”Ya, Saburo!. Kenapa…?” Mariam tertegun
kecut melihat sikap si Bungsu.
”Dialah yang telah membunuh ayah, ibu dan
memperkosa kakakku sebelum dia dibunuh. Kemudian dialah yang membabat
punggungku dengan samurainya. Jahanam. Di mana dia kini…?!” Suara Si Bungsu
hampir saja tak bisa di kontrol jika tidak cepat-cepat mulutnya ditutup dengan
tangan oleh Mariam.
”Tenanglah. Kamura di sebelah. Saya tak
tahu dimana Saburo. Sudah lama dia tak datang kemari. Padahal biasanya tiap
malam dia pasti datang…”
”Mariam. Apakah engkau tak berniat untuk
meninggalkan tempat ini?”
”Kemana?”
”Kemana saja. Asal jangan kembali ke
tempat ini. Barangkali kau bisa hidup dengan tenang si suatu tempat. Dengan
seorang suami….” Mariam mulai lagi terisak.
”Siapa yang tak menginginkan kehidupan
yang tentram dengan seorang suami? Itulah dulu yang kuinginkan ketika kawin
dengan pemuda yang kucintai sampai Saburo membunuhnya. Dan kini, siapa lagi
lelaki yang mau menerimaku sebagai isterinya?”
”Tapi engkau juga tak mungkin di sini
terus Mariam…”
”Lalu akan kemana aku?”
”Carilah suatu tempat yang jauh dari
sini. Mungkin ada lelaki yang mencintaimu. Engkau masih muda dan …. cantik….”
”Takkan ada yang mau, apalagi bila mereka
tahu siapa aku…”
”Engkau belum mencobanya. Jangan menyerah
sebelum kau coba….”
”Baiklah, akan kucoba sekarang. Aku mau
meninggalkan tempat ini. Aku mau pergi kalau kau menikahiku. Apakah kau
bersedia menjadi suamiku?”
Si Bungsu tertegun. Dia tak menduga
perempuan ini akan berkata begitu. Melihat dia tertegun, Mariam berkata lagi.
”Jangan coba mengelak dengan mengatakan
bahwa engkau telah punya isteri. Saya mengenal lelaki yang telah kawin dengan
yang masih bujangan. Nah, maukah engkau menikah denganku?” Perempuan itu
menatap nanap padanya. Si Bungsu terdiam, peluh mulai membasai tubuhnya.
Mula-mula dia masih bisa menatap Mariam. Tapi kemudian dia tertunduk Mariam
terisak. Menelungkup di tilam tipis di pembaringannya. Si Bungsu jadi serba
salah. Perlahan dia pegang bahu perempuan itu, mendudukkannya, kemudian
tiba-tiba Mariam memeluknya sambil menangis.
”Diamlah…jangan menangis..” ujarnya
pelan. Ketika perempuan itu masih terisak, perlahan di pegang wajahnya. Entah
apa yang mendorongnya, tahutahu pipi perempuan itu diciumnya. Lalu..dengan
lembut ciumannya pindah ke bibir perempuan itu. Perempuan itu sesaat masih
terisak. Kemudian terdiam, laqlu membalas ciuman si Bungsu. Tapi kemudian
tiba-tiba dia melepaskan bibirnya dari bibir si Bungsu. Si Bungsu kaget dan
malu.
”Aku perempuan pertama yang kau cium,
Uda?” Mariam bertanya dengan suara gemetar. Si Bungsu ingin mengangguk. Namun
anggukannya tak jadi. Ingin menggeleng, tapi dia tak bisa berdusta. Perasaan
malu dan takut bercampur aduk.
”Terima kasih Uda. Engkau membuat aku
bahagia. Akan kukenang ciuman ini,” Mariam berkata sambil menghapus air
matanya. Si Bungsu menarik nafas lega, kemudian berkata pelan.
”Menghindarlah dari rumah ini Mariam.
Akan terjadi huru-hara sebentar lagi…”
”Sudah lama aku memimpikan melihat
seorang Minangkabau melawan Jepang. Membunuhnya, berkelahi dengan mereka.
Mungkin mereka akan mati. Namun di hatiku, mereka tetap seorang pahlawan. Sudah
lama aku ingin melilhat hal itu terjadi. Betapa seorang lelaki Minangkabau
tegak dengan perkasa menghadapi samurai Jepang yang zalim itu. Dan kini
barangkali aku akan melihatnya. Kenapa aku harus pergi? Tidak, aku akan berada
di sini sampai huru hara itu usai, Uda…”
Si Bungsu tak lagi bekata. Dia tegak dan
melangkah. Kemudian membuka pintu. Berbelok ke kanan. Menerjang pintu kamar
dimana Kamura tadi masuk dengan perempuan berkulit hitam manis itu.
Kamura yang tadi membawa si Hitam Manis
kini tengah bermandi peluh dalam kamar tersebut. Si Hitam Manis juga bermandi
peluh. Tubuhnya yang tak berkain tertelentang. Sebelah kakinya terjuntai
kebawah tempat tidur. Dan Kamura sedang duduk di lantai di antara kaki si Hitam
Manis ketika tiba-tiba pintu kamarnya dihantam hingga terbuka. Kamura terlompat
bangun. Si Hitam Manis hanya menelungkupkan tubuhnya. Dia menyangka yang masuk
adalah kawan Kamura. Sebab sudah biasa Jepang–Jepang itu bergantian masuk kesebuah
bilik bila temannya telah puas. Namun kini yang masuk bukanlah tentara Jepang,
melainkan si Bungsu. Kamura memaki berang melihat yang masuk ternyata seorang
Melayu.
”Bagero !. Masuk siapa kemari yang kamu
berani, he !? ” bentaknya terbalik-balik. Padahal yang ingin dia ucapkan adalah
”Siapa kamu yang berani masuk kemari, he”
Mata si Bungsu menyipit. Mulutnya
terkatup rapat. Kemudian dari sela bibirnya terdengar suara mendesis :
”Aku anak Datuk Berbangsa dari kampung
Situjuh Ladang Laweh. Yang kalian bunuh dua tahun yang lalu. Dimana Saburo kini
? ”
Tanpa lebih dahulu memakai celananya.
Kamura menerjang si Bungsu. Namun si Bungsu sudah siap. Dia mengelak. Tubuh
Kamura yang telanjang bulat itu menerpa pintu. Kemudian terpelanting ke ruangan
tengah. Si Hitam Manis terpekik. Di ruang tengah, dua orang serdadu Jepang yang
tengah keluar jadi tertegun. Kemudian tertawa terbahak – bahak melihat Kamura
yang telanjang bulat itu. Mereka menyangka Kamura mabuk. Namun Kamura dengan
cepat menyentak samurai di pinggang seorang perwira, dan menerjang kembali
masuk kekamar dimana tadi si Bungsu tegak. Tapi tubuhnya segera tercampak lagi
keluar kamar. Dan kali ini dengan tubuh hampir terpotong dua pada dadanya !
Perempuan – perempuan yang ada dalam rumah petak itu pada terpekik. Empat orang
sedadu Jepang segera naik menghambur keatas. Di pintu bilik si Hitam Manis itu,
tegak si Bungsu dengan sebuah tongkat di tangannya. Dia tegak dengan tenang.
Menatap pada enam Jepang yang kini tegak pula menatapnya. Mereka bertatapan. Dengan
sudut matanya si Bungsu melihat di sebelah kirinya, agak jauh di tepi dinding,
tegak Mariam di antara beberapa temannya. Perempuan itu menatap padanya dengan
sinar mata penuh kebanggaan. Salah seorang dari perwira Jepang itu segera saja
mencabut pistol dan menembakkannya kearah si Bungsu. Si Bungsu menggelinding di
lantai. Gerakkan Lompat Tupai ! Peluru perwira itu menerpa tempat kosong. Dua
kali menggelinding dengan cepat, akhirnya ketika dia tegak samurainya bekerja.
Perwira itu terpekik. Tangannya yang tadi menembakkan pistol putus hingga siku.
Sebelum pekiknya berakhir, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Kepalanya
belah dua ! Suasana tiba – tiba jadi sepi. Hening mencekam!. Si Bungsu tegak di
depan kelima serdadu Jepang itu dengan wajah yang sedingin batu es.
”Saya si Bungsu. Saya mencari Kapten
Saburo. Dimana dia ? ” Suaranya terdengar tanpa emosi. Namun Jepang – Jepang
itu terkenal sebagai orang yang tak mengenal takut sedikitpun. Dua orang segera
maju dengan mempergunakan jurus – jurus karate. Namun Samurai si Bungsu segera
bekerja. Kedua mereka roboh dengan leher hampir putus. Empat yang mati dalam
waktu tak sampai lima menit. ” Kempetai datang !! ” Mariam berteriak. Dan saat
itulah ketiga serdadu Jepang yang masih hidup maju serentak sambil menghunus
samurai mereka. Tapi yang mereka hadapi adalah si Bungsu!. Seorang lelaki yang
telah bersumpah untuk takkan mati sebelum dendam keluarganya terbalas. Begitu
serangan datang, dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata samurainya
berkelebat. Dua kali sabetan mendatar, menyebabkan dua Jepang yang ada di depan
dan di kirinya rubuh dengan perut menganga. Kemudian sambil berputar setengah
lingkaran dia menikamkan samurainya ke belakang. Jepang yang terakhir, mati
tersate tentang dada kirinya. Sebuah Tikam Samurai! Persis seperti yang
dipergunakan oleh Datuk Berbangsa di halaman rumah gadangnya dahulu. Saat dia
menyentak samurainya, Jepang itupun rubuh.
”Lewat pintu belakang !” dia dengar suara
perempuan berseru. Dia segera mengenali suara itu sebagai suara Mariam. Suara
sepatu Kempetai terdengar menjejak tangga di depan. Si Bingsu tegak. Kemudian
menatap pada perempuan – perempuan itu. Dia segera menampak Mariam.
”Terima kasih Mariam. Saya akan balaskan
dendammu.” dan Kempetai pertama muncul di pintu tengah. Si Bungsu menyelinap
kebelakang. Punggungnya kelihatan oleh Kempetai itu.
”Bagero ! Berhenti !” teriaknya sambil
menembakkan pistol. Namun si Bungsu telah lenyap. Tiga Kempetai segera memburu
ke belakang. Di belakang mereka disambut oleh gelapnya malam. Jauh di bawah
sana, deru arus Batang Agam terdengar menderu menegakkan bulu roma. Jepang –
Jepang itu pada plengak – plenguk mencari kalau – kalau lelaki yang baru saja
melarikan diri itu bersembunyi di sekitar tempat tersebut. Tapi si Bungsu telah
terjun dan lenyap dalam arus Batang Agam di bawah sana. Baginya berenang dan
menyelam bukan lagi hal baru. Berenang di Batang Agam ini memang kegemarannya
sewaktu masih muda dulu. Keenam Kempetai yang baru datang itu tertegun tatkala
menyaksikan tubuh teman mereka terhantar malang melintang di dalam rumah itu.
Dari bekas luka di tubuh mereka jelas kematiannya diakibatkan senjata tajam.
Seperti samurai atau pedang. Namun Kamura dan beberapa temannya ini adalah
seorang pesilat Samurai yang tangguh. Siapa yang telah melumpuhkan mereka ?.
”Siapa itu orang tadi ?” tanya salah
seorang kearah kerumunan perempuan-perempuan di ruangan tersebut.
”Seorang Jepang.” Terdengar suara dari
kerumunan perempuan – perempuan itu. Dan yang bicara itu adalah Mariam. Dia
mencubit teman di sampingnya sebagai isyarat. Cubitan yang tak kelihatan itu
segera saja dimengerti oleh temannya. Lalu perempuan muda yang dicubit itu
angkat bicara.
”Ya. Nampaknya seorang tentara yang
berpakaian seperti penduduk sini. Tadi sebelum terjadi perkelahian, dia
kelihatan bicara akrab dengan Kamura. Tapi tak lama setelah dia menyusul masuk,
terjadilah perkelahian … ”.
Kempetai yang bertanya itu mengerutkan
kening. Tadi dia memang melihat sesosok tubuh menyelinap kebelakang. Tapi tak
jelas siapa orangnya. Mereka lalu menanyai perempuan – perempuan itu dengan
gencar. Para perempuan itu, meskipun mereka hidup melacurkan diri namun
memiliki rasa cinta Tanah Air yang luar biasa, yang barangkali tak seberapa
dimiliki oleh perempuan – perempuan yang bukan pelacur. Mereka seperti sepakat,
seiya sekata untuk membenarkan dan menuruti cerita bohong yang mula pertama
diucapkan oleh Mariam. Dan para Kempetai serta pimpinan Jepang di Payakumbuh,
tak bisa berbuat selain mempercayai hal itu. Sekurang – kurangnya buat
sementara.
Sebab siapa diantara penduduk pribumi
yang bisa memainkan Samurai hingga sanggup mengalahkan Kamura dan seorang
perwira lainnya serta empat teman mereka? Tak mungkin ada pribumi yang bisa.
Dan kalaupun bisa, takkan mungkin mempunyai keberanian untuk menyerang serdadu
Jepang. Tak mungkin!. Sebab pada saat ini, gerakan – gerakan tentara Indonesia
belum begitu gencar mengadakan perlawanan pada Jepang. Baru berupa tindakan –
tindakan sporadis.
Jepang sendiri seperti tak punya kesempatan
untuk mengusut peristiwa ini secara jelimet. Sebab dimana – mana, tidak hanya
di Minangkabau, juga di seluruh Indonesia, mereka sedang sibuk membangun
benteng pertahanan. Benteng – benteng pertahanan itu mereka bangun berupa
lobang-lobang dari coran beton. Tersebar di seluruh kota, di tempat – tempat
yang strategis, termasuk di sepanjang pantai. Musuh yang paling mereka
khawatirkan untuk datang menyerang adalah Tentara Sekutu di bawah pimpinan
Jenderal Mac Athur yang berkedudukan di Manila, Filipina.
Selain membuat benteng – benteng dalam
bentuk lobang-lobang yang diperkukuh dengan beton cor yang tak mampu
diruntuhkan dengan bom sekalipun, maka pusat suply senjata, dan benteng
pertahanan secara besar – besaran mereka buat di Bukit Tinggi. Di kota ini,
selain lobang-lobang pertahanan dari beton cor, mereka juga membuat terowongan
yang silang siur di bawah kota. Terowongan yang sangat besar. Bisa dilalui Jeep
masuk sampai jauh ke dalam. Untuk membuatnya mereka tinggal mengerahkan tentara
Belanda yang tertawan yang disebut internir, dan para lelaki bangsa Indonesia.
Ribuan orang dikerahkan membuat terowongan yang kelak dikenal sebagai
terowongan maut.
Dia dinamai terowongan maut oleh karena
seluruh pekerja yang ikut menggali terowongan itu tak satupun yang keluar hidup
– hidup. Tak satupun!. Semua mati di dalam terowongan itu. Kematian mereka
memang disengaja oleh Jepang demi menjaga kerahasiaan terowongan itu.
Terowongan itu kabarnya melintas di atas bangunan – bangunan fital. Di samping
itu juga mempunyai pintu tembus ke tempat – tempat strategis di dalam maupun
jauh di luar kota.
Menurut sementara cerita yang berasal
dari tawanan yang tak sempat dibunuh, terowongan itu konon juga dibangun dari
perut di bawah kota Bukittinggi tembus ke lapangan udara Gadut. Kemudian ke
Balingka dan ke Anak Air. Terowongan sepanjang itu itu diperlukan Jepang untuk
dua tujuan. Pertama, tempat menimbun berbagai macam logistik dan pertahanan
Jepang di Sumatera untuk melawan tentara Sekutu. Setelah terowongan itu siap,
pemusatan dan kedatangan persenjataan dari Sumatera Utara tak lagi melewati
jalan biasa. Sampai di Gadut, perlengkapan itu lenyap begitu saja.
Menurut cerita dari sana langsung masuk
terowongan dan dipusatkan disuatu tempat di perut bumi di bawah kota Bukittinggi.
Dalam rencana strategisnya, jika Sekutu datang menyerang mereka akan
bersembunyi di terowongan itu. Pada waktu tertentu mengadakan serangan mendadak
ke kota. Di terowongan itu mereka mempunyai perbekalan baik makanan maupun
persenjataan yang bisa menghidupi satu batalyon pasukan dengan kekuatan 1.000
orang selama setahun!
Suatu penimbunan dan pemusatan suplay
yang tak tanggung – tanggung dalam sejarah Kemiliteran. Kedua, dalam keadaan
sangat genting mereka bisa mempergunakan lapangan terbang gadut untuk melarikan
diri dengan pesawat udara. Saat terowongan itu dibangun, pimpinan tertinggi
balatentara Jepang di pulau Sumatera dipegang oleh Tei Sha (Kolonel) Fujiyama.
Dia memilih menempatkan pusat komandonya di bekas kantor tentara Belanda
beberapa puluh meter dari mulut terowongan yang sedang di bangun di Panorama.
Pusat komando Fujiyama ini kelak dijadikan Museum ABRI di depan Tugu 17 Agustus
di Panorama. Pintu terowongan juga dibangun di belakang kantornya. Dari sana,
lewat terowongan yaangng berbelit dia bisa mencapai beberapa tempat di kota
Bukittinggi. Seperti ke Jam Gadang, Benteng atau Kebun Binatang.
-000-
Malam itu terang bulan. Benar – benar
bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orang – orang yang keluar.
Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang,
kelihatan berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rot
an. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau sake dan candu. Diantara keenam
lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan
India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di
tikar rotan itu.
Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala
botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang dengan sebuah
tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang –
Jepang itu duduk mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu.
Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana kini mereka berada.
Kini dia bertindak sebagai bandar dalam
judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal penduduk sebagai rumah
kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para
perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan – perempuan pilihan.
Salah satu dari perempuan itu adalah anak gadis Cina bot ak itu sendiri.
Anak gadisnya memang terkenal cant ik dan
bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan bayaran yang tak tanggung
– tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang – pejuang
Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata
untuk pihak Jepang. Soalnya Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah
tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi semacam
kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi
kepercayaan Jepang.
Pejuang – pejuang Indonesia sudah lama
mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa bukti, mereka tak
dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka
usaha pejuang – pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil.
Padahal beberapa orang pejuang yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M
yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk ini. Dia menyebar
intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan – perempuan lacur. Bahkan tertangkapnya
beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga
atas petunjuk Cina ini.
”Sudah datang dia ?” seorang perwira
Jepang yang berpangkat Lettu (Chu – I), bertanya sambil menambah uang
taruhannya.
”Belum, mungkin sebentar lagi”, jawab
Babah gemuk tersebut.
Mereka meneruskan main dadu. Tiba – tiba
Chu – I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada dalam ruangan itu.
”Hei, mana Amoy ..?” tanyanya.
Ketiga perempuan itu menatap pada si
babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus, meraih uang di
tikar yang dimenanginya.
”Mana Amoy, gepuk?” tanya si Chu-I.
Si gepuk memberi isyarat dengan
menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu akan tegak, si
gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan
tangannya. Chu-I tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang,
kemudian melangkah kekamar yang dimaksud si babah gepuk.
Ketika dia baru sampai di depan pintu,
pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat letnan keluar
dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di
dalam Jepang itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat
tidur. Posisinya yang sedang membungkuk membelakangi pintu dengan handuk melilit
tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung Jepang itu berdebar
kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.
Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang
lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah lebih dari dua
jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu.
Dia cepat – cepat melangkah mendekati kedua lelaki itu.
” Hei. Jumpa lagi kita ..! ” dia berkata
pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti. Menatap padanya. Dalam
cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.
” Hmm. Kau Bungsu ..!”
” Ya. Aku si Bungsu. Sudah lebih dua
tahun kita tak bertemu ya Baribeh ?”
Baribeh yang dulu pernah melanyau
tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di kampungnya, tertawa
menggerendeng.
” T api kudengar kau sudah mampus
dihantam samurai Saburo.”
Baribeh yang pesilat itu berkata. Tubuh
si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut. Untung saja malam
hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.
” Ah, itu cerita burung. Buktinya saya
masih hidup.
Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm,
ini si Jul ya?” Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang dia sebut sebagai
si Jul itu.
” Kalera!!. Jangan ikut – ikutan waang
memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang dengan cirik
nanti ..!” ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh
memanggilnya dengan sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.
” Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit
banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka berjudi ?”
” Akhirnya – akhir ini tidak lagi. Tak
ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu saja ”.
Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul
tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan korban lagi.
” Ah, saya jera main dengan kalian.
Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar tak membayar
saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu
membuat saya ngeri ..” ujar Bungsu.
Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya
yang merah karena sirih dan runcing – runcing seperti gigi tikus.
” Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di
tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang aman percayalah.
Ayo. Ayooo ..!”
Si Bungsu semula seperti ragu dan takut.
Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia menuruti juga. Padahal
dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.
Bukankah dulu, saat dia sadar dari
pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah semua uangnya
mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas? Kini
kesempatan itu datang. Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya
berjalan si Juling. Mereka memasuki rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini
tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang anak gadisnya
tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu – i itu. Mereka melangkah
terus ke dalam. Baribeh dan si Ju l nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini.
Mereka mengenal set iap penghuni dan
sudut rumah itu. Ketika mereka muncul
ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah
seorang perwira Jepang didepannya :
” Ini mereka datang,” kemudian dia
berseru pada Baribeh
” Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana
saja ente pigi ?”
”We pigi jauh. We ada bawa kabar baik,
dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah ”.
Baribeh menjawab sambil menirukan gaya
bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada si Bungsu. Demikian pula
kedua serdadu Jepang itu. Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama.
Sementara Babah gemuk itu hanya menatap
sebentar. Namun si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup di pinggang gunung
Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan
buas agar tak mati dilapahnya, dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya
dari tatapan mata si Babah yang sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan
pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun firasatnya
yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung
Sago, memperingatkan bahwa kalau terjadi apa – apa, maka yang berbahaya dan
harus diawasi adalah Babah gemuk yang kelihatan loyo itu.
Dengan pesan naluri demikian, dia lalu
mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak dari kedua Jepang tadi.
Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si
Babah. Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya
duduk memperhatikan permainan yang sedang berlangsung.
Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan
sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam tembakau, tapi agak kasar.
Menggulungnya besar – besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu.
Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap
yang dihembuskan oleh si Baribeh.
” Hmm. Candu. Candu nomor satu ” ujar
yang seorang Salah seorang diantara mereka lalu meraih bungkusan si Baribeh.
Menggulungnya besar–besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru.
Kemudian si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni’matnya.
”Siap ..?”
Babah gemuk itu bertanya pada kedua
Jepang yang tengah kesedapan itu sambil mengangkat bambu di tangannya.
”Ayo kita main” ujar seorang Jepang pada
Baribeh yang kemudian menggamit si Jul dan Bungsu untuk ikut memasang taruhan
”Mulailah ..”
Jepang yang berkepala botak dan bertubuh
kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu melihat Babah gemuk
itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian
memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu.
Si Bungsu memperhatikan jari – jari
tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan perut buncit. Namun jari –
jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang subur itu.
Biasanya orang – orang gemuk jari
jemarinya pastilah bulat – bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini kelihatan
langsing dan panjang – panjang. Berbeda dengan Cina – Cina tua lainnya, yang
biasanya membiarkan kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat
bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang
berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan beradu dalam bambu
tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba – tiba bambu itu ditelungkupkannya di
atas piring. Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu
jatuh ke piring. Babah itu melepaskan tangannya dari bambu. Dan bambu itu
tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka –
angka dua, t iga dan empat. Dia memang bertaruh begitu. Main tebak dibanyak
nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara si Bungsu hanya memasang
disatu nomor.
Dan dalam empat kali meletakkan taruhan
tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja. Kinipun dia bermaksud
begitu, mengambil uang dari kantongnya.
Kemudian meletakkan di angka satu. Si
Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan Baribeh. Babah gemuk itu
mengangkat bambu yang menutupi dadu.
Satu !
Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka
satu di atasnya. Baribeh tercengang. Juling tercengang. Perwira Jepang yang
satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu
ternyata menebak dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu
tersenyum.
Kemudian membayar pada si Bungsu sebanyak
enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambat – lambat dia memasukkan
lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali
putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan.
Kembali terdengar suara mengerincing
ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya potongan bambu.
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu
sebelum ”mengungsi” selama dua tahun ke gunung dia selalu menang main dadu
adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah
yang memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan
tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau saja dia tak pernah
berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk
itu lihainya bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran set ajam
pendengaran macan tutul. Dengan jelas dia mendengar jatuhnya buah dadu itu
kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan, tergantung dari
banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah
yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada lobang – lobang itu
sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka
bunyinya akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang –
lobang dadu yang enam buah itu angin banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih
pelan.
Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka
tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk membedakannya dibutuhkan
keahlian bertahun – tahun. Namun bagi si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji
menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam,
dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia hanya ingin coba –
coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan.Semua
uang kemenangannya tadi dia taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh
menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang satu itu menaruh
taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
”Sudah ..?” si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap
diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat bambu. Dan kembali mereka
terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan si
Bungsu.
Yang muncul di atas adalah mata satu,
empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan taruhan. Perwira Jepang
yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Ju ling
yang menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya
sesekali menatap pada si Bungsu. Dan bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat
kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat
samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan.
Lagi pula apa yang harus dia takutkan ?
Bukankah pertaruhan ini jujur ? Bukan dia yang jadi bandar. Dia hanya pemasang
taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan
kinipun kalau akan ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak
kelihatan tanda – tandanya. Dan kedua karena bandar atau salah satu pihak tak
rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda – tandanya. Meski telah
membayar cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar
masih dengan tersenyum. Dia tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan
siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari – jarinya yang panjang dan
kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan
mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling
pandang. Babah itu tersenyum. Dan kembali urat – urat darah di tubuh si Bungsu
mengencang melihat tatapan mata dan senyum Babah gemuk ini.
Lambat – lambat tangan si Babah mulai
memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan dan berputar di
dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap si
Bungsu, Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar
tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi menatap pada si Babah.
Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang
dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik – baik. Pendengarannya
dia pusatkan pada bijih dadu yang berputar itu.
Dan tiba – tiba Babah itu menghentikan
putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak langsung
menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu
itu berkumpul di dasar tabung. Beberapa detik berlalu. Lalu tiba-tiba, dengan
amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan di piring di depannya. Tak ada
suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan si
Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring.
Tak satupun.
Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh
jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah melakukan hal itu. Kini buah
dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.
” Pasanglah,” kata si Babah perlahan.
Tangannya masih tetap memegang tabung
yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak memandang pada si Bungsu.
Tapi karena si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka
empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si
Juling memasang di angka dua. Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap
padanya.
” T idak ikut memasang ?” tanya si babah.
Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling
pandang.
” T idak ikut bertaruh ..?” babah itu
kembali bertanya.
Sementara yang lain, termasuk tiga orang
perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan perwira Jepang itu,
menatap padanya dengan diam.
” Pasang saja taruhannya ”. Babah itu
berkata lagi.
” Taruhan baru saya pasang kalau dadunya
sudah
jatuh di piring ” si Bungsu berkata
perlahan.
Perwira Jepang serta Baribeh saling
pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah dadu itu
memang belum jatuh ke piring ? Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung
atau tertahan di atas dalam tabung bambu itu. Mustahil.
”Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring,
baru saya memasang taruhan ”. Ujar Bungsu.
Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia
terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini. Anak muda yang luar
biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.
Sebuah dencingan halus terdengar di dalam
tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu masih tetap
menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu
mengangkat tangannya dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh
kembali saling pandang.
” Baru dua buah yang jatuh ”. perwira itu
berkata.
Babah itu tersenyum sambil menatap pada
si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia menangkan dalam taruhan
tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor t iga dan lima. Kemudian sepi.
” Tak ada yang akan merobah letak taruhan
?”
Babah itu bertanya. Tak seorangpun yang
menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu itu. Dan tiba – tiba semua
orang, kecuali si Bungsu, jadi tertegun.
Dua diantara tiga dadu itu memang
menunjukkan angka – angka seperti yang ditebak si Bungsu. Mata dadu yang muncul
di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat
dan benar. Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namunan itu tak
mempengaruhi kemenangannya.
Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa
tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul membawa sebuah kantong
besar. Lalu duduk lagi d i tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia
bawa. Menatap ke uang taruhan si Bungsu beberapa saat.
Kemudian mulai menghitung uang yang dia
ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang taruhan si Bungsu. Si
Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung
taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu
keahlian yang jarang tersua. Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa
menyentuhnya.
Dari seratus penjudi lihai, barangkali
ilmu ini hanya terdapat pada satu atau paling banyak dua pejudi. Dengan
demikian, si Babah telah menunjukkan dua ilmu
simpanannya. Pertama demontrasi tenaga
dalam. Yaitu tatkala tadi dia menahan ketiga dadu itu di bahagian atas tabung
bambu.
Perwira Jepang dan Baribeh menyangka
bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan melalui
penyaluran tenaga dalamnya pada dinding
tabung bambu itu. Dan ilmunya ini
ternyata diketahui oleh si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh
duit sebentar ini. Dan si Bungsu juga mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak
mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah.
Uang itu dia kaut dan dia letakkan
didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh. Taruhannya di angka lima juga
mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si
Babah. Si Babah masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring,
kemudian memasukkannya ke dalam tabung
bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian
terbatuk.
Saat itulah tiba-tiba saja ke ruangan itu
berlompatan enam orang Kempetai dengan senjata terhunus. Mereka dikurung di
tengah. Si Bungsu secara reflek segera
meraih samurainya yang terletak di paha.
Namun entah bagaimana caranya, tahu-tahu samurai itu terpental jauh kebelakang
terkena tendangan si Babah. Sebelum si
Bungsu sadar apa yang terjadi, tendangan
si Babah mendarat di dadanya. Dia terguling dan segera saja muntah darah.
Kepalanya berkunang-kunang. Ketika dia coba untuk bangkit, rambutnya ditarik
dengan keras. Dia terduduk. Dan segera saja empat buah sangkur terhunus
ditekankan ke dada dan lehernya.
”Kalau kau melawan, kau kami bunuh disini
”.
Kempetai yang memimpin penyergapan ini
mendesis dengan tajam. Si Bungsu tak dapat bergerak sedikitpun. Dia melihat
Babah tadi duduk dengan tenang. Begitu pula Baribeh dan si Juling. Semula dia
menyangka bahwa penggerebekan ini adalah penggerebekan Kempetai terhadap
tempat-tempat judi. Karena dia pernah mendengar bahwa tentara Jepang dilarang
berjudi. Tapi kali ini rupanya penggerebekan itu memang sudah direncanakan. Si
Bungsu tak menyadari sedikitpun, bahwa dia masuk perangkap. Sudah tiga hari ini
dia memperhatikan rumah Babah ini. Dia mendapat informasi bahwa rumah Babah ini
termasuk suatu tempat berkumpulnya para perwira untuk berjudi dan
bersenang-senang dengan pelacur kelas tinggi.
Dia mengawasi rumah ini untuk mengetahui
jejak Saburo. Dia berharap untuk bertemu dengan Kapten yang telah membantai
keluarganya itu. Tanpa disadari selama dia mengawasi rumah ini dari kejauhan
ada pula orang lain yang juga mengawasinya. Orang itu tak lain dari si Babah
sendiri. Si Babah ini memang harus hati-hati. Dia tidak mau mati konyol. Oleh
karena itu dia mengawasi set iap orang yang lewat di depan rumahnya.
Makanya tak heran kalau kehadiran si Bungsu
tiga hari berturut-turut tak jauh dari rumahnya menarik perhatiannya. Si Bungsu
yang memata-matai rumah itu kini balik dimata-matai.
Suatu hari si Babah bertemu dengan
Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat di mana dapat melihat si
Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu
dengan baik. Tapi mereka tak mengetahui untuk apa si Bungsu tegak di sana.
Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak
buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran
rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini? Babah
gemuk itu jadi was-was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang
yang menyusun kekuatan untuk melawan Jepang, memang Babah inilah yang
memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar beberapa orang
Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin
gerakan itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.
Babah ini memang menjadi semacam pusat
informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di Payakumbuh ini sejak
puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan
ketika Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula. Untuk mengetahui apa
maksud pemuda ini, makanya Babah itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si
Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya. Kemudian membujuknya
untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya.
Begitu ia masuk, seorang kurir yang
dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai akan adanya
seorang mata-mata di rumah si Babah. Dan si Bungsu masuk ke dalam perangkap
yang dipasang itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi
tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.
Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya
persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi. Kembali si Bungsu merasa
bergidik melihat senyum itu.
”Anak muda, coba terangkan apa maksudmu
memata-matai rumahku ini,” Babah itu bertanya.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (11)
Komentar
Posting Komentar