Langsung ke konten utama

Tikam Samurai (10)




”Ya, Saburo!. Kenapa…?” Mariam tertegun kecut melihat sikap si Bungsu.
”Dialah yang telah membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakakku sebelum dia dibunuh. Kemudian dialah yang membabat punggungku dengan samurainya. Jahanam. Di mana dia kini…?!” Suara Si Bungsu hampir saja tak bisa di kontrol jika tidak cepat-cepat mulutnya ditutup dengan tangan oleh Mariam.
”Tenanglah. Kamura di sebelah. Saya tak tahu dimana Saburo. Sudah lama dia tak datang kemari. Padahal biasanya tiap malam dia pasti datang…”
”Mariam. Apakah engkau tak berniat untuk meninggalkan tempat ini?”
”Kemana?”
”Kemana saja. Asal jangan kembali ke tempat ini. Barangkali kau bisa hidup dengan tenang si suatu tempat. Dengan seorang suami….” Mariam mulai lagi terisak.
”Siapa yang tak menginginkan kehidupan yang tentram dengan seorang suami? Itulah dulu yang kuinginkan ketika kawin dengan pemuda yang kucintai sampai Saburo membunuhnya. Dan kini, siapa lagi lelaki yang mau menerimaku sebagai isterinya?”
”Tapi engkau juga tak mungkin di sini terus Mariam…”
”Lalu akan kemana aku?”
”Carilah suatu tempat yang jauh dari sini. Mungkin ada lelaki yang mencintaimu. Engkau masih muda dan …. cantik….”
”Takkan ada yang mau, apalagi bila mereka tahu siapa aku…”
”Engkau belum mencobanya. Jangan menyerah sebelum kau coba….”
”Baiklah, akan kucoba sekarang. Aku mau meninggalkan tempat ini. Aku mau pergi kalau kau menikahiku. Apakah kau bersedia menjadi suamiku?”
Si Bungsu tertegun. Dia tak menduga perempuan ini akan berkata begitu. Melihat dia tertegun, Mariam berkata lagi.
”Jangan coba mengelak dengan mengatakan bahwa engkau telah punya isteri. Saya mengenal lelaki yang telah kawin dengan yang masih bujangan. Nah, maukah engkau menikah denganku?” Perempuan itu menatap nanap padanya. Si Bungsu terdiam, peluh mulai membasai tubuhnya. Mula-mula dia masih bisa menatap Mariam. Tapi kemudian dia tertunduk Mariam terisak. Menelungkup di tilam tipis di pembaringannya. Si Bungsu jadi serba salah. Perlahan dia pegang bahu perempuan itu, mendudukkannya, kemudian tiba-tiba Mariam memeluknya sambil menangis.
”Diamlah…jangan menangis..” ujarnya pelan. Ketika perempuan itu masih terisak, perlahan di pegang wajahnya. Entah apa yang mendorongnya, tahutahu pipi perempuan itu diciumnya. Lalu..dengan lembut ciumannya pindah ke bibir perempuan itu. Perempuan itu sesaat masih terisak. Kemudian terdiam, laqlu membalas ciuman si Bungsu. Tapi kemudian tiba-tiba dia melepaskan bibirnya dari bibir si Bungsu. Si Bungsu kaget dan malu.
”Aku perempuan pertama yang kau cium, Uda?” Mariam bertanya dengan suara gemetar. Si Bungsu ingin mengangguk. Namun anggukannya tak jadi. Ingin menggeleng, tapi dia tak bisa berdusta. Perasaan malu dan takut bercampur aduk.
”Terima kasih Uda. Engkau membuat aku bahagia. Akan kukenang ciuman ini,” Mariam berkata sambil menghapus air matanya. Si Bungsu menarik nafas lega, kemudian berkata pelan.
”Menghindarlah dari rumah ini Mariam. Akan terjadi huru-hara sebentar lagi…”
”Sudah lama aku memimpikan melihat seorang Minangkabau melawan Jepang. Membunuhnya, berkelahi dengan mereka. Mungkin mereka akan mati. Namun di hatiku, mereka tetap seorang pahlawan. Sudah lama aku ingin melilhat hal itu terjadi. Betapa seorang lelaki Minangkabau tegak dengan perkasa menghadapi samurai Jepang yang zalim itu. Dan kini barangkali aku akan melihatnya. Kenapa aku harus pergi? Tidak, aku akan berada di sini sampai huru hara itu usai, Uda…”
Si Bungsu tak lagi bekata. Dia tegak dan melangkah. Kemudian membuka pintu. Berbelok ke kanan. Menerjang pintu kamar dimana Kamura tadi masuk dengan perempuan berkulit hitam manis itu.
Kamura yang tadi membawa si Hitam Manis kini tengah bermandi peluh dalam kamar tersebut. Si Hitam Manis juga bermandi peluh. Tubuhnya yang tak berkain tertelentang. Sebelah kakinya terjuntai kebawah tempat tidur. Dan Kamura sedang duduk di lantai di antara kaki si Hitam Manis ketika tiba-tiba pintu kamarnya dihantam hingga terbuka. Kamura terlompat bangun. Si Hitam Manis hanya menelungkupkan tubuhnya. Dia menyangka yang masuk adalah kawan Kamura. Sebab sudah biasa Jepang–Jepang itu bergantian masuk kesebuah bilik bila temannya telah puas. Namun kini yang masuk bukanlah tentara Jepang, melainkan si Bungsu. Kamura memaki berang melihat yang masuk ternyata seorang Melayu.
”Bagero !. Masuk siapa kemari yang kamu berani, he !? ” bentaknya terbalik-balik. Padahal yang ingin dia ucapkan adalah ”Siapa kamu yang berani masuk kemari, he”
Mata si Bungsu menyipit. Mulutnya terkatup rapat. Kemudian dari sela bibirnya terdengar suara mendesis :
”Aku anak Datuk Berbangsa dari kampung Situjuh Ladang Laweh. Yang kalian bunuh dua tahun yang lalu. Dimana Saburo kini ? ”
Tanpa lebih dahulu memakai celananya. Kamura menerjang si Bungsu. Namun si Bungsu sudah siap. Dia mengelak. Tubuh Kamura yang telanjang bulat itu menerpa pintu. Kemudian terpelanting ke ruangan tengah. Si Hitam Manis terpekik. Di ruang tengah, dua orang serdadu Jepang yang tengah keluar jadi tertegun. Kemudian tertawa terbahak – bahak melihat Kamura yang telanjang bulat itu. Mereka menyangka Kamura mabuk. Namun Kamura dengan cepat menyentak samurai di pinggang seorang perwira, dan menerjang kembali masuk kekamar dimana tadi si Bungsu tegak. Tapi tubuhnya segera tercampak lagi keluar kamar. Dan kali ini dengan tubuh hampir terpotong dua pada dadanya ! Perempuan – perempuan yang ada dalam rumah petak itu pada terpekik. Empat orang sedadu Jepang segera naik menghambur keatas. Di pintu bilik si Hitam Manis itu, tegak si Bungsu dengan sebuah tongkat di tangannya. Dia tegak dengan tenang. Menatap pada enam Jepang yang kini tegak pula menatapnya. Mereka bertatapan. Dengan sudut matanya si Bungsu melihat di sebelah kirinya, agak jauh di tepi dinding, tegak Mariam di antara beberapa temannya. Perempuan itu menatap padanya dengan sinar mata penuh kebanggaan. Salah seorang dari perwira Jepang itu segera saja mencabut pistol dan menembakkannya kearah si Bungsu. Si Bungsu menggelinding di lantai. Gerakkan Lompat Tupai ! Peluru perwira itu menerpa tempat kosong. Dua kali menggelinding dengan cepat, akhirnya ketika dia tegak samurainya bekerja. Perwira itu terpekik. Tangannya yang tadi menembakkan pistol putus hingga siku. Sebelum pekiknya berakhir, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Kepalanya belah dua ! Suasana tiba – tiba jadi sepi. Hening mencekam!. Si Bungsu tegak di depan kelima serdadu Jepang itu dengan wajah yang sedingin batu es.
”Saya si Bungsu. Saya mencari Kapten Saburo. Dimana dia ? ” Suaranya terdengar tanpa emosi. Namun Jepang – Jepang itu terkenal sebagai orang yang tak mengenal takut sedikitpun. Dua orang segera maju dengan mempergunakan jurus – jurus karate. Namun Samurai si Bungsu segera bekerja. Kedua mereka roboh dengan leher hampir putus. Empat yang mati dalam waktu tak sampai lima menit. ” Kempetai datang !! ” Mariam berteriak. Dan saat itulah ketiga serdadu Jepang yang masih hidup maju serentak sambil menghunus samurai mereka. Tapi yang mereka hadapi adalah si Bungsu!. Seorang lelaki yang telah bersumpah untuk takkan mati sebelum dendam keluarganya terbalas. Begitu serangan datang, dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata samurainya berkelebat. Dua kali sabetan mendatar, menyebabkan dua Jepang yang ada di depan dan di kirinya rubuh dengan perut menganga. Kemudian sambil berputar setengah lingkaran dia menikamkan samurainya ke belakang. Jepang yang terakhir, mati tersate tentang dada kirinya. Sebuah Tikam Samurai! Persis seperti yang dipergunakan oleh Datuk Berbangsa di halaman rumah gadangnya dahulu. Saat dia menyentak samurainya, Jepang itupun rubuh.
”Lewat pintu belakang !” dia dengar suara perempuan berseru. Dia segera mengenali suara itu sebagai suara Mariam. Suara sepatu Kempetai terdengar menjejak tangga di depan. Si Bingsu tegak. Kemudian menatap pada perempuan – perempuan itu. Dia segera menampak Mariam.
”Terima kasih Mariam. Saya akan balaskan dendammu.” dan Kempetai pertama muncul di pintu tengah. Si Bungsu menyelinap kebelakang. Punggungnya kelihatan oleh Kempetai itu.
”Bagero ! Berhenti !” teriaknya sambil menembakkan pistol. Namun si Bungsu telah lenyap. Tiga Kempetai segera memburu ke belakang. Di belakang mereka disambut oleh gelapnya malam. Jauh di bawah sana, deru arus Batang Agam terdengar menderu menegakkan bulu roma. Jepang – Jepang itu pada plengak – plenguk mencari kalau – kalau lelaki yang baru saja melarikan diri itu bersembunyi di sekitar tempat tersebut. Tapi si Bungsu telah terjun dan lenyap dalam arus Batang Agam di bawah sana. Baginya berenang dan menyelam bukan lagi hal baru. Berenang di Batang Agam ini memang kegemarannya sewaktu masih muda dulu. Keenam Kempetai yang baru datang itu tertegun tatkala menyaksikan tubuh teman mereka terhantar malang melintang di dalam rumah itu. Dari bekas luka di tubuh mereka jelas kematiannya diakibatkan senjata tajam. Seperti samurai atau pedang. Namun Kamura dan beberapa temannya ini adalah seorang pesilat Samurai yang tangguh. Siapa yang telah melumpuhkan mereka ?.
”Siapa itu orang tadi ?” tanya salah seorang kearah kerumunan perempuan-perempuan di ruangan tersebut.
”Seorang Jepang.” Terdengar suara dari kerumunan perempuan – perempuan itu. Dan yang bicara itu adalah Mariam. Dia mencubit teman di sampingnya sebagai isyarat. Cubitan yang tak kelihatan itu segera saja dimengerti oleh temannya. Lalu perempuan muda yang dicubit itu angkat bicara.
”Ya. Nampaknya seorang tentara yang berpakaian seperti penduduk sini. Tadi sebelum terjadi perkelahian, dia kelihatan bicara akrab dengan Kamura. Tapi tak lama setelah dia menyusul masuk, terjadilah perkelahian … ”.
Kempetai yang bertanya itu mengerutkan kening. Tadi dia memang melihat sesosok tubuh menyelinap kebelakang. Tapi tak jelas siapa orangnya. Mereka lalu menanyai perempuan – perempuan itu dengan gencar. Para perempuan itu, meskipun mereka hidup melacurkan diri namun memiliki rasa cinta Tanah Air yang luar biasa, yang barangkali tak seberapa dimiliki oleh perempuan – perempuan yang bukan pelacur. Mereka seperti sepakat, seiya sekata untuk membenarkan dan menuruti cerita bohong yang mula pertama diucapkan oleh Mariam. Dan para Kempetai serta pimpinan Jepang di Payakumbuh, tak bisa berbuat selain mempercayai hal itu. Sekurang – kurangnya buat sementara.
Sebab siapa diantara penduduk pribumi yang bisa memainkan Samurai hingga sanggup mengalahkan Kamura dan seorang perwira lainnya serta empat teman mereka? Tak mungkin ada pribumi yang bisa. Dan kalaupun bisa, takkan mungkin mempunyai keberanian untuk menyerang serdadu Jepang. Tak mungkin!. Sebab pada saat ini, gerakan – gerakan tentara Indonesia belum begitu gencar mengadakan perlawanan pada Jepang. Baru berupa tindakan – tindakan sporadis.
Jepang sendiri seperti tak punya kesempatan untuk mengusut peristiwa ini secara jelimet. Sebab dimana – mana, tidak hanya di Minangkabau, juga di seluruh Indonesia, mereka sedang sibuk membangun benteng pertahanan. Benteng – benteng pertahanan itu mereka bangun berupa lobang-lobang dari coran beton. Tersebar di seluruh kota, di tempat – tempat yang strategis, termasuk di sepanjang pantai. Musuh yang paling mereka khawatirkan untuk datang menyerang adalah Tentara Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Athur yang berkedudukan di Manila, Filipina.
Selain membuat benteng – benteng dalam bentuk lobang-lobang yang diperkukuh dengan beton cor yang tak mampu diruntuhkan dengan bom sekalipun, maka pusat suply senjata, dan benteng pertahanan secara besar – besaran mereka buat di Bukit Tinggi. Di kota ini, selain lobang-lobang pertahanan dari beton cor, mereka juga membuat terowongan yang silang siur di bawah kota. Terowongan yang sangat besar. Bisa dilalui Jeep masuk sampai jauh ke dalam. Untuk membuatnya mereka tinggal mengerahkan tentara Belanda yang tertawan yang disebut internir, dan para lelaki bangsa Indonesia. Ribuan orang dikerahkan membuat terowongan yang kelak dikenal sebagai terowongan maut.
Dia dinamai terowongan maut oleh karena seluruh pekerja yang ikut menggali terowongan itu tak satupun yang keluar hidup – hidup. Tak satupun!. Semua mati di dalam terowongan itu. Kematian mereka memang disengaja oleh Jepang demi menjaga kerahasiaan terowongan itu. Terowongan itu kabarnya melintas di atas bangunan – bangunan fital. Di samping itu juga mempunyai pintu tembus ke tempat – tempat strategis di dalam maupun jauh di luar kota.
Menurut sementara cerita yang berasal dari tawanan yang tak sempat dibunuh, terowongan itu konon juga dibangun dari perut di bawah kota Bukittinggi tembus ke lapangan udara Gadut. Kemudian ke Balingka dan ke Anak Air. Terowongan sepanjang itu itu diperlukan Jepang untuk dua tujuan. Pertama, tempat menimbun berbagai macam logistik dan pertahanan Jepang di Sumatera untuk melawan tentara Sekutu. Setelah terowongan itu siap, pemusatan dan kedatangan persenjataan dari Sumatera Utara tak lagi melewati jalan biasa. Sampai di Gadut, perlengkapan itu lenyap begitu saja.
Menurut cerita dari sana langsung masuk terowongan dan dipusatkan disuatu tempat di perut bumi di bawah kota Bukittinggi. Dalam rencana strategisnya, jika Sekutu datang menyerang mereka akan bersembunyi di terowongan itu. Pada waktu tertentu mengadakan serangan mendadak ke kota. Di terowongan itu mereka mempunyai perbekalan baik makanan maupun persenjataan yang bisa menghidupi satu batalyon pasukan dengan kekuatan 1.000 orang selama setahun!
Suatu penimbunan dan pemusatan suplay yang tak tanggung – tanggung dalam sejarah Kemiliteran. Kedua, dalam keadaan sangat genting mereka bisa mempergunakan lapangan terbang gadut untuk melarikan diri dengan pesawat udara. Saat terowongan itu dibangun, pimpinan tertinggi balatentara Jepang di pulau Sumatera dipegang oleh Tei Sha (Kolonel) Fujiyama. Dia memilih menempatkan pusat komandonya di bekas kantor tentara Belanda beberapa puluh meter dari mulut terowongan yang sedang di bangun di Panorama. Pusat komando Fujiyama ini kelak dijadikan Museum ABRI di depan Tugu 17 Agustus di Panorama. Pintu terowongan juga dibangun di belakang kantornya. Dari sana, lewat terowongan yaangng berbelit dia bisa mencapai beberapa tempat di kota Bukittinggi. Seperti ke Jam Gadang, Benteng atau Kebun Binatang.
-000-
Malam itu terang bulan. Benar – benar bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orang – orang yang keluar. Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang, kelihatan berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rot an. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau sake dan candu. Diantara keenam lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di tikar rotan itu.
Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang dengan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang – Jepang itu duduk mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu. Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana kini mereka berada.
Kini dia bertindak sebagai bandar dalam judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal penduduk sebagai rumah kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan – perempuan pilihan. Salah satu dari perempuan itu adalah anak gadis Cina bot ak itu sendiri.
Anak gadisnya memang terkenal cant ik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan bayaran yang tak tanggung – tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang – pejuang Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.
Pejuang – pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha pejuang – pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan – perempuan lacur. Bahkan tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas petunjuk Cina ini.
”Sudah datang dia ?” seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu – I), bertanya sambil menambah uang taruhannya.
”Belum, mungkin sebentar lagi”, jawab Babah gemuk tersebut.
Mereka meneruskan main dadu. Tiba – tiba Chu – I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada dalam ruangan itu.
”Hei, mana Amoy ..?” tanyanya.
Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus, meraih uang di tikar yang dimenanginya.
”Mana Amoy, gepuk?” tanya si Chu-I.
Si gepuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu akan tegak, si gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. Chu-I tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang dimaksud si babah gepuk.
Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.
Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah lebih dari dua jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu. Dia cepat – cepat melangkah mendekati kedua lelaki itu.
” Hei. Jumpa lagi kita ..! ” dia berkata pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti. Menatap padanya. Dalam cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.
” Hmm. Kau Bungsu ..!”
” Ya. Aku si Bungsu. Sudah lebih dua tahun kita tak bertemu ya Baribeh ?”
Baribeh yang dulu pernah melanyau tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di kampungnya, tertawa menggerendeng.
” T api kudengar kau sudah mampus dihantam samurai Saburo.”
Baribeh yang pesilat itu berkata. Tubuh si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut. Untung saja malam hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.
” Ah, itu cerita burung. Buktinya saya masih hidup.
Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm, ini si Jul ya?” Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang dia sebut sebagai si Jul itu.
” Kalera!!. Jangan ikut – ikutan waang memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang dengan cirik nanti ..!” ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh memanggilnya dengan sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.
” Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka berjudi ?”
” Akhirnya – akhir ini tidak lagi. Tak ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu saja ”.
Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan korban lagi.
” Ah, saya jera main dengan kalian. Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar tak membayar saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu
membuat saya ngeri ..” ujar Bungsu.
Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya yang merah karena sirih dan runcing – runcing seperti gigi tikus.
” Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang aman percayalah. Ayo. Ayooo ..!”
Si Bungsu semula seperti ragu dan takut. Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia menuruti juga. Padahal dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.
Bukankah dulu, saat dia sadar dari pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah semua uangnya mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas? Kini kesempatan itu datang. Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya berjalan si Juling. Mereka memasuki rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang anak gadisnya tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu – i itu. Mereka melangkah terus ke dalam. Baribeh dan si Ju l nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini. Mereka mengenal set iap penghuni dan
sudut rumah itu. Ketika mereka muncul ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah seorang perwira Jepang didepannya :
” Ini mereka datang,” kemudian dia berseru pada Baribeh
” Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana saja ente pigi ?”
”We pigi jauh. We ada bawa kabar baik, dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah ”.
Baribeh menjawab sambil menirukan gaya bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada si Bungsu. Demikian pula kedua serdadu Jepang itu. Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama.
Sementara Babah gemuk itu hanya menatap sebentar. Namun si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup di pinggang gunung Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan buas agar tak mati dilapahnya, dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya dari tatapan mata si Babah yang sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun firasatnya yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung Sago, memperingatkan bahwa kalau terjadi apa – apa, maka yang berbahaya dan harus diawasi adalah Babah gemuk yang kelihatan loyo itu.
Dengan pesan naluri demikian, dia lalu mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak dari kedua Jepang tadi. Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si Babah. Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya duduk memperhatikan permainan yang sedang berlangsung.
Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam tembakau, tapi agak kasar. Menggulungnya besar – besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu. Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap yang dihembuskan oleh si Baribeh.
” Hmm. Candu. Candu nomor satu ” ujar yang seorang Salah seorang diantara mereka lalu meraih bungkusan si Baribeh. Menggulungnya besar–besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru. Kemudian si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni’matnya.
”Siap ..?”
Babah gemuk itu bertanya pada kedua Jepang yang tengah kesedapan itu sambil mengangkat bambu di tangannya.
”Ayo kita main” ujar seorang Jepang pada Baribeh yang kemudian menggamit si Jul dan Bungsu untuk ikut memasang taruhan
”Mulailah ..”
Jepang yang berkepala botak dan bertubuh kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu melihat Babah gemuk itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu.
Si Bungsu memperhatikan jari – jari tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan perut buncit. Namun jari – jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang subur itu.
Biasanya orang – orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat – bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini kelihatan langsing dan panjang – panjang. Berbeda dengan Cina – Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba – tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring. Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka – angka dua, t iga dan empat. Dia memang bertaruh begitu. Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara si Bungsu hanya memasang disatu nomor.
Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja. Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya.
Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan Baribeh. Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.
Satu !
Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang. Juling tercengang. Perwira Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum.
Kemudian membayar pada si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambat – lambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan.
Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya potongan bambu.
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum ”mengungsi” selama dua tahun ke gunung dia selalu menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran set ajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan, tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada lobang – lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang – lobang dadu yang enam buah itu angin banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan.
Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun – tahun. Namun bagi si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia hanya ingin coba – coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan.Semua uang kemenangannya tadi dia taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
”Sudah ..?” si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan si Bungsu.
Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Ju ling yang menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada si Bungsu. Dan bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan.
Lagi pula apa yang harus dia takutkan ? Bukankah pertaruhan ini jujur ? Bukan dia yang jadi bandar. Dia hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda – tandanya. Dan kedua karena bandar atau salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda – tandanya. Meski telah membayar cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari – jarinya yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu tersenyum. Dan kembali urat – urat darah di tubuh si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum Babah gemuk ini.
Lambat – lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap si Bungsu, Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik – baik. Pendengarannya dia pusatkan pada bijih dadu yang berputar itu.
Dan tiba – tiba Babah itu menghentikan putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak langsung menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu itu berkumpul di dasar tabung. Beberapa detik berlalu. Lalu tiba-tiba, dengan amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan di piring di depannya. Tak ada suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan si Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring. Tak satupun.
Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah melakukan hal itu. Kini buah dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.
” Pasanglah,” kata si Babah perlahan.
Tangannya masih tetap memegang tabung yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak memandang pada si Bungsu. Tapi karena si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si Juling memasang di angka dua. Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap padanya.
” T idak ikut memasang ?” tanya si babah.
Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling pandang.
” T idak ikut bertaruh ..?” babah itu kembali bertanya.
Sementara yang lain, termasuk tiga orang perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan perwira Jepang itu, menatap padanya dengan diam.
” Pasang saja taruhannya ”. Babah itu berkata lagi.
” Taruhan baru saya pasang kalau dadunya sudah
jatuh di piring ” si Bungsu berkata perlahan.
Perwira Jepang serta Baribeh saling pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah dadu itu memang belum jatuh ke piring ? Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung atau tertahan di atas dalam tabung bambu itu. Mustahil.
”Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring, baru saya memasang taruhan ”. Ujar Bungsu.
Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini. Anak muda yang luar biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.
Sebuah dencingan halus terdengar di dalam tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu masih tetap menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu mengangkat tangannya dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh kembali saling pandang.
” Baru dua buah yang jatuh ”. perwira itu berkata.
Babah itu tersenyum sambil menatap pada si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia menangkan dalam taruhan tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor t iga dan lima. Kemudian sepi.
” Tak ada yang akan merobah letak taruhan ?”
Babah itu bertanya. Tak seorangpun yang menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu itu. Dan tiba – tiba semua orang, kecuali si Bungsu, jadi tertegun.
Dua diantara tiga dadu itu memang menunjukkan angka – angka seperti yang ditebak si Bungsu. Mata dadu yang muncul di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat dan benar. Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namunan itu tak mempengaruhi kemenangannya.
Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul membawa sebuah kantong besar. Lalu duduk lagi d i tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia bawa. Menatap ke uang taruhan si Bungsu beberapa saat.
Kemudian mulai menghitung uang yang dia ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang taruhan si Bungsu. Si Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu keahlian yang jarang tersua. Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya.
Dari seratus penjudi lihai, barangkali ilmu ini hanya terdapat pada satu atau paling banyak dua pejudi. Dengan demikian, si Babah telah menunjukkan dua ilmu
simpanannya. Pertama demontrasi tenaga dalam. Yaitu tatkala tadi dia menahan ketiga dadu itu di bahagian atas tabung bambu.
Perwira Jepang dan Baribeh menyangka bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan melalui penyaluran tenaga dalamnya pada dinding
tabung bambu itu. Dan ilmunya ini ternyata diketahui oleh si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh duit sebentar ini. Dan si Bungsu juga mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah.
Uang itu dia kaut dan dia letakkan didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh. Taruhannya di angka lima juga mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si Babah. Si Babah masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring, kemudian memasukkannya ke dalam tabung
bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian terbatuk.
Saat itulah tiba-tiba saja ke ruangan itu berlompatan enam orang Kempetai dengan senjata terhunus. Mereka dikurung di tengah. Si Bungsu secara reflek segera
meraih samurainya yang terletak di paha. Namun entah bagaimana caranya, tahu-tahu samurai itu terpental jauh kebelakang terkena tendangan si Babah. Sebelum si
Bungsu sadar apa yang terjadi, tendangan si Babah mendarat di dadanya. Dia terguling dan segera saja muntah darah. Kepalanya berkunang-kunang. Ketika dia coba untuk bangkit, rambutnya ditarik dengan keras. Dia terduduk. Dan segera saja empat buah sangkur terhunus ditekankan ke dada dan lehernya.
”Kalau kau melawan, kau kami bunuh disini ”.
Kempetai yang memimpin penyergapan ini mendesis dengan tajam. Si Bungsu tak dapat bergerak sedikitpun. Dia melihat Babah tadi duduk dengan tenang. Begitu pula Baribeh dan si Juling. Semula dia menyangka bahwa penggerebekan ini adalah penggerebekan Kempetai terhadap tempat-tempat judi. Karena dia pernah mendengar bahwa tentara Jepang dilarang berjudi. Tapi kali ini rupanya penggerebekan itu memang sudah direncanakan. Si Bungsu tak menyadari sedikitpun, bahwa dia masuk perangkap. Sudah tiga hari ini dia memperhatikan rumah Babah ini. Dia mendapat informasi bahwa rumah Babah ini termasuk suatu tempat berkumpulnya para perwira untuk berjudi dan bersenang-senang dengan pelacur kelas tinggi.
Dia mengawasi rumah ini untuk mengetahui jejak Saburo. Dia berharap untuk bertemu dengan Kapten yang telah membantai keluarganya itu. Tanpa disadari selama dia mengawasi rumah ini dari kejauhan ada pula orang lain yang juga mengawasinya. Orang itu tak lain dari si Babah sendiri. Si Babah ini memang harus hati-hati. Dia tidak mau mati konyol. Oleh karena itu dia mengawasi set iap orang yang lewat di depan rumahnya.
Makanya tak heran kalau kehadiran si Bungsu tiga hari berturut-turut tak jauh dari rumahnya menarik perhatiannya. Si Bungsu yang memata-matai rumah itu kini balik dimata-matai.
Suatu hari si Babah bertemu dengan Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat di mana dapat melihat si Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu dengan baik. Tapi mereka tak mengetahui untuk apa si Bungsu tegak di sana. Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini? Babah gemuk itu jadi was-was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang yang menyusun kekuatan untuk melawan Jepang, memang Babah inilah yang memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar beberapa orang Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.
Babah ini memang menjadi semacam pusat informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di Payakumbuh ini sejak puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan ketika Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula. Untuk mengetahui apa maksud pemuda ini, makanya Babah itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya. Kemudian membujuknya untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya.
Begitu ia masuk, seorang kurir yang dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai akan adanya seorang mata-mata di rumah si Babah. Dan si Bungsu masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.
Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi. Kembali si Bungsu merasa bergidik melihat senyum itu.
”Anak muda, coba terangkan apa maksudmu memata-matai rumahku ini,” Babah itu bertanya.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (11)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENDIRIAN BENGKEL AA CEMPAKA AUTO SERVICE

Sejarah Singkat pendirian Usaha perbengkelan AA CEMPAKA Auto Service yang berlokasi dijalan By Pass KM 9 Simpang Taruko 1 Kalumbuk Padang   merupakan suatu perusahaan jasa yang bergerak dibidang perbengkelan dan penjualan yaitu memperbaiki kendaraan penumpang roda empat dan juga menjual spare part, pelumas (Engine Oil) maupun peralatan lainnya. Bengkel AA CEMPAKA Auto Service didirikan pada tanggal 01 Juni 2015, oleh ASRUL ARMISKA beliau adalah mantan karyawan disebuah perusahaan otomotif terbesar yang merupakan pemegang merek kendaraan terkenal di Indonesia dan bekerja sama dengan beberapa pihak pemodal perorangan. Bengkel ini pada awalnya didirikan hanya untuk melayani service ringan dengan menyewa tempat berupa kios sederhana dan hingga kini sudah beberapa kali mengalami perpindahan lokasi usaha, seiring dengan jumlah pelanggan yang terus bertambah dimana beberapa bulan kemudian melihat banyaknya pelanggan yang meminta perbaikan-perbaikan pada kendaraan milik m

Mesin Avanza tidak bisa hidup sehabis bongkar Mesin

Ilmu itu sayang jika hanya disimpan maka pada kesempatan ini saya akan berbagi tentang kasus Mesin avanza dan yang sejenis tidak bisa hidup setelah bongkar mesin atau setelah ganti rantai timing (timing chain)..Dan disini saya tidak bermaksud menggurui atau merasa lebih pintar dari agan-agan sekalian hanya berharap semoga ada yang bisa mengambil manfaat terutama bagi mekanik-mekanik pemula. Kasus ini sudah beberapa kali saya dapatkan setelah beberapa rekan-rekan mekanik meminta pertolongan untuk mencari titik permasalahan kenapa mesin tidak bisa hidup. Seperti biasa sebelum kita melangkah ke step yang lebih jauh, sebaiknya kita harus mengembalikan pola analisa kita kedasar, dimana kita harus memulai dari langkah-langkah yang paling sederhana yaitu bahwa mesin akan bekerja apabila terpenuhinya tiga syarat utama berikut ini : Kompresi yang tinggi (sesuai standar) Loncatan bunga api Busi yang kuat (Mesin Bensin) Perbandingan campuran Udara dan bahan bakar yang tepat Dalam mas

Tikam Samurai (53)

Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar. “Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu. Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako. Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur. “Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya. “Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu. “Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mere