Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya
daun kering di bawah di sekitar batu di mana kini dia duduk. Meski amat
perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh telinga orang biasa, namun dengan
latihannya selama belasan purnama dia dapat menebak ada sekitar selusin kaki di
bawah batu sana. Ketika dia lebih memusatkan pendengarannya ke atas, dia tambah
kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan!
Manusiakah ?
Darahnya mengencang. Tangannya melemas.
“Siapakah yang ada di belakang?” Dia
bertanya tanpa menoleh.
Tatapannya lurus ke depan dengan
konsentrasi penuh. Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang ada
dibelakangnya, pastilah tak berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa
panas. Bulu tengkuknya makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin
menyambar! Dia tak segera mencabut samurainya. Namun dia berguling ke kanan.
Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang
pohon di dekat batu pipih ini. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian
dia berlatih meniru cara bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan
samurainya.
Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia
selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut. Namun sebelum
dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat.
Dia kembali mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke ka¬nan dan
melambung tegak. Dan kini makhluk yang menye¬rang itu tegak empat depa di
depannya.
“Ya Allah!!”
Dia terpekik dan surut dua langkah. Hampir
saja dia terperosok jatuh dari atas batu. Makhluk itu! Ya Tuhan, belum pernah
dia melihat makhluk sedahsyat ini. Dalam sinar senja yang masih terang-terang
tanah, dia lihat dua makhluk yang luar biasa bentuknya.
“Harimau jadi-jadian!!” dia berbisik sendiri.
Tanpa dapat dia kuasai, tangannya
gemetar. Ya, di hadapannya, kini berdiri dua harimau jadi-jadian. Kepalanya
mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip harimau. Namun dia tak berdiri di
keempat kakinya. Mahluk ini berdiri di atas dua kaki seperti manusia. Tangannya
yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian pula kakinya. Bulunya berbelang
seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku kaki dan kuku tangannya kelihatan
menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini kelihatan dahsyat di mata si Bungsu.
Dia tak dapat menahan gigilan tubuhnya.
Sewaktu kecil di kampung dahulu,
dia memang sering mendengar cerita tentang harimau jadi-jadian. Cindaku kata
orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa, cerita itu tak pemah lagi dia dengar.
Kalaupun ada, maka cerita itu hanya dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak.
Siapa menyangka, hari ini dia menyaksikan apa yang dianggap orang kampung
itu sebagai dongeng, ternyata benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar isapan
jempol. Senja ini dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia melirik ke
kanan. Jauh di bawah sana, dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya
ada orang yang mati dibunuh Cindaku. Di kampung lain juga pernah ada orang yang
di teror Cindaku. Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di bawah
sana?
Kalau dilihat jarak antara gunung dengan
kampung di bawah, nampaknya memang inilah Cindaku itu. Tapi dia tak tahu berapa
jumlah mereka. Dan dia segera ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi.
Dia segera menoleh. Dan kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia
melangkah ke depan tiga langkah. Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya.
Di bawah dia lihat tak kurang dari enam ekor harimau! Duduk di kaki
belakang dan menegakkan kaki depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu
pipih di mana dia berada. Dia yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor.
Sebab tadi dia dengar di sekitar batu itu langkah-langkah yang halus. Inilah
rupanya.
Dia kembali menoleh pada Cindaku itu.
Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak mengerti kenapa harimau-harimau itu
berada di bawah. Seperti menonton ke atas. Apakah harimau-harimau itu adalah
bawahan Cindaku ini? Hatinya benar-benar terguncang. Dia tak sempat berpikir
banyak. Cindaku yang paling besar menyerang dengan satu loncatan. Seharusnya dia
segera mempergunakan samurainya. Namun terlambat! Kehebatan peristiwa ini
membuat reflek yang telah dia latih jadi kacau. Dia hanya mampu menunduk. Dan
itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku Cindaku. Dia terpental. Di bawah sana
dia dengar geraman harimau. Nampaknya harimau-harimau itu menunggu dirinya
dilemparkan ke bawah.
Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih
kecil menyerang. Loncat tupai! Dia segera menggunakan ilmu loncat tupai itu
kembali. Berguling tiga kali ke kanan, kemudian tiga kali ke kiri. Dua terkeman
Cindaku itu berhasil dia elakkan. Kemudian meloncat berdiri! Luka di
punggungnya pedih sekali. Di punggungnya. Tanpa sengaja dia meraba luka itu.
Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di tentang luka yang ditimbulkan oleh
tebasan Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua belas purnama yang lalu. Persis
melintang miring dari belikat kanan ke rusuk kiri! Ingatannya kembali ke masa
lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai. Di saat kakaknya diperkosa dan
dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat samurai!
Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat.
”Jahanam kubunuh kau!!” desisnya dengan sepenuh rasa benci. Dan samurainya bekerja! Dua kali tebasan ke muka. Pada tebasan pertama, dada Cindaku yang sedang melayang ke arahnya kena dia tebas. Pada tebasan berbalik yang kedua, leher Cindaku itu hampir putus. Dan anak muda ini berputar ke belakang. Tubuh Cindaku itu turut tertegak setengah depa di belakangnya. Dan saat itu dia menirukan gerak yang dipergunakan ayahnya dahulu. Menikamkan samurai di tangannya ke belakang sambil menjatuhkan diri di lutut kanan!
Crep! Plasss!!
Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat.
”Jahanam kubunuh kau!!” desisnya dengan sepenuh rasa benci. Dan samurainya bekerja! Dua kali tebasan ke muka. Pada tebasan pertama, dada Cindaku yang sedang melayang ke arahnya kena dia tebas. Pada tebasan berbalik yang kedua, leher Cindaku itu hampir putus. Dan anak muda ini berputar ke belakang. Tubuh Cindaku itu turut tertegak setengah depa di belakangnya. Dan saat itu dia menirukan gerak yang dipergunakan ayahnya dahulu. Menikamkan samurai di tangannya ke belakang sambil menjatuhkan diri di lutut kanan!
Crep! Plasss!!
Samurai itu menembus dada kiri
jadi-jadian itu. Terdengar raungannya memecah senja. Merobek ketenangan hutan.
Suara ribut hewan gunung terdengar tatkala hewan-hewan itu berlarian dari semak
ke semak mencari perlindungan. Kera berlompatan dari pohon ke pohon. Raungan
itu amat dahsyat. Harimau-harimau yang berada di bawah pada terlompat mundur
saking kagetnya.
Si Bungsu menarik samurainya, dan snapp!!
Samurai itu kembali masuk ke sarungnya dengan amat cepat. Dia tegak
membelakangi tubuh Cindaku yang terkapar tak bernyawa itu. Menghadap pada
Cindaku besar yang tertegun kaget di ujung batu sana. Mereka saling
menatap. Wajah si Bungsu yang biasanya murung dan sinar matanya yang
kuyu, kini berobah. Wajahnya jadi keras dan penuh kebencian. Matanya bersinar
penuh amarah.
Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Harimau-harimau yang ada di bawah sana mengaum hampir bersamaan. Mengaum dan menganga menghadapkan moncong mereka ke bulan yang kelihatan seperti sabit di langit yang tinggi. Pertanda apa pula ini? Pikir si Bungsu. Dia ingin tahu untuk apa kehadiran harimau-harimau itu. Dengan tetap tak melepaskan pandangan matanya dari Cindaku besar di depannya, dia mundur tiga langkah.
Lalu dia tendang bangkai Cindaku mati itu ke bawah. Terdegar suara kaki menjauh dan auman panjang. Lalu suara berkrosak. Suara saling rebut. Cindaku besar yang masih hidup di depannya mendengus dan menggeram. Nyata sekali dia jadi murka. Lalu tiba-tiba dia menyerang dengan loncatan panjang ke arah si Bungsu. Si Bungsu kembali menyentak Samurai dan menghayunkan dalam empat kali tebasan. Namun dengan terkejut dia melihat Cindaku itu melambung dan kembali tegak di tempatnya semula!
Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Harimau-harimau yang ada di bawah sana mengaum hampir bersamaan. Mengaum dan menganga menghadapkan moncong mereka ke bulan yang kelihatan seperti sabit di langit yang tinggi. Pertanda apa pula ini? Pikir si Bungsu. Dia ingin tahu untuk apa kehadiran harimau-harimau itu. Dengan tetap tak melepaskan pandangan matanya dari Cindaku besar di depannya, dia mundur tiga langkah.
Lalu dia tendang bangkai Cindaku mati itu ke bawah. Terdegar suara kaki menjauh dan auman panjang. Lalu suara berkrosak. Suara saling rebut. Cindaku besar yang masih hidup di depannya mendengus dan menggeram. Nyata sekali dia jadi murka. Lalu tiba-tiba dia menyerang dengan loncatan panjang ke arah si Bungsu. Si Bungsu kembali menyentak Samurai dan menghayunkan dalam empat kali tebasan. Namun dengan terkejut dia melihat Cindaku itu melambung dan kembali tegak di tempatnya semula!
Luar biasa! Dalam terkamannya tadi dia
rupanya bisa melihat kilatan samurai yang demikian cepat. Tidak hanya mampu
melihat, tapi sekaligus juga mengelakkannya! Tak segorespun dia kena. Samurai
itu sudah berada kembali di dalam sarungnya. Kini samurai bersarung itu dia
pegang dengan tangan kiri. Mereka bertatapan. Tiba-tiba Cindaku itu
menyerang lagi. Tapi kali ini menyerang dengan bergulingan di bawah. Tubuhnya
bergulung seperti pohon yang digulingkan dari atas tebing.
Si Bungsu melompat ke kiri dan mencabut
samurainya. Cres, cres, cres! Dari kiri dia mengirimkan tiga sabetan cepat ke
tubuh Cindaku itu. Lalu samurai itu kembali masuk ke sarangnya. Namun kembali
dia lihat Cindaku itu tegak tiga depa di depannya. Tak kurang satu apapun. Luar
biasa. Dia yakin benar tadi, bahwa sabetannya mengenai tubuh Cindaku ini.
Apakah tubuh Cindaku besar ini tak mempan oleh senjata tajam?
Bulu tengkuknya merinding. Kalau hal itu
benar, maka itu berarti tamatlah riwayatnya di sini. Dia tak memiliki ilmu
batin seperti pesilat-pesilat lainnya. Dia hanya mempunyai kepandaian memainkan
samurai dan meloncat seperti tupai atau kera yang dia pelajari selama di gunung
ini. Bukan ilmu silat. Bukan Kumango seperti yang dimiliki ayahnya. Bukan pula
silat Lintau seperti yang dimiliki Datuk Maruhun, ayah Renobulan. Apakah di
sini ajalnya?
Tidak!. Dia tak mau mati sekarang.
Alangkah akan sia-sianya dia menahan segala derita selama belasan purnama kalau
hanya akan mati di sini. Dia teringat pada sumpah ayahnya sewaktu akan
meninggal. Bahwa ayahnya akan menuntut balas. Bukankah itu suatu isyarat, bahwa
dialah yang akan dipergunakan ayahnya untuk menuntut balas atas dendam
keluarganya itu? Tangan siapa lagi yang akan dipakai ayahnya untuk membalas
kekejaman Saburo dan ptajuritnya kalau tidak tangannya sendiri?
Tidak. Dia tak boleh mati sekarang. Kalau
dia mati sekarang, maka dendam ayahnya takkan pernah berbalas. Kematian
keluarganya dan kematian orang kampungnya takkan pernah ada yang membalaskan.
Kalau dia mati sekarang, maka sia-sialah segala usahanya selama ini. Tidak. Dia
tak mau mati sekarang. Apalagi kematian di mulut seekor Cindaku. Seekor harimau
jadi-jadian.
Tapi, sampai bila dia mampu bertahan?
Sementara punggungnya luka parah. Luka itu terasa amat mengganggu. Sangat
pedih. Kata orang, konon kuku dan gigi Cindaku mengandung bisa. Nah, kini
punggungnya telah terluka. Berapa lamakah dia bisa bertahan?
Dia lihat Cindaku di depannya merendah. Dia tegak dengan melebarkan kaki dan membungkukkan lipatan lutut. Kemudian meletakkan samurai itu melintang di depan dadanya. Dia menanti gerakan Cindaku itu berikutnya.
Dia lihat Cindaku di depannya merendah. Dia tegak dengan melebarkan kaki dan membungkukkan lipatan lutut. Kemudian meletakkan samurai itu melintang di depan dadanya. Dia menanti gerakan Cindaku itu berikutnya.
Jadi-jadian itu mulai melangkah
memutar ke kanan. Dia tetap dalam posisinya. Langkah Cindaku itu dia ikuti
dengan sudut mata. Cindaku itu kini berada di sebelah kirinya. Berarti berada
tentang ujung samurai. Dia masih tegak menanti. Wajah lurus ke depan dan sudut
mata menikam ke arah Cindaku itu. Cindaku itu bergerak ke belakangnya. Dia tak
memalingkan kepala. Tidak. Untuk memalingkan kepala dia harus memakai sekian
detik. Dan itu merugikannya. Dia lalu memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi
dan ”melihat” melalui pendengarannya yang amat tajam.
Langkah Cindaku itu amat ringan. Di atas
batu besar dimana kini mereka berada langkah mahluk itu hampir-hampir tak
terdengar. Namun dia sudah belasan purnama berlatih. Dia tak khawatir, dengan
memejamkan mata dia dapat mendengar dengan jelas langkah Cindaku itu. Langkah
terutama jadi jelas baginya karena gesekan halus kuku Cindaku yang panjang itu
dengan batu. Bagi orang biasa, gesekan itu pasti takkan terdengar. Namun bagi
si Bungsu, suara gesekan itu amat jelas terdengar. Cindaku itu berhenti tepat
di belakangnya. Sejajar dengan tulang punggungnya dalam jarak sedepa. Itu
berarti mahluk jadi-jadian itu bisa menjangkau punggungnya dengan tangannya
yang panjang.
Dia menanti, sementara suara dengus dan berebutan daging mentah di bawah sana sudah berhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas, ke arah mereka. Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas Cindaku itu memburu. Dia yakin kini Cindaku itu bersiap untuk meyerang. Nafasnya yang memburu itu sebagai tanda. Dan nafas memburu itu juga sebagai pertanda bahwa Cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga merasa gentar. Nafasnya juga memburu.
Dia menanti, sementara suara dengus dan berebutan daging mentah di bawah sana sudah berhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas, ke arah mereka. Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas Cindaku itu memburu. Dia yakin kini Cindaku itu bersiap untuk meyerang. Nafasnya yang memburu itu sebagai tanda. Dan nafas memburu itu juga sebagai pertanda bahwa Cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga merasa gentar. Nafasnya juga memburu.
Tiba-tiba dia rasakan angin bersuit. Itu
pertanda Cindaku itu tengah menyerang! Samurainya bergerak. Dia berputar sangat
cepat menirukan berputarnya macan kumbang. Kemudian samurainya berkelebat.
Cras! cras! cras!!
Tiga kali sabetan cepat dan kuat,
kemudian dia menikamkan samurai ke belakang. Snap! Dia duduk di lutut kanan dan
menekankan samurai itu ke belakang kuat-kuat. Namun jadi-jadian di belakangnya
masih bergerak. Dan tiba-tiba sebuah hantaman menerpa kepalanya! Dia
terpekik dan terlempar ke batu. Samurainya lepas! Kulit kepalanya di bahagian
belakang terkelupas selebar telapak tangan! Buat sesaat dia nanar.
Namun di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini dalam keadaan kritis. Loncat Tupai! Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan tiga kali ke kanan saat Cindaku itu menerkam. Seringan tupai dia bergulingan dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian berputar. Cindaku itu menerkam ke sana. Dia bersalto ke belakang! Tegak di atas kedua kaki dengan lipatan lutut di bengkokkan.
Namun di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini dalam keadaan kritis. Loncat Tupai! Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan tiga kali ke kanan saat Cindaku itu menerkam. Seringan tupai dia bergulingan dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian berputar. Cindaku itu menerkam ke sana. Dia bersalto ke belakang! Tegak di atas kedua kaki dengan lipatan lutut di bengkokkan.
Cindaku itu tegak pula empat depa di
depannya. Dia hoyong. Luka di punggung dan di belakang kepalanya mengucurkan
banyak darah. Berdenyut-denyut. Dia menatap Cindaku itu. Ternyata apa yang dia
khawatirkan benar adanya. Cindaku itu tidak mempan oleh senjata tajam. Tidak
mempan. Ilmu Cindaku kecil tadi rupanya belum mencapai tingkat yang sempurna.
Masih banyak kadar manusianya. Itulah sebabnya dia termakan oleh senjata tajam.
Tapi yang satu ini nampaknya sudah mencapai tingkatan yang tinggi. Tak lagi
dimakan besi.
Kini si Bungsu tidak lagi bersenjata
selain sarung samurai. Samurainya sendiri berada sedepa di depannya. Berarti
senjata itu berada di antara dia dengan Cindaku itu. Dia tak berani gegabah
memungut senjata yang terletak sedepa di depannya itu. Tidak, itu akan
memudahkan Cindaku itu menerkamnya. Dia makin lemah. Dan rasa takut yang luar
biasa menjalarinya. Dia takut mati. Tapi takut tak bisa membalaskan dendam
keluarganya.
Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk menyerang, Si Bungsu tetap tegak di tempatnya. Ketika Cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser tegaknya ke kanan. Jadi mereka bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa Cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri. Yaitu di bahagian rusuknya yang luka.
Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk menyerang, Si Bungsu tetap tegak di tempatnya. Ketika Cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser tegaknya ke kanan. Jadi mereka bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa Cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri. Yaitu di bahagian rusuknya yang luka.
Tapi dia sendiri juga punya maksud
menggeser tegaknya ke kanan. Dia ingin meletakkan samurai itu di bahagian
kirinya. Dua langkah, tiga langkah, empat!. Dan tiba-tiba Cindaku itu
menyerang. Loncat tupai! Gerakan itu lagi-lagi menyelamatkan dirinya. Tubuhnya
berguling ke kiri dengan ringan dua kali putaran, kali ketiga tangannya
menyentuh hulu samurai. Gerakan keempat sambil menggenggam samurai itu tubuhnya
melentik setinggi setengah depa dan hep! Dia tertegak di pinggir batu.
Geraman harimau terdengar di bawah!
Kini dia bisa bernafas lega. Samurai itu berada lagi di tangannya. Dia tahu, bahwa senjata ini takkan mempan pada makhluk tersebut. Namun tanpa senjata. Dia merasa dirinya seperti telanjang. Meskipun tak mempan, senjata ini memberinya semacam sugesti. Dia tegak dengan diam. Melintangkan samurai itu di depan dadanya. Memusatkan konsentrasi dan pendengaran. Jauh di bawah sana, dari kampung di pinggang gunung itu dia mendengar suara tabuh.
Kini dia bisa bernafas lega. Samurai itu berada lagi di tangannya. Dia tahu, bahwa senjata ini takkan mempan pada makhluk tersebut. Namun tanpa senjata. Dia merasa dirinya seperti telanjang. Meskipun tak mempan, senjata ini memberinya semacam sugesti. Dia tegak dengan diam. Melintangkan samurai itu di depan dadanya. Memusatkan konsentrasi dan pendengaran. Jauh di bawah sana, dari kampung di pinggang gunung itu dia mendengar suara tabuh.
Tabuh itu pastilah tabuh sembahyang Isa.
Suaranya sayup-sayup. Tapi itu jelas suara tabuh dari suara atau masjid.
Telinga yang amat tajam dapat mendengar suara tabuh itu. Suara
tabuh itu jelas terdengar olehnya tiap hari setiap dia memusatkan konsentrasi
di gunung Sago ini. Barangkali tabuh itu berasal dari masjid di kampung Manang
Kadok atau kampung Sikabu-kabu. Yang tak terdengar sampai kemari adalah suara
azan muazinnya. Mungkin karena suara manusia jauh lebih pelan daripada suara
tabuh.
Azan! Ya, dia segera ingat pada
azan. Bukankah ayahnya yang taat beragama itu pernah bercerita, bahwa banyak
ilmu-ilmu hitam yang bisa dipunahkan dengan suara azan? Azan di subuh hari,
azan di senja hari yaitu setiap subuh dan maghrib, selain bermaksud memanggil
orang sembahyang, juga punya makna mengusir segala roh jahat dan pengaruh ilmu
siluman yang coba mempengaruhi kehidupan manusia. Menurut ayahnya azan di subuh
hari bermakna juga mengusir pengaruh setan yang menyelusup di waktu tidur lewat
tengah malam. Azan di waktu Maghrib mempunyai makna mengusir roh-roh jahat
untuk tak terbawa tidur.
Itu menurut cerita ayahnya sewaktu dia
masih kecil. Apakah hal itu benar? Apakah azan mampu memunahkan ilmu kebal makhluk
siluman ini? Dia harus mencobanya. Harus! Mustahil ayahnya bercerita sewaktu
mereka kecil dulu hal-hal yang tak bermanfaat. Ayahnya bukan jenis orang yang
mau menakut-nakuti anaknya dengan cerita-cerita seperti itu. Kini dia
meletakkan sarung samurainya. Memegang samurai itu dengan tangan kanannya.
Meletakkan telapak tangan kiri di telinga kiri. Dia memusatkan konsentrasi.
Kemudian memejamkan mata. Keselamatannya kini sepenuhnya digantungkan pada
pendengarannya. Begitu matanya terpejam, dia membaca Bismillah. Kemudian mulai
melafaskan bait-bait azan.
”Allahuakbar – Allahuakbar”.
Suara bergema mengoyak kesunyian
belantara. Dia dengar Cindaku itu tersurut selangkah.
”Allahuakbar – Allahuakbar”.
”Allahuakbar – Allahuakbar”.
Cindaku itu melangkah ke kanan tiga
langkah. Kemudian selangkah lagi.
”Ashadualaaa-ila haillallaaah!”
Cindaku itu meyerang dengan sebuah
dengusan panjang. Sambil tetap melafaskan kalimah Ashadualaaa-ila
haillallaaah itu sekali lagi, samurainya bergerak secepat kilat. Dua kali
sabetan cepat. Dia yakin sabetan samurainya mengena.
Namun dia tetap memejamkan mata. Membaca
terus lafas azan itu.
“Ashaduanna Muhammadarasulullah…!”
Tiga langkah di belakangnya Cindaku itu
terdengar mendengus. Ketika dia mengulangi kalimah itu sekali lagi, Cindaku itu
kembali menyerang dengan sebuah lompatan dan terkaman yang tak
tanggung-tanggung. Dia berguling di lantai. Kemudian sambil mempergunakan gerak
tupai bergelut, samurainya menghantam ke atas. Sret! Sret! Sret! Tiga sabetan
berlainan arah. Kena!
Cindaku itu terhenti. Si Bungsu tetap
tegak sambil memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan membaca terus lafas
azan itu. Dia seperti mendapatkan tenaga baru ketika membaca azan tersebut. Dia
seperti mendapat sugesti. Ketika dia membaca kalimah ”Hayaalasholah” dia
mendengar benda jatuh. Dia membuka mata. Dan Cindaku itu tengah berlutut di
batu, mendekap dadanya. Dalam temeram cahaya dia lihat darah hitam kental
mengalir dari sela tangan Cindaku itu.
”Allahuakbar. Maha Besar Engkau ya
Allah…” dia berkata perlahan.
Tak terasa air mata merembes di pipinya.
Dia selamat setelah mengingat ajaran-ajaran yang pernah diberikan ayahnya
dahulu. Ya, dia berkali-kali tak mau tidur di rumah, karena kala dia tidur di
rumah, subuh-subuh buta sudah dibangunkan ayahnya. Disuruh azan. Dan dipaksa
sembahyang. Alangkah bencinya dia. Alangkah muaknya dia atas suruhan itu. Dia
ingin bangun tengah hari. Bahkan ingin bangun sore, sebab sepanjang malam dia
berjudi.
Sewaktu kecil dia memang mengerjakan suruhan itu. Tapi setelah agak dewasa, dia lebih senang tidur di rumah temannya. Kini, ternyata ajaran ayahnya itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia menangis. Benar-benar menangis. Si Bungsu yang dahulu ketika ayah, ibu dan kakaknya mati tak tahu bagaimana caranya menangis, malam ini menangis di tengah rimba di Gunung Sago. Dia menangis karena menyesal telah membangkang perintah ayahnya. Dia menangis karena rindu pada orang tua yang keras dan angkuh itu. Sikap ayahnya adalah gambaran dirinya sendiri.
Sewaktu kecil dia memang mengerjakan suruhan itu. Tapi setelah agak dewasa, dia lebih senang tidur di rumah temannya. Kini, ternyata ajaran ayahnya itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia menangis. Benar-benar menangis. Si Bungsu yang dahulu ketika ayah, ibu dan kakaknya mati tak tahu bagaimana caranya menangis, malam ini menangis di tengah rimba di Gunung Sago. Dia menangis karena menyesal telah membangkang perintah ayahnya. Dia menangis karena rindu pada orang tua yang keras dan angkuh itu. Sikap ayahnya adalah gambaran dirinya sendiri.
”Terima kasih Allah. Engkau selamatkan
aku dengan ayat-ayatMu. Terima kasih ayah. Engkau selamatkan aku dengan
ajaranmu yang pernah aku ingkari. Terima kasih. Aku yakin Tuhan akan
menempatkan engkau di tempat yang bahagia….” dia berbisik di antara air matanya
yang mengalir turun.
Dan tiga depa di depannya, Cindaku itu
jatuh terguling. Ada keluhan panjang keluar dari mulutnya. Ada lenguhan sakit
dan penderitaan yang amat sangat terdengar. Tubuhnya terlonjak-lonjak seperti
ayam tak sempurna dipotong. Ajal seperti mempermainkannya. Menyakiti seluruh
pembuluh darah dan setiap bulu di tubuhnya. Mungkin sebagai pembalasan atas
segala laknat yang telah dia sebar semasa hidupnya.
Si Bungsu jadi hiba melihat penderitaan
makhluk itu. Dia melangkah ke dekatnya. Sinar mata jadi-jadian yang tadi merah
menyala, kini menatapnya minta dikasihani. Sinar mata itu seperti minta
pertolongan. Lenguhnya menghiba seperti meminta agar nyawanya cepat diambil.
”Maafkan saya…” si Bungsu berkata.
Dan samurai di tangannya berkelebat.
Cres! Cres! Dua kali sabetan cepat dan kuat. Membuat dada kiri jadi-jadian itu
robek besar. Membuat lehernya hampir putus. Penderitaan makhluk itu benar-benar
berakhir. Tiba-tiba rimba itu seperti dikoyak lagi oleh raungan harimau yang
ada di bawah. Seperti raung kemenangan. Bulu tengkuk si Bungsu kembali
merinding. Dia ngeri kalau-kalau harimau itu berlompatan naik. Itu bisa
menyebabkan nyawanya melayang.
Dia melemparkan mayat jadi-jadian itu ke
bawah. Terdengar suara berkerosak. Dan dalam waktu sekejap, semua harimau yang
ada di bawah melompat dan lenyap ke palunan rimba. Masing-masing membawa
serpihan bangkai makhluk jadi-jadian itu. Si Bungsu menghapus air matanya.
Menghapus keringat dingin yang merengas di keningnya. Ternyata ayahnya berkata
benar tentang ada ayat-ayat Al Qur’an dan lafas Azan yang sanggup memunahkan
ilmu hitam. Dia membuktikannya malam ini.
Kini tubuhnya terasa lemah. Dia tak tahu
sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka di punggung dan belakang
kepalanya. Dengan mengumpulkan segala tenaga, dia berjalan ke sudut kanan batu
pipih dimana dia mendirikan pondoknya. Batu pipih itu sebagai halaman pondok
darurat tersebut. Di pondoknya dia menyimpan ramuan obat-obatan. Obat yang
dibuat dari ramuan daun dan kulit kayu. Dengan ramuan itu dahulu luka menganga
bekas bacokan samurai Kapten Saburo Matsuyama dia obat.
Dengan susah payah dia masuk.
Menggesekkan dua batu api dengan sisa tenaganya untuk memasang damar yang
dibuat dari getah kayu. Dengan sedikit sisa tenaga, sebisanya dia pergunakan
untuk menempelkan ramuan obat kering itu ke lukanya. Kemudian dia berbaring.
Sakit, lelah dan tertidur. Tiga hari dia diserang demam hebat. Tubuhnya panas
dingin. Dia harus berjuang melawan maut. Untunglah daging macan tutul yang dia
buat dendeng sangat membantu kesembuhannya. Daging macan itu berkhasiat melawan
bisa dan racun. Daging itu juga membuat daya tahan tubuh melebihi manusia
biasa. Dia mengunyah dendeng harimau itu sambil terbaring diam.
Hari keempat dia mulai berangsur sembuh.
Namun masih belum mampu untuk berdiri. Tapi di pagi keempat dia bisa lagi
menikmati kicau burung. Menikmati pekik siamang dan cericit burung punai dan
balam, yang barangkali puluhan banyaknya di atas pohon rimbun dekat pondoknya.
Burung-burung itu menyanyi di sana. Berlompatan dari cabang ke cabang. Memakan
buahnya yang kecil-kecil. Kini dia bisa tersenyum mendengar dendang
sahabat-sahabatnya itu.
Ya, selama belasan purnama di gunung ini,
sahabatnya adalah hewan-hewan yang ada. Burung, tupai, beruk, siamang, kijang
bahkan terkadang harimau dan ular. Sementara di kampungnya dia tak punya
sahabat seorangpun. Kehadirannya pertama kali memang mengejutkan dan dimusuhi
oleh penghuni-penghuni gunung tersebut. Mereka seperti sangat keberatan atas
kehadiran pihak lain di tempat mereka yang selalu aman itu.
Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, si Bungsu memilih diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya. Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Di bahagian itu ada air mengalir dari batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya jernih, sejuk dan segar.
Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, si Bungsu memilih diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya. Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Di bahagian itu ada air mengalir dari batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya jernih, sejuk dan segar.
Di sudut selatan itu ada kolam kecil yang
terbentuk karena tikaman air terjun, mungkin sudah ratusan tahun. Lebar kolam
itu tak lebih dari tiga depa persegi, dengan dalam sedepa. Di dalam tebat batu
alam itu hidup ikan kecil-kecil. Tak lebih dari sebesar telapak tangan.
Ikan-ikan yang alangkah indah warnanya. Ada yang hijau bercampur merah. Seperti
bendera. Ada yang hitam dengan biru dan merah. Bergaris-garis seperti ragi
kain. Ketika pertama kali dia mandi di dalam tebat itu, ikan itu berlarian
ketakutan. Mungkin menyangka dia sejenis makhluk gergasi yang akan
menelan mereka.
Namun dari hari terbilang purnama, akhirnya
ikan-ikan itu jadi sahabatnya. Jika dia mandi, ikan-ikan itu selalu bersamaan
berenang dan membenturkan kepala mereka ke perut si Bungsu. Si Bungsu
terpekik-pekik kegelian. Ikan-ikan itu mengulangi lagi tingkah mereka.
Sebaliknya, lama-lama si Bungsu berhasil dengan mudah menangkap ikan tersebut.
Terkadang dia berhasil menangkap empat ekor. Kecepatan tangannya terlatih
berkat biasa dan diulang berkali-kali hari demi hari.
”Ku gulai kalian. Ku makan kalian dengan
tulang-tulang kalian,” dia berseru sambil memegang ikan-ikan itu.
Ikan-ikan tersebut menggelepar-gelepar
ingin melepaskan diri. Nampak seperti ketakutan. Dengan tertawa si Bungsu
melepaskan ikan-ikan itu kembali. Dan mereka kembali berenang dan membenturkan
diri ke perut si Bungsu. Terkadang menggigit daging perutnya. Membuat si Bungsu
kembali terpekik-pekik. Demikian persahabatan aneh itu terjalin. Begitu juga
dengan burung-burung. Tupai dan musang.
Ah, semuanya sangat indah. Seindah bila
dia melihat ke kampung-kampung di bawah sana. Kalau siang dia lihat asap
mengepul. Mungkin dari ladang, dan mungkin dari dapur di rumah. Dari batu pipih
ini, dia dapat melihat dengan jelas kampung-kampung di kaki gunung Sago itu.
Dia dapat melihat rumah atau kerlip lampu di malam hari dari Kampung Sikabu-kabu,
Situjuh Ladanglaweh, Tungka, Manangkadok, Padangmangatas, Tabing,
Sungaikumayang. Tanjungharo, Halaban atau si Tujuhbatur.
Dari atas sini semua terlihat indah. Asap
yang membawa harumnya jagung dari pembakaran di ladang-ladang. Dia sepertinya
mencium bau harumnya jagung panggang. Atau nikmatnya rasa gelamai. Ah, semua
rasanya menghimbaunya untuk segera turun. Namun dia harus bertahan beberapa
waktu lagi di atas ini. Memang tak ada yang melarangnya untuk turun. Dia bisa
pergi setiap saat bila dia mau. Namun yang menahannya adalah hatinya sendiri.
Dia tak akan turun sebelum dia merasa
yakin akan mampu menuntut balas dendam keluarganya. Dia takkan turun sebelum
dia yakin akan bisa menyaingi kemahiran Saburo Matsuyama mempergunaskan samurai
dalam perkelahian. Dia harus mampu!. Sebab ayahnya telah bersumpah untuk
membalas dendam. Ayahnya telah bersumpah untuk membunuh Saburo dengan samurai.
Sumpah ayahnya itu dia dengar nyata.
Bukankah itu suatu isyarat padanya, agar melaksanakan perintah ayah yang tak
pernah dia patuhi suruhannya selama ayahnya hidup? Dia harus melaksanakan niat
ayahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menebus segala dosa yang pernah
dia buat pada si ayah. Semasa dia hidup dia tak pernah menyenangkan hati
ayahnya. Kini setelah orang tua itu mati, dia ingin melaksanakan niat ayahnya.
Dia ingin berbuat baik padanya.
Dari pondoknya tak jauh di depannya dia
lihat dua ekor tupai bergelut bekejaran. Saling terkam, bergulingan. Lepas,
terkam lagi, bergulingan lagi. Lambat-lambat dia melangkah keluar. Kedua tupai
itu masih berlarian. Masih bergelut. Masih bergulingan. Meloncat. Melambung dan
menerkam. Dia memperhatikan kembali dengan seksama. Gerakan itu seperti sengaja
diperlihatkan kepadanya berulang-ulang. Dan gerakan itu telah dia tiru berkali-kali,
sampai mahir. Ya, gerakan yang telah menyelamatkan nyawanya dalam perkelahian
dengan Cindaku itu dia tiru dari gerakan dua tupai itu.
Suatu hari dia melihat keduanya berkelahi
di cabang pohon. Berkelahi dengan sengit. Saling loncat, saling terkam. Bergulung
dan melambung di cabang pohon. Namun tak seekorpun yang jatuh. Mereka nampaknya
memiliki ilmu keseimbangan yang sempurna. Kemudian dia menirukan gerakan itu.
Mula-mula sudah tentu tak berkelincitan. Tubuhnya berkelukuran. Namun
berbulan-bulan setelah itu dia jadi bisa. Dan anehnya, tanpa dia sangka kedua
tupai itu ternyata memperhatikan setiap tingkah lakunya. Kemudian kedua tupai
itu sering bergelut di batu layah itu. Seperti memberikan petunjuk dan
pelajaran baru padanya. Dan tentu saja dia mengikutinya. Dan tupai-tupai itu
kemudian menjadi ”sahabat dan guru”nya.
”Terima kasih, saya akan ingat
selalu atas pelajaran yang kalian berikan…” ujarnya suatu hari.
Kedua tupai itu menjilat kaki depan mereka. Kemudian meloncat pergi. Dia melambai meskipun tupai itu tak melihat lagi padanya. Dia menatap pada burung-burung yang bernyanyi di pohon. Menatap pada ikan-ikan kecil di tebat alam di atas batu itu. Menatap dan mencium dengan segenap rasa terima kasih bau harumnya hutan belantara itu. Ini adalah hari-hari terakhir dia berada di gunung Sago itu.
Kedua tupai itu menjilat kaki depan mereka. Kemudian meloncat pergi. Dia melambai meskipun tupai itu tak melihat lagi padanya. Dia menatap pada burung-burung yang bernyanyi di pohon. Menatap pada ikan-ikan kecil di tebat alam di atas batu itu. Menatap dan mencium dengan segenap rasa terima kasih bau harumnya hutan belantara itu. Ini adalah hari-hari terakhir dia berada di gunung Sago itu.
Dia tak pernah punya guru secara
langsung. Gurunya adalah alam terkembang. Dia lihat Jepang berkelahi
mempergunakan samurai. Dia tiru gerakan itu. Dia lihat ayahnya berkelahi
menikamkan samurai. Dia tiru cara mrnikaman samurai itu. Dia lihat tupai
berkelahi dan bergulingan. Dia tiru gerakan itu. Tuhan menjadikan alam ini
untuk dipelajari. Dan dia belajar banyak sekali padanya. Banyak hikmah
tersembunyi di balik alam semesta ini. Hanya manusia yang tak mengetahui
isyarat-isyarat yang dijadikan Allah Yang Maha Pencipta itu.
Bersambung ke.... Tikam Samurai (7)
Komentar
Posting Komentar