Langsung ke konten utama

Tikam Samurai (11)

Si Bungsu tak menjawab.
”Jawab …! Jawablah apa maksud memata-matai rumahku ini! Kau ditugaskan oleh siapa untuk mematamataiku? Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya?”
Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti ujud petanyaan itu.
”Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa susah ”. Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.
”Apakah Mahmud mengirim dia kemari? ” si Babah bertanya pada Baribeh.
”Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk merampas persenjataan ”.
”Kapan mereka merencanakan?”
”Dua malam lagi ”.
”Apakah tindakan lainnya ”.
”Kalau tak berhasil mereka akan membakar Kamp kita ”.
Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh berganti-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini persoalan menjadi jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu. Babah itu bekerja untuk Jepang. Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu tiba-tiba menjadi ing in muntah saking jijik dan mualnya melihat Baribeh, si Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak Jepang tak mengetahui sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang itu dalam bulan-bulan terakhir ini.
Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam dari Mesjid belum diket ahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap begitu saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti bahwa kematian Jepang- Jepang di kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti yang direncanakan dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang membunuh Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram. Buat sementara dia masih aman. Kini tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.
”Hei monyet, jawablah. Apakah maksudmu mematamatai rumahku?”
Babah itu memaki. Muka si Bungsu jadi merah padam. Di negerinya sendiri ada Cina yang memakinya dengan sebutan monyet. Ada Cina yang selama puluhan tahun diterima dengan baik oleh bangsanya, diterima di tengah pergaulan dan mencari makan di bumi negerinya dan hidup dengan aman selama puluhan tahun itu, berani memaki dirinya. Memaki anak negeri dimana dia hidup menompang dengan sebutan monyet!
Alangkah jahanamnya. Dia tatap mata si Babah. Dan saat itu perwira yang tadi masuk ke bilik si Amoy anak si Babah, muncul di pintu. Dia mendengar bentakan, dan cepat-cepat menyudahi permainannya. Lalu memasang celana dan baju. Si Amoy dia tinggalkan terguling lelah di lantai.
”Ada apa ..?” tanya perwira yang bernama Ichi kepada Babah.
Si babah menceritakan tentang si Bungsu yang mengintai rumahnya. Perwira itu menatap pada si Bungsu.
”Paksa dia untuk bicara. Barangkali dia ikut ketika mencuri senjata di Kubu Gadang dulu ..” Kata Ichi sambil berjalan ke sudut ruangan mengambil minuman.
”Bicaralah ..!”
Kata si Babah pada si Bungsu. Kali ini tangannya bergerak. Mengambil bijih dadu sebuah. Meletakkannya di antara ibu jari dan telunjuk kanannya. Kemudian ”menembakkan” buah dadu itu kearah si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, si Bungsu terpekik. Bijih dadu itu menghantam daun telinganya sampai robek. Darah mengucur dari sana. Namun si Bungsu tak dapat bergerak. Sebab empat bayonet masih menekan dada dan lehernya. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu Babah itu. Hanya dengan jentikan halus saja, dadu itu sanggup memecah telinga si Bungsu. Tidak hanya berilmu tinggi, tapi sekaligus berhati sadis!
”Jawablah!! Kalau tidak engkau akan kubunuh seperti membunuh tikus ..” Kata si Babah dengan nada dingin.
”Saya mencari Saburo ”.
Akhirnya si Bungsu berkata jujur.
”Saburo ..?”
”Ya ..”
”Tai-i Saburo Matsuyama?”
”Ya”.
”Untuk apa kau mencarinya? ”
”Ada persoalan yang harus kuselesaikan ”
”Persoalan apa?” ”Itu urusanku ..”
Mendengar jawaban ini, babah gemuk itu kembali mengambil sebutir dadu. Lalu kembali dia letakkan di antara ibu jari dan telunjuknya. Kemudian dia sentilkan kearah si Bungsu. Kembali si Bungsu terpekik.
Sebenarnya dia telah berusaha untuk menahan sakit. Dia menggertakkan gigi. Namun dadu itu menghantam keningnya. Namun Babah gemuk itu bukan main lihainya. Dadu itu menyerempet kening si Bungsu sedemikian rupa. Mula pertama dadu itu menjitak dahi si Bungsu. Sakitnya bukan main, kemudian melesat merobek kulit keningnya arah ke belakang. Kulitnya kepalanya robek empat jari. Darah mengucur.
Babah gemuk itu tertawa menyeringai. Demikian pula Baribeh dan si Juling. Air mata si Bungsu merembes di pipinya. Dia tak menangis. Tapi air mata itu adalah air mata menahan sakit. Dia menyumpahi dirinya yang dengan mudah masuk ke dalam perangkap orang-orang sadis ini. Si Bungsu bersumpah, kalau dia kelak dapat membalas, maka Babah gemuk ini adalah orang pertama yang paling nista dia perbuat. Dia akan cincang perut gendutnya itu. Dia benar-benar bersumpah untuk itu. Tekadnya untuk hidup makin menyala.
”Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu mencari Tai-i Saburo ..!” Kata Cina gendut itu. Si Bungsu menghapus darah dikeningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit dari kedua lukanya itu menyentak-nyentak.
”Bagaimana saya akan bicara kalau leher dan dada saya ditekan begini?” Katanya coba mencari kesempatan. Dia berharap dengan ucapannya itu bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya akan ditarik. Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling dengan loncat tupai ke belakang menyambar samurainya.
Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti babi ini. Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih dadu. Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi unt uk dia sentilkan pada si Bungsu.
”Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak di lehermu!”
Benar-benar sadis. Mau tak mau si Bungsu memang harus buka mulut.
”Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya ..” katanya perlahan.
”Dengan apa akan kau tuntut? Dengan menembaknya? Atau dengan menyerang rumahnya bersama gerombolan Indonesia? Hmm ..? Katakan bagaimana caranya!!”
”Dengan cara saya sendiri ..”
”Bagaimana caramu!”
Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian mendekatinya.
”Katakan bagaimana caramu ..!” desis Babah itu.
Perwira-perwira Jepang yang lain menatap dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya adalah salah seorang Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira itu. Hanya saja jabatannya itu dia rangkap sebagai penjudi dan pengusaha rumah lacur. Demikian tak bermoralnya dia, sehingga demi pangkat dan karirnya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan nafsu perwira-perwira Jepang tersebut. Karena si Bungsu masih tetap diam, Babah itu menjitak kepalanya. Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam keningnya. Keningnya segenap bengkak sebesar telur.
”Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul, monyet!”
Kepalanya yang kena jitak amat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar-benar sakit hati si Bungsu menerima perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya tadi. Benar-benar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut ”monyet” benar-benar menyakitkan. Saking sakit hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu. Ludahnya menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si Babah seketika. Kalau itu terjadi, maka dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.
Namun si Babah yang mukanya sudah seperti udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun. Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh. Masih belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan main. Dia mendengar tawa si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh. Untung si Baribeh. Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah. Tendangan Baribeh itu membuat dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam. Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.
”Anjing! Melayu anjing, berani kau meludahiku, kupotong lidahmu ” Sumpah si Babah dan mendekati tubuhnya. Si Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah pisau dari atas meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk memotong lidah si Bungsu. Namun saat itu si Bungsu merasa ujung jarinya menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup, dia membuka mata.
Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya! Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh semua orang yang ada dalam ruangan itu, si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh.
Darah muncrat dari tubuh mereka. Kini si Bungsu tegak di atas unggukan uangnya dengan sikap seperti seekor Rajawali yang siap menyambar mangsanya. Samurainya terhunus melintang di depan dada. Samurai itu berlumuran darah. Matanya menatap tajam pada Babah gemuk itu.
”Siapa saja yang bergerak mencabut senjata atau berniat lari atau memekik, akan kucabut nyawanya. Tegak saja di tempat kalian baik-baik!” Ujar anak muda itu perlahan. Suaranya dingin dan penuh ancaman. Perwira Ichi yang semula berniat mencabut pistol, jadi tertegun. Tangannya terhenti di gagang pistolnya. Ancaman anak muda ini menggetarkan jantungnya. Namun jarak antara dia dengan anak muda itu cukup jauh. Lagipula tubuhnya terlindung oleh tubuh seorang wanita. Dia pasti aman kalau mencabut pistol itu diam-diam kemudian menembaknya pada tengkuk anak muda pongah ini. Dia sudah berniat untuk melaksanakan maksudnya.
Tapi entah kenapa tiba-tiba dia jadi ragu. Karenanya dia memberi isyarat dengan mata pada si Baribeh. Baribeh mengerti isyarat itu. Lelaki itu lalu bicara untuk mengalihkan perhatian si Bungsu.
”Bungsu, jangan berbuat kekacauan di sini. Engkau tak akan bisa lolos lihatlah, rumah ini telah dikepung ..”
Dan waktu itulah pistol Ichi keluar dari sarungnya. Pistol itu sudah akan dia angkat. Malang dia tak mengetahui bahwa anak muda ini tidak sama dengan kebanyakan anak muda Melayu lainnya. Anak muda yang satu ini telah melatih indranya di gunung selama dua tahun lebih. Dia telah lolos dari kehidupan liar yang
membutuhkan perjuangan keras untuk bisa tetap bertahan. Dia mampu bertahan hidup di tengah ganasnya belantara yang amat liar. Hidup di tengah hukum rimba. Dimana hanya yang kuat yang berhak untuk hidup. Yang lemah harus mau menjadi tumbal untuk kelangsungan hidupnya yang kuat.
Dalam kehidupan di rimba belantara itu, kekuatan saja tidak menjadi jaminan untuk bisa memperpanjang nyawa. Kuat tanpa kecerdikan bisa konyol. Kuat dan cerdik saja juga belum tentu bisa selamat. Kewaspadaan dan ketajaman firasat serta pendengaran sangat dibutuhkan. Bagaimana caranya mengetahui seekor ular yang bergerak tanpa suara itu akan menyerang kita?
Bagaimana caranya mengetahui seekor harimau yang akan menerkam mangsanya, yang bergerak seringan kapas tanpa dilihat dan tanpa terdengar oleh mangsa yang akan diterkam. Makhluk di rimba raya memerlukan ketajaman firasat dan pendengarannya untuk bisa bertahan hidup. Inilah yang terpenting, bukan hanya kekuatan semata.
Burung, tupai atau kancil, adalah makhluk yang lemah tanpa daya. Namun mereka bisa hidup berkembang dan tak punah dalam belantara yang dipenuhi kebuasan itu berkat pendengaran dan firasat mereka yang tajam. Itu pulalah yang dipelajari si Bungsu selama mengasingkan diri selama dua tahun di gunung Sago. Dia bertekad  untuk tetap hidup sekurang-kurangnya sampai dendam keluarganya terbalaskan. Kalau burung atau kancil saja bisa hidup, kenapa dia sebagai manusia yang berakal tidak? Kalau mereka mempunyai ketajaman pendengaran, kenapa dia tak bisa menirunya? Maka hiduplah dia di rimba itu sambil menimba banyak sekali kearifan hidup dari hewan yang purbani.
Ternyata dia keluar sebagai pemenang. Tetap hidup sampai saat ini. Itu pula yang terjadi di rumah babah gendut itu. Disaat Ichi menarik pistolnya, telinga si Bungsu yang mampu mendengar daun jatuh sekalipun saat di gunung sana, juga mendengar benda keras yang dicabut dari sarangnya. Firasatnya segera bekerja. Benda itu kalau tidak pisau pastilah pistol. Dalam waktu yang singkat sekali, dia menjatuhkan diri kebelakang. Punggungnya mencecah lantai. Kemudian kakinya bergulung keatas. Saat itu pistol meledak. Namun pelurunya menerpa tempat kosong. Dengan dua kali bergulingan amat cepat, si Bungsu melewati perempuan yang tegak di depan Ichi.
Perwira itu terkejut melihat anak muda itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Pistol dia arahkan padanya. Namun samurai si Bungsu berkelebat. Tak ada pekikan. Perwira Jepang itu rubuh dengan bahu di dekat pangkal lehernya belah dua sampai ke dada. Bukan main. Benar-benar satu gerakan yang terlalu cepat untuk diikuti mata.
Seorang serdadu yang tegak di sisi Ichi justru ternganga menatap tubuh perwiranya yang jatuh tergolek dengan tubuh hampir terbelah dua. Tapi nasibnya juga sial. Tengkuknya disambar samurai si Bungsu. Kepalanya mengelinding ke bawah sebelum tubuhnya mencapai lantai. Mati.
Perempuan-perempuan pada terpekik. Si Bungsu tegak menghadap pada Babah gemuk itu. Si Babah terkejut melihat kecepatannya. Sementara si Baribeh dan
si Juling tegak merapat kedinding belakang si Babah.Muka mereka pucat ketakutan. Tak pernah mereka bayangkan sedikitpun, bahwa anak muda yang pernah mereka lanyau di Surau ketika mereka kalah judi dahulu akan menjadi begini hebatnya.
”Hmm, lu jangan banyak lagag di depan we. Lu we bikin ayam potong”. Ujar Si Babah sambil menyeringai buruk. Si bungsu memandangnya tak berkedip. Matanya yang biasa bersinar lembut kini membersitkan api amarah yang dahsyat. Samurainya membelintang di depan dada. Dia tegak dengan sikap gagah. Kemudian terdengar suarasuaranya bergema, dingin dan datar.
”Gendut, engkau telah hidup di negeriku ini sebelum aku dilahirkan. Bahkan mungkin kalian hidup sejak dari moyang kalian di sini. Di sini kalian hidup dan mencari nafkah. Pernah kalian diganggu anak negeri ini? Pernah kalian dihalangi untuk mencari nafkah? Tak pernah, kan? Bahkan kami menganggap kalian sebagian dari masyarakat kami. Kita sama-sama berhak hidup dan mencari kehidupan di negeri ini. Tapi apa kini yang kau perbuat untuk membalas kebaikan anak negeri ini? Yang telah berbaik hati menerima kalian hidup beberapa keturunan dengan damai di negeri ini?”
Dia berhenti sebentar, lalu:
”Ternyata kau khianati negeri ini pada Jepang. Engkau menjadi musuh dalam selimut bagi anak negeri yang telah puluhan tahun hidup bersamamu. Benar-benar sikap jahanam yang laknat. Demi uang engkau sudi berbuat apa saja. Tapi demi Tuhan, engkau harus mati malam ini. Harus, Gendut!”
Sumpah anak muda ini mau tak mau membuat bulu tengkuk Babah itu merinding. Si Baribeh dan si Juling tak berani berkutik. Tegak mematung dengan tubuh menggigil di tepi dinding. Kedua lelaki Minang ini sampai terkencing-kencing di celananya. Si Babah gendut itu nampaknya juga mengetahui bahwa anak muda di depannya ini tidak hanya menggertak sambal. Anak muda itu sanggup melaksanakannya. Karena itu dia mulai menyerang, tubuhnya seperti lenyap di bungkus sinar. Bukan main cepatnya dia bergerak. Si Bungsu buat sesaat jadi tertegun. Dia bukan pesilat, apa yang harus dia perbuat?
Suatu saat dia rasakan angin mengarah keperutnya. Dia tak melihat serangan. Tapi dia yakin angin itu berasal dari pukulan Gendut itu. Satu-satunya jalan yang bisa diambilnya adalah menghantamkan samurainya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya berguling kesamping. Namun terlambat! Sebuah tikaman menghantam pahanya. Bukan main sakitnya, dia terpekik. Darah mengucur lagi! Si Babah memburu terus.
Untuk beberapa saat si Bungsu terpaksa berguling dengan meniru loncat tupai itu. Untuk beberapa saat nampaknya dia teringat lagi pada perkelahiannya yang terakhir di gunung Sago melawan dua cindaku. Ya, kenapa dia tidak bertahan tegak saja sambil memejamkan mata? Bukankah dia bisa mengandalkan pendengarannya yang tajam itu.
Kalau dia mengelak terus begini, tenaganya akan habis. Gerakkannya akan lamban. Dan bila sudah begitu maka kesempatan untuk menangkis serangan juga tak ada lagi. Maka kini dia harus merobah taktik. Si Babah ini nampaknya memang seorang pesilat Cina yang tangguh.
Firasatnya yang mencurigai si Babah ketika mula-mula masuk tadi ternyata benar. Si Babah t idak hanya berilmu silat yang tinggi, tetapi juga seorang mata-mata yang amat berbahaya. Si Bungsu bergulingan menjauh. Saat berhasil menjauhi si Babah dia tegak kemudian memejamkan mata. Dia mendengar nafas memburu dan suara gigilan di belakangnya. Kemudian langkah menggeser.
Masih dalam keadaan memejamkan mata, dan masih dalam keadaan merasakan sakitnya telinganya yang koyak, keningnya yang luka dihantam dadu si Babah, dan paha yang luka kena tikam pisau, dia menghayunkan samurainya kebelakang. Si Baribeh dan si Juling yang berada di belakangnya, yang ingin menggeser tegak dari belakang anak muda itu, tiba-tiba terpekik. Bajunya robek dihantam samurai si Bungsu. Dia tertegak diam dan merapat kembali kedinding.
”Engkau tak layak untuk hidup Baribeh. Selain penjudi, engkau ternyata menghianati negerimu. Orang semacam engkau tak layak mengaku sebagai anak Minangkabau.
Karenanya engkau juga tak layak hidup di negeri ini!”.
Suara si Bungsu bergema perlahan. Tapi nadanya mengirimkan gigilan yang amat menakutkan ke jantung si Baribeh dan si Juling. Anak muda itu bicara dengan mata yang masih terkatub. Dia harus membagi inderanya antara mengawasi si Baribeh dan si Juling dengan gerakan si Babah gemuk.
”Yiy … ya! Ya benar. Saya memang tak layak untuk hidup di negeri ini. Karena itu mohonlah lepaskan saya. Saya akan berangkat meninggalkan negeri ini ..” si Baribeh berkata memohon terbata-bata. Terdengar gelak renyai dari mulut si Bungsu.
”Hee .. he. Engkau akan pergi dari sini Baribeh?”
”Ya. Ya. Tapi kata waang saya layak hidup di negeri ini. Saya akan pergi jauh-jauh. Jauuuh sekali ..” ”Hidup adalah sesuatu yang amat mulia untuk kau lumuri dengan dosa Baribeh. Kau t ak berhak untuk hidup…..”
Baribeh terkejut dan hampir saja dia jatuh mendengar ucapan anak muda ini. Tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Meskipun tubuhnya menggigil dan celananya basah, dia angkat bicara lagi:
”Tet .. eh, tapi siapa yang menentukan bahwa saya tak berhak untuk hidup?”
”Saya!”
”Te .. eh. Tapi engkau bukan Tuhan!”
”Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam kehidupanmu yang kotor!”
Sehabis bicara dia berputar. Dia harus bertindak cepat, sebab si Babah merupakan bahaya besar yang harus dia hadapi. Begitu dia berputar, tubuh Baribeh dan si Juling menggeliat dimakan samurainya. Dada mereka belah dan menyemburkan darah. Dua orang penghianat yang bekerja untuk seorang Cina yang memata-matai negerinya telah mati.
Mati di tangan anak muda yang pernah mereka lanyau. Kini si Bungsu tinggal memusatkan perhatiannya pada si Babah gemuk itu. Namun saat itu di luar terdengar seruan dalam bahasa Jepang.. Kempetai! Ya, Kempetai telah mengepung rumah itu. Kempetai rupanya telah diberitahu oleh seorang mata-mata yang bertugas di luar.
Begitu mendengar pekikkan, dia segera ke pos Kempetai. Kini Polisi Militer Jepang itu datang dengan kekuatan empat puluh orang. Si Bungsu berfikir cepat. Dia sudah bersumpah untuk membunuh Babah mata-mata jahanam ini. Kalau tidak maka lebih banyak lagi bencana yang akan ditimbulkan orang ini terhadap negerinya. Dia kini tegak membelakangi dinding dan mayat Baribeh. Sedepa di kanannya, terdapat pintu keruang depan. Dia melirik pintu itu besar dengan palang pengunci dari balok. Rumah ini model rumah-rumah Cina kuno yang kukuh.
Dengan bergerak cepat dia menghantam pintu itu sampai tertutup. Kemudian menyepak palangnya hingga jatuh dan mengunci pintu dari papan yang amat tebal itu. Namun saat itu pula si Babah menyerangnya dari belakang. Pisau Babah itu menancap di bahunya. Hampir saja mengenai jantung. Namun dengan menggertakkan gigi, anak muda ini melompat dan menghujamkan samurainya kebelakang. Dia merasa samurainya mengenai sesuatu. Kemudian dia menyentak samurai itu kembali. Lalu berputar. Di luar terdengar Kempetai berteriak dan memukul-mukul pintu. Si Bungsu membabatkan samurainya. Si Babah gendut yang telah tertusuk dadanya itu, coba menangkis dengan pisau pendek itu. Namun tangannya putus hingga pergelangan. Dia terpekik.
”Kubunuh kau mata-mata laknat!!”
Desis si Bungsu sambil sekali lagi membabatkan samurainya. Babah itu mencoba mundur, tangannya yang pontong itu terangkat seperti akan menangkis. Namun tangannya itu dimakan samurai. Putus hingga siku, Babah itu untuk kedua kalinya terpekik.
Perempuan-perempuan sudah sejak tadi lenyap lewat pintu belakang. Babah itu hoyong. Samurai si Bungsu bekerja lagi. Kaki si Babah putus di batas lutut. Kini si Babah tergolek. Si Bungsu memenuhi sumpahnya belum lama berselang. Bahwa dia akan mencencang perut buncit Cina ini atas penghianatannya. Enam kali samurainya bekerja. Membuat perut Babah Cina itu robek-robek seperti perut kerbau usai dipesiangi di rumah bantai. Darah bersemburan. Tubuh si Bungsu sendiri dipenuhi darah.
Darah dirinya dan darah si Babah! Kempetai di luar mulai menembaki pintu. Namun dengan bedil panjang mereka, pintu kukuh itu tetap tak dapat dijebol. Peluru bedil mereka hanya mampu menembus sedikit saja papan pintu itu, namun tidak tembus. Babah gepuk itu memang membuat rumahnya sebagai benteng. Dia amat khawatir kalau suatu saat rahasianya sebagai mata-mata Belanda dan mata-mata Jepang diketahui orang. Karena itu, dia membangun rumahnya sebagai pos yang sulit untuk ditembus.
Siapa sangka, hari ini dia sendiri yang membawa pembunuhnya masuk. Dan dia terbunuh di dalam benteng yang dia buat. Sementara orang yang ingin membantunya terkurung di luar. Dihambat oleh pintu besar yang amat kukuh. Di dalam ruangan itu masih ada dua orang perwira Jepang teman Ichi yang mula pertama main judi tadi. Mereka memang datang kesana atas permintaan si Babah. Si Babah melaporkan bahwa ada mata-mata yang ditangkap. Tapi kini, melihat makan tangan orang yang disebut mata-mata itu, tubuh mereka jadi lumpuh. Mereka seperti tak berdaya untuk bergerak.
Ternyata tak semua perwira Jepang berhati baja. Ternyata mereka juga manusia biasa. Ada yang berhati baja, ada yang berhati seperti kerupuk jangek, amat rapuh. Mereka sebenarnya punya kesempatan yang banyak untuk balas menyerang. Mereka bisa mencabut pistol atau memungut bedil yang terletak di lantai. Dan menembakkannya ketika anak muda itu bertarung melawan si Babah. Namun mereka seperti disihir. Terdiam tak berkutik. Ada dua hal yang menyebabkan
mereka begitu. Pertama rasa takut melihat sepak terjang anak muda itu. Amat cepat dan amat mengerikan. Dan yang kedua adalah perasaan takjub mereka. Betapa mereka takkan takjub, sebagai perwira-perwira, mereka termasuk mahir mempergunakan samurai.
Namun melihat cara anak muda ini mempergunakan samurai, mereka benar-benar terpukau. Caranya nampak sangat sembarangan. Tidak menurut aturan sebagaimana pesilat-pesilat samurai seperti mereka. Meski demikian, meski dengan metode yang tak benar, gerakan anak muda ini amat terlalu cepat. Ayunan dan tebasan samurainya amat kukuh, mantap dan secepat kilat. Mereka yakin, kalaupun mereka disuruh bertanding melawan anak muda ini, maka bagi mereka takkan ada harapan untuk menang sedikitpun! Kini, ketika si Bungsu mencencang tubuh si Babah, tanpa dapat mereka tahan kedua perwira ini terpancar kencingnya. Mereka bukannya ngeri melihat tubuh si Babah yang cabik-cabik, tapi mereka membayangkan bahwa setelah ini tubuh merekalah yang akan menerima nasib seperti itu.
Si Bungsu melangkah mendekati mereka. Salah seorang mencabut pistol dengan tangan menggigil. Samurai si Bungsu bekerja. Keduanya rubuh tanpa dapat melawan sedikitpun. Rumah itu berkuah darah. Potongan tubuh kelihatan tergeletak di sana sini. Ini benar-benar sebuah pembataian!
Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain dari pada seperti itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Dibunuh atau membunuh. Maka dia memilih yang kedua. Betapapun jahatnya suatu pembunuhan, namun jauh lebih baik hidup sebagai pembunuh dari pada mati sebagai orang yang dibunuh. Apa lagi kalau yang dibunuh itu adalah musuh bangsa! Cukup lama waktu berlalu ketika pintu besar itu berhasil didobrak oleh Kempetai. Yaitu setelah mendatangkan sebuah truk reok untuk menghantam pintu itu sampai jebol. Begitu jebol, Kempetai berlompatan masuk. Begitu berada di dalam, mereka pada berseru kaget. Bulu tengkuk mereka merinding tatkala melihat sisa penjagalan yang terjadi dalam rumah itu.
Mereka segera memeriksa set iap sudut rumah. Mencari anak muda yang dilaporkan sebagai mata-mata yang masuk perangkap di rumah ini. Namun si Bungsu lenyap entah kemana. Mereka memeriksa semua bilik. Termasuk bilik enam perempuan yang tinggal di rumah itu. Termasuk juga bilik si Amoy semok anak si Babah yang baru berumur tujuh belas tahun itu. Tapi si Bungsu tak ada. Dan semua perempuan itupun benar-benar tak mengetahui kemana anak muda itu pergi. Dia lenyap seperti hantu dalam cahaya bulan.
Pimpinan tentara Jepang di Payakumbuh Mayor Sin Ici Eraito mengumpulkan semua perempuan yang ada di rumah itu, termasuk semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka diperintahkan untuk tetap tutup mulut. Tak seorangpun boleh membicarakan hal ini. Juga diperintahkan, agar set iap kematian tentara Jepang dalam serangan atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan. Jangan sampai menjalar ke luar. Sebab kalau berita itu bocor ke luar maka ada dua hal yang membahayakan kedudukan tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi yaitu bangsa Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan bertambah semangatnya. Sebab ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu. Dan hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau. Kedua adalah soal prestise.
Tentara Jepang sudah tentu akan malu jika tersiar kabar bahwa tentara kaisar Tenno Heika dari negeri Matahari Terbit yang kesohor itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa tentara Jepang itu justru mati oleh sebuah Samurai. Tak terbayangkan geger yang akan timbul.
Sebagai komandan tertinggi yang membawahi Payakumbuh dan sekitarnya, Mayor Eraito tidak mau mengambil resiko d ihukum oleh Kolonel Fujiyama karena
kematian perwira-perwiranya secara beruntun ini. Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor keatas. Sebab saat itu hukuman yang terkenal diantara perwira Jepang itu adalah hukuman Harakiri. Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya diberi ”kehormatan” untuk bunuh diri. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya dia memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat mungkin.
Para tentara serta perempuan yang diperintahkan untuk tutup mulut itu memang melaksanakan tugas mereka dengan baik. Sebab bila membocorkan rahasia, mereka akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka tahu, setiap orang yang ada di sekeliling mereka bisa saja menjelma jadi mata-mata Kempetai. Mereka tak dapat mempercayai seorangpun. Baik orang Cina maupun orang Melayu. Mereka bisa saja jadi mata-mata Jepang. Babah gemuk itu dan Baribeh serta si Juling menjadi contoh jelas tentang itu. Betapa Cina dan anak Minang sendiri rela menjadi mata-mata bagi penjajah negerinya.
Buat sementara, si Bungsu aman. Sekurang-kurangnya tak begitu banyak tentara Jepang yang mengetahui, bahwa saat ini ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Yang telah membantai puluhan orang tentara Jepang dalam tahun ini. Namun perbuatan Mayor Sin Ichi Eraito, komandan tentara Jepang di Payakumbuh itu, yang menyembunyikan kematian anak buahnya pada Kolonel Fujiyama di Bukittinggi, yaitu Komandan Tertinggi Balatentara Jepang di Sumatera hanya bertahan beberapa bulan.
Terbongkarnya kematian itu bermula dari surat-surat tugas dari Markas Besar Tentara Jepang di Bukittinggi. Ada beberapa perwira yang ditarik ke Bukittinggi dari Payakumbuh. Nah diantara yang ditarik itu ada yang mati di tangan si Bungsu. Semula masih akan ditutupi dengan menyebutkan bahwa perwira itu sakit keras, dan tengah dirawat. Beberapa hari kemudian dilaporkan perwira itu mati karena penyakitnya.
Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan pangkat di Bukittinggi.
Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari d iterimanya laporan Eraito.
Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajurit-prajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa.
Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
Eraito menerima surat itu. Apa yang harus dia perbuat? Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah dia ke Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah busuk? Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia buka bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek! Dia mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat padanya.
Eraito melilitkan bendera itu kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi itu juga berlutut.
”Tai-I Sambu .. ” Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai-I (Kapten) masuk memberi hormat. Dia terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang melilit kepala komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia mengangguk memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.
”Setelah tugas saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka ..” Eraito berkata.
”Hai ..!!” perwira itu mengangguk dalam-dalam.
Kemudian Eraito mengambil samurai itu. Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian menghujamkan samurai itu keperutnya. Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia iriskan kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian jatuh. Kepalanya mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai. Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia telah melakukan Seppuku, yang juga disebut Harakiri.
Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira-perwira itu pada ketiga Kapten utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun, kendati jabatannya Kepala Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu. Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya dengan teliti. Laporan itu antara lain berisi:
”Ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah Tai-I Saburo, yang dulu menjabat sebagai Cho (Komandan Peleton) Kempetai di Payakumbuh. Saburo memang terkenal terlalu ganas di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati dimakan samurai anak Minang itu. Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama si Bungsu (anak paling kecil) dari Dusun Situjuh Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya, anak muda itu segera dapat ditangkap.”
Demikian bunyi dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (Komandan Batalyon) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama-nama yang diduga mati di tangan si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu rapat-rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (12)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENDIRIAN BENGKEL AA CEMPAKA AUTO SERVICE

Sejarah Singkat pendirian Usaha perbengkelan AA CEMPAKA Auto Service yang berlokasi dijalan By Pass KM 9 Simpang Taruko 1 Kalumbuk Padang   merupakan suatu perusahaan jasa yang bergerak dibidang perbengkelan dan penjualan yaitu memperbaiki kendaraan penumpang roda empat dan juga menjual spare part, pelumas (Engine Oil) maupun peralatan lainnya. Bengkel AA CEMPAKA Auto Service didirikan pada tanggal 01 Juni 2015, oleh ASRUL ARMISKA beliau adalah mantan karyawan disebuah perusahaan otomotif terbesar yang merupakan pemegang merek kendaraan terkenal di Indonesia dan bekerja sama dengan beberapa pihak pemodal perorangan. Bengkel ini pada awalnya didirikan hanya untuk melayani service ringan dengan menyewa tempat berupa kios sederhana dan hingga kini sudah beberapa kali mengalami perpindahan lokasi usaha, seiring dengan jumlah pelanggan yang terus bertambah dimana beberapa bulan kemudian melihat banyaknya pelanggan yang meminta perbaikan-perbaikan pada kendaraan milik m

Mesin Avanza tidak bisa hidup sehabis bongkar Mesin

Ilmu itu sayang jika hanya disimpan maka pada kesempatan ini saya akan berbagi tentang kasus Mesin avanza dan yang sejenis tidak bisa hidup setelah bongkar mesin atau setelah ganti rantai timing (timing chain)..Dan disini saya tidak bermaksud menggurui atau merasa lebih pintar dari agan-agan sekalian hanya berharap semoga ada yang bisa mengambil manfaat terutama bagi mekanik-mekanik pemula. Kasus ini sudah beberapa kali saya dapatkan setelah beberapa rekan-rekan mekanik meminta pertolongan untuk mencari titik permasalahan kenapa mesin tidak bisa hidup. Seperti biasa sebelum kita melangkah ke step yang lebih jauh, sebaiknya kita harus mengembalikan pola analisa kita kedasar, dimana kita harus memulai dari langkah-langkah yang paling sederhana yaitu bahwa mesin akan bekerja apabila terpenuhinya tiga syarat utama berikut ini : Kompresi yang tinggi (sesuai standar) Loncatan bunga api Busi yang kuat (Mesin Bensin) Perbandingan campuran Udara dan bahan bakar yang tepat Dalam mas

Tikam Samurai (53)

Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar. “Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu. Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako. Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur. “Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya. “Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu. “Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mere