Musim dingin sudah hampir berakhir. Salju
tak turun lagi. Yang berada di bumi atau di pohon sudah mulai mencair.
Saat itu sudah di akhir bulan Nigatsu.
Dimana salju berhenti turun. Tak lama lagi, musim bunga akan segera menyusul.
Tapi perpindahan musim yang indah itu justru perpindahan nasib yang malang bagi
si Bungsu.
Dia tengah sholat lohor ketika pintu
diketuk dari luar. Hannako membuka pintu dan merasa heran bercampur kaget
dengan kemunculan tentara Amerika dirumah mereka.
Merasa bahwa tentara Amerika itu salah
alamat, dia membuka pintu lebar-lebar.
“Selamat siang” sapa Polisi Militer itu
dengan sikap tertib.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Hanako.
Sementara itu Kenji juga keluar. Dia juga
ikut merasa heran atas kunjungan tentara Amerika itu.
Mereka merasa heran sebab selama ini si
Bungsu tak pernah menceritakan peristiwa di penginapan Asakusa itu. Peristiwa
itu tetap disembunyikan si Bungsu agar mereka tak ikut panik memikirkannya.
Sikap waspada tentara Amerika itu
mengundang perasaan tak sedap pada hati Kenji. Dan ketika dia menoleh ke
belakang, dengan terkejut dia mendapati bahwa rumah mereka telah dikepung oleh
seregu tentara Amerika bersenjata lengkap.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Kenji.
Sementara itu si Bungsu sudah mengucap
salam akhir dari sholatnya di kamar. Telinganya amat tajam menangkap desah
sepatu menginjak salju. Dan telinganya juga menangkap percakapan Kenji dan
Hannako di luar.
Dia segera tahu, tentara Amerika telah
menciumjejaknya. Perlahan dia menyelesaikan membaca doa.
“Apakah disini tinggal seorang Indonesia?”
Kapten yang memimpin penangkapan itu bertanya dengan sikap hormat.
Hannako bertukar pandangan dengan Kenji.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Hanako. Dan
hal itu sudah cukup bagi Kapten itu untuk mengetahui bahwa mereka memang tak
salah alamat.
Dia mengeluarkan sepucuk surat.
“Markas besar memerintahkan kami
menangkap orang Indonesia bernama..” dia melihat surat perintah penangkapan
itu, “ bernama Bungsu. Dia dituduh telah membunuh dua tentara Amerika di
penginapan Asakusa beberapa bulan yang lalu…” Kapten itu berkata dengan sikap
hormat sambil memberikan surat itu pada Kenji.
Kenji tak menerimanya. Mereka bertatapan.
Tapi saat itulah si Bungsu muncul. Dia merasa kalaupun dia berniat melarikan
diri, usahanya itu akan sia-sia. Sebab lebih dari selusin tentara mengepung
rumah itu.
“Sayalah yang tuan cari….” Katanya
perlahan. Kapten itu memandang keluar.
“Andakah yang bernama Bungsu?”
“Ya, sayalah orangnya…”
“Maafkan kami. Kami diperintahkan untuk
menangkap anda dengan tuduhan membunuh dua orang serdadu kami di penginapan
Asakusa beberapa bulan yang lalu. Kami harap saudar bisa mengikuti kami…”
Kapten itu memberi hormat sambil
memperlihatkan surat perintah penangkapan.
“Ya, saya ikut…”
“Bungsu-san…” Hanako berteriak. Tangisnya
segera pecah. Dan dia berlari sambil memeluk si Bungsu. Kenji tertegak diam.
“Tenanglah Hanako-san. Saya harus pergi”
“Tidak…tidak, oh jangan tinggalkan kami
Bungsu-san….jangan tinggalkan kami…” tangis gadis itu tak terbendung lagi. Kapten
Amerika itu tetap tegak di luar dengan sikap hormat.
Si Bungsu menatap pada Kenji. Air mata
Kenji berlinang. Tuduhan membunuh pendudukan adalah tuduhan yang tak ada
ampunannya. Bila terbukti, maka satu-satunya hukuman adalah hukuman mati.
“Apakah engkau memang melakukannya
Bungsu-san?” Kenji bertanya dengan suara gugup.
Si Bungsu tak segera menjawabnya. Ada
beberapa saat dia terdiam. Matanya menatap pada Kenji. Kemudian menatap pada
Hanako pada Kenji. Kemudian menatap pada Hanako. Mereka semua pada terdiam.
Kemudian terdengar suara si Bungsu perlahan, tapi pasti.
“Benar Kenji-san. Malam itu seorang
letnan Amerika memakai kamar saya. Dia membawa seorang gadis Jepang yang tak
pernah saya kenal. Saya dengar gadis itu menangis dan menolak untuk dinodai si Letnan
Saya tak bisa melihat orang lain
dianiaya. Saya minta letnan itu secara baik-baik untuk membebaskan gadis itu.
Tapi dia justru menghantam dan berniat membunuh saya. Maka tak ada jalan lain
bagi saya, saya harus membela diri bukan?
Begitu dia terbunuh temannya dari kamar
sebelah datang dengan bedil di tangan. Dan saya kembali harus mempertahankan
nyawa saya. Keduanya mati karen samurai saya.
Malam itu saya melarikan diri dari
penginapan Asakusa. Berlindung dari udara dingin di terowongan bawah tanah di
Yotsui. Tak lama setelah saya berbaring, seseorang datang dan tidur pula disisi
saya. Dan paginya saya ketahui, teman baru itu adalah Hanako-san”
Hanako merasa dirinya runtuh.
“Kalau tak ada lagi yang akan
dibicarakan, kami ingin tuan mengikuti kami…” Kapten dari Polisi Militer
tentara Amerika itu bicara dengan tetap dalam nada yang sopan dan sikap hormat.
“Ya, saya sudah siap…nah, Kenji-san saya
banyak belajar tentang hidup di Jepang darimu. Terimakasih untuk segalanya,
sahabat. Saya takkan melupakanmu. Saya takkan melupakan kalian. Jaga
adik-adikmu baik-baik. Barangkali kita takkan bertemu lagi, selamat tinggal…”
Kenji tak dapat menahan airmatanya yang
runtuh. Si Bungsu baginya tidak hanya seorang sahabat, tapi juga seorang
saudara yang telah melindungi mereka. Dan dia tahu, Hanako adiknya mencintai
pemuda itu. Dia suka kalu mereka menikah. Tapi dia tak pernah mau memulai
pembicaraan ke arah itu.
Dia tahu, si Bungsu mempunyai tugas yang
amat besar datang kemari. Dia tak punya waktu memikirkan jodoh.
Kini ketika anak muda itu pergi, dia
merasa suatu kehilangan yang alangkah pedihnya. Si Bungsu menyalaminya.
Kemudian memegang bahu Hanako. Gadis itu tak berani menatap mukanya.
“Baik-baik di rumah Hannako-san. Saya
akan selalu mengingat budi baikmu….”
Dan dia berbalik. Kapten Polisi Militer
itu melekatkan belenggu ke tangannya. Kemudian semua barang-barangnya diambil.
Samurai, bungkusan dan pakaiannya dimasukkan ke dalam sebuah kantong sebagai
barang bukti.
Hanako terduduk di depan pintu begitu
Jeep Polisi Militer meninggalkan jalan
Uchibori di depan rumah mereka.
“Kenji-san…dia telah pergi meninggalkan
kita…” katanya lirih.
Kenji tiba-tiba teringat pada sesuatu.
“Tenanglah Hanako. Kita akan berusaha
membebaskannya. Dia telah menolong kita banyak sekali. Kita harus menolongnya.
Tak ada orang lain yang akan menolongnya kalau tidak kita. Dia tak punya
siapa-siap di negeri ini….”
“Tapi bagaimana kita akan menolongnya…?”
“Tenanglah Hanako. Kita akan
mengusahakannya…” namun bagaimana Hanako akan bisa tenang? Pemuda Indonesia itu
telah mencuri separuh hatinya. Kini pemuda itu pergi, dirinya tiba-tiba terasa
amat sepi.
***000***
Tokugawa sedang menerima laporan dari
berbagai cabang Jakuza. Dia berkantor di Nikko Hotel di jalan Ginza di bilangan
pusat kota Tokyo. Dia mencarter lima buah ruangan utama di tingkat paling atas
dari hotel tersebut.
Tak seorangpun yang akan menyangka bahwa
lantai teratas dari Nikko Hotel itu adalah pusat dari suatu organisasi yang
selalu mengacau di kota Tokyo.
Teror terhadap individu atau orang ramai
yang dibuat oleh Jakuza, diatur dari hotel ini. Orang takkan pernah menyangka,
karena tak ada lift ke tingkat itu.
Ada sebuah lift yang sampai ke tingkat
atas. Tapi lift itu tak boleh digunakan oleh
umum. Di pintu lift tertulis kalimat : Khusus Untuk Staff
Tak dijelaskan Staff apa yang boleh naik
itu. Hanya di pintu lift yang satu itu, selalu ada penjaga dengan pakaian sopan
dan sikap ramah menolak dan menyilahkan orang naik ke lift lain yang sama
kunonya dengan lift yang satu itu.
Orang-orang di hotel itu tak pernah
memperdulikan akan orang yang turun naik ke tingkat atas. Sebab di tingkat
lain, ada juga beberapa ruangan yang
dipakai untuk kantor.
Di hotel itu ada kantor Perusahaan Honda.
Kantor perusahaan pembangunan dan kantor perusahaan penerbangan. Dan tak
seorangpun yang pernah menduga bahwa pelayan lift yang sopan dan ramah itu,
sewaktu-waktu bisa berobah menjadi pembunuh yang berdarah dingin.
Tak ada yang tahu bahwa pelayan itu
sebenarnya seorang ahli karate, judo dan samurai.
Ketika Tokugawa sedang memberi beberapa
instruksi seseorang masuk. Membungkuk memberi hormat. Kemudian berbisik dan
menyerahkan sesuatu.
Tokugawa menerima pemberian itu. Membuka
bungkusnya. Dan segera dia mengenal bahwa yang dikirim padanya itu adalah kain
putih bekas pembungkus potongan kelingkingnya dahulu.
“Dimana dia?”
“Di bawah”
“Antarkan dia kemari”
“Hai…”
“Rapat ini saya skor sementara. Saya
menerima tamu. Seorang anak lindungan”
Tak lama mereka menanti, Kenji yang
membawa bungkusan kain putih berdarah bekas potongan kelingking Tokugawa itu
masuk diantarkan penjaga tadi.
Tokugawa bangkit dari duduknya. Demikian
pula tiga orang “staf” Jakuza lainnya yang hadir disana.
“Anda pastilah Kenji-san. Kakak Hannako
dan sahabat Bungsu-san orang Indonesia itu…” katanya ramah menyambut Kenji.
“Selamat siang tuan Tokugawa….saya…”
“Saya senang dapat membantu anda dan
adik-adik anda. Maafkan atas kejadian yang lalu. Kawabata telah mendapat
balasan yang setimpal atas dosanya. Bungsu-san benar-benar seorang yang mahir
mempergunakan samurai. Nah, apa yang bisa saya bantu…?”
“Saya…saya…”
“Jangan gugup. Mari, silakan duduk. Kita
sahabat bukan? Nah, ceritakan apa yang terjadi. Ada yang mengganggu Hannako?”
“Tidak. Terimakasih, Tokugawa telah
melindungi kami. Tapi… ini mengenai Bungsu-san…”
“Ya, bagaimana dengan dia?”
Kenji terdiam. Dia tak tahu dari mana
harus mulai. Tokugawa memberinya minum sake. Begitu pula teman-temannya yang
ada di kantor itu. Mereka minum bersama.
Setelah agak tenang. Kenji bercerita
tentang nasib yang menimpa Bungsu-san. Tokugawa terdiam.
“Itulah yang terjadi tuan Tokugawa . saya
mohon tuan bisa membantunya keluar dari tahanan. Kalau tidak, hukuman mati
menantinya di sana…”
“Maafkan saya Kenji-san. Kalau yang
menangkap Bungsu-san adalah Polisi Jepang, maka saya bisa menjamin untuk
mengeluarkannya. Tapi yang menahannya adalah tentara Amerika. Kami tak bisa
berbuat apa-apa. Maafkan kami….”
Kenji berlutut lantai. Membungkuk memberi
hormat.
“Tolonglah dia tuan. Dia membunuh tentara
Amerika itu karena ingin menolong seorang gadis Jepang yang tak dia ketahui
siapa orangnya. Tentara itu akan menodai gadis itu. Pemilik penginapan Asakusa
itu sendiri orang Jepang, tapi dia tak berniat menolong gadis Jepang malang
itu. Malah dialah yang memberi tempat untuk menodai gadis itu. Bungsu-san lah
justru yang turun tangan menolongnya.
Orang asing yang tak punya kepentingan
apa-apa dengan negeri kita, bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk membela
seorang gadis yang tak dia kenal. Apakah kita tak patut membantu orang yang
begini?”
“Engkau benar Kenji-san. Tapi percayalah,
melawan tentara Amerika berarti punahnya organisasi kami. Kami tak bisa berbuat
apa-apa…”
Sekali lagi Kenji bersujud dilantai dan
memohon:
“Maafkan saya kalau terlalu menyusahkan
Tokugawa. Tapi, kami ikhlas Tokugawa mencabut perlindungannya pada kami adik
beradik asalkan Tokugawa mau membebaskan Bungsu-san. Tolonglah dia….”
Tokugawa dan ketiga pimpinan Jakuza yang
ada disana jadi tertegun mendengar permohonan ini. Tokugawa tak hanya tertegun.
Tapi hatinya jadi sangat terharu melihat kesetia-kawanan Kenji adik beradik
dengan orang Indoensia ini.
Mereka bersedia tidak dilindungi. Artinya
bersedia diganggu dan dianiaya oleh Jakuza atau kelompok lain asal dapat
membantu sahabatnya.
Kepala penjahat ini benar-benar diberi
pelajaran tentang setia-kawan dan rasa saling menyayang sesama makhluk.
“Bangkitlah anak muda. Rupanya dunia
semakin tua. Kesetiaan kalian bersahabat sangat mengharukan hati saya. Pertama
saya mendapatkan betapa Bungsu-san, seorang asing mau mengorbankan dirinya
bertarung dengan orang-orang Jakuza untuk menyelamatkan kalian. Kini engkau
datang, rela untuk tak dilindungi asal sahabatmu itu dibebaskan. Ah, kami
selama ini tak pernah berpikir tentang adanya persahabatan yang demikian mulia.
Yang tak memandang suku dan bangsa. Yang rela mengorbankan nyawa demi membela
sahabat…. Kami selama ini hanya berfikir, bahwa persahabatan hanya diikat atas
dasar laba rugi.
Baiklah, saya mendapat suatu pelajaran
yang sangat berharga. Pulanglah, sampaikan pada adik-adikmu, bahwa Tokugawa
bersumpah akan membebaskan Bungsu-san…”
Kenji bersujud di lantai. Lama sekali.
Tubuhnya terguncang menahan tangis.
“Domo arigato gozaimasu. Domo arigato….
Terimakasih banyak tuan Tokugawa….terimakasih banyak…” suaranya tersendat dalam
sujud itu.
Tokugawa memegang bahunya. Membawanya
bangkit.
“Tenanglah, tak ada yang tak bisa kita
atur. Kenapa kita harus takut pada Amerika di negeri kita ini? Ini negeri kita
bukan? Tenanglah nak…”
Kenji diantar pulang dengan sedan milik
Tokugawa. Dia menceritakan janji Tokugawa pada Hannako. Siang itu juga mereka
lalu pergi ke candi Gokokuji. Sebuah candi jauh dipinggir kota. Mereka
sembahyang bersyukur dan memohonkan keselamatan si Bungsu.
**000**
Tokugawa memang seorang lelaki turunan
Samurai yang memegang teguh janjinya. Begitu Kenji meninggalkan kantornya, dia
mengangkat telepon di mejanya.
“Coba selidiki sebab musabab seorang
lelaki Indonesia bernama Bungsu yang ditangkap Polisi Militer Amerika dua hari
yang lalu…”
Dia bicara di telepon itu. Tak diketahui
pada siapa dan kemana dia bicara. Tapi Jakuza mempunyai jaringan hampir di
seluruh kantor di Tokyo.
Dua hari kemudian, laporan itu masuk.
Tokugawa membacanya. Mengerutkan kening. Dari kantornya yang tinggi itu dia
menatap keluar melewati jendela kaca. Memandang kesibukan kota yang bergerak di
bawah sana.
Lama dia memandang keluar. Nampak bahwa
dalam pikirannya bergulat pertarungan yang luar biasa. Meski wajahnya tetap
kelihatan tenang, namun matanya tak demikian.
Akhirnya dia berjalan kembali ke meja
besarnya di sudut ruangan. Menekan sebuah tombol. Tak selang berapa detik.,
dinding di sebelah kanannya terbuka. Nampaknya dinding itu semacam pintu
rahasia.
Seorang lelaki bertubuh sedang berwajah
tampan muncul dan membungkuk memberi hormat.
“Kawasaki…” katanya perlahan.
“Hai….” Jawab lelaki itu.
Tokugawa menarik laci mejanya.
Mengeluarkan sebuah kotak kecil sepanjang dua jengkal berwarna merah.
Menyerahkan pada lelaki tampan itu.
Lelaki itu membungkuk lagi memberi
hormat. Kemudian menghilang ke balik dinding rahasia tadi. Dinding itu menutup
kembali. Persis seperti tadi. Disana tergantung sebuah lukisan candi besar. Tak
ada tanda-tanda bahwa sebenarnya ruang Tokugawa itu dihubungkan oleh pintu
rahasia ke empat jurusan.
Kawasaki, pimpinan Jakuza cabang
pelabuhan itu tinggal di seberang taman Hamarikyu di tepai sungai Sumida yang
besar di pinggir kota Tokyo.
Rumahnya indah dengan pekarangan luas.
Dia tinggal dirumah itu bersama isteri mudanya. Seorang gadis Jepang bekas Sri
Panggung di Kabukiza Theater.
Gadis itu cantik. Bertubuh padat. Isteri
pertamanya sudah terlalu gembrot. Meski belum begitu tua, tapi Kawasaki sudah
menceraikannya.
Saat itu dia tengah istirahat di ruangan
tengah ketika sebuah kendaraan berhenti jauh di jalan di depan rumahnya.
Dari pintu yang terbuka lebar, dia segera
mengenal bahwa mobil yang berhenti itu adalah mobil dari “markas besar” Jakuza.
“Ada pesan penting nampaknya,….” Katanya
sambil berdiri.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (58)
Komentar
Posting Komentar