Dia mencoba bertumpu di tangan untuk
membalikkan diri. Tapi alangkah sulitnya. Dia menelungkup lagi diam-diam.
Mengumpulkan tenaga, kini dia membuka mata. Mula pertama yang kelihatan adalah
tanah halaman rumah di mana di waktu kecil dia bermain kelereng dan main
galah. Lalu di tanah itu dia lihat air yang memerah. Itu pastilah darahnya.
Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah di manapun dia berada.
Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah di manapun dia berada.
Dan suatu malam dia mengikuti ayahnya
dari kejauhan. Dia melihat orang-orang berlatih silat di sasaran. Dia tahu
sasaran itu adalah untuk orang-orang yang tingkat kepandaian sudah tinggi. Dia
kenal pesilat-pesilat itu semua. Makanya dia tak berani menampakkan muka. Dia
hanya mengintip dari balik belukar. Mengintip cara mereka melangkah, membuka
serangan. Menangkis dan meloncat.
Dia ingin sekali pandai bersilat. Tapi
pada siapa dia akan belajar? Ayahnya sudah sering keluar. Nampaknya ada sesuatu
yang penting yang diurus. Seperti menyusun suatu kekuatan melawan Jepang. Meski
ayahnya tak ada di rumah. Si Bungsu tetap datang diam-diam ke sasaran itu
tengah malam. Melihat orang berlatih.
Bila orang selesai latihan, dia segera
buru-buru duluan pulang agar tak ketahuan. Dan di rumah siang harinya, dia
mencobakan gerakan yang dia lihat. Tapi alangkah sulitnya belajar tanpa guru.
Sebab yang dia lihat bukanlah pelajaran dari awal. Melainkan pelajaran tingkat
lanjut. Hanya sepekan dia sempat melihat orang latihan itu. Malam terakhir
adalah malam di mana Datuk Maruhun tertangkap oleh serdadu Jepang.
Malam itu dia memang terlambat datang ke
tempat pengintaiannya yang biasa. Dia terlambat karena hujan. Tetapi keinginan
untuk belajar tetap menyala. Maka meski terlambat dan hujan masih turun, anak
muda itu turun juga ke tanah. Dengan mengendap-endap dia mendekati sasaran
rahasia itu. Dia melihat cahaya pelita yang samar-samar. Mendengar suara
beradunya pedang dan keris. Dia lalu menyeruak ke dekat belukar kecil dimana
biasanya dia mengintip. Namun tiba-tiba ada tangan yang menyekap mulutnya.
Dia ingin berteriak dan berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran tersebut. Dan dia didorong ke tengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu. Mereka menyangka si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.
Malam itu dia menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua? Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang ”runcing tanduk”. Datuk itu memang sudah lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan gadisnya yang bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang kampungnya.
Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit. Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu.
Dia ingin berteriak dan berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran tersebut. Dan dia didorong ke tengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu. Mereka menyangka si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.
Malam itu dia menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua? Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang ”runcing tanduk”. Datuk itu memang sudah lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan gadisnya yang bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang kampungnya.
Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit. Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu.
Dia merasa malu lama-lama berada dekat
mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah jauhnya antara dia dan si
ayah. Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang
jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib
bagi nama baik ayah dan keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala
turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya. Saat itu ibu, ayah dan
kakaknya tertegun di tangga.
”Engkau memang dilahirkan untuk
jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau. Kau jual negeri
ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau
bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?”
Suara ayahnya seperti bergema lagi. Dia
ter¬sentak kaget. Ayahnya pasti telah mendengarnya pula dari Datuk Maruhun atau
dari orang lain, tentang perjumpaan mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah
ayahnya juga menduga seperti dugaan Datuk Maruhun dan teman-teman¬nya, bahwa
dialah yang membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang. Hatinya jadi amat
terpukul.
Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat
ibunya.
Wajah ibunya kelihatan tenang. Hatinya
jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya mayat kakaknya
masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana cara menangisi
malapetaka yang begini dahsyat.
Kalau salah satu saja dari keluarganya
yang mati, mungkin dia bisa menangis. Tapi kini ketiga mereka. Dia hanya
sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia harus menangisi kemalangan ini?
Kemalangan yang bagaima¬na pula yang telah menimpanya, sehingga untuk menangis
saja dia tak tahu bagaimana caranya? Tiba-tiba tangan ibunya bergerak perlahan.
Perlahan sekali. Namun dia melihatnya dengan jelas.
“Ibu . .” panggilnya perlahan sambil
mengangkat kepala perempuan separoh baya itu.
Hatinya berdebar. Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.
Hatinya berdebar. Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.
“Ibu …”
“Bungsu. . . engkau kini tinggal sendiri
nak. Hati-hati menjaga diri. . .” Perempuan itu terhenti. Kembali menjilat air
di bibirnya. Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah.
“Ayahmu ingin engkau menjadi anak yang baik . . .”
“Ayahmu ingin engkau menjadi anak yang baik . . .”
Perempuan itu terhenti lagi. Dia seperti
mengumpulkan tenaga terakhir. Nampaknya dia memang menunda datangnya maut untuk
bisa bicara dengan anak bungsunya ini.
“Bungsu … anakku. Kata orang engkau membocor¬kan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi.. . Tapi ibu tak percaya. Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik. . katakanlah Bungsu. . … bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu .”
“Bungsu … anakku. Kata orang engkau membocor¬kan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi.. . Tapi ibu tak percaya. Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik. . katakanlah Bungsu. . … bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu .”
Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam
lagi. Nafas¬nya tinggal satu-satu. Namun dia berusaha membuka matanya, untuk
melihat wajah anaknya. Untuk melihat dan mendengar jawaban anaknya.
Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali
yang ingin dia sampaikan. Tapi kerongkongannya rasa tersumbat. Dia hanya mampu
menggeleng dan menggenggam tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air
mata.
Si ibu seperti dapat membaca yang
tersirat di fikiran anaknya. Meskipun anaknya tak bicara sepatahpun, hanya
menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca apa yang terkandung di hati
anaknya. Perempuan itu seperti tersenyum. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai.
Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam hujan rintik yang makin
lebat itu.
Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang
tak membeda¬kan kasih terhadap anak-anaknya. Di antara anak¬-anaknya yang
pandai dan yang bodoh, di antara anak-¬anaknya yang gagah dan yang cacat, di
antara anak-anaknya yang berbudi dan yang jadi jahanam, seorang ibu tetap
berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu tetap menginginkan kebahagiaan yang
sama untuk semua anaknya.
Dan sore itu si Bungsu merasakan betapa
sebenarnya dia memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia rasakan justru setelah
ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang
ayah. Justru setelah ayahnya me¬ninggal. Dia membutuhkan kasih sayang seorang
kakak. Justru dia rasakan setelah kakaknya meninggal! Alangkah tragisnya nasib
manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa setiap anak takkan menyadari betapa
dia sebenar¬nya membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahya, ketika si ibu dan si
ayah masih hidup.
Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu,
si Bungsu masih duduk di sana. Di halaman rumah gadangnya. Di antara puing
reruntuhan rumah-rumah di kampungnya itu. Dia duduk dengan kepala ibu di
pahanya. Sampai hari ketiga dia tak mampu bergerak dari sana. Luka di
punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan hujan banyak menolong lukanya.
Tak ada lalat yang merubungi.
Barulah di hari ketiga dia berusaha
bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik dua. Dia harus mengubur¬ mayat ayah,
ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur mayat tujuh orang lelaki, perempuan
dan seorang anak-anak lainnya di kampung itu. Sebab tak ada manusia seorangpun
di sana. Mereka telah lari mengungsi.
Hujan lebat yang turun beberapa hari jua
yang menyebabkan tanah jadi lembut dan mudah digali. Dengan mengatupkan gigi,
dia mencabut Samurai yang tertancap tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia
mulai menggali tanah di dekat jasad ayahnya itu dengan samurai tersebut. Mayat
ayah dan ibunya hanya berjarak sedepa. Dia mengga¬li di tengah kedua orang itu.
Kemudian memasukkan mayat ibu bapanya ke satu lobang.
Hari kelima baru dia selesai mengubur
seluruh jena¬zah di kampung itu. Mereka dia kubur sekedarnya. Sekedar tertimbun
dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak digali hewan. Mereka dia kubur di
dekat mayatnya terbaring. Ada yang di dekat tangga seperti kakaknya. Ada yang
di tengah halaman seperti ibunya. Ada yang di bawah pohon seperti beberapa
tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka semua. Meskipun semasa hidupnya,
mereka membencinya Dia tak punya rasa dendam sedikitpun terhadap orang
kampungnya ini.
Hari keenam, dia melangkah entah kemana.
Hari sudah senja. Dia berjalan tertatih-tatih. Hujan dan udara sejuk telah menyelamatkan
luka dipunggungnya yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam perjalanan,
tiba-tiba dia menyadari bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga
mempergunakan Samurai yang tertancap di dada ayah¬nya sebagai tongkat penyangga
agar tubuhnya tak ru¬buh. Tak dia ingat kapan masanya dia memungut sarung
samurai itu. Tapi yang jelas kini dia memegangnya.
Semula dia berniat untuk membuang samurai
itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar lengan. Tapi tiba-tiba dia tertegun.
Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum roboh setelah dihantam Samurai Saburo,
terngiang kemballi.
“Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah
akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau
rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku………Saburo….!”
Tangannya menggigil mengingat sumpah itu.
Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang baru dia ambil. Dia memegang samurai di
tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai melangkah. Entah kemana dia. Tak seorangpun
yang tahu. Berbulan-bulan setelah itu, ketika suasana sudah agak aman,
orang-orang Situjuh Ladang Laweh, kampung Datuk Berbangsa, kembali pulang satu
demi satu dari pengungsian mereka.
Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang
tak beraturan korban pembantaian yang menyebabkan mereka lari mengungsi. Mereka
menggali kembali kuburan-kuburan itu, dan meng-uburkan di pekuburan kaum.
Mereka bertanya-tanya tatkala tidak menemukan mayat si Bungsu. Padahal beberapa
orang di antara mereka melihat dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus
dibabat samurai Kapten Saburo.
Tapi kemana mayatnya? Kalau mayatnya tak
ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini? Apakah dia tak mati,
kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini? Tak mungkin. Anak muda itu
tak mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja
dia khianati. Bukankah sasaran rahasia itu ayahnya yang memimpin? Dan bukankah
dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga semua mereka tertangkap
dan terbunuh? Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.
“Barangkali bangkainya memang tak
dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini mungkin tahu bahwa dia
seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggal¬kan, lalu akhimya habis dimakan
anjing atau harimau yang datang dari gunung sana . . ” seorang lelaki bicara.
Dan pendapat inilah yang paling banyak
mempercayainya. Dan bagi orang kampung, anak muda itu memang lebih baik mati
diterkan harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap
sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia
lenyap seperti ditelan bumi dan tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali
tentang yang buruk-buruk. Kehidupan kampung di pinggang gunung Sago yang
terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa.
Serdadu Jepang tak pernah lagi datang ke
sana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah menghenti¬kan
kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman orang-orang bermata sipit dan
bertubuh tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk di kota
maupun pedesaan di pinggir kota yang ditempati oleh tentara Jepang. Situjuh
Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-peju¬angnya telah mati. Datuk
Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.
Namun di belantara Gunung Sago, anak muda
yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau
harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski sebesar
zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu
layah di pinggang gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia
dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia melihat kerlip lampu seperti seribu
kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun kalau dia
pulang, siapa yang akan dia temui di sana? Tak seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada
seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin orang itu takkan
bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun
itu masih hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik
biasanya punya umur panjang. Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan
melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya
menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah sana. Ada beberapa
kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh
jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab
dahulu dia telah mendatangi semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah
mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampung-kampung itu mengenalnya
sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering
menang dalam perjudian daripada kalah.
Dan bila dia menang, dia selalu memberi
anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang tua mereka yang tak
menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi.
Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti
angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan angin itu di atas batu layah
ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya. Tes. , tes . . tes . . ! Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditam¬puknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya. Tes. , tes . . tes . . ! Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditam¬puknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi
bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan saat berikutnya
terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata.
Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang
telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan
perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari sebelas daun
kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya.
Yang delapan lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun
itu!.
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk
lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah
Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak
mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk
membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas
atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang membakar kampungnya.
Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang
yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas
pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di
gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang olehnya adalah
gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang
menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di
halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi terus. Terus dan terus. Sementara
gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian antara
teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang
tersebut.
Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.
Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.
Tiap hari kerjanya hanya mencabut
samurai. Kemudian memasukkannnya kembali. Lalu ketika gerakan itu dia rasa
sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada
di depan dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah
membabat lawan di depan, tanpa menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai,
senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit
dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus! Yang menyulitkannya adalah karena dia
tak mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang
harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam
gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu samurai.
Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehen¬dak seleranya saja.
Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta
merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi hari. Siang hari dia
berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun
di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari.
Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia harus tegak di bawah
angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.
Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam
kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam di sana seperti pohon mati. Tapi
suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang
tetapi macan tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana si Bungsu
sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera mengetahui kehadirannya. Dia
menerkam si Bungsu. Namun bagi si Bungsu kecepatan macan ini tak ada artinya
dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai.
Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.
Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.
Siang itu dia tak makan daging kijang.
Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar. Api dia bikin
dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang
datang menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh
besar itu tetap saja lambat bila dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.
Inilah yang dia pelajari setelah itu.
Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekat-nya. Dia memejamkan mata.
Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat
dengan dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga
diri. Kemudian keadaan membuat dia menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang
tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia bertekad untuk
membalas dendam.
Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata. Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran.
Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata. Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran.
Kini!
Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun!
Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun!
Senja ini dia kembali duduk di atas batu
pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung di mana sawah menghampar. Di
mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke
arah kampungnya.Rindu kembali
bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang purnama
dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia
buat secara darurat. Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris
membelah punggungnya dan tetap hidup adalah keinginannya yang keras untuk
membalas dendam.
Kini dia merasa ingin segera kembali ke
kampungnya. Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya yang sudah sangat
terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain. Dia tertegun.
Apakah dengus sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai
dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya
mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?
Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jang¬krik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.
Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa !
Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jang¬krik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.
Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa !
Tiga depa! Ya Tuhan, bulu tengkuknya
merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus itu berada sekitar
tiga depa di belakangnya, itu berarti ”tamunya” itu telah berada di atas batu
pipih besar di mana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia
duduk di bahagian ujung paling depan. Yang membuat dia kaget adalah kehadiran
mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak terdengar
olehnya sedikitpun?
Krosak…!
Bersambung ke.... Tikam Samurai (6)
Komentar
Posting Komentar