Si Bungsu tak menjawab.
”Jawab …! Jawablah apa maksud
memata-matai rumahku ini! Kau ditugaskan oleh siapa untuk mematamataiku?
Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya?”
Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti
ujud petanyaan itu.
”Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa
susah ”. Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.
”Apakah Mahmud mengirim dia kemari? ” si
Babah bertanya pada Baribeh.
”Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya
ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk merampas persenjataan ”.
”Kapan mereka merencanakan?”
”Dua malam lagi ”.
”Apakah tindakan lainnya ”.
”Kalau tak berhasil mereka akan membakar
Kamp kita ”.
Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh
berganti-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini persoalan menjadi
jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu. Babah itu bekerja
untuk Jepang. Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu
tiba-tiba menjadi ing in muntah saking jijik dan mualnya melihat Baribeh, si
Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan
pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak
Jepang tak mengetahui sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang
itu dalam bulan-bulan terakhir ini.
Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai
di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam dari Mesjid belum diket
ahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap
begitu saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti
bahwa kematian Jepang- Jepang di kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga
masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti yang direncanakan
dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang
membunuh Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang
pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram. Buat sementara dia masih aman. Kini
tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.
”Hei monyet, jawablah. Apakah maksudmu
mematamatai rumahku?”
Babah itu memaki. Muka si Bungsu jadi
merah padam. Di negerinya sendiri ada Cina yang memakinya dengan sebutan
monyet. Ada Cina yang selama puluhan tahun diterima dengan baik oleh bangsanya,
diterima di tengah pergaulan dan mencari makan di bumi negerinya dan hidup dengan
aman selama puluhan tahun itu, berani memaki dirinya. Memaki anak negeri dimana
dia hidup menompang dengan sebutan monyet!
Alangkah jahanamnya. Dia tatap mata si
Babah. Dan saat itu perwira yang tadi masuk ke bilik si Amoy anak si Babah,
muncul di pintu. Dia mendengar bentakan, dan cepat-cepat menyudahi
permainannya. Lalu memasang celana dan baju. Si Amoy dia tinggalkan terguling
lelah di lantai.
”Ada apa ..?” tanya perwira yang bernama
Ichi kepada Babah.
Si babah menceritakan tentang si Bungsu
yang mengintai rumahnya. Perwira itu menatap pada si Bungsu.
”Paksa dia untuk bicara. Barangkali dia
ikut ketika mencuri senjata di Kubu Gadang dulu ..” Kata Ichi sambil berjalan
ke sudut ruangan mengambil minuman.
”Bicaralah ..!”
Kata si Babah pada si Bungsu. Kali ini
tangannya bergerak. Mengambil bijih dadu sebuah. Meletakkannya di antara ibu
jari dan telunjuk kanannya. Kemudian ”menembakkan” buah dadu itu kearah si
Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, si Bungsu terpekik.
Bijih dadu itu menghantam daun telinganya sampai robek. Darah mengucur dari
sana. Namun si Bungsu tak dapat bergerak. Sebab empat bayonet masih menekan
dada dan lehernya. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu Babah itu. Hanya
dengan jentikan halus saja, dadu itu sanggup memecah telinga si Bungsu. Tidak hanya
berilmu tinggi, tapi sekaligus berhati sadis!
”Jawablah!! Kalau tidak engkau akan
kubunuh seperti membunuh tikus ..” Kata si Babah dengan nada dingin.
”Saya mencari Saburo ”.
Akhirnya si Bungsu berkata jujur.
”Saburo ..?”
”Ya ..”
”Tai-i Saburo Matsuyama?”
”Ya”.
”Untuk apa kau mencarinya? ”
”Ada persoalan yang harus kuselesaikan ”
”Persoalan apa?” ”Itu urusanku ..”
Mendengar jawaban ini, babah gemuk itu
kembali mengambil sebutir dadu. Lalu kembali dia letakkan di antara ibu jari
dan telunjuknya. Kemudian dia sentilkan kearah si Bungsu. Kembali si Bungsu
terpekik.
Sebenarnya dia telah berusaha untuk
menahan sakit. Dia menggertakkan gigi. Namun dadu itu menghantam keningnya.
Namun Babah gemuk itu bukan main lihainya. Dadu itu menyerempet kening si
Bungsu sedemikian rupa. Mula pertama dadu itu menjitak dahi si Bungsu. Sakitnya
bukan main, kemudian melesat merobek kulit keningnya arah ke belakang. Kulitnya
kepalanya robek empat jari. Darah mengucur.
Babah gemuk itu tertawa menyeringai.
Demikian pula Baribeh dan si Juling. Air mata si Bungsu merembes di pipinya.
Dia tak menangis. Tapi air mata itu adalah air mata menahan sakit. Dia
menyumpahi dirinya yang dengan mudah masuk ke dalam perangkap orang-orang sadis
ini. Si Bungsu bersumpah, kalau dia kelak dapat membalas, maka Babah gemuk ini
adalah orang pertama yang paling nista dia perbuat. Dia akan cincang perut
gendutnya itu. Dia benar-benar bersumpah untuk itu. Tekadnya untuk hidup makin
menyala.
”Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu
mencari Tai-i Saburo ..!” Kata Cina gendut itu. Si Bungsu menghapus darah
dikeningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit
dari kedua lukanya itu menyentak-nyentak.
”Bagaimana saya akan bicara kalau leher
dan dada saya ditekan begini?” Katanya coba mencari kesempatan. Dia berharap
dengan ucapannya itu bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya akan ditarik.
Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling dengan loncat
tupai ke belakang menyambar samurainya.
Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki
yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti babi ini. Namun Babah
itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih
dadu. Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu
siap lagi unt uk dia sentilkan pada si Bungsu.
”Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau
mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka sebelum salah satu di antara
kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau
tidak di lehermu!”
Benar-benar sadis. Mau tak mau si Bungsu
memang harus buka mulut.
”Saya ingin menuntut balas kematian
keluarga saya ..” katanya perlahan.
”Dengan apa akan kau tuntut? Dengan
menembaknya? Atau dengan menyerang rumahnya bersama gerombolan Indonesia? Hmm
..? Katakan bagaimana caranya!!”
”Dengan cara saya sendiri ..”
”Bagaimana caramu!”
Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu
bangkit. Kemudian mendekatinya.
”Katakan bagaimana caramu ..!” desis
Babah itu.
Perwira-perwira Jepang yang lain menatap
dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya adalah salah seorang
Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira
itu. Hanya saja jabatannya itu dia rangkap sebagai penjudi dan pengusaha rumah
lacur. Demikian tak bermoralnya dia, sehingga demi pangkat dan karirnya di mata
Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan nafsu
perwira-perwira Jepang tersebut. Karena si Bungsu masih tetap diam, Babah itu
menjitak kepalanya. Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam
keningnya. Keningnya segenap bengkak sebesar telur.
”Katakanlah dengan siapa kau akan pergi
menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul, monyet!”
Kepalanya yang kena jitak amat sakit,
tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar-benar sakit hati si Bungsu menerima
perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya
tadi. Benar-benar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut ”monyet”
benar-benar menyakitkan. Saking sakit hatinya, anak muda itu lupa mengontrol
diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu. Ludahnya
menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya.
Dia tak sadar sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si
Babah seketika. Kalau itu terjadi, maka dendamnya pada Saburo takkan pernah
terbalaskan.
Namun si Babah yang mukanya sudah seperti
udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun. Kakinya melayang. Si Bungsu
yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya
tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian
tubuhnya jatuh. Masih belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah
tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan main. Dia mendengar tawa
si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh. Untung si Baribeh.
Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah.
Tendangan Baribeh itu membuat dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam.
Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.
”Anjing! Melayu anjing, berani kau
meludahiku, kupotong lidahmu ” Sumpah si Babah dan mendekati tubuhnya. Si
Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah
pisau dari atas meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk
memotong lidah si Bungsu. Namun saat itu si Bungsu merasa ujung jarinya
menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup, dia membuka
mata.
Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya! Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh semua orang yang ada dalam ruangan itu, si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh.
Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya! Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh semua orang yang ada dalam ruangan itu, si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh.
Darah muncrat dari tubuh mereka. Kini si
Bungsu tegak di atas unggukan uangnya dengan sikap seperti seekor Rajawali yang
siap menyambar mangsanya. Samurainya terhunus melintang di depan dada. Samurai
itu berlumuran darah. Matanya menatap tajam pada Babah gemuk itu.
”Siapa saja yang bergerak mencabut
senjata atau berniat lari atau memekik, akan kucabut nyawanya. Tegak saja di
tempat kalian baik-baik!” Ujar anak muda itu perlahan. Suaranya dingin dan
penuh ancaman. Perwira Ichi yang semula berniat mencabut pistol, jadi tertegun.
Tangannya terhenti di gagang pistolnya. Ancaman anak muda ini menggetarkan
jantungnya. Namun jarak antara dia dengan anak muda itu cukup jauh. Lagipula
tubuhnya terlindung oleh tubuh seorang wanita. Dia pasti aman kalau mencabut
pistol itu diam-diam kemudian menembaknya pada tengkuk anak muda pongah ini.
Dia sudah berniat untuk melaksanakan maksudnya.
Tapi entah kenapa tiba-tiba dia jadi
ragu. Karenanya dia memberi isyarat dengan mata pada si Baribeh. Baribeh
mengerti isyarat itu. Lelaki itu lalu bicara untuk mengalihkan perhatian si
Bungsu.
”Bungsu, jangan berbuat kekacauan di
sini. Engkau tak akan bisa lolos lihatlah, rumah ini telah dikepung ..”
Dan waktu itulah pistol Ichi keluar dari
sarungnya. Pistol itu sudah akan dia angkat. Malang dia tak mengetahui bahwa
anak muda ini tidak sama dengan kebanyakan anak muda Melayu lainnya. Anak muda
yang satu ini telah melatih indranya di gunung selama dua tahun lebih. Dia
telah lolos dari kehidupan liar yang
membutuhkan perjuangan keras untuk bisa
tetap bertahan. Dia mampu bertahan hidup di tengah ganasnya belantara yang amat
liar. Hidup di tengah hukum rimba. Dimana hanya yang kuat yang berhak untuk
hidup. Yang lemah harus mau menjadi tumbal untuk kelangsungan hidupnya yang
kuat.
Dalam kehidupan di rimba belantara itu,
kekuatan saja tidak menjadi jaminan untuk bisa memperpanjang nyawa. Kuat tanpa
kecerdikan bisa konyol. Kuat dan cerdik saja juga belum tentu bisa selamat.
Kewaspadaan dan ketajaman firasat serta pendengaran sangat dibutuhkan.
Bagaimana caranya mengetahui seekor ular yang bergerak tanpa suara itu akan
menyerang kita?
Bagaimana caranya mengetahui seekor
harimau yang akan menerkam mangsanya, yang bergerak seringan kapas tanpa
dilihat dan tanpa terdengar oleh mangsa yang akan diterkam. Makhluk di rimba
raya memerlukan ketajaman firasat dan pendengarannya untuk bisa bertahan hidup.
Inilah yang terpenting, bukan hanya kekuatan semata.
Burung, tupai atau kancil, adalah makhluk
yang lemah tanpa daya. Namun mereka bisa hidup berkembang dan tak punah dalam
belantara yang dipenuhi kebuasan itu berkat pendengaran dan firasat mereka yang
tajam. Itu pulalah yang dipelajari si Bungsu selama mengasingkan diri selama
dua tahun di gunung Sago. Dia bertekad untuk tetap hidup
sekurang-kurangnya sampai dendam keluarganya terbalaskan. Kalau burung atau
kancil saja bisa hidup, kenapa dia sebagai manusia yang berakal tidak? Kalau
mereka mempunyai ketajaman pendengaran, kenapa dia tak bisa menirunya? Maka hiduplah
dia di rimba itu sambil menimba banyak sekali kearifan hidup dari hewan yang
purbani.
Ternyata dia keluar sebagai pemenang.
Tetap hidup sampai saat ini. Itu pula yang terjadi di rumah babah gendut itu.
Disaat Ichi menarik pistolnya, telinga si Bungsu yang mampu mendengar daun
jatuh sekalipun saat di gunung sana, juga mendengar benda keras yang dicabut
dari sarangnya. Firasatnya segera bekerja. Benda itu kalau tidak pisau pastilah
pistol. Dalam waktu yang singkat sekali, dia menjatuhkan diri kebelakang.
Punggungnya mencecah lantai. Kemudian kakinya bergulung keatas. Saat itu pistol
meledak. Namun pelurunya menerpa tempat kosong. Dengan dua kali bergulingan
amat cepat, si Bungsu melewati perempuan yang tegak di depan Ichi.
Perwira itu terkejut melihat anak muda
itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Pistol dia arahkan padanya. Namun
samurai si Bungsu berkelebat. Tak ada pekikan. Perwira Jepang itu rubuh dengan
bahu di dekat pangkal lehernya belah dua sampai ke dada. Bukan main.
Benar-benar satu gerakan yang terlalu cepat untuk diikuti mata.
Seorang serdadu yang tegak di sisi Ichi
justru ternganga menatap tubuh perwiranya yang jatuh tergolek dengan tubuh
hampir terbelah dua. Tapi nasibnya juga sial. Tengkuknya disambar samurai si
Bungsu. Kepalanya mengelinding ke bawah sebelum tubuhnya mencapai lantai. Mati.
Perempuan-perempuan pada terpekik. Si
Bungsu tegak menghadap pada Babah gemuk itu. Si Babah terkejut melihat
kecepatannya. Sementara si Baribeh dan
si Juling tegak merapat kedinding
belakang si Babah.Muka mereka pucat
ketakutan. Tak pernah mereka bayangkan sedikitpun, bahwa anak muda yang pernah
mereka lanyau di Surau ketika mereka kalah judi dahulu akan menjadi begini
hebatnya.
”Hmm, lu jangan banyak lagag di depan we.
Lu we bikin ayam potong”. Ujar Si Babah sambil menyeringai buruk. Si bungsu
memandangnya tak berkedip. Matanya yang biasa bersinar lembut kini membersitkan
api amarah yang dahsyat. Samurainya membelintang di depan dada. Dia tegak
dengan sikap gagah. Kemudian terdengar suarasuaranya bergema, dingin dan datar.
”Gendut, engkau telah hidup di negeriku
ini sebelum aku dilahirkan. Bahkan mungkin kalian hidup sejak dari moyang
kalian di sini. Di sini kalian hidup dan mencari nafkah. Pernah kalian diganggu
anak negeri ini? Pernah kalian dihalangi untuk mencari nafkah? Tak pernah, kan?
Bahkan kami menganggap kalian sebagian dari masyarakat kami. Kita sama-sama
berhak hidup dan mencari kehidupan di negeri ini. Tapi apa kini yang kau
perbuat untuk membalas kebaikan anak negeri ini? Yang telah berbaik hati
menerima kalian hidup beberapa keturunan dengan damai di negeri ini?”
Dia berhenti sebentar, lalu:
”Ternyata kau khianati negeri ini pada
Jepang. Engkau menjadi musuh dalam selimut bagi anak negeri yang telah puluhan
tahun hidup bersamamu. Benar-benar sikap jahanam yang laknat. Demi uang engkau
sudi berbuat apa saja. Tapi demi Tuhan, engkau harus mati malam ini. Harus,
Gendut!”
Sumpah anak muda ini mau tak mau membuat
bulu tengkuk Babah itu merinding. Si Baribeh dan si Juling tak berani berkutik.
Tegak mematung dengan tubuh menggigil di tepi dinding. Kedua lelaki Minang ini
sampai terkencing-kencing di celananya. Si Babah gendut itu nampaknya juga
mengetahui bahwa anak muda di depannya ini tidak hanya menggertak sambal. Anak
muda itu sanggup melaksanakannya. Karena itu dia mulai menyerang, tubuhnya
seperti lenyap di bungkus sinar. Bukan main cepatnya dia bergerak. Si Bungsu
buat sesaat jadi tertegun. Dia bukan pesilat, apa yang harus dia perbuat?
Suatu saat dia rasakan angin mengarah
keperutnya. Dia tak melihat serangan. Tapi dia yakin angin itu berasal dari
pukulan Gendut itu. Satu-satunya jalan yang bisa diambilnya adalah
menghantamkan samurainya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya berguling
kesamping. Namun terlambat! Sebuah tikaman menghantam pahanya. Bukan main
sakitnya, dia terpekik. Darah mengucur lagi! Si Babah memburu terus.
Untuk beberapa saat si Bungsu terpaksa
berguling dengan meniru loncat tupai itu. Untuk beberapa saat nampaknya dia
teringat lagi pada perkelahiannya yang terakhir di gunung Sago melawan dua
cindaku. Ya, kenapa dia tidak bertahan tegak saja sambil memejamkan mata?
Bukankah dia bisa mengandalkan pendengarannya yang tajam itu.
Kalau dia mengelak terus begini,
tenaganya akan habis. Gerakkannya akan lamban. Dan bila sudah begitu maka
kesempatan untuk menangkis serangan juga tak ada lagi. Maka kini dia harus
merobah taktik. Si Babah ini nampaknya memang seorang pesilat Cina yang
tangguh.
Firasatnya yang mencurigai si Babah
ketika mula-mula masuk tadi ternyata benar. Si Babah t idak hanya berilmu silat
yang tinggi, tetapi juga seorang mata-mata yang amat berbahaya. Si Bungsu
bergulingan menjauh. Saat berhasil menjauhi si Babah dia tegak kemudian
memejamkan mata. Dia mendengar nafas memburu dan suara gigilan di belakangnya.
Kemudian langkah menggeser.
Masih dalam keadaan memejamkan mata, dan
masih dalam keadaan merasakan sakitnya telinganya yang koyak, keningnya yang
luka dihantam dadu si Babah, dan paha yang luka kena tikam pisau, dia
menghayunkan samurainya kebelakang. Si Baribeh dan si Juling yang berada di
belakangnya, yang ingin menggeser tegak dari belakang anak muda itu, tiba-tiba
terpekik. Bajunya robek dihantam samurai si Bungsu. Dia tertegak diam dan
merapat kembali kedinding.
”Engkau tak layak untuk hidup Baribeh.
Selain penjudi, engkau ternyata menghianati negerimu. Orang semacam engkau tak
layak mengaku sebagai anak Minangkabau.
Karenanya engkau juga tak layak hidup di
negeri ini!”.
Suara si Bungsu bergema perlahan. Tapi
nadanya mengirimkan gigilan yang amat menakutkan ke jantung si Baribeh dan si
Juling. Anak muda itu bicara dengan mata yang masih terkatub. Dia harus membagi
inderanya antara mengawasi si Baribeh dan si Juling dengan gerakan si Babah
gemuk.
”Yiy … ya! Ya benar. Saya memang tak
layak untuk hidup di negeri ini. Karena itu mohonlah lepaskan saya. Saya akan
berangkat meninggalkan negeri ini ..” si Baribeh berkata memohon terbata-bata.
Terdengar gelak renyai dari mulut si Bungsu.
”Hee .. he. Engkau akan pergi dari sini
Baribeh?”
”Ya. Ya. Tapi kata waang saya layak hidup
di negeri ini. Saya akan pergi jauh-jauh. Jauuuh sekali ..” ”Hidup adalah
sesuatu yang amat mulia untuk kau lumuri dengan dosa Baribeh. Kau t ak berhak
untuk hidup…..”
Baribeh terkejut dan hampir saja dia
jatuh mendengar ucapan anak muda ini. Tapi dia berusaha untuk tetap tenang.
Meskipun tubuhnya menggigil dan celananya basah, dia angkat bicara lagi:
”Tet .. eh, tapi siapa yang menentukan
bahwa saya tak berhak untuk hidup?”
”Saya!”
”Te .. eh. Tapi engkau bukan Tuhan!”
”Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam kehidupanmu
yang kotor!”
Sehabis bicara dia berputar. Dia harus
bertindak cepat, sebab si Babah merupakan bahaya besar yang harus dia hadapi.
Begitu dia berputar, tubuh Baribeh dan si Juling menggeliat dimakan samurainya.
Dada mereka belah dan menyemburkan darah. Dua orang penghianat yang bekerja
untuk seorang Cina yang memata-matai negerinya telah mati.
Mati di tangan anak muda yang pernah
mereka lanyau. Kini si Bungsu tinggal memusatkan perhatiannya pada si Babah
gemuk itu. Namun saat itu di luar terdengar seruan dalam bahasa Jepang..
Kempetai! Ya, Kempetai telah mengepung rumah itu. Kempetai rupanya telah
diberitahu oleh seorang mata-mata yang bertugas di luar.
Begitu mendengar pekikkan, dia segera ke
pos Kempetai. Kini Polisi Militer Jepang itu datang dengan kekuatan empat puluh
orang. Si Bungsu berfikir cepat. Dia sudah bersumpah untuk membunuh Babah
mata-mata jahanam ini. Kalau tidak maka lebih banyak lagi bencana yang akan
ditimbulkan orang ini terhadap negerinya. Dia kini tegak membelakangi dinding dan
mayat Baribeh. Sedepa di kanannya, terdapat pintu keruang depan. Dia melirik
pintu itu besar dengan palang pengunci dari balok. Rumah ini model rumah-rumah
Cina kuno yang kukuh.
Dengan bergerak cepat dia menghantam
pintu itu sampai tertutup. Kemudian menyepak palangnya hingga jatuh dan
mengunci pintu dari papan yang amat tebal itu. Namun saat itu pula si Babah
menyerangnya dari belakang. Pisau Babah itu menancap di bahunya. Hampir saja
mengenai jantung. Namun dengan menggertakkan gigi, anak muda ini melompat dan
menghujamkan samurainya kebelakang. Dia merasa samurainya mengenai sesuatu.
Kemudian dia menyentak samurai itu kembali. Lalu berputar. Di luar terdengar
Kempetai berteriak dan memukul-mukul pintu. Si Bungsu membabatkan samurainya.
Si Babah gendut yang telah tertusuk dadanya itu, coba menangkis dengan pisau
pendek itu. Namun tangannya putus hingga pergelangan. Dia terpekik.
”Kubunuh kau mata-mata laknat!!”
Desis si Bungsu sambil sekali lagi
membabatkan samurainya. Babah itu mencoba mundur, tangannya yang pontong itu
terangkat seperti akan menangkis. Namun tangannya itu dimakan samurai. Putus
hingga siku, Babah itu untuk kedua kalinya terpekik.
Perempuan-perempuan sudah sejak tadi
lenyap lewat pintu belakang. Babah itu hoyong. Samurai si Bungsu bekerja lagi.
Kaki si Babah putus di batas lutut. Kini si Babah tergolek. Si Bungsu memenuhi
sumpahnya belum lama berselang. Bahwa dia akan mencencang perut buncit Cina ini
atas penghianatannya. Enam kali samurainya bekerja. Membuat perut Babah Cina
itu robek-robek seperti perut kerbau usai dipesiangi di rumah bantai. Darah
bersemburan. Tubuh si Bungsu sendiri dipenuhi darah.
Darah dirinya dan darah si Babah!
Kempetai di luar mulai menembaki pintu. Namun dengan bedil panjang mereka,
pintu kukuh itu tetap tak dapat dijebol. Peluru bedil mereka hanya mampu
menembus sedikit saja papan pintu itu, namun tidak tembus. Babah gepuk itu
memang membuat rumahnya sebagai benteng. Dia amat khawatir kalau suatu saat
rahasianya sebagai mata-mata Belanda dan mata-mata Jepang diketahui orang.
Karena itu, dia membangun rumahnya sebagai pos yang sulit untuk ditembus.
Siapa sangka, hari ini dia sendiri yang
membawa pembunuhnya masuk. Dan dia terbunuh di dalam benteng yang dia buat.
Sementara orang yang ingin membantunya terkurung di luar. Dihambat oleh pintu
besar yang amat kukuh. Di dalam ruangan itu masih ada dua orang perwira Jepang
teman Ichi yang mula pertama main judi tadi. Mereka memang datang kesana atas
permintaan si Babah. Si Babah melaporkan bahwa ada mata-mata yang ditangkap.
Tapi kini, melihat makan tangan orang yang disebut mata-mata itu, tubuh mereka
jadi lumpuh. Mereka seperti tak berdaya untuk bergerak.
Ternyata tak semua perwira Jepang berhati
baja. Ternyata mereka juga manusia biasa. Ada yang berhati baja, ada yang berhati
seperti kerupuk jangek, amat rapuh. Mereka sebenarnya punya kesempatan yang
banyak untuk balas menyerang. Mereka bisa mencabut pistol atau memungut bedil
yang terletak di lantai. Dan menembakkannya ketika anak muda itu bertarung
melawan si Babah. Namun mereka seperti disihir. Terdiam tak berkutik. Ada dua
hal yang menyebabkan
mereka begitu. Pertama rasa takut melihat
sepak terjang anak muda itu. Amat cepat dan amat mengerikan. Dan yang kedua
adalah perasaan takjub mereka. Betapa mereka takkan takjub, sebagai
perwira-perwira, mereka termasuk mahir mempergunakan samurai.
Namun melihat cara anak muda ini
mempergunakan samurai, mereka benar-benar terpukau. Caranya nampak sangat
sembarangan. Tidak menurut aturan sebagaimana pesilat-pesilat samurai seperti
mereka. Meski demikian, meski dengan metode yang tak benar, gerakan anak muda
ini amat terlalu cepat. Ayunan dan tebasan samurainya amat kukuh, mantap dan
secepat kilat. Mereka yakin, kalaupun mereka disuruh bertanding melawan anak
muda ini, maka bagi mereka takkan ada harapan untuk menang sedikitpun! Kini,
ketika si Bungsu mencencang tubuh si Babah, tanpa dapat mereka tahan kedua
perwira ini terpancar kencingnya. Mereka bukannya ngeri melihat tubuh si Babah
yang cabik-cabik, tapi mereka membayangkan bahwa setelah ini tubuh merekalah
yang akan menerima nasib seperti itu.
Si Bungsu melangkah mendekati mereka.
Salah seorang mencabut pistol dengan tangan menggigil. Samurai si Bungsu
bekerja. Keduanya rubuh tanpa dapat melawan sedikitpun. Rumah itu berkuah
darah. Potongan tubuh kelihatan tergeletak di sana sini. Ini benar-benar sebuah
pembataian!
Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain
dari pada seperti itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Dibunuh atau membunuh.
Maka dia memilih yang kedua. Betapapun jahatnya suatu pembunuhan, namun jauh
lebih baik hidup sebagai pembunuh dari pada mati sebagai orang yang dibunuh.
Apa lagi kalau yang dibunuh itu adalah musuh bangsa! Cukup lama waktu berlalu
ketika pintu besar itu berhasil didobrak oleh Kempetai. Yaitu setelah mendatangkan
sebuah truk reok untuk menghantam pintu itu sampai jebol. Begitu jebol,
Kempetai berlompatan masuk. Begitu berada di dalam, mereka pada berseru kaget.
Bulu tengkuk mereka merinding tatkala melihat sisa penjagalan yang terjadi
dalam rumah itu.
Mereka segera memeriksa set iap sudut
rumah. Mencari anak muda yang dilaporkan sebagai mata-mata yang masuk perangkap
di rumah ini. Namun si Bungsu lenyap entah kemana. Mereka memeriksa semua
bilik. Termasuk bilik enam perempuan yang tinggal di rumah itu. Termasuk juga
bilik si Amoy semok anak si Babah yang baru berumur tujuh belas tahun itu. Tapi
si Bungsu tak ada. Dan semua perempuan itupun benar-benar tak mengetahui kemana
anak muda itu pergi. Dia lenyap seperti hantu dalam cahaya bulan.
Pimpinan tentara Jepang di Payakumbuh
Mayor Sin Ici Eraito mengumpulkan semua perempuan yang ada di rumah itu,
termasuk semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka
diperintahkan untuk tetap tutup mulut. Tak seorangpun boleh membicarakan hal
ini. Juga diperintahkan, agar set iap kematian tentara Jepang dalam serangan
atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan. Jangan sampai
menjalar ke luar. Sebab kalau berita itu bocor ke luar maka ada dua hal yang
membahayakan kedudukan tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi yaitu bangsa
Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan bertambah semangatnya. Sebab
ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu. Dan
hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau.
Kedua adalah soal prestise.
Tentara Jepang sudah tentu akan malu jika
tersiar kabar bahwa tentara kaisar Tenno Heika dari negeri Matahari Terbit yang
kesohor itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa
tentara Jepang itu justru mati oleh sebuah Samurai. Tak terbayangkan geger yang
akan timbul.
Sebagai komandan tertinggi yang membawahi
Payakumbuh dan sekitarnya, Mayor Eraito tidak mau mengambil resiko d ihukum
oleh Kolonel Fujiyama karena
kematian perwira-perwiranya secara beruntun
ini. Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor keatas. Sebab saat itu
hukuman yang terkenal diantara perwira Jepang itu adalah hukuman Harakiri.
Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya diberi
”kehormatan” untuk bunuh diri. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Itulah
sebabnya dia memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat
mungkin.
Para tentara serta perempuan yang
diperintahkan untuk tutup mulut itu memang melaksanakan tugas mereka dengan
baik. Sebab bila membocorkan rahasia, mereka akan berhadapan dengan regu
tembak. Mereka tahu, setiap orang yang ada di sekeliling mereka bisa saja
menjelma jadi mata-mata Kempetai. Mereka tak dapat mempercayai seorangpun. Baik
orang Cina maupun orang Melayu. Mereka bisa saja jadi mata-mata Jepang. Babah
gemuk itu dan Baribeh serta si Juling menjadi contoh jelas tentang itu. Betapa
Cina dan anak Minang sendiri rela menjadi mata-mata bagi penjajah negerinya.
Buat sementara, si Bungsu aman.
Sekurang-kurangnya tak begitu banyak tentara Jepang yang mengetahui, bahwa saat
ini ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya.
Yang telah membantai puluhan orang tentara Jepang dalam tahun ini. Namun
perbuatan Mayor Sin Ichi Eraito, komandan tentara Jepang di Payakumbuh itu,
yang menyembunyikan kematian anak buahnya pada Kolonel Fujiyama di Bukittinggi,
yaitu Komandan Tertinggi Balatentara Jepang di Sumatera hanya bertahan beberapa
bulan.
Terbongkarnya kematian itu bermula dari
surat-surat tugas dari Markas Besar Tentara Jepang di Bukittinggi. Ada beberapa
perwira yang ditarik ke Bukittinggi dari Payakumbuh. Nah diantara yang ditarik
itu ada yang mati di tangan si Bungsu. Semula masih akan ditutupi dengan
menyebutkan bahwa perwira itu sakit keras, dan tengah dirawat. Beberapa hari
kemudian dilaporkan perwira itu mati karena penyakitnya.
Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak
tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat bagi dua orang
perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di
Bukittinggi. Kembali Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit.
Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito meminta waktu agak sepekan
untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan
pangkat di Bukittinggi.
Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup
baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam perawatan. Dan
kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti
biasa bisa dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa
kematian amat banyak dalam pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang
dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel Fujiyama belum mencium
siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak
beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan
Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke
Payakumbuh dihari d iterimanya laporan Eraito.
Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah
sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui nama kedua perwira itu di
sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando di
seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama
lainnya, termasuk prajurit-prajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap.
Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung ke Bukittinggi dan
melapor pada Chu Sha Fugirawa.
Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini
memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium
sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito,
agar segera datang melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua
perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya sudah mati, maka dia harus
datang bersama mayatnya.
Eraito menerima surat itu. Apa yang harus
dia perbuat? Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan yang lalu di tempat
pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah
dia ke Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan
membawa mayatnya yang sudah busuk? Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang
dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna kuning. Di dalamnya ada
benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia
buka bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang
dia duga, samurai pendek! Dia mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa
surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat padanya.
Eraito melilitkan bendera itu
kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah kerajaan
Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang
dikirim dari Bukit Tinggi itu juga berlutut.
”Tai-I Sambu .. ” Eraito memanggil. Yang
dipanggil, seorang Tai-I (Kapten) masuk memberi hormat. Dia terkejut melihat
keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang
melilit kepala komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu
segera sadar apa yang akan terjadi. Dia mengangguk memberi hormat. Kemudian
duduk di hadapan komandannya.
”Setelah tugas saya selesai, serahkan
seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka ..” Eraito berkata.
”Hai ..!!” perwira itu mengangguk
dalam-dalam.
Kemudian Eraito mengambil samurai itu.
Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian menghujamkan samurai itu keperutnya.
Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia iriskan
kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian
jatuh. Kepalanya mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai.
Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia telah melakukan Seppuku, yang
juga disebut Harakiri.
Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya
itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira-perwira itu pada ketiga Kapten
utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak
membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun,
kendati jabatannya Kepala Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu.
Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya dengan teliti. Laporan
itu antara lain berisi:
”Ada seorang anak Minang yang berkeliaran
dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah dari siapa belajar
samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari
seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah
Tai-I Saburo, yang dulu menjabat sebagai Cho (Komandan Peleton) Kempetai di
Payakumbuh. Saburo memang terkenal terlalu ganas di Payakumbuh. Itulah sebabnya
dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut
balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira
dan prajurit, telah mati dimakan samurai anak Minang itu. Tapi rahasia ini
dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha mencari dan membekuk anak
muda yang kabarnya bernama si Bungsu (anak paling kecil) dari Dusun Situjuh
Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda
itu tak pernah bersua. Dia lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki
langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya, anak muda itu segera
dapat ditangkap.”
Demikian bunyi dan akhir dari laporan
Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (Komandan Batalyon)
balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama-nama yang
diduga mati di tangan si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup
laporan itu. Eraito telah menjalankan tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu
rapat-rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak hidungnya sendiri
anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi
komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (12)
Komentar
Posting Komentar