Tiga orang Gyugun yang tadi dia
perintahkan untuk patroli menantinya di pintu. Dan mereka masuk. Kisah
bagaimana si sersan mati, sudah diuraikan terdahulu. Dakhlan Djambek memberi
kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya dia bisa saja
membunuih sersan itu tanpa perlawanan. Tapi sebagai seorang pejuang, seperti
umumnya pejuang-pejuang Indonesia, dia tak mau membunuh lawan yang tak berdaya.
Apalagi dia seorang perwira.
Makanya dia memberi kesempatan kepada
sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya bisa saja keadaan berbalik jadi
berbahaya. Yaitu kalau si sersan justru yang menang dalam perkelahian itu.
Mungkin si sersan bisa juga dibunuh oleh pejuang-pejuang yang ada dalam ruangan
itu. Namun kalau sudah jatuh korban, apalagi korban itu seorang Dakhlan
Djambek, perwira Gyugun yang diandalkan untuk memimpin anggotanya kelak dalam
revolusi, bukankah akan sia-sia jadinya?
Namun Dakhlan Djambek tetap pada sikap
satrianya. Disamping juga dia punya keyakinan pada dirinya, dan terutama pada
Tuhannya. Setelah sersan itu mati, jejak perkelahian di ruangan belakang rumah
itu dilenyapkan. Dan Dakhlan Djambek kembali melompati jendela kakus. Kemudian
pura-pura batuk dalam kakus. Pura-pura menyiramkan air. Lalu keluar dari kakus setelah
yakin jejaknya tak ada di dinding. Dengan pura-pura melekatkan celana dan
merapikan baju, dia membuka pintu.
Masuk kembali keruangan dimana si Mayor
tengah mendengarkan siaran radio yang dipancarkan oleh Markas Besar tentara
Jepang. Dengan menarik nafas lega, dia duduk. Seperti orang yang baru saja
lepas dari siksaan.
“Hmmm, keluar semua?” Mayor itu bertanya
sambil tersenyum.
“Tidak. Ususku masih tinggal di
dalam……….’” Jawab Dakhlan Djambek. Mayor itu dan keempat Kempetai tertawa
terkekeh. Waktu yang terpakai baginya untuk “buang air” itu tidak lebih dari
sepuluh menit. Benar-benar perhitungan seorang militer yang teliti.
Dan ketika interogasi, seluruh prajurit
dan sang Mayor yang piket malam itu jadi saksi, bahwa dia tidak pernah keluar
sesaatpun pada malam lenyapnya si sersan. Dan Kempetai tak pula pernah
menyelidiki rumah kosong yang telah lama tak dihuni yang terletak persis
dibelakang markas mereka. Kekhilafan-kekhilafan kecil begini biasanya memang
terjadi satu dalam seribu peristiwa penting dipihak kemiliteran.
Dan kekhilafan kecil itulah yang
menyelamatkan Dakhlan Djambek serta para Gyugun yang tugas di Bukittinggi malam
itu dari pembantaian Kempetai.
-000-
Si Bungsu membuka mata. Silau sekali.
Tapi selain silau yang amat sangat, yang paling dia rasakan adalah lapar yang
menusuk-nusuk perut. Lapar sekali. Dia Kembali membuka mata. Sedikit demi
sedikit. Dari balik bulu-bulu matanya dia mencoba melihat dan membiasakan
dengan sinar terang.
Dia tak tahu dimana dia. Tak tahu apa
yang terjadi. Rasanya kini dia tengah berbaring. Tapi dimana? Berbaring? Kenapa
bisa berbaring? Dia coba merekat kembali sisa-sisa ingatannya. Yaitu tentang
situasi terakhir yang pernah dia alami.
Terowongan
Rantai di kaki
Rantai di tangan
Rantai yang dicorkan dengan semen
Dicor ke lantai
Dicor ke langit-langit terowongan
Penyiksaan!
Ah, bukankah dia disiksa oleh tiga orang
serdadu Jepang yang sadisnya melebihi hewan?
Kari Basa!
Tiba-tiba dia ingat pada orang tua itu.
Bukankah orang tua itu terbelenggu pula empat depa di depannya dalam terowongan
itu?
Dimana dia kini?
Ingatan pada orang tua itu membuat dia
membuka matanya lebar-lebar. Menoleh ke kiri. Tak ada. Menoleh kekanan. Tak
ada!
“Pak Kari…..!” dia memanggil perlahan.
Tak ada sahutan. Di luar ada suara ayam
betina berkotek. Dia memperhatikan tempatnya. Benar, dia memang tengah
berbaring di tempat tidur. Tempat tidur berkelambu. Berseprai kain setirimin
merah jambu. Berkelambu juga dengan kain seterimin merah jambu. Seperti tempat
tidur penganten baru.
Bau harum kembang melati merembes
kehidungnya dengan lembut. Benarkah dia masih hidup? Atau ini hanya sebuah
mimpi?
Mimpi dari sebuah siksa yyang tak
tertangguhkan ditangan ketiga Kempetai sadis itu?
Ya, dia ingat lagi kini.
Tubuhnya dijadikan tempat pelampiasan
kekejaman ketiga serdadu itu. Lalu suara tembakkan. Apakah tembakkan itu bukan
untuk dirinya? Kalau dia kini masih hidup, pastilah tembakkan itu ditujukan
pada Kari Basa. Kari Basa meninggal! Ya Tuhan.
“Pak Kari….” Dia memanggil lagi dan
berusaha untuk duduk.
“Tetaplah berbaring..!” tiba-tiba suara
mencegahnya. Lembut sekali. Rasa sakit dikepalanya karena berusaha bangkit itu
lenyap ketika mendengar suara lembut itu.
“Mana Pak Kari?” tanya nya pada orang
yang masih belum kelihatan wajahnya itu.
“Pak Kari..?” suara itu menjawab.
“Ya pak Kari, dimana dia dikuburkan?”
Tak ada jawaban. Tapi orang yang menjawab
ucapannya itu kini kelihatan. Seorang gadis! Berwajah bundar. Bermata hitam.
Berkulit kuning. Berambut hitam dengan mata yang bersinar lembut. Cantik adalah
kata-kata yang tepat untuknya.
Si Bungsu mengerutkan kening. Siapakah
gadis ini?
“Dimana saya…?’ tanyanya gugup.
Gadis itu tersenyum. Senyumnya amat
teduh. Matanya yang bersinar lembut menatap si Bungsu dengan tatapan gemerlap.
“Uda berada disini…” jawabnya dengan masih
tersenyum.
“Di sini? Di sini dimana…?’
Bersambung ke..... Tikam Samurai (27)
Komentar
Posting Komentar