Kampung itu telah ramai sekali. Kehidupan
sudah berlangsung seperti biasa. Hari itu hari
Jumat, panasnya bukan main. Lelaki boleh dikatakan semuanya berkumpul di masjid. Mereka sebahagian besar hampir tertidur tatkala khatib membaca khotbah. Khotbah yang dibacakan berasal dari penguasa Jepang. Para khatib tidak lagi bebas berkhotbah seperti biasa. Mula-mula cara berkhotbah begitu terasa menyakitkan hati umat islam. Tidak hanya di kampung itu, tapi juga di seluruh Minangkabau.
Jumat, panasnya bukan main. Lelaki boleh dikatakan semuanya berkumpul di masjid. Mereka sebahagian besar hampir tertidur tatkala khatib membaca khotbah. Khotbah yang dibacakan berasal dari penguasa Jepang. Para khatib tidak lagi bebas berkhotbah seperti biasa. Mula-mula cara berkhotbah begitu terasa menyakitkan hati umat islam. Tidak hanya di kampung itu, tapi juga di seluruh Minangkabau.
Namun lama-lama hal itu menjadi biasa.
Kehendak penguasa memang harus ditaati. Masih
untung yang mereka wajibkan hanya membaca khotbah yang sudah ditentukan. Lagipula khotbah itu rasanya tak ada yang melanggar ajaran agama. Selain berisi ayat-ayat Al Quran dan hadis seperti biasa, menyeru berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, kini ditambah dengan menyeru untuk mematuhi perintah yang datang dariJepang sebagai saudara tua.
Mematuhi perintahJepang berarti membantu mengamankan kampung halaman- juga berarti membangun negeri. Nah, apa beratnya membaca khotbah seperti itu bukan?jemaah sebenarnya ingin cepat khotbah itu berakhir. Namun tak seorangpun yang berani meninggaikan masjid. Sebab mereka tahu, kalau mereka pergi berarti tak suka pada khotbah. Dan tak suka pada khotbah di masjid berarti tak menyukai seruanJepang si saudara tua. Nah, ini bisa mengundang kesusahan.
untung yang mereka wajibkan hanya membaca khotbah yang sudah ditentukan. Lagipula khotbah itu rasanya tak ada yang melanggar ajaran agama. Selain berisi ayat-ayat Al Quran dan hadis seperti biasa, menyeru berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, kini ditambah dengan menyeru untuk mematuhi perintah yang datang dariJepang sebagai saudara tua.
Mematuhi perintahJepang berarti membantu mengamankan kampung halaman- juga berarti membangun negeri. Nah, apa beratnya membaca khotbah seperti itu bukan?jemaah sebenarnya ingin cepat khotbah itu berakhir. Namun tak seorangpun yang berani meninggaikan masjid. Sebab mereka tahu, kalau mereka pergi berarti tak suka pada khotbah. Dan tak suka pada khotbah di masjid berarti tak menyukai seruanJepang si saudara tua. Nah, ini bisa mengundang kesusahan.
Daripada susah lebih baik di masjid.
Meskipun ngantuk.
Akhirnya sembahyang Jumat yang dua rakaat
itupun selesai. orang-orang bersalaman untuk pulang. Seorang lelaki seporah
baya yang duduk di saf paling belakang disalami oleh orang yang duduk di
sebelahnya. Dia menerima salam itu dengan senyum. Namun tatkala dia melihat
pada orang yang menyalaminya itu, senyumnya lenyap tiba-tiba. Tangannya yang
tengah bersalaman itu dia tarik cepat-cepat. Dia seperti orang yang terpandang
pada setan di siang hari. Lalu tiba-tiba dia bangkit. Kemudian bergegas ke
pintu. Dua orang lelaki yang akan keluar tertabrak olehnya.
”Hei, bergegas kelihatannya. Akan kemana
Datuk?” orang yang ditabrak dipintu mesjid itu
bertanya.
Lelaki seporah baya yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu mula-mula akan terus keluar.
Namun dia berbalik dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya. Mereka surut kembali ke tengah masjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu. Sudah tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Dan beberapa orang, meniru perbuatannya pula. Berbalik ke tengah masjid dan melihat pada orang yang masih duduk menunduk itu. Kemudian juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat.
Dalam waktu yang singkat, hampir semua lelaki di kampung itu, yang datang sembahyang
Jumat ke masjid, mengetahui bahwa si bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih hidup, Dan kini dia kembali ke kampung ini. Ada perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir seluruh lelaki kampung atas kehadiran si Bungsu. Anak muda itu masih duduk di tengah masjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu tadi orang memperhatikannya. Dia tahu orang berbisik membencinya. Dan itulah kini yang dia renungkan. Dia menyangka dengan masuknya rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama. Bukankah setiap kaum muslim itu bersaudara? Dan bukankah masjid ini adalah lambang dari persaudaraan orang Islam? Mengapa
kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah suci ini? Atau di rumah Allah inipun manusia sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Saling membenci, saling dengki, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit? Atau barangkali dia tak dianggap sebagai seorang Muslim?
bertanya.
Lelaki seporah baya yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu mula-mula akan terus keluar.
Namun dia berbalik dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya. Mereka surut kembali ke tengah masjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu. Sudah tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Dan beberapa orang, meniru perbuatannya pula. Berbalik ke tengah masjid dan melihat pada orang yang masih duduk menunduk itu. Kemudian juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat.
Dalam waktu yang singkat, hampir semua lelaki di kampung itu, yang datang sembahyang
Jumat ke masjid, mengetahui bahwa si bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih hidup, Dan kini dia kembali ke kampung ini. Ada perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir seluruh lelaki kampung atas kehadiran si Bungsu. Anak muda itu masih duduk di tengah masjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu tadi orang memperhatikannya. Dia tahu orang berbisik membencinya. Dan itulah kini yang dia renungkan. Dia menyangka dengan masuknya rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama. Bukankah setiap kaum muslim itu bersaudara? Dan bukankah masjid ini adalah lambang dari persaudaraan orang Islam? Mengapa
kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah suci ini? Atau di rumah Allah inipun manusia sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Saling membenci, saling dengki, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit? Atau barangkali dia tak dianggap sebagai seorang Muslim?
”Engkau itu Bungsu?”
Tiba-tiba suara lembut menyapa.
Menyadarkan dirinya dari lamunan- Dia mengangkat kepala. Dan matanya
tertatappada imam yang barusan menyapa. Imam itu masih duduk di depan, di dekat
mihrab.
”Benar. Saya inilah pak Haji…” dia
berkata sambil kembali menunduk.
”Sudah lama kau tiba di kampung ini?”
Aneh. Suara imam itu tetap lembut. Tak
ada nada permusuhan sedikitpun.
”Saya tiba malam tadi pak….” katanya
masih tetap menunduk.
„Angkat kepalamu Bungsu. ini rumah Allah.
Di sini setiap manusia sama nilainya. Mereka hanya berbeda amalnya di sisi
Allah.” Imam itu seperti bisa membaca yang tersirat di hatinya. Dia mengangkat
kepala. Menatap imam itu dengan heran.
”Disenangi. Dibenci. Dipuja. Disanjung. Dilupakan. Dicaci maki, atau tak diacuhkan. Itulah yang dinamakan kehidupan Bungsu. Manusia harus berjuang di antara kemungkinan-kemungkinan itu. orang takkan mulia karena pujian. Sebaliknya orang juga takkan mati karena caci maki.”
”Disenangi. Dibenci. Dipuja. Disanjung. Dilupakan. Dicaci maki, atau tak diacuhkan. Itulah yang dinamakan kehidupan Bungsu. Manusia harus berjuang di antara kemungkinan-kemungkinan itu. orang takkan mulia karena pujian. Sebaliknya orang juga takkan mati karena caci maki.”
Si bungsu termenung. Dalam masjid itu tak
ada orang lain. Hanya dia dan imam itu saja.
”Dimana engkau malam tadi?” Imam itu
bertanya lagi.
”Di surau lama di hilir kampung ini pak
Haji….”
”Hmm. Masih senang main koa atau dadu?“
Dia menggeleng, kepalanya kembali
menunduk.
”Kenapa tak terus ke rumahmu?”
Kini dia mengangkat kepala. Menatap pada
haji itu.
”Saya sudah sampai di sana pak Haji. Tapi
saya lihat ada orang yang menunggu. Saya tak
berani membangunkan mereka. Saya tak tahu siapa yang telah menghuni…”
”Yang menghuni adalah Sutan Lembang. Menantu mamakmu Datuk Sati. Semua orang di
kampung ini menyangka engkau telah mati.Jadi seluruh pusaka keluargamu menurut adat jatuh pada kakak lelaki ibumu. Dia punya rumah banyak. Karena itu rumah ibumu disuruh tunggunya pada anak perempuannya. Isteri Sultan Lembang.”
berani membangunkan mereka. Saya tak tahu siapa yang telah menghuni…”
”Yang menghuni adalah Sutan Lembang. Menantu mamakmu Datuk Sati. Semua orang di
kampung ini menyangka engkau telah mati.Jadi seluruh pusaka keluargamu menurut adat jatuh pada kakak lelaki ibumu. Dia punya rumah banyak. Karena itu rumah ibumu disuruh tunggunya pada anak perempuannya. Isteri Sultan Lembang.”
”Ada yang ingin saya tanyakan pada pak
Imam…”
”Tentang kuburan ayah, ibu dan kakakmu
yang di tengah laman rumah itu?”
Si bungsu kaget. Alangkah tajamnya firasat Imam ini. Dia memang akan menanyakan kuburan itu. Malam tadi dalam cahaya rembulan, kuburan itu tak dia lihat lagi di tengah halaman itu. Padahal dulu di sanalah dia menguburkan ayah, ibu dan kakaknya. Benar. Saya ingin tahu dimana kini kuburan mereka akhirnya dia berkata juga.
Si bungsu kaget. Alangkah tajamnya firasat Imam ini. Dia memang akan menanyakan kuburan itu. Malam tadi dalam cahaya rembulan, kuburan itu tak dia lihat lagi di tengah halaman itu. Padahal dulu di sanalah dia menguburkan ayah, ibu dan kakaknya. Benar. Saya ingin tahu dimana kini kuburan mereka akhirnya dia berkata juga.
”Dahulu mereka kau kuburkan di tengah
halaman bukan? Dan kakakmu dekat jenjang. Benar begitu?.”
Kembali dia terkejut mendengar ketepatan
terkaan Haji ini. ”Benar pak Haji…”
”Dan seorang anak yang kau kubur dekat
pohon gajus di sebelah sekolah. Dua orang
perempuan di bawah batang manggis. Tiga orang lelaki dekat kandang kerbau. Begitu bukan Bungsu?”
perempuan di bawah batang manggis. Tiga orang lelaki dekat kandang kerbau. Begitu bukan Bungsu?”
”Apakah pak Haji ada waktu saya menguburkan
mereka?”
Si bungsu bertanya di antara rasa kaget
dan herannya. Haji itu menarik nafas panjang. Kemudian berkata perlahan :
”Allah Maha Besar. Hari ini Allah
membuktikan apa yang kuduga selama ini. Terima kasih
Bungsu. Engkau telah menyelenggarakan mayat-mayat itu dengan baik. Salah satu lelaki yang kau kubur itu adalah adikku. Dan anak itu adalah ponakanku. Terima kasih. Saya sudah menduga sejak semula. Bahwa kaulah yang menguburkan mereka. Sebab saat itu semua kami sudah melarikan diri. Kami lihat kau kena hantam samurai. Ketika kami kembali sebulan kemudian,kuburan itu kami gali kembali. Kami pindahkan ke pekuburan kaum. Ternyata mayatmu tak kamijumpai. Semua orang menyangka mayatmu diseret binatang ke kaki gunung dan memamahnya di sana. Namun aku menduga, engkau pasti selamat. Dan engkaulah yang menguburkan mereka. Aku tak tahu bagaimana caramu menguburkan mayat sebanyak itu dalam keadaan luka. Dan aku juga tak tahu berapa lama waktu kau perlukan untuk mengubur mereka. Namun aku yakin, pekerjaan itu pastilah pekerjaan yang tak mudah bagimu, mengingat lukamu yang parah itu. Sekali lagi terima kasih nak. Atas bantuanmu mengubur mayat ponakanku, mayat adikku, dan mayat seluruh penduduk yang terbunuh. Kau selenggarakan mayat mereka, meskipun semasa hidupnya mereka selalu membencimu. Tuhan akan membalas budimu nak…”
Bungsu. Engkau telah menyelenggarakan mayat-mayat itu dengan baik. Salah satu lelaki yang kau kubur itu adalah adikku. Dan anak itu adalah ponakanku. Terima kasih. Saya sudah menduga sejak semula. Bahwa kaulah yang menguburkan mereka. Sebab saat itu semua kami sudah melarikan diri. Kami lihat kau kena hantam samurai. Ketika kami kembali sebulan kemudian,kuburan itu kami gali kembali. Kami pindahkan ke pekuburan kaum. Ternyata mayatmu tak kamijumpai. Semua orang menyangka mayatmu diseret binatang ke kaki gunung dan memamahnya di sana. Namun aku menduga, engkau pasti selamat. Dan engkaulah yang menguburkan mereka. Aku tak tahu bagaimana caramu menguburkan mayat sebanyak itu dalam keadaan luka. Dan aku juga tak tahu berapa lama waktu kau perlukan untuk mengubur mereka. Namun aku yakin, pekerjaan itu pastilah pekerjaan yang tak mudah bagimu, mengingat lukamu yang parah itu. Sekali lagi terima kasih nak. Atas bantuanmu mengubur mayat ponakanku, mayat adikku, dan mayat seluruh penduduk yang terbunuh. Kau selenggarakan mayat mereka, meskipun semasa hidupnya mereka selalu membencimu. Tuhan akan membalas budimu nak…”
Air mata imam itu merembes dipipinya.
Betapa tidak. dia yakin anak muda inilah yang telah menolong mayat-mayat itu.
Namun alangkah malangnya dia. Dia tak mampu menjelaskan pada orang kampung
tentang keyakinannya itu. Dia takut orang kampung akan membencinya. Dia jadi malu
pada kelemahan dirinya itu. Seorang imam yang tak berani mengatakan yang benar
hanya karena dia takut dilucilkan orang kampung. Padahal dia tahu benar ada
ayat yang berbunyi Katakanlah yang benar, meskipun sang at pahit. Dia menangis
menyesali kelemahannya .
”Jadi kuburan ibu, ayah dan kakak saya
sudah dipindahkan ke makam kaum di hilir sana pak Haji?”
”Ya, mereka sudah dipindahkan ke sana
nak….”
”Terima kasih pak….” dia lalu bangkit.
”Akan kemana kau Bungsu?”
”Saya akan ke kuburan itu pak…. Setelah
itu? Belum saya pikirkan…”
”Kalau engkau masih lama di kampung ini.
Singgahlah ke rumah saya. Masih di tempat yang
lama. Dekat pohon kuini besar yang sering kau lempari buahnya dahulu. Singgahlah….”
lama. Dekat pohon kuini besar yang sering kau lempari buahnya dahulu. Singgahlah….”
”Terima kasih pak. Insyaallah. Saya
permisi. Assalamualaikum….”
”Waalaikum salam….”
Dia turun dari masjid. Imam itu menatap
punggungnya. Aneh kalau lelaki yang turun dari
mesjid tadi merasa suatu yang tak sedap dan suatu ketegangan yang mencengkam mereka atas kehadiran anak muda ini, pak Haji ini justru sebaliknya. Ketika menatap punggung anak muda itu. menatap bayang-bayangnya melangkah keluar, ada semacam perasaan bangga dan aman menjalari hati tuanya.
mesjid tadi merasa suatu yang tak sedap dan suatu ketegangan yang mencengkam mereka atas kehadiran anak muda ini, pak Haji ini justru sebaliknya. Ketika menatap punggung anak muda itu. menatap bayang-bayangnya melangkah keluar, ada semacam perasaan bangga dan aman menjalari hati tuanya.
Ya, si Bungsu telah kembali setelah
dianggap mati sejak peristiwa berdarah yang
memusnahkan keluarganya belasan purnama yang lalu. Orang kampungnya tak melihat satu perubahanpun pada diri anak muda itu. Kesan mereka terhadapnya tetap sama seperti dahulu.
Seorang penjudi dengan muka murung dan mata sayu seperti orang yang tak punya semangat. Dan lebih daripada itu, mereka tetap menganggapnya sebagai seorang laknat yang telah membuka rahasia tentang penyusunan kegiatan di kampung ini dalam melawan Jepang. Itulah sebabnya dia tetap tak disukai kembali ke kampungnya. Perasaan tak suka itu segera saja diperlihatkan di hari pertama dia berada di kampung kelahirannya itu. Saat tengah berjalan menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar.
memusnahkan keluarganya belasan purnama yang lalu. Orang kampungnya tak melihat satu perubahanpun pada diri anak muda itu. Kesan mereka terhadapnya tetap sama seperti dahulu.
Seorang penjudi dengan muka murung dan mata sayu seperti orang yang tak punya semangat. Dan lebih daripada itu, mereka tetap menganggapnya sebagai seorang laknat yang telah membuka rahasia tentang penyusunan kegiatan di kampung ini dalam melawan Jepang. Itulah sebabnya dia tetap tak disukai kembali ke kampungnya. Perasaan tak suka itu segera saja diperlihatkan di hari pertama dia berada di kampung kelahirannya itu. Saat tengah berjalan menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar.
Dengan wajah yang tetap murung dan sinar
mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu satu persatu. Dia segera mengenali mereka.
Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua di antaranya adalah murid ayahnya, yang lain
murid Datuk Maruhun.
”Assalamualaikum……..” sapanya perlahan
setelah dari pihak yang mencegat beberapa saat
tetap tak bersuara. Salah seorang itu
terbatuk-batuk kecil. orang itu dia kenal sebagai Malano, murid ayahnya.
”Apa perlumu kemari Bungsu….” Malano
bertanya.
Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu.
Ini adalah kampung halamannya. Tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Kini dia
pulang ke kampungnya untuk melihat pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu
kedatangannya, masih ada orang yang bertanya, untuk apa dia kembali. Namun
meski pahit sekali pertanyaan itu, dengan kepala masih menunduk dia tetap
menjawab dengan suara yang rendah.
”Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan
kakak …. ”
”Telah kau lihat kuburan mereka bukan?”
Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat
orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu adalah Sutan Permato. Murid silat
Datuk Maruhun.
”Ya. Saya datang dari kuburan.”
”Nah, kalau sudah kau lihat, kini
tinggalkanlah kampung ini….” suara Malano kembali terdengar. Dia mengangkat
kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman sekaligus. Apakah dia
tak salah dengar? Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki itu mengelilinginya.
Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari balik kain-kain pintu, dari
rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka, perempuan-perempuan dan
anak-anak mengintip kejadian itu.
”Kenapa saya mesti harus pergi dari
kampung ini?” dia bertanya.
”Kenapa…? cis.. karena ini..?”
Dan terjadilah peristiwa itu. Dulu dia
tak ada daya sama sekali tatkala dikeroyok oleh si Baribeh dan ketiga temannya
selesai berjudi di surau lapuk di hilir kampung itu. Kini juga dia seperti
takada daya tatkala keenam lelaki yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan
itu menghantamkan kaki dan tangan ke tubuhnya. Dia terjajar dari satu kaki ke
kaki yang lain. Dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan akhirnya dia jatuh
tersungkur. Tertelungkup dengan mulut dan hidung berdarah.
”Kalau tak memandang waang anak Datuk
Berbangsa, sudah kami cincang badan laknat waang itu. Pengkhianat jahanam.
Penjudi laknat. Kalau sampai petang nanti waang masih ada di kampung ini,
jangan salahkan kami kalau nyawa waang kami akhiri”
Itu adalah suara Malano. Dia hanya
mendengar suara itu sayup-sayup, Kemudian keenam lelaki itu pergi. Anak itu
ternyata tetap seperti dahulu. Tak mengerti silat selangkahpun. Lelaki yang tak
lengkap sebagai lelaki. Namun dalam telungkupnya yang pasrah itu, si Bungsu
bermohon pada Tuhan, agar hatinya dikuatkan untuk tidak menggunakan samurai
yang dia bawa bukan untuk mencelakai orang kampungnya.
Dia pasrah menerima perlakuan itu. Sebab
dia tahu mereka melakukan itu adalah karena cinta mereka pada kampung jua.
Telinganya yang amat tajam yang terlatih mendengar suara kaki lelaki itu
menjauh. Bahkan dalam telungkupnya dia dapat mengetahui, yang dua orang
berjalan ke arah Utara. Yang tiga orang ke Selatan. Sementara yang satu lagi
naik ke rumah tak jauh dari tempat dia terbaring. Telinganya mendengar langkah
kaki mereka. Namun badannya memang letai. Makan tangan dan kaki keenam lelaki
itu harus dia akui sangat ligat. Perutnya terasa mual. Kepalanya
berdenyut-denyut.
Kejadian itu sudah diduga akan terjadi
oleh Imam di masjid tadi. Ketika keenam lelaki itu mempermak si Bungsu, Imam
itu menyaksikannya dari balik jendela masjid. Dia ingin berteriak mencegah
orang-orang itu memukuli si Bungsu. ingin benar. Dia kasihan pada anak muda
itu. Namun dia tidak berani menampakkan diri. Dia tak punya cukup keberanian
untuk melarang mereka. Dia Imam masjid ini. Di masjid ini dia menerima sedekah,
wakaf, zakat atau uang akad nikah dari penduduk. Kalau dia sempat tak
sependapat dengan penduduk. bisa-bisa penduduk tak lagi menyerahkan zakat
fitrah atau sedekah padanya. Atau kalau akan menikah, orang pergi saja ke Iman
atau kadi yang lain.
Itu berarti menutup mata pencahariannya.
Dan dalam zaman serba kacau seperti sekarang ini, kehilangan mata pencaharian
merupakan malapetaka hebat. Ah, tidak. Dia tak mau kehilangan mata pencaharian
dengan melawan arus pendapat penduduk. Tapi ketika keenam lelaki itu
menyelesaikan pekerjaan tangan mereka, dan si Bungsu tergeletak dengan tubuh
lenyai, dia merasa malu pada dirinya. Dia kini berada dalam rumah Allah, di
mana tiap Jumat dia berkhotbah menyerukan berbuat kebalkan. Menyeru berbuat
jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru untuk tidak munafik, orang munafik
kebencian Allah, begitu dia sering berkata dalam khotbahnya.
Namun apa nama pekerjaannya kini? Apakah
membiarkan anak muda itu dilanyau, bukan suatu perbuatan pengecut dan munafik?
Bukankah selesaiJ umat tadi dia berkata pada anak muda itu bahwa dia mengetahui
kebaikannya yang dibuatnya? Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak
bersalah? Kenapa dia tak berani membela anak muda itu? Apakah kepentingan
perutnya jauh lebih penting daripada menegakkan suatu kebenaran? Ah, tiba-tiba
dia menjadi malu berada dalam rumah Allah ini.
”Ampunkan hambamu yang lemah ini ya
Allah…..” bisiknya sambil melangkah turun. Dia melangkah ke arah si Bungsu yang
masih tertelungkup, Dia tahu, dari balik pintu dan jendela rumah-rumah penduduk
banyak orang yang mengintip. Dan itu juga berarti mengintip padanya yang kini
berjongkok dekat tubuh si Bungsu.
”Bungsu…..” dia memanggil sambil
membalikkan tubuh si Bungsu. Dia merasa hiba melihat
hidung dan bibirnya yang berdarah.
”Bangkitlah. Mari ke rumah saya”
Anak muda itu bangkit dengan berpegang
kuat-kuat pada tubuh imam itu. Imam itu sudah tua. Tubuhnya sudah lemah. Namun
kali ini tubuhnya seperti mendapat tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke
rumahnya. Dijenjang dia berhenti. Sengaja dilayangkan pandangannya keliling.
Menatap ke rumah-rumah sekitarnya dengan kepala tegak. Seperti ingin mengatakan
pada orang yang mengintip itu, bahwa dia membela anak muda ini.
”Saleha….buka pintu”
Dia memanggil ke rumah. Seorang gadis
membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis berkulit
kuning berwajah bundar itu menatap pada
ayahnya, kemudian menatap ke rumah-rumah di sekitarnya dengan perasaan cemas.
”Bukalah. sediakan air panas di panci dan
kain bersih. Cepat”
Gadis itu cepat menghilang ke belakang
saat ayahnya membawa si bungsu naik dan mendudukkannya di ruang tengah, di atas
tikar pandan yang bersih. Saleha muncul lagi membawa baskom dengan air
hangat-hangat kuku serta sehelai kain lap bersih.
”Bapak akan susah karena bantuan bapak
ini….” Si bungsu berkata perlahan-
Untuk pertama kali gadis anak imam itu
menatap padanya. Pada wajahnya yang memar dan mulut serta hidungnya yang
berdarah. Si Bungsu juga menatap padanya. Mereka sebenarnya sudah saling
mengenal bertahun-tahun. Bukankah mereka tinggal sekampung? Hanya saja alangkah
asingnya dia terasa di kampung ini. Dan gadis ini, anak Imam yang merupakan
salah satu bunga di kampungnya ini, juga menatapnya dengan perasaan asing.
”Terima kasih atas air dan kain lapnya
Saleha…..” dia bekata perlahan.
Gadis itu tak menjawab. Dia masih menatapnya
diam-diam. Memperhatikan anak muda yang oleh orang kampung disebut telah
menjual kampung inipada jepang beberapa waktu yang lalu. Menatap pada anak muda
yang terkenal pemain judi nomor satu itu.
”Sediakan nasi. Kami akan makan bersama.
Mana Sawal?”
Imam itu memberi perintah, sekaligus
bertanya sambil membersihkan muka si bungsu. Saleha masih terdiam. Dia heran
kenapa ayahnya mau membantu sampai membersihkan wajah penjudi ini.
”Kemana Sawal?” kembali Imam itu
bertanya.
”sudah sejak kepetang dia tidak pulang”
”sediakanlah nasi….”
Namun sebelum Saleha beranjak. pintu
digedor orang dari luar. Wajah Saleha berobah pucat. Demiklan juga Imam itu.
”Pak Imam….Pak Imam…. cepat buka pintu”
terdengar suara lelaki dari luar. Mereka
berpandangan. Si bungsu bersandar. Menatap
pada Iman dan Saleha yang pucat. Dan tiba-tiba tanpa dibuka, pintu didobrak
dari luar. Dua orang lelaki masuk. Si bungsu segera mengenalnya sebagai orang
yang tadi ikut mengeroyoknya. Kedua lelaki itu sejenak tertegun memandangnya.
”Ada apa Leman?” Imam tersebut bertanya
sambil berdiri.
”Sawal pak Imam….”
”Ada apa dengan Sawal…”
”Dia ditangkap Kempetai bersama Malano….”
Saleha terpekik. Imam itu sendiri
tertegun. Nama Kempetai membuat tubuhnya jadi lemah.
Intel tentara jepang itu terkenal
kekejamannya. Tentara pilihan saja yang dapat masuk menjadi Kempetai. Pilihan
dalam bela diri dan kejamnya. Kalau Kempetai sudah turun tangan, itu berarti
mati
”Mengapa dia sampai ditangkap
Kempetai….?” Imam itu bertanya dengan lemah.
”Dua malam yang lalu dia mencuri senjata
jepang di Kubu Gadang. Bersama Malano dan beberapa pejuang kita. Dua orang
sudah tertangkap. senjata yang berhasil dicuri hanya enam pucuk. Kini mereka
berdua berada dalam masjid…..”
”Dalam masjid?”
”Ya…”
Tanpa bicara ba atau bu, Haji itu bergegas
turun diikuti oleh kedua lelaki tadi. Kemudian juga Saleha. Si bungsu menarik
nafas panjang. Mengambil kain lap dan kembali membersihkan mukanya.
Malano tertangkup, Demikian pula Sawal.
Abang Saleha anak Imam ini. Yang dulu sering menyebut dirinya penjudi kapir.
Sawal memang terkenal santri. Bukan karena ayahnya Haji dan imam di masjid.
Tapi pemuda itu memang pemuda yang soleh. Dia guru mengaji di kampung ini. Kini
anak muda itu ditangkap Kempetai karena ketahuan mencuri senjata di Markas
jepang di Kubu Gadang. Bah, anak muda itu terlalu bagak. pikirnya sambil tetap
bergolek di tikar.
Di depan masjid berdiri tiga orang
kempetai. Mereka tegak berkaca k pinggang. Penduduk
berdesak takjauh dari halaman masjid
tersebut. Ketiga Kempetai itu tak membawa bedil panjang. sebagai
anggota-anggota Kempetai pilihan, mereka hanya membawa sebuah pistol dan
samurai.
”Suruh anakmu keluar Haji. Kalau tidak.
kami akan menyeretnya keluar”
Seorang di antara Kempetai itu berkata.
Kempetai itu bertubuh gemuk. Saleha menangis dekat ayahnya. Imam itu tak
bersuara. Dia masuk ke mesjid. Di dalam, dekat mihrab, dia temui Sawal duduk
dengan wajah pucat. Bahunya luka. Nampaknya terjadi perkelahian ketika dia
mencuri senjata bersama beberapa orang pejuang Indonesia. Di dekatnya duduk Malano.
Lelaki yang tadi memukuli si bungsu. Dia
adalah seorang pejuang bawah tanah. Yang bersumpah akan membunuh jepang
sebanyak mungkin. Sebagai balas dendam atas kematian gurunya Datuk Berbangsa
satahun yang lalu.
Haji itu menatap Malano dengan diam.
Banyak yang ingin dia ucapkan. Namun tak ada kata
yang bisa terucapkan dalam saat seperti
ini. Dia ingin menyuruh anaknya melarikan diri. Namun kalau dia melarikan diri,
penduduk yang lain akan ditangkap jepang sebagai gantinya. Bukankah dulu Saburo
pernah berkata, kalau ada serdadu jepang yang mati, maka setiap satu jepang
yang mati akan dibalas dengan membunuh tiga penduduk.
Kalau anaknya dan Malano melarikan diri,
maka penduduk yang tak berdosa akan menjadi
korban pembunuhan jepang. Hal ini sudah
beberapa kali terjadi di kampung-kampung sekitar ini. Tiba-tiba di luar
terdengar pekikan Saleha. Imam itu dan Sawal terkejut. Mereka berlarian ke
pintu. Di luar mereka lihat Saleha berada dalam pelukan salah seorang Kempetai.
Begitu Sawal muncul, Kempetai yang gemuk
itu mencabut pistol dan menembakkannya. Sawal berlari kembali ke dalam masjid.
Peluru pistol menghantam ayahnya. Haji itu terpekik dan rubuh. Jepang gemuk itu
memberi perintah kepada kedua temannya. Kedua Kempetai itu menghambur masuk
dengan sepatu yang dipenuhi lumpur. Penduduk jadi kaget dan berang melihat
serdadu itu masuk ke rumah ibadah mereka tanpa membuka alas kaki.
Namun marah mereka terpaksa mereka
pendam. Siapa pula yang berani marah pada Kempetai? Meski mereka hanya bertiga,
tapi itu berarti sama dengan sebuah pasukan besar. Terdengar bentakan dan
pekikan di dalam. Kemudian penduduk melihat Sawal dan Malano digiring keluar
dengan tubuh luka-luka.
”Kedua lelaki ini, dan anak gadismu
terpaksa kami tahan pak Imam. Gadismu ini hanya kami jadikan sebagai jaminan
agar abangnya tidak melarikan diri .Jangan khawatir, dia akan aman-…” Jepang
gemuk itu berkata dengan senyum memuakkan. Imam tersebut hanya duduk tersandar
ke pintu. Luka di bahunya mengalirkan darah. Sementara Saleha meronta-ronta
melepaskan diri. Tapi yang memegang tangannya terlalu kuat buat dia lawan.
Ketiga jepang itu memutar tubuh dan mulai melangkah meninggalkan halaman mesjid
itu.
Tiba-tiba mereka tertegun. Seorang
lelaki, berbaju gunting cina, berkain sarung melintang di bahunya, bercelana
gunting Jawa tegak menghadang jalan mereka. Si bungsu!
Bersambung ke.... Tikam Samurai (8)
Komentar
Posting Komentar