perempuan hitam manis itu sambil mengerdipkan matanya yang indah. Muka anak muda itu jadi merah. Dia melirik ke meja di seberang sana, pada beberapa serdadu dan opsir Jepang yang sedang minum. Rasanya dia mengenal dua orang diantara mereka. Dia coba mengingat-ingat.
”Bagaimana? Ayolah ke rumah!” Perempuan cantik berkulit kuning itu merengek lagi sambil menarik tangannya. Saat itulah salah seorang dari serdadu Jepang yang duduk tak jauh darinya berdiri. Berjalan menuju meja di mana mereka duduk. Tubuh Jepang itu berdegap. Dia menatap pada kedua perempuan yang ada di samping anak muda itu.
”Hmmm…nona mari ikut aku…” katanya sambil memegang tangan si hitam manis. Perempuan itu menyentak tangannya.
”Maaf Kamura, saya sedang ada tamu…”, ujarnya mengelak. Jepang yang bernama Kamura dan berpangkat Gun Syo (Sersan Satu) itu menyeringai. Menatap pada tamu yang disebutkan si hitam manis tersebut. Ketika yang dia lihat tamunya itu hanyalah seorang lelaki tanggung, pribumi pula, dia tertawa. Memperlihatkan seringai yang memuakkan.
”Ha, kalian orang ada berdua. Ada si hitam ada si kuning. Kamu jangan serakah ya. Saya bawa yang hitam manis ini…” Jepang itu berkata sambil tetap menyeret tangan si hitam manis. Tak ada daya perempuan itu selain menuruti kehendak Kamura. Teman-temannya tertawa dan bertepuk tangan. Sementara itu si cant ik berkulit kuning segera merapatkan duduknya dan memegang lengan anak muda itu erat-erat.
”Cepatlah kita ke bilik. Nanti datang yang lain membawa saya…”, perempuan itu merengek lagi. Anak muda itu, yang tak lain dari pada si Bungsu tak mendengar ucapan si cantik ini. Pikirannya tengah melayang. Dia coba mengingat seringai buruk Gun Syo Kamura tadi. Dimana dia pernah melihatnya? Tiba-tiba kini dia ingat. Bukankah Jepang itu yang menghadangnya ketika dia akan mendekati ayah, ibu dan kakaknya sewaktu penyergapan di rumah mereka dulu? Dia ingat peristiwa itu. Ayah, kakak dan ibunya baru saja diperintahkan untuk keluar dari persembuyian di atas lot eng oleh Kapten Saburo. Ketika mereka muncul di tangga rumah Gadang, si Bungsu yang berada di antara kerumunan penduduk berlari ke depan sambil memanggil ayah dan ibunya. Tapi seorang serdadu Jepang bertubuh kurus menghadangnya. Dia berhenti, menatap pada serdadu kurus itu. Serdadu itu menyeringai. Dia tertegak ngeri di tempatnya. Nah, serdadu itulah tadi yang membawa si hitam manis ke atas. Dia tandai seringainya itu. Tadi dia lupa karena serdadu itu tubuhnya tidak lagi kurus seperti belasan purnama yang lalu. Kini tubuhnya besar berdegap. Senang nampaknya dia di Lima Puluh Kota ini.
”Kita masuk?” si cantik kuning itu gembira melihat dia tegak. Si Bungsu menatapnya.
”Ya. Kita masuk..” katanya. Dengan gembira si kuning itu memegang tangannya. Kemudian membimbingnya ke atas rumah di mana Kamura tadi juga masuk bersama kawannya si hitam manis. Di dalam kamar, si kuning cantik itu mendudukkan anak muda berwajah murung itu di tempat tidurnya yang beralaskan kain satin dan berbau harum.
”Duduklah. Mau minum apa?” tanyanya dengan manja. Si Bungsu menatap perempuan itu. Menatapnya diam-diam.
”Jangan memandang seperti itu Uda. Hatiku luluh uda buat….”, katanya manja sambil memegang kedua belah pipi si Bungsu.
”Kulihat engkau mencari seseorang kemari…” perempuan itu berbisik. Si Bungsu masih duduk diam. ”Kulihat engkau mengenali dan menaruh dendam pada Jepang yang tadi membawa temanku si hitam itu….” perempuan itu berkata lagi perlahan.
Si Bungsu mengagumi ketajaman penglihatan perempuan ini.
”Di balik matamu yang sayu, di balik wajahmu yang murung, tersimpan lahar gunung berapi. Yang akan memusnahkan orang-orang yang kau benci. Sesuatu yang sangat dahsyat dalam hidupmu pastilah telah terjadi. Sehingga engkau menyimpan demikian besar gumpalan dendam di hatimu. Apakah keluargamu dilaknati oleh Jepang?”
Si Bungsu benar-benar terkejut mendengar ucapan perempuan ini. Dia menerkanya seperti membaca halaman sebuah buku.
”Upik, siapa namamu?” tanyanya sambil menatap perempuan cantik itu.
 ”Tak perlu engkau ketahui. Setiap lelaki yang datang kemari menanyakan namaku. Kemudian mereka akan melupakannya.”
”Katakanlah, siapa namamu!”
”Mariam…”
”Mariam?”
”Ya”
”Apakah itu namamu yang sebenarnya?”
”Tak ada yang harus kusembunyikan. Sedang kehormatan saja di sini diperjual belikan. Apalah artinya menyembunyikan sebuah nama.”
”Maaf. Tapi engkau menerka diriku seperti sudah demikian engkau kenali…”
”Bagi orang lain mungkin sulit buat menebak siapa dirimu. Tapi tidak bagiku. Aku kenal apa yang ada dalam hatimu, karena aku jaga mengalami hal yang sama…”
”Keluargamu dibunuh Jepang?”
”Tepatnya suamiku…”
”Suamimu?”
”Ya. Aku yatim piatu. Ibu dan ayah meninggal setelah aku menikah dan suamiku di bunuh Jepang karena tak mau ikut ke Logas.Kemudian diriku mereka nistai. Tak cukup hanya demikian, aku mereka seret kemari. Pernah kucoba untuk melarikan diri, tapi negeri ini tak cukup luas untuk lepas dari jangkauan tangan Kempetai. Akhirnya aku diseret lagi kemari untuk memuaskan nafsu mereka. Di sini aku…hidup dan menanti mati.”
Perempuan itu mulai terisak. Si Bungsu jadi luluh hatinya. Perempuan secantik ini, yang barangkali sama cant iknya dengan Renobulan, bekas tunangannya dulu. Atau dengan Saleha. Atau dengan Siti. Kini terdampar di Lundang ini. Penuh noda. Dibenci orang kampungnya. Namun tahukah mereka apa penyebabnya maka dia sampai kemari?
”Mariam. Dimana kampungmu…” tanyanya sambil memegang bahu perempuan itu. Perempuan itu menghapus air mata. Berusaha menahan tangis.
”Saya berasal dari Pekan Selasa…”, jawabnya perlahan.
”Engkau kenal siapa yang menistai dirimu dan yang membunuh suamimu, Mariam?” ”Jepang yang tadi membawa teman saya, yang berkulit hitam manis itu salah seorang di antara mereka….”
”Maksudmu Jepang yang tadi dipanggil dengan nama Kamura oleh temanmu itu?” Mariam mengangguk.
”Jahanam. Dia jugalah yang dulu ikut membantai kedua orang tuak dan kakakku. Dia yang menerjangku ketika aku lari ke arah ayahku…” desis si Bungsu.
”Siapa lagi yang kau kenal Mariam?”
”Saya tak ingat. Tapi komandannya adalah Saburo…”
Si Bungsu tersentak. ”Saburo?” katanya mendesis tajam. 
Bersambung ke.... Tikam Samurai (10)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENDIRIAN BENGKEL AA CEMPAKA AUTO SERVICE

Sejarah Singkat pendirian Usaha perbengkelan AA CEMPAKA Auto Service yang berlokasi dijalan By Pass KM 9 Simpang Taruko 1 Kalumbuk Padang   merupakan suatu perusahaan jasa yang bergerak dibidang perbengkelan dan penjualan yaitu memperbaiki kendaraan penumpang roda empat dan juga menjual spare part, pelumas (Engine Oil) maupun peralatan lainnya. Bengkel AA CEMPAKA Auto Service didirikan pada tanggal 01 Juni 2015, oleh ASRUL ARMISKA beliau adalah mantan karyawan disebuah perusahaan otomotif terbesar yang merupakan pemegang merek kendaraan terkenal di Indonesia dan bekerja sama dengan beberapa pihak pemodal perorangan. Bengkel ini pada awalnya didirikan hanya untuk melayani service ringan dengan menyewa tempat berupa kios sederhana dan hingga kini sudah beberapa kali mengalami perpindahan lokasi usaha, seiring dengan jumlah pelanggan yang terus bertambah dimana beberapa bulan kemudian melihat banyaknya pelanggan yang meminta perbaikan-perbaikan pada kendaraan milik m

Mesin Avanza tidak bisa hidup sehabis bongkar Mesin

Ilmu itu sayang jika hanya disimpan maka pada kesempatan ini saya akan berbagi tentang kasus Mesin avanza dan yang sejenis tidak bisa hidup setelah bongkar mesin atau setelah ganti rantai timing (timing chain)..Dan disini saya tidak bermaksud menggurui atau merasa lebih pintar dari agan-agan sekalian hanya berharap semoga ada yang bisa mengambil manfaat terutama bagi mekanik-mekanik pemula. Kasus ini sudah beberapa kali saya dapatkan setelah beberapa rekan-rekan mekanik meminta pertolongan untuk mencari titik permasalahan kenapa mesin tidak bisa hidup. Seperti biasa sebelum kita melangkah ke step yang lebih jauh, sebaiknya kita harus mengembalikan pola analisa kita kedasar, dimana kita harus memulai dari langkah-langkah yang paling sederhana yaitu bahwa mesin akan bekerja apabila terpenuhinya tiga syarat utama berikut ini : Kompresi yang tinggi (sesuai standar) Loncatan bunga api Busi yang kuat (Mesin Bensin) Perbandingan campuran Udara dan bahan bakar yang tepat Dalam mas

Tikam Samurai (53)

Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar. “Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu. Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako. Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur. “Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya. “Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu. “Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mere