Kini dia
mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu,
terangkat perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti
main setelah menang besar sepekan yang lalu. Dia berniat membeli sawah, atau
pergi merantau dengan uang itu. Hidup di kampung ini terasa membosankannya.
Tapi dasar penjudi, begitu mengetahui ada penjudi lain, dia segera berselera
lagi. Dan inilah akibatnya. Lambat-lambat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka
dan sekujur tubuhnya yang bergelimang luluk. Meminum air sumur itu beberapa
teguk. Kemudian naik kembali ke surau.
Dia memungut
beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan
tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding
surau dia menggulung sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar
ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api yang terserak. Lalu membakar
rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu. Saat matanya yang
sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya
beberapa buah.
“Babi halus …
Jarum udang … Tali sirah…” katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu
demi satu seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut.
Rokok itu tak
habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan
ketiga temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi
berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan orang-orang itu. Hanya kini dari mana
dia harus mencari modal? Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor itu? Ah,
Ibu dan ayahnya pasti marah. Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya
paling-paling marah sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya.
Ayahnya suka
main tangan. Mentang-mentang guru silat. Puih, dia jadi mual melihat ayahnya
yang dia anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di
sasaran silat. Hatinya jadi bengkak melihat. Dia paling benci melihat orang
belajar silat. Apa untungnya belajar silat? Men¬ding belajar judi. Uang dapat perut
kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi,
dan berkali-kali pula ayah dan kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia
tetap tak menyukai silat.
Dia memang
termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian
pula kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang.
Dia tahu ayahnya tak menyenangi perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak
pernah menyusahkan mereka toh? Dia memang beberapa kali dihajar oleh pejudi-pejudi
lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada
ayah dan saudaranya yang jagoan silat itu.
Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian? Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot.
Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian? Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot.
Nah, secara
harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau
pesilat manapun! Begitu alur fikirannya. Tambahan lagi, berjudi dia anggap
mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu dibutuhkan semacam firasat yang
tajam untuk mengetahui ”mata” berapa yang akan muncul di atas. Dan diperlukan
perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat
mana ada seninya? Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau
tendang uncang-uncang di kerampang, atau banting. Bah, benar-benar keras dan
kasar. Dia benar- benar tak menyukainya.
Dia lalu
tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia bermimpi jadi seorang pesilat yang
jauh lebih tangguh dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari
pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah hari dia terbangun. Dia
menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi
seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpinya dia turun dari
surau tersebut. Kakinya melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak.
Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah gadang beratap ijuk, dia lihat
beberapa perempuan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu
belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur. Di dapur dia berpapasan dengan
kakaknya.
“Hei Bungsu,
orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya … ?”
Anak muda itu,
yang merupakan anak yang paling bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena
itu dia dipanggil dengan sebutan si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan
kakaknya. Dia mengambil piring. Dan mulai menyenduk nasi.
“Duduklah ke
sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan . .”
“Ah tak usah
susah-susah. Saya bisa mengambil sendiri “
“Duduklah, tukar
pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu”.
“Tak ada
urusanku dengan mereka . .”
“lni tentang
pertunanganmu . .”
Dia tetap tak
peduli, yang jelas dia ingin makan sekenyang-¬kenyangnya. Ketika mulai menyuap,
ibunya muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak bungsunya ini. Dia tak usah
bertanya kenapa muka dan tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa
pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa yang telah terjadi.
Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu.
Sementara sambil
makan, sesekali sudut mata si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan,
setelah tiga kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun
lewat pintu belakang. Tapi dia terhenti tatkala terdengar suara ibunya yang
sejak tadi berdiam diri.
“Tukarlah
pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding.”
“Merundingkan
pertunangan saya dengan Reno?”
“Ya. .”
“Apa lagi yang
harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?”
”tapi . .”
“Soal
perkawinan?”
Perempuan itu
menggeleng. Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya.
“Mereka ingin mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?” tanyanya dengan datar.
Ibunya tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang tengah tanpa menukar pakaiannya yang compang camping itu. Ayahnya dan empat lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya. Ayahnya nampak sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu.
“Mereka ingin mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?” tanyanya dengan datar.
Ibunya tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang tengah tanpa menukar pakaiannya yang compang camping itu. Ayahnya dan empat lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya. Ayahnya nampak sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu.
Ayahnya, dan
semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah
dalam perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya
diakhiri dengan perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau
dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan sehat wal afiat.
“Akan
mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?”
Dia bertanya
pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak.
“Bungsu! Beradab sedikit. Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!” Ayahnya membentak.
Dia menatap ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar berkata dengan pasti.
“Bungsu! Beradab sedikit. Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!” Ayahnya membentak.
Dia menatap ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar berkata dengan pasti.
“Kalau dulu
ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang
memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan….”
“Bungsu!”
ayahnya membentak.
Namun dia tak
memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia
berkata:
“Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!”
Sehabis ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
“Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!”
Sehabis ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
“Anak yang
benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran. . .” ayahnya
menyumpah panjang pendek dengan muka yang merah padam.
Akan halnya
perempuan-perempuan yang datang itu, tak bisa bicara sepatahpun. Kejadian
sebentar ini memang luar biasa hebatnya bagi mereka. Mereka memang menghendaki
pertunangan diputuskan. Tapi tak terpikirkan oleh mereka akan begini caranya.
Renobulan adalah
gadis tercantik di kampung ini. Banyak lelaki jatuh hati dan bersedia berkorban
untuknya. Tapi setahun yang lalu dia telah ditunangkan dengan si Bungsu. Orang
tahu bahwa pertunangan itu hanya karena ikatan kekeluargaan saja. Keluarga Reno
dan keluarga si Bungsu masih berkait-kait famili. Dan kedua keluarga mereka
termasuk keluarga yang terpandang di kampung itu.
Terpandang dalam
turunan dan harta. Sudah jadi tradisi, mereka mengikat perkawinan sesama
mereka. Artinya mereka tetap menjaga kelestarian turunan dan menjaga agar harta
pusaka tak jatuh ke tangan “orang luar”. Padahal semua orang berani bertaruh,
bahwa Reno yang cantik itu pasti tak menyukai si Bungsu.
Bah, apa yang
diharapkan gadis secantik dan selembut Renobulan itu dari seorang lelaki
seperti si Bungsu? Wajahnya selalu murung. Matanya sayu seperti tak semangat
hidup. Pemalas dan pejudi luar biasa. Penakut Allahurobbi. Soal judi, tak
satupun orang-orang di kampung ini, bahkan sampai ke kampung-kampung lain, yang
tak tahu bahwa anak muda ini adalah hantunya judi. Semua laki-laki yang pernah
jatuh hati pada Reno memaki orang tuanya sebagai orang tua mata duitan. Yang
bersedia menjual anak gadisnya demi menjaga harta warisan.
Orang tua laknat, rutuk mereka. Tapi orang tua Reno nampaknya juga punya persyaratan. Mereka berusaha agar si Bungsu itu merubah perangainya. Tapi apa daya, anak ini memang tak pernah berobah. Dia malah menjadi bahan gunjing dan bahan ejekan sesama besarnya. Dan siapa pula yang mampu bertahan bertunangan dengan lelaki seperti itu?
Orang tua laknat, rutuk mereka. Tapi orang tua Reno nampaknya juga punya persyaratan. Mereka berusaha agar si Bungsu itu merubah perangainya. Tapi apa daya, anak ini memang tak pernah berobah. Dia malah menjadi bahan gunjing dan bahan ejekan sesama besarnya. Dan siapa pula yang mampu bertahan bertunangan dengan lelaki seperti itu?
Si Bungsu
melangkah turun dengan hati kesal. Pertunangannya memang termasuk pertunangan
yang aneh. Sejak bertukar cincin setahun yang lalu, dia baru bertemu dengan
tunangannya itu sebanyak tiga kali. Dua kali di pasar Jumat dan sekali ketika
sembahyang Hari Raya.
Dalam tiga kali pertemuan itu, tak sepatahpun mereka sempat bicara. Mereka hanya bertatapan sejenak dalam jarak yang jauh. Kemudian dia sibuk dengan teman-temannya. ltulah modelnya pertunangan itu. Dia bukannya tak tahu bahwa Reno adalah gadis cantik yang jadi rebutan banyak orang. Tapi dia tak mau gadis itu menyangka bahwa dia termasuk salah satu di antara lelaki yang memburu cintanya. Puih!
Dalam tiga kali pertemuan itu, tak sepatahpun mereka sempat bicara. Mereka hanya bertatapan sejenak dalam jarak yang jauh. Kemudian dia sibuk dengan teman-temannya. ltulah modelnya pertunangan itu. Dia bukannya tak tahu bahwa Reno adalah gadis cantik yang jadi rebutan banyak orang. Tapi dia tak mau gadis itu menyangka bahwa dia termasuk salah satu di antara lelaki yang memburu cintanya. Puih!
Kini
pertunangannya yang tak berkelincitan itu sudah tamat riwayatnya. Hatinya jadi
lega. Ya, dia jadi lega. Sebab dia semakin bebas untuk berjudi.
”Hmm, kemana
harus mencari modal untuk berjudi?”, pikirnya sambil terus melangkah
meninggalkan surau tua itu.
Kabar tentang putusnya pertunangan itu
segera tersebar di kampung-kampung berdekatan. Namun para pemuda di
kampung-kampung itu tak segera dapat bergembira dengan kabar tersebut. Sebab
bersamaan dengan putusnya pertunangan itu, ke kampung mereka, dan juga ke
kampung-kampung lainnya, berdatangan serdadu Jepang. Mula-mula para serdadu itu
datang dengan baik-baik.
Tapi itu hanya sebentar. Sepekan
kemudian segera diketahui bahwa mereka sebenarnya tengah mencari kaum lelaki.
Semula dikatakan bahwa kaum lelaki dibutuhkan tenaganya untuk bekerja di kota.
Beberapa kantor di Bukittinggi, Payakum¬buh, Padang Panjang dan Padang membutuhkan
tenaga lelaki. Begitu menurut kabar yang disiarkan. Namun kabar itu hanya mampu
bertahan sebentar. Sebab pekan berikutnya Jepang-jepang itu tak lagi meminta
kaum lelaki dengan bujukan.
Kini mereka main tangkap. Penduduk segera
tahu dari beberapa orang di kota, bahwa lelaki yang ditangkapi dan dibujuk
dahulu, ternyata dikirim ke Logas. Sebuah tempat pendulangan emas di hutan
belantara Riau. Selain dipekerjakan di tambang batu bara, kaum lelaki juga
dipaksa membuat jalan kereta api. Tidak hanya sampai di situ kekejaman
Jepang-jepang tersebut. Mereka mulai mengganggu anak isteri orang. Dalam
beberapa kali perkelahian sudah ada dua tiga penduduk yang mati kena tebas
samurai. Sejenis pedang panjang yang tajamnya bukan main, dan baru kali itu
mereka lihat
Beberapa lelaki
mulai menyusun kekuatan untuk melawan kekejaman Jepang itu. Mereka terutama
adalah pesilat-pesilat di bawah pimpinan Datuk Berbangsa, ayah si Bungsu.
Mereka berlatih silat di tengah malam buta. Disaat serdadu Jepang tak merondai
kampung itu. Tempat mereka latihan juga tersembunyi. Sangat dirahasiakan.
Latihan mereka kini ditambah dengan cara meng¬hindarkan serangan dengan pedang
panjang seperti yang dipakai para Jepang itu.
Sebelum ini mereka tak pernah berfikir
bahwa ada senjata seperti itu. Yang pernah mereka latih adalah menghindar¬kan
tikaman keris yang panjangnya hanya dua tiga jengkal. Atau tebasan pedang yang
panjangnya tak sampai dua hasta.
Tapi samurai Jepang itu panjangnya luar
biasa. Lebih panjang dari kelewang yang selama ini mereka kenal. Cara
mempergunakannya juga luar biasa cepatnya. Serdadu Jepang itu nampaknya juga
pesilat-pesilat tangguh menurut ukuran negeri mereka sana. Sebab dalam beberapa
kali perkelahian antara Jepang dengan pesilat Minang di kampung mereka,
pesilat-pesilat Minang itu pasti mati langkah dibuatnya. Tak sampai beberapa
hitungan, si pesilat pasti rubuh dengan dada atau perut robek. Atau dengan
leher hampir putus.
Jepang-jepang itu demikian cepat mencabut samurainya. Kemudian demikian cepatnya samurai itu berkelebat. Lalu dalam hitungan yang amat singkat, samurai itu kemba¬li mereka masukkan ke sarungnya. Mulai saat dicabut, sampai memakan korban dua tiga orang, kemudian masuk kembali ke sarungnya, mungkin hanya dalam lima hitungan cepat. Artinya hanya dalam lima detik lebih sedikit! Sebagai pesilat, Datuk Berbangsa dan teman-temannya mengakui secara jujur kecepatan Jepang-Jepang itu mempergunakan senjata tradisionil mereka. Kini mereka berlatih bagaimana caranya melum¬puhkan serangan senjata maut panjang itu. Sebagai alat latihan mereka mempergunakan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa.
Jepang-jepang itu demikian cepat mencabut samurainya. Kemudian demikian cepatnya samurai itu berkelebat. Lalu dalam hitungan yang amat singkat, samurai itu kemba¬li mereka masukkan ke sarungnya. Mulai saat dicabut, sampai memakan korban dua tiga orang, kemudian masuk kembali ke sarungnya, mungkin hanya dalam lima hitungan cepat. Artinya hanya dalam lima detik lebih sedikit! Sebagai pesilat, Datuk Berbangsa dan teman-temannya mengakui secara jujur kecepatan Jepang-Jepang itu mempergunakan senjata tradisionil mereka. Kini mereka berlatih bagaimana caranya melum¬puhkan serangan senjata maut panjang itu. Sebagai alat latihan mereka mempergunakan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa.
Malam inipun mereka sedang berlatih di
tempat rahasia itu, dipimpin Datuk Maruhun, ayah Renobulan, bekas tunangan si
Bungsu. Gerimis turun malam itu. Jumlah yang ikut latihan hanya tujuh orang.
Yang lain tengah bertugas menyusun kekuatan di tempat lain. Termasuk ayah si
Bungsu. Datuk Maruhun tengah memberikan petunjuk di tengah sasaran(gelanggang
silat) tatkala tiba-tiba mereka dikejutkan oleh cahaya senter. Mereka berusaha
menghindar dengan menyebar. Tapi ternyata sasaran itu telah dikepung oleh lebih
selusin serdadu Jepang.
“Hemmm, latihan silat
ya. Latihan menghindarkan serangan Samurai ha!? Bagus! Bagus..!” ujar seorang
Jepang berperut gendut bermata sipit sambil maju ke depan.
Ke tujuh lelaki itu tegak dengan diam di tengah sasaran. Di tangan mereka hanya ada keris. Tapi keris itu takkan berdaya menghadapi bedil yang diacungkan pada mereka oleh Jepang-Jepang itu. Satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah tetap menanti. Menanti apa yang akan terjadi. Mereka berbaris tegak tujuh orang. Menatap ke depan, ke arah si gemuk yang barangkali merupakan komandan penyergapan ini.
Ke tujuh lelaki itu tegak dengan diam di tengah sasaran. Di tangan mereka hanya ada keris. Tapi keris itu takkan berdaya menghadapi bedil yang diacungkan pada mereka oleh Jepang-Jepang itu. Satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah tetap menanti. Menanti apa yang akan terjadi. Mereka berbaris tegak tujuh orang. Menatap ke depan, ke arah si gemuk yang barangkali merupakan komandan penyergapan ini.
“Teruslah latihan!. Saya suka silat
Minang. Bagus banyak, eh banyak bagus”, ujar si gemuk sambil menerkam ketujuh
lelaki itu dengan tatapan matanya. Ketujuh pesilat itu tak bergerak dari tempat
mereka.
“Dari mana mereka tahu tempat sasaran
ini?,” bisik Datuk Maruhun pada lelaki yang tegak di sisinya.
Lelaki itu tak menyahut. Semua mereka
memang merasa terkejut atas kemunculan serdadu Jepang itu. Tak seorang¬pun yang
mengetahui tempat latihan ini selain anggota mereka. Apakah di antara mereka
ada yang ber¬khianat?
“Ayo
mulailah bersilat, atau kalian perlu diajar dengan samurai sebenarnya?”
si Gemuk itu bicara lagi.
Karena tetap saja tak ada yang menjawab,
dia lalu memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Jepang itu maju.
Memberikan bedil panjangnya yang berbayonet kepada temannya. Lalu dengan hanya
samurai di pinggang dia masuk ke tengah sasaran.
“Hei, kalian berdua!. Majulah dan lawan
dia . . ”
Jepang gemuk tadi menunjuk pada dua orang
pesilat.
“Majulah…. kita memang menyusun kekuatan
untuk melawan mereka. Kini kesempatan itu tiba. Lawanlah dengan segala usaha.
Kalau Tuhan menghendaki, esok mati kinipun mati, lebih baik kita mati dalam
berjuang, ” bisik Datuk Maruhun pada dua temannya itu.
”Doakan kami Datuk. . . . Kalau kami mati duluan tolong anak bini kami..,” lelaki itu balas berbisik perlahan.
”Doakan kami Datuk. . . . Kalau kami mati duluan tolong anak bini kami..,” lelaki itu balas berbisik perlahan.
“Jangan khawatir pada yang tinggal.
Majulah, kami doakan . . . “
Dengan mengucap Bismillah, kedua lelaki
itu maju dengan keris di tangan mereka. Mereka berdua tegak sedepa di hadapan
Jepang itu. Jepang gemuk yang merupakan Komandan dalam penyergapan itu
memberikan petunjuk pada anak buahnya. Anak buahnya kelihatan tegak dengan
diam, sementara tangan kanannya berada di gagang samurai yang masih tersisip
dalam sarung di pinggangnya.
Pesilat yang di sebelah kiri mulai
membuka langkah ke kanan. Yang di kanan juga melangkah ke kanan. Itu berarti
mereka membuat langkah melingkari Jepang itu arah ke kanan pula. Jepang itu
masih tetap tegak dengan diam.
Tiba-tiba pesilat yang ada di depan
menyerang dengan sebuah tikaman ke lambung Jepang itu. Pesilat yang satu lagi
bergulingan di tanah dan begitu tubuhnya berada dekat tubuh Jepang yang tegak
itu, dia mengirimkan sebuah tikaman ke selengkangnya. Beberapa saat Jepang itu
masih tegak.
Namun tiba-tiba dia bergerak. Gerakannya
hanya seperti orang berputar saja. Tangannya tak kelihatan bergerak sedikitpun.
Ketika dia berputar tadi tangannya masih di pinggang. Kinipun tangannya itu
masih di pinggang. Di gagang samurainya. Namun pesilat yang menyerang duluan
menggeliat. Dan tubuhnya rubuh ke tanah tanpa jeritan. Tengkuk dan pung¬gungnya
nampak tergores panjang, darah menyembur dari goresan itu.
Pesilat yang berguling di bawah lebih nestapa lagi, tangannya yang tadi menikam ke atas, putus hingga di siku. Lehernya menganga lebar. Keduanya mati saat itu juga. Darah mereka membasahi sasaran. Datuk Maruhun dan keempat temannya jadi terkejut bukan main. Namun mereka telah berketetapan hati untuk berjuang sampai mati. Mereka tetap tegak dengan diam. Komandan Jepang itu bicara lagi dalam bahasa nenek moyangnya. Jepang yang membelakang itu berputar lagi lambat-lambat. Kemudian berjalan keluar sasaran. Sungguh mati, tak seorangpun di antara kelima lelaki yang masih hidup itu sempat melihat Jepang itu tadi mencabut Samurainya. Tak seorangpun! Dapat dibayangkan betapa cepatnya Jepang itu bergerak.
Pesilat yang berguling di bawah lebih nestapa lagi, tangannya yang tadi menikam ke atas, putus hingga di siku. Lehernya menganga lebar. Keduanya mati saat itu juga. Darah mereka membasahi sasaran. Datuk Maruhun dan keempat temannya jadi terkejut bukan main. Namun mereka telah berketetapan hati untuk berjuang sampai mati. Mereka tetap tegak dengan diam. Komandan Jepang itu bicara lagi dalam bahasa nenek moyangnya. Jepang yang membelakang itu berputar lagi lambat-lambat. Kemudian berjalan keluar sasaran. Sungguh mati, tak seorangpun di antara kelima lelaki yang masih hidup itu sempat melihat Jepang itu tadi mencabut Samurainya. Tak seorangpun! Dapat dibayangkan betapa cepatnya Jepang itu bergerak.
Padahal Datuk Maruhun adalah pesilat
tangguh dari aliran silat Lintau. Dia dapat melihat dengan matanya yang setajam
burung elang gerakan silat yang bagaimanapun cepatnya. Namun kali ini dia harus
mengakui secara jujur, bahwa matanya ternyata masih kurang tajam. Seorang lagi
tentara Jepang masuk ke tengah sasaran. Jepang ini bertubuh kurus jangkung.
Kelihatannya angkuh. Sesampai di tengah sasaran dia menghunus samurainya.
Berbeda dengan serdadu pertama tadi yang tetap membiarkan samurainya dalam
sarang dan tersisip di pinggang. Yang ini memegang hulu samurai itu erat-erat
dengan kedua tangannya. Komandan Jepang yang bertubuh gemuk itu kembali bicara
:
“Tadi kalian saya lihat berlatih mengelakkan serangan samurai. Bahkan coba membalasnya. Itu yang kalian mak¬sud dengan mempergunakan kayu panjang ini sebagai alat latihan bukan? Nah, kini Zenkuro akan mengajar kalian bagaimana mestinya latihan mengelakkan samurai. Kalian yang berdua di ujung itu majulah . .!”
“Tadi kalian saya lihat berlatih mengelakkan serangan samurai. Bahkan coba membalasnya. Itu yang kalian mak¬sud dengan mempergunakan kayu panjang ini sebagai alat latihan bukan? Nah, kini Zenkuro akan mengajar kalian bagaimana mestinya latihan mengelakkan samurai. Kalian yang berdua di ujung itu majulah . .!”
Kedua pesilat yang di tunjuk itu saling berpandangan.
“Kami akan maju Datuk. Mohon maafkan kesalahan kami . .,” mereka berkata perlahan. Nampaknya mereka telah yakin akan mati. Namun mereka menghadapinya dengan tabah.
“Kita akan mati bersama di sini. Hanya kalian terpilih lebih duluan. Majulah, Tuhan bersama kalian . . .,” Datuk Maruhun berkata perlahan.
“Kami akan maju Datuk. Mohon maafkan kesalahan kami . .,” mereka berkata perlahan. Nampaknya mereka telah yakin akan mati. Namun mereka menghadapinya dengan tabah.
“Kita akan mati bersama di sini. Hanya kalian terpilih lebih duluan. Majulah, Tuhan bersama kalian . . .,” Datuk Maruhun berkata perlahan.
Kedua lelaki itu maju. Yang satu memegang
tombak. Yang satu memegang pedang.Namun
sebelum mereka mulai, komandan bertubuh gemuk itu berkata pada salah seorang
anak buahnya.
“Hei, mana monyet tadi. Lemparkan kemari agar dia melihat pertarungan ini . .”
“Hei, mana monyet tadi. Lemparkan kemari agar dia melihat pertarungan ini . .”
Tak sampai beberapa hitungan, ”monyet”
yang dimaksud oleh Komandan itu segera didorong ke depan dari balik
semak-semak. Dan kelima lelaki itu seperti ditembak petir saking terkejutnya tatkala
melihat siapa yang dikatakan ”monyet” itu.
“Bungsu!!” Datuk Maruhun berseru kaget.
“Bungsu!” Lelaki yang maju dengan tombak di tangan itu juga berseru. Dan
tiba-tiba kelima mereka dapat menebak kenapa Jepang-Jepang ini sampai mengetahui
tempat sasaran yang mereka rahasiakan ini.
”Jahanam kau Bungsu. Kau tidak hanya melumuri kepala ayahmu dengan taik, tapi
juga melumuri kampung ini dengan kotoran. Berapa kau dibayar Jepang untuk
menunjukkan tempat ini?” Datuk Maruhun membentak.
Anak muda itu hanya menarik nafas
panjang. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, menatap kelima lelaki orang
kampungnya itu dengan tenang. Dan ketenangan ini membuat kelima mereka rasa
akan muntah saking jijik dan berangnya. Yang memegang tombak tiba-tiba
mengangkat tombaknya dan menghayunkan pada si Bungsu. Namun sa¬murai di tangan
si Jepang bergerak. Tombak itu potong dua sebelum sempat dilemparkan.
“Terkutuk kau Bungsu. Untung anakku tak jadi kawin denganmu. Tujuh keturunan kau kami sumpahi. Laknat jahanam!!” Datuk Maruhun menyumpah saking berangnya.
Namun anak muda itu tetap saja tegak dengan diam. Komandan Jepang itu memberi perintah pada si Jangkung di tengah sasaran. Kepada kedua lelaki itu dia lalu berkata:
“Nah, kalau tadi kalian menyerang, kini tangkislah serangan Zenkuro. . .”
Sebelum ucapannya habis, si Jangkung yang memegang hulu samurai dengan kedua tangannya, mulai menyerang. Serangan nampak biasa saja, membabat kaki, perut dan leher. Serangan begini dengan mudah dielakkan oleh kedua pesilat itu. Malah mereka bisa balas menyerang.
“Terkutuk kau Bungsu. Untung anakku tak jadi kawin denganmu. Tujuh keturunan kau kami sumpahi. Laknat jahanam!!” Datuk Maruhun menyumpah saking berangnya.
Namun anak muda itu tetap saja tegak dengan diam. Komandan Jepang itu memberi perintah pada si Jangkung di tengah sasaran. Kepada kedua lelaki itu dia lalu berkata:
“Nah, kalau tadi kalian menyerang, kini tangkislah serangan Zenkuro. . .”
Sebelum ucapannya habis, si Jangkung yang memegang hulu samurai dengan kedua tangannya, mulai menyerang. Serangan nampak biasa saja, membabat kaki, perut dan leher. Serangan begini dengan mudah dielakkan oleh kedua pesilat itu. Malah mereka bisa balas menyerang.
Beberapa kali pedang dan tangan di tangan
pesilat yang satu beradu dengan samurai di tangan Jepang itu. Bunga api
memercik dari benturan kedua baja tersebut. Kedua pesilat ini mengitari tubuh
si Jangkung dengan melangkah berlawanan arah. Jadi dia dipaksa untuk memecah
kosentrasinya. Sepuluh jurus berlalu.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (3)
Komentar
Posting Komentar