Perkelahian yang tak seimbang itu segera
saja berakhir. Keempat lelaki berdegap tersebut dengan mudah menyikat lawan
mereka. Lawan yang mereka sikat itu adalah seorang anak muda yang berusia
sekitar 19 tahun. Anak muda itu tergelimpang dekat sungai di belakang surau
tinggal, jauh di pinggir kampung. Pakaian anak muda itu sobek-sobek. Dia tak
sadar diri. Uangnya terserak-serak. Keempat lelaki yang mengeroyok dan
melumpuhkan dirinya itu segera memunguti uang yang terserak-serak itu. Uang itu
tadinya adalah uang mereka berempat. Berpindah tangan pada anak muda itu dalam
suatu perjudian yang berlangsung sejak sore kemarin.
Menjelang subuh, ternyata anak muda
itulah yang menang. Dia memang seorang penjudi ulung. Tiap berjudi jarang yang
kalah. Tapi malangnya dia selalu disikat lawannya yang dia kalahkan. Perjudian
hampir selalu diakhir perkelahian. Dan dalam tiap perkelahian dipastikan dialah
yang kalah, karena lawan-lawan yang dia kalahkan bersatu mengeroyoknya. Lalu
selalu saja uang yang telah dia menangkan disikat oleh lawan-lawannya kembali.
Termasuk juga uang miliknya sendiri!
”Lihat-lihat dulu orang yang akan waang
lawan buyung. Jangan sembarang main saja…….I”Salah seorang dari lelaki yang
berempat itu berkata. Tak ada sahutan. Karena anak muda itu memang tak
mendengar apa-apa. Dia tergolek pingsan. Keempat lelaki itu kemudian pergi.
Kertas koa berserakan di antara puntung rokok daun enau. Hampir tengah hari
anak muda itu baru sadar dari pingsannya.
Tak ada yang mengetahui bahwa dia
tergolek di sana. Tempat. mereka berjudi memang tempat yang terpencil. Di
sebuah surau yang telah lapuk. Surau itu tak lagi pernah dipakai sejak seorang
guru mengaji mati diterkam harimau saat pulang mengajar. Kam¬pung jadi gempar.
Dan surau tempat mengaji dipindahkan orang ke tengah kampung. Tapi lama-lama
bekas surau itu berobah jadi tempat orang bermain koa. Berjudi dengan daun
ceki.
Mere¬ka tak takut pada harimau. Sebab
umumnya pejudi-pejudi itu adalah orang-orang yang mahir dalam bersilat.
Lama-lama, berjudi di surau bekas itu menjadi suatu kebanggaan di antara para
pejudi. Sebab berjudi di sana merupakan salah satu ujian mental. Hanya orang
orang berani dan berilmu tinggi saja yang berani main ke sana.
Untuk mencapai surau itu harus melewati kubur¬an. Kemudian sebuah lembah berbelukar. Baru surau. Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini sudah ditinggal dan jadi belukar.
Untuk mencapai surau itu harus melewati kubur¬an. Kemudian sebuah lembah berbelukar. Baru surau. Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini sudah ditinggal dan jadi belukar.
—o0o—
Anak muda itu menggerakkan tangannya. Dia
masih tertelungkup. Menggerakkan kaki. Matanya masih terpejam. Hidungnya
mencium bau tanah liat. Telinganya lambat-lambat mendengar kicau burung.
”Hm, . . . aku masih hidup,” bisiknya.
Dia coba memutar tubuh. Kepalanya terasa
berdenyut. Tapi dengan menghajan semua tenaga, dia berhasil juga menelentangkan
tubuh. Matanya jadi silau menatap sinar matahari yang terjun dari sela-sela
daun pepohonan. Dia bangkit. Duduk dengan bersitumpu pada kedua lengannya.
Menggoyang-goyangkan kepala yang kembali berdenyut sakit. Dia segera ingat pada
kemenangannya menjelang subuh tadi. Tapi dia tak berniat untuk memeriksa uang
dikantongnya. Tak perlu. Uang itu tak perlu diperiksa. Pasti sudah disikat
orang.
Dia segera mengumpulkan ingatannya
kembali. Merekat sisa-sisa ingatannya sejak kemarin. Ya, kemarin senja dia
datang kemari bersama empat orang lelaki. Keempat lelaki itu dia kenal tatkala
membeli jagung bakar di pasar Jumat. Dia tak tahu siapa mereka. Tapi dari cara
mereka tegak dan bicara, dia segera mengenal bahwa mereka adalah perewa dan
penjudi. Dia kenal orang-orang jenis ini. Sebab dia sendiri adalah penjudi yang
lihai. Dia ahli dalam berkoa atau main dadu. Keempat lelaki itu dia lihat
tengah jongkok dekat sebuah pedati yang dipenuhi tembakau. Dia ikut jongkok.
”Minta api” katanya pada salah seorang
yang mengisap rokok daun enau.
Orang itu tak segera bereaksi. Beberapa saat dia menatap anak muda yang tiba-tiba duduk di dekatnya itu. Tapi anak muda itu acuh saja. Dan akhirnya dia memberikan rokok yang dihisapnya.
”Terima kasih” ujar anak muda itu seraya mengambil rokok yang tinggal puntung pendek itu.
Tapi setelah dia membakar ujung rokoknya, puntung rokok lelaki itu tidak dia kembalikan. Melainkan dia buang begitu saja. Muka lelaki itu menjadi merah. Tapi anak muda itu seperti tidak peduli. Dia malah mengeluarkan segumpal uang dari balik bajunya.
Orang itu tak segera bereaksi. Beberapa saat dia menatap anak muda yang tiba-tiba duduk di dekatnya itu. Tapi anak muda itu acuh saja. Dan akhirnya dia memberikan rokok yang dihisapnya.
”Terima kasih” ujar anak muda itu seraya mengambil rokok yang tinggal puntung pendek itu.
Tapi setelah dia membakar ujung rokoknya, puntung rokok lelaki itu tidak dia kembalikan. Melainkan dia buang begitu saja. Muka lelaki itu menjadi merah. Tapi anak muda itu seperti tidak peduli. Dia malah mengeluarkan segumpal uang dari balik bajunya.
”Berminat main?” dia bertanya dengan
tenang.
Ah, dia memang ahli dalam soal ini.
Lelaki yang puntung rokoknya dibuang itu kembali menatapnya. Kemudian menatap
pada ketiga temannya yang masih tetap dengan tenang mengisap rokok dan duduk
mencangkung. Salah seorang di antara mereka mengerdipkan mata. Dan anak muda
itu dapat menangkap isyarat kerdipan itu dengan sudut matanya. Namun dia
pura-pura tak tahu.
“Main apa waang bisa?” lelaki itu balik
bertanya.
“Main apa saja!” jawabnya, pasti.
“Koa?”
“Boleh!”
“Dadu?”
“Boleh!”
“Barambuang?”
“Boleh. Sembaranglah!”
“Boleh!”
“Dadu?”
“Boleh!”
“Barambuang?”
“Boleh. Sembaranglah!”
Lelaki itu kembali menatap tiga temannya.
Dan kembali yang mengerdip tadi mengerdipkan sebelah matanya yang juling.
“Wang dengan siapa?”
”Saya berjudi tak pernah berkawan. Saya
bisa main sendiri, dan ….menang !”.
Lelaki yang puntung rokoknya di¬buang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama. Melihat buku jarinya. Melihat sikunya. Melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak ini pasti seorang pesilat. Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa “memakan” anak ini. Mereka toh juga bukan orang sembarangan.
”Di mana tempatnya?”
Lelaki yang puntung rokoknya di¬buang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama. Melihat buku jarinya. Melihat sikunya. Melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak ini pasti seorang pesilat. Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa “memakan” anak ini. Mereka toh juga bukan orang sembarangan.
”Di mana tempatnya?”
“Terserah”
“Kami bukan orang sini. Kami tak tahu di mana tem¬pat bermain yang baik. . .”
“Kami bukan orang sini. Kami tak tahu di mana tem¬pat bermain yang baik. . .”
“Saya tahu . . .”
“Di mana . . .”
“Si surau usang di hilir kampung sana. .
.”
“Tempat guru mengaji diterkam harimau
itu?”
Kini anak muda itu pula yang balas
menatap lelaki itu.
“Kenapa tahu bahwa di surau itu dulu ada
guru mengaji yang diterkam harimau, kalau memang bukan orang sini?”
“Kejadian itu sudah lama bukan? Setiap
orang di pasar Jumat ini bercerita tentang kejadian itu beberapa tahun yang
lalu”
Anak muda itu menarik nafas.
“Benar! Di sanalah tempat main yang aman.
Bagaima¬na, berani ke sana ?”
Untuk pertama kalinya, keempat lelaki itu
tertawa bersamaan. Tertawa mendengar tantangan anak muda ini.
“Tak ada yang ditakuti oleh Baribeh dan
kawan ¬kawannya buyung. . .”
Lelaki juling yang tadi mengerdip
berkata.
“Baribeh?”
“Ya. Waang tak pernah mendengarnya?”
“Ya. Waang tak pernah mendengarnya?”
“Pernah. Baribeh itu binatang”
Si Juling terdiam. Yang lain juga. Lelaki
yang tadi puntung rokoknya dibuang itu jadi kelabu mukanya karena menahan
berang.
“Jangan sembarang bicara buyung. Mulut
waang bisa saya sobek,” ujar lelaki itu dengan suara berat.
“He, bukankah Baribeh itu memang binatang?
Dan kerjanya memang tukang sobek pohon Kampeh untuk mendapatkan getahnya,
kanapa Sanak mesti marah?”
Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda itu kalau tak cepat dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya. Dan lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melanyau anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh. Bicara pada anak muda itu.
“Lebih baik waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai?”
“Terserah. Sekarangpun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi. Bukan untuk berkelahi . . .”
“Baik, baik!. Tapi siang ini kami ada urusan. Bagaimana kalau senja nanti?”
”Tengah malampun saya mau. Saya tunggu kalian disana”.
Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu.
”Pukimaknya!. Anak siapa dia makanya berani jual lagak begitu…,” maki lelaki yang tadi dibuang puntung rokoknya itu.
“Nampaknya dia cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu”.
“Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei, waang siapkan dadu dua pasang Jul”.
“Dadu itu selalu saya bawa..” jawab lelaki yang dipanggil Jul itu.
Panggilan itu ternyata singkatan dari kata ”Juling”. Lalu, persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak muda tadi telah menanti. Di bawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai permainan.
Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu. Kelihatannya hampir-hampir sempurna.
Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda itu kalau tak cepat dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya. Dan lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melanyau anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh. Bicara pada anak muda itu.
“Lebih baik waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai?”
“Terserah. Sekarangpun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi. Bukan untuk berkelahi . . .”
“Baik, baik!. Tapi siang ini kami ada urusan. Bagaimana kalau senja nanti?”
”Tengah malampun saya mau. Saya tunggu kalian disana”.
Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu.
”Pukimaknya!. Anak siapa dia makanya berani jual lagak begitu…,” maki lelaki yang tadi dibuang puntung rokoknya itu.
“Nampaknya dia cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu”.
“Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei, waang siapkan dadu dua pasang Jul”.
“Dadu itu selalu saya bawa..” jawab lelaki yang dipanggil Jul itu.
Panggilan itu ternyata singkatan dari kata ”Juling”. Lalu, persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak muda tadi telah menanti. Di bawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai permainan.
Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu. Kelihatannya hampir-hampir sempurna.
Tapi kali ini mereka ternyata menghadapi
seorang hantu judi. Mereka tidak menyangka bahwa dalam usia yang sedemikian
mudanya anak ini sudah tidak terkalahkan dalam soal berjudi. Lewat tengah malam
hampir semua uang mereka disikat anak muda itu. Mereka sudah pada mengantuk.
Tapi anak muda itu tetap seperti semula. Matanya yang sayu, mukanya murung,
tetap saja tidak berubah. Tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikitpun.
Si Jul sudah beberapa kali memberi isyarat pada Baribeh untuk menghantam anak muda itu Tapi Baribeh sendiri ragu-ragu. Masakan anak muda ini tak mempunyai “simpanan” agak sedikit. Artinya, anak muda ini paling sedikit tentu pandai bersilat. Sebab mustahil dia akan berani sendirian saja kalau tak ada kepandaian apa-apa. Hanya kini yang menjadi bahan pertimbangan mereka adalah silat apa yang dimiliki dan jadi andalan anak muda ini. Ku¬mango? Pangian, Lintau, Starlak atau Pauh? Atau Sunua dan Silek Tuo yang terkenal itu? Tak ada jawaban yang pasti. Anak muda itu tetap saja meraih kemenangan demi kemenangan.
“Ah, kita istirahatlah sebentar…..” si Baribeh berkata.
Si Jul sudah beberapa kali memberi isyarat pada Baribeh untuk menghantam anak muda itu Tapi Baribeh sendiri ragu-ragu. Masakan anak muda ini tak mempunyai “simpanan” agak sedikit. Artinya, anak muda ini paling sedikit tentu pandai bersilat. Sebab mustahil dia akan berani sendirian saja kalau tak ada kepandaian apa-apa. Hanya kini yang menjadi bahan pertimbangan mereka adalah silat apa yang dimiliki dan jadi andalan anak muda ini. Ku¬mango? Pangian, Lintau, Starlak atau Pauh? Atau Sunua dan Silek Tuo yang terkenal itu? Tak ada jawaban yang pasti. Anak muda itu tetap saja meraih kemenangan demi kemenangan.
“Ah, kita istirahatlah sebentar…..” si Baribeh berkata.
“Boleh. Berhentipun juga boleh..!” anak
muda itu menjawab seenaknya.
Muka Baribeh dan teman-temannya jadi
kelabu mendengar jawaban itu.
“Berhenti kata waang?! Adat di mana waang
pakai buyung, berhenti di saat orang lain kalah!” si Jul bertanya dengan nada
tak sedap.
Tapi anak muda itu tetap cuek, malah
dengan tenang pula dia balas berkata:
“Tak ada adat apa-apa dalam berjudi ini sanak. Kalau mau main terus juga tak apa. Tentu kalau kalian masih punya duit. Saya khawatir kalian akan pulang dengan celana dalam saja……….”
Dan sambil mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan diri ke tikar pandan usang yang mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga mengelaikan tubuhnya. Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu bergoyang-goyang kena angin lemah yang masuk dari sela-sela lobang di dinding.
“Tak ada adat apa-apa dalam berjudi ini sanak. Kalau mau main terus juga tak apa. Tentu kalau kalian masih punya duit. Saya khawatir kalian akan pulang dengan celana dalam saja……….”
Dan sambil mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan diri ke tikar pandan usang yang mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga mengelaikan tubuhnya. Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu bergoyang-goyang kena angin lemah yang masuk dari sela-sela lobang di dinding.
Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama
berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian mereka hantam anak muda
itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada
tiga kali sebanyak yang dia perli¬hatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang
itu mereka bisa membeli tiga buah pedati atau bendi dan beberapa petak sawah.
Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus ! Baribeh melirik ke lampu togok
yang bergoyang itu.
“Kalau lampu ini mati, kita akan
susah…..” tiba-tiba anak muda itu berkata.
Baribeh dan si Jul kaget. Anak muda ini
rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah yakin bahwa anak
muda ini punya ilmu yang tak rendah.
“Hei, sanak ada membawa api ?” Anak muda
itu bertanya.
Baribeh menelan ludahnya sebelum
menjawab.
“Ada. Mengapa ?”
“Ada yang berniat mematikan api itu
nampaknya…… ” anak muda itu berkata lagi. Baribeh dan teman-temannya tambah
kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat
isinya, pikir mereka. Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :
“Siapa pula yang akan mematikannya?”
“Angin!. Tak terasa angin makin kencang?”
Anak muda itu berkata seadanya. Tak
sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang berniat akan mematikan
lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda
itu. Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan
hulu hati yang amat pedih saking menahan berang.
Menjelang subuh mereka bangun dan main
lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang terus. Terus dan
terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua
pakaian mereka, termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada
anak muda itu. Anak muda itu ternyata memang setan judi. Dan ketika mereka
sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat itulah
iman Baribeh dan teman-temannya layu. Anak muda itu mereka sikat bakatintam.
Mula-mula yang menghantam adalah si Jul. Tendangannya yang pertama tak mengenai
sasaran. Anak muda itu sebenarnya terteleng kepalanya.
Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam
penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai. Teman si Jul
meng¬hantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba
menunduk, ingin memungut duitnya yang berserakkan. Dan tendangan yang melaju
dari belakangnya kembali tak mengenai sasaran. Malah ketika dia bangkit
tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak
ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang.
Keempat lelaki itu terkejut, tak
sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya secara
kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi, keempat lelaki itu bersiap. Si
Baribeh membuka serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor
kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut. Pukulan itu
mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya
berkatintam menghamtam tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh.
Namun keempat laki-laki itu tidak memberi
ampun sedikitpun. Dari atas surau perkelahain yang tidak bisa disebut
perke¬lahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu
tercampak menghantam dinding karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya
menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuh¬nya melayang ke bawah lewat dinding
lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (2)
Komentar
Posting Komentar