Langsung ke konten utama

Tikam Samurai (5)



Dia mencoba bertumpu di tangan untuk membalikkan diri. Tapi alangkah sulitnya. Dia menelungkup lagi diam-diam. Mengumpulkan tenaga, kini dia membuka mata. Mula pertama yang kelihatan adalah tanah halaman rumah di mana di waktu kecil  dia bermain kelereng dan main galah. Lalu di tanah itu dia lihat air yang memerah. Itu pastilah darahnya.
Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah di  manapun dia  berada.
Dan suatu malam dia mengikuti ayahnya dari kejauhan. Dia melihat orang-orang berlatih silat di sasaran. Dia tahu sasaran itu adalah untuk orang-orang yang tingkat kepandaian sudah tinggi. Dia kenal pesilat-pesilat itu semua. Makanya dia tak berani menampakkan muka. Dia hanya mengintip dari balik belukar. Mengintip cara mereka melangkah, membuka serangan. Menangkis dan meloncat.
Dia ingin sekali pandai bersilat. Tapi pada siapa dia akan belajar? Ayahnya sudah sering keluar. Nampaknya ada sesuatu yang penting yang diurus. Seperti menyusun suatu kekuatan melawan Jepang. Meski ayahnya tak ada di rumah. Si Bungsu tetap datang diam-diam ke sasaran itu tengah malam. Melihat orang berlatih.
Bila orang selesai latihan, dia segera buru-buru duluan pulang agar tak ketahuan. Dan di rumah siang harinya, dia mencobakan gerakan yang dia lihat. Tapi alangkah sulitnya belajar tanpa guru. Sebab yang dia lihat bukanlah pelajaran dari awal. Melainkan pelajaran tingkat lanjut. Hanya sepekan dia sempat melihat orang latihan itu. Malam terakhir adalah malam di mana Datuk Maruhun tertangkap oleh serdadu Jepang.
Malam itu dia memang terlambat datang ke tempat pengintaiannya yang biasa. Dia terlambat karena hujan. Tetapi keinginan untuk belajar tetap menyala. Maka meski terlambat dan hujan masih turun, anak muda itu turun juga ke tanah. Dengan mengendap-endap dia mendekati sasaran rahasia itu. Dia melihat cahaya pelita yang samar-samar. Mendengar suara beradunya pedang dan keris. Dia lalu menyeruak ke dekat belukar kecil dimana biasanya dia mengintip. Namun tiba-tiba ada tangan yang menyekap mulutnya.
Dia ingin berteriak dan berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran tersebut. Dan dia didorong ke tengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu. Mereka menyangka si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.
Malam itu dia menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua? Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang ”runcing tanduk”. Datuk itu memang sudah lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan gadisnya yang bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang kampungnya.
Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit. Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu.
Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah jauhnya antara dia dan si ayah. Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib bagi nama baik ayah dan keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya. Saat itu ibu, ayah dan kakaknya tertegun di tangga.
”Engkau memang dilahirkan  untuk jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau. Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?”
Suara ayahnya seperti bergema lagi. Dia ter¬sentak kaget. Ayahnya pasti telah mendengarnya pula dari Datuk Maruhun atau dari orang lain, tentang perjumpaan mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah ayahnya juga menduga seperti dugaan Datuk Maruhun dan teman-teman¬nya, bahwa dialah yang membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang. Hatinya jadi amat terpukul.
Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat ibunya.
Wajah ibunya kelihatan tenang. Hatinya jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya mayat kakaknya masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana cara menangisi malapetaka yang begini dahsyat.
Kalau salah satu saja dari keluarganya yang mati, mungkin dia bisa menangis. Tapi kini ketiga mereka. Dia hanya sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia harus menangisi kemalangan ini? Kemalangan yang bagaima¬na pula yang telah menimpanya, sehingga untuk menangis saja dia tak tahu bagaimana caranya? Tiba-tiba tangan ibunya bergerak perlahan. Perlahan sekali. Namun dia melihatnya dengan jelas.
“Ibu . .” panggilnya perlahan sambil mengangkat kepala perempuan separoh baya itu.
Hatinya berdebar. Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.
“Ibu …”
“Bungsu. . . engkau kini tinggal sendiri nak. Hati-hati menjaga diri. . .” Perempuan itu terhenti. Kembali menjilat air di bibirnya. Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah.
“Ayahmu ingin engkau menjadi anak yang baik . . .”
Perempuan itu terhenti lagi. Dia seperti mengumpulkan tenaga terakhir. Nampaknya dia memang menunda datangnya maut untuk bisa bicara dengan anak bungsunya ini.
“Bungsu … anakku. Kata orang engkau membocor¬kan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi.. . Tapi ibu tak percaya. Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik. . katakanlah Bungsu. . … bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu .”
Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam lagi. Nafas¬nya tinggal satu-satu. Namun dia berusaha membuka matanya, untuk melihat wajah anaknya. Untuk melihat dan mendengar jawaban anaknya.
Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali yang ingin dia sampaikan. Tapi kerongkongannya rasa tersumbat. Dia hanya mampu menggeleng dan menggenggam tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air mata.
Si ibu seperti dapat membaca yang tersirat di fikiran anaknya. Meskipun anaknya tak bicara sepatahpun, hanya menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca apa yang terkandung di hati anaknya. Perempuan itu seperti tersenyum. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai. Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam hujan rintik yang makin lebat itu.
Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang tak membeda¬kan kasih terhadap anak-anaknya. Di antara anak¬-anaknya yang pandai dan yang bodoh, di antara anak-¬anaknya yang gagah dan yang cacat, di antara anak-anaknya yang berbudi dan yang jadi jahanam, seorang ibu tetap berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu tetap menginginkan kebahagiaan yang sama untuk semua anaknya.
Dan sore itu si Bungsu merasakan betapa sebenarnya dia memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia rasakan justru setelah ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang ayah. Justru setelah ayahnya me¬ninggal. Dia membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Justru dia rasakan setelah kakaknya meninggal! Alangkah tragisnya nasib manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa setiap anak takkan menyadari betapa dia sebenar¬nya membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahya, ketika si ibu dan si ayah masih hidup.
Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu, si Bungsu masih duduk di sana. Di halaman rumah gadangnya. Di antara puing reruntuhan rumah-rumah di kampungnya itu. Dia duduk dengan kepala ibu di pahanya. Sampai hari ketiga dia tak mampu bergerak dari sana. Luka  di punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan hujan banyak menolong lukanya. Tak ada lalat yang merubungi.
Barulah di hari ketiga  dia berusaha bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik dua. Dia harus mengubur¬ mayat ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur mayat tujuh orang lelaki, perempuan dan seorang anak-anak lainnya di kampung itu. Sebab tak ada manusia seorangpun di sana. Mereka telah lari mengungsi.
Hujan lebat yang turun beberapa hari jua yang menyebabkan tanah jadi lembut dan mudah digali. Dengan mengatupkan gigi, dia mencabut Samurai yang tertancap tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia mulai menggali tanah di dekat jasad ayahnya itu dengan samurai tersebut. Mayat ayah dan ibunya hanya berjarak sedepa. Dia mengga¬li di tengah kedua orang itu. Kemudian memasukkan mayat ibu bapanya ke satu lobang.
Hari kelima baru dia selesai mengubur seluruh jena¬zah di kampung itu. Mereka dia kubur sekedarnya. Sekedar tertimbun dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak digali hewan. Mereka dia kubur di dekat mayatnya terbaring. Ada yang di dekat tangga seperti kakaknya. Ada yang di tengah halaman seperti ibunya. Ada yang di bawah pohon seperti beberapa tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka semua. Meskipun semasa hidupnya, mereka membencinya Dia tak punya rasa dendam sedikitpun terhadap orang kampungnya ini.
Hari keenam, dia melangkah entah kemana. Hari sudah senja. Dia berjalan tertatih-tatih. Hujan dan udara sejuk telah menyelamatkan luka dipunggungnya yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam perjalanan, tiba-tiba dia menyadari bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga mempergunakan Samurai yang tertancap di dada ayah¬nya sebagai tongkat penyangga agar tubuhnya tak ru¬buh. Tak dia ingat kapan masanya dia memungut sarung samurai itu. Tapi yang jelas kini dia memegangnya.
Semula dia berniat untuk membuang samurai itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar lengan. Tapi tiba-tiba dia tertegun. Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum roboh setelah dihantam Samurai Saburo, terngiang kemballi.
“Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku………Saburo….!”
Tangannya menggigil mengingat sumpah itu. Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang baru dia ambil. Dia memegang samurai di tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai melangkah. Entah kemana dia. Tak seorangpun yang tahu. Berbulan-bulan setelah itu, ketika suasana sudah agak aman, orang-orang Situjuh Ladang Laweh, kampung Datuk Berbangsa, kembali pulang satu demi satu dari pengungsian mereka.
Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang tak beraturan korban pembantaian yang menyebabkan mereka lari mengungsi. Mereka menggali kembali kuburan-kuburan itu, dan meng-uburkan di pekuburan kaum. Mereka bertanya-tanya tatkala tidak menemukan mayat si Bungsu. Padahal beberapa orang di antara mereka melihat dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus dibabat samurai Kapten Saburo.
Tapi kemana mayatnya? Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini? Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini? Tak mungkin. Anak muda itu tak mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran rahasia itu ayahnya yang memimpin? Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga semua mereka tertangkap dan terbunuh? Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.
“Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggal¬kan, lalu akhimya habis dimakan anjing atau harimau yang datang dari gunung sana . . ” seorang lelaki bicara.
Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Dan bagi orang kampung, anak muda itu memang lebih baik mati diterkan harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk. Kehidupan kampung di pinggang gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa.
Serdadu Jepang tak pernah lagi datang ke sana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah menghenti¬kan kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman orang-orang bermata sipit dan bertubuh tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk di kota maupun pedesaan di pinggir kota yang ditempati oleh tentara Jepang. Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-peju¬angnya telah mati. Datuk Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.
Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu layah di pinggang gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui di sana? Tak seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampung-kampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang dalam perjudian daripada kalah.
Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya. Tes. , tes . . tes . . ! Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditam¬puknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!.
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut.
Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.
Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali. Lalu ketika gerakan itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus! Yang menyulitkannya adalah karena dia tak mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehen¬dak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.
Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam di sana seperti pohon mati. Tapi suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera mengetahui kehadirannya. Dia menerkam si Bungsu. Namun bagi si Bungsu kecepatan macan ini tak ada artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai.
Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.
Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar. Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang datang menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.
Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekat-nya. Dia memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat dengan dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia bertekad untuk membalas dendam.
Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata. Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran.
Kini!
Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun!
Senja ini dia kembali duduk di atas batu pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung di mana sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke arah kampungnya.Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia buat secara darurat. Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah keinginannya yang keras untuk membalas dendam.
Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya. Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain. Dia tertegun. Apakah dengus sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?
Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jang¬krik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.
Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa !
Tiga depa! Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus itu berada sekitar tiga depa di belakangnya, itu berarti ”tamunya” itu telah berada di atas batu pipih besar di mana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia duduk di bahagian ujung paling depan. Yang membuat dia kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak terdengar olehnya sedikitpun?
Krosak…!
Bersambung ke.... Tikam Samurai (6)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENDIRIAN BENGKEL AA CEMPAKA AUTO SERVICE

Sejarah Singkat pendirian Usaha perbengkelan AA CEMPAKA Auto Service yang berlokasi dijalan By Pass KM 9 Simpang Taruko 1 Kalumbuk Padang   merupakan suatu perusahaan jasa yang bergerak dibidang perbengkelan dan penjualan yaitu memperbaiki kendaraan penumpang roda empat dan juga menjual spare part, pelumas (Engine Oil) maupun peralatan lainnya. Bengkel AA CEMPAKA Auto Service didirikan pada tanggal 01 Juni 2015, oleh ASRUL ARMISKA beliau adalah mantan karyawan disebuah perusahaan otomotif terbesar yang merupakan pemegang merek kendaraan terkenal di Indonesia dan bekerja sama dengan beberapa pihak pemodal perorangan. Bengkel ini pada awalnya didirikan hanya untuk melayani service ringan dengan menyewa tempat berupa kios sederhana dan hingga kini sudah beberapa kali mengalami perpindahan lokasi usaha, seiring dengan jumlah pelanggan yang terus bertambah dimana beberapa bulan kemudian melihat banyaknya pelanggan yang meminta perbaikan-perbaikan pada kendaraan milik m

Mesin Avanza tidak bisa hidup sehabis bongkar Mesin

Ilmu itu sayang jika hanya disimpan maka pada kesempatan ini saya akan berbagi tentang kasus Mesin avanza dan yang sejenis tidak bisa hidup setelah bongkar mesin atau setelah ganti rantai timing (timing chain)..Dan disini saya tidak bermaksud menggurui atau merasa lebih pintar dari agan-agan sekalian hanya berharap semoga ada yang bisa mengambil manfaat terutama bagi mekanik-mekanik pemula. Kasus ini sudah beberapa kali saya dapatkan setelah beberapa rekan-rekan mekanik meminta pertolongan untuk mencari titik permasalahan kenapa mesin tidak bisa hidup. Seperti biasa sebelum kita melangkah ke step yang lebih jauh, sebaiknya kita harus mengembalikan pola analisa kita kedasar, dimana kita harus memulai dari langkah-langkah yang paling sederhana yaitu bahwa mesin akan bekerja apabila terpenuhinya tiga syarat utama berikut ini : Kompresi yang tinggi (sesuai standar) Loncatan bunga api Busi yang kuat (Mesin Bensin) Perbandingan campuran Udara dan bahan bakar yang tepat Dalam mas

Tikam Samurai (53)

Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar. “Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu. Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako. Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur. “Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya. “Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu. “Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mere