“Perintahkan mereka mundur semua Saburo.
Atau kau ingin anakmu ini terbunuh….?!” Suara si Bungsu mengancam lagi seperti
sayatan pisau cukur.
“Mundur….! Mundurlah semua!! “ kata
Saburo.
Suaranya terdengar sangat bermohon. Dia
sangat megkhawartirkan nasib puterinya. Belasan pendeta itu segera mundur. Dan
ditengah ruangan kini tegak si Bungsu mengepit Michiko.
Lima depa didepannya tegak dengan tubuh
lunglai Saburo Matsuyama. Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada
pendeta-pendeta yang mengepungnya.
Kini seluruh pendeta yang di luar yang
tadi latihan di altar Doyo, sudah masuk. Mereka memegang berbagai senjata.
Tongkat kayu, samurai, rantai, double stick dan tombak.
Di tengah ruangan, selain si Bungsu,
Michiko dan Saburo, juga tergeletak empat mayat pendeta yang mati dimakan
samurai si Bungsu.
Para pendeta yang masih hidup termasuk
Saburo, benar-benar terkejut melihat kehebatan orang asing ini mempergunakan
samurai. Tak pernah terbayangkan di fikiran mereka bahwa ada seorang asing yang
akan mampu mempergunakan samurai seperti itu.
Mereka kini tegak dengan diam.
“Kalian dengarlah!” si Bungsu berkata
dengan tetap mengancamkan samurainya pada leher Michiko.
“Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya
datang dari Indonesia mencari seorang lelaki yang telah membunuh ayah saya
dengan licik. Yang sampai hati membunuh ibu saya. Seorang perempuan yang tak
berdaya. Lelaki itu juga memperkosa kakak saya. Kemudian, setelah dia puas, dia
membunuhnya. Lelaki jahanam itu menghantam saya dengan samurainya. Saya rubuh.
Kemudian lelaki itu, yang memimpin sebuah pasukan yang paling kejam, membakar
kampung saya membunuhi para lelaki dan kanak-kanak. Memperkosa perempuannya.
Tuhan mentakdirkan saya tetap hidup. Saya
bersumpah untuk mencari lelaki itu. Saya berlatih samurai. Dan bersumpah akan
membunuh lelaki jahanam itu dengan samurai yang dia pergunakan membunuh
keluarga saya.
Dari jauh saya datang, di sini saya temukan
lelaki itu. Dialah Obosan Saburo Matsuyama!”
Si Bungsu menunjuk pada Saburo dengan
ujung samurainya yang berlumur darah. Semua pendeta kuil Shimogamo itu
tertegun. Mereka menatap pada obosan mereka. Suasana jadi amat sepi.
Saburo menjatuhkan diri. Berlutut di
lantai. Kepalanya menunduk dalam-dalam.
Lalu terdengar suaranya serak:
“Benar. Semua yang diucapkan anak muda
itu adalah suatu kebenaran. Hidup saya dimasa lalu dilumuri dosa dan darah. Apa
yang dia katakan memang benar….saya pantas menerima pembalasan yang setimpal”
suara Obosan itu mirip sebuah tangisan. Bergetar dan nyata bathinnya sangat
terpukul.
Semua pendeta yang mendengar pengakuan
itu seperti mendengar petir di siang hari. Mereka adalah orang-orang pencinta
perdamaian. Kuil Shimogamo selain disegani karena pendekar-pendekarnya, karena
Obosannya yang berwibawa juga disegani dan banyak pengikutnya karena kasih
sayang yang disebarkannya.
Di Kyoto ini ada beberapa buah kuil
besar. Kuil-kuil besar yang dihormati dan disegani orang itu adalah kuil
Shimogamo, kuil Daitokuji dan kuil Kinkakuji. Keduanya terlegtak di daerah
Kitaku. Kemudian kuil Kitano, kuil Myoshinji, kuil Koryuji, kuil Toji dan kuil
Higashi Honganji.
Namun diantara kuil-kuil besar itu, maka
kuil Shimogamo merupakan kuil yang paling dihormati dan disegani penduduk
Kyoto.
Dan kini, ternyata Obosan mereka, Kepala
Pendeta yang selama ini merela hormati, yang selama ini mereka banggakan,
dituduh sebagai seorang pembunuh, penyebar bencana, pemerkosa dan malah
pembunuh kanak-kanak! Mereka hampir-hampir tak percaya.
Tapi betapa mereka takkan percaya, kalau
Obosan sendiri mengakui hal itu?
Bagi Saburo, ini adalah pukulan terhebat
selama hidupnya setelah kematian isterinya.
Melihat Saburo yang berlutut di lantai
itu, si Bungsu berkata :
“Bagaimana kalau hari ini anakmu ini
kuperkosa sebagai balasan atas yang engkau perlakukan pada kakakku, pada
puluhan wanita Indonesia lainnya semasa engkau jadi perwira Kempetai?”
Kepala Saburo terangkat menatap pada si
Bungsu.
“Ampunkan saya, jangan sakiti anak saya.
Engkau cencang dan bunuhlah saya, tapi jangan ganggu anak saya…”
Suaranya yang bermohon itu tambah
menyakitkan hati si Bungsu.
“Bukankah ketika engkau akan membunuh
ayahku, ibuku datang menyembah kakimu, memohon belas kasihanmu agar jangan
membunuh suaminya? Namun saat itu engkau tega membunuhnya. Sekarang aku akan
bunuh anakmu…..!”
Sebenarnya tak ada niat si Bungsu untuk
menyakiti Michiko. Namun ingatan terhadap kematian ayah, ibu dan kakaknya,
benar-benar melukai hati anak muda ini.
Dan tanpa dapat dia kuasai sepenuhnya,
tangannya bergerak mendorong tubuh Michiko yang ada dalam dekapannya.
Gadis itu terpekik dan rubuh mandi darah!
Pakaian tentang punggungnya robek. Darah mengalir dari sana.
Saburo terlompat tegak.
“Michiko-sannnn…” Saburo benar-benar
memekik dan menangis sambil menubruk tubuh anaknya itu. Gadis itu memang
jantung hatinya. Anak tunggal yang sangat disayangi.
Melihat si Bungsu sudah mencelakai
Michiko dua orang pendeta yang menjadi instruktur Samurai maju serentak. Namun
yang mereka hadapi saat ini, mungkin satu-satunya manusia yang tercepat
mempergunakan samurai di seluruh tanah Jepang saat itu.
Hal itu segera terbukti, ketika dengan
kecepatan yang tak terikutkan oleh mata, samurai ditangannya membabat samurai
di tangan kedua sensei itu.
Kedua samurai pendeta itu hampir saja
terpental ke udara saking kuat dan kukuhnya benturan samurai si Bungsu.
Mereka kaget. Dan kekagetan itu adalah
kelemahan mereka. Sebab waktu yang sedetik untuk kaget itu sudah terlalu
panjang bagi si Bungsu.
Samurainya bekerja lagi. Salah satu
samurai di tangan pendeta itu terpental ke udara. Dan kedua pendeta itu rubuh
dengan dada robek.
Si Bungsu berputar, dan samurainya
memukul samurai yang terpental ke udara, yang saat itu sedang meluncur turun.
Terdengar suara besi beradu dan bunga api
memercik. Kemudian samurai pendeta yang terpukul itu tertancap setengah jari
dari tubuh Saburo Matsuyama yang tengah memeluk Michiko.
Kejadian beruntun itu amat cepat. Suasana
tiba-tiba jadi sepi. Samurai yang tertancap di lantai itu bergoyang.
“Apakah engkau akan berlindung terus
dibalik punggung murid-muridmu Saburo? Apakah engkau tak mengenal malu menyuruh
pendeta yang tak berdosa ini untuk bertarung menyelamatkan nyawamu? Tegak dan
pertahankan dirimu!
Aku bukan hewan seperti engkau yang
sampai hati membunuh perempuan. Anakmu hanya terluka kulit”
Suara si Bungsu terdengar dingin. Dan dia
tegak dengan samurai berdarah di tangannya. Dengan kaki terpentang lebar.
Michiko memang tak cedera. Hanya kulit
punggungnya luka sedikit. Luka tergores. Si Bungsu memang tak berniat
menderainya. Dia hanya bermaksud memancing amarah Saburo untuk mau melawannya.
Dan kali ini, tak seorangpun diantara
para pendeta yang puluhan banyaknya itu berani maju menyerang.
Sudah delapan orang pendeta pendeta kuil
mereka yang menemui ajal ditangan anak muda perkasa ini.
Dan kedelapan orang itu, semua adalah
para sensei. Instruktur mereka. Kalau instruktur mereka saja dengan mudah
dirubuhkan anak muda itu, apalagi diri mereka.
Kini mereka hanya tegak berkeliling menanti
sikap obosan mereka. Saburo akhirnya tegak. Menatap pada si Bungsu.
Dia akhirnya menyadari, bahwa anak muda
ini tak berniat mencelakai diri Michiko. Dia akhirnya menyadari, bahwa dari
jauh anak muda ini datang benar-benar dengan maksud mencari dan menghendaki
nyawanya.
Dia sudah mengukur kemampuan anak muda
ini dalam memakai samurai. Dalam Kempetai yang bertugas di Asia, dia termasuk
salah seorang samurai yang tangguh.
Tapi, kini melihat cara anak muda itu
mempergunakan senjata tradisionil mereka itu, dia yakin jarang tandingannya di
negeri ini. Anak muda ini bersilat samurai bukan dengan sistim dan ilmu samurai
yang biasa.
Dia bersilat dengan hati dan istinknya!
Inilah kelebihan anak muda itu. Kelebihan yang tak mungkin ditandingi.
Namun, meskipun dia sadar bahwa anak muda
itu takkan terlawan, dia tak mau membuat anak muda itu kecewa. Dia harus
melawannya. Anak muda itu tak mau membunuh Michiko. Itu saja sudah sebuah
kebaikan yang takkan mungkin dia lupakan diakhir hayatnya ini.
“Baiklah. Saya akan melawanmu….” Katanya
perlahan. Kemudian perlahan dia mencabut samurai yang terancap di lantai di
sisi Michiko.
Dia tegak lurus-lurus menatap si Bungsu.
lagu perlahan-lahan kepalanya berpaling kepada para pendeta anak buahnya yang
tegak berkeliling.
“jika dia keluar sebagai pemenang dalam
perkelahian ini, biarkan dia keluarkan dengan selamat dari sini. Dia menang
dalam suatu perkelahian yang terhormat. Karena itu dia berhak dihormati sebagai
seorang samurai sejati…’
Sehabis berkata begini, dengan cepat
kakinya menggeser dua langkah menghampiri si Bungsu. Michiko sudah tak sadar
diri. Dia tetap terlentang. Ketika si Bungsu mengancamkan samurai kelehernya,
dia ingin mati saja di tangan anak muda itu.
Dan ketika si Bungsu akan membunuh atau
memperkosanya, dia sudah tak sadar diri. Hatinya benar-benar sakit dan terluka
mendengar ucapan anak muda yang diam-diam dia cintai itu. Kalau saat ini dia
jatuh pingsan, maka dia pingsan bukan karena luka di pungggungnya. Melainkan
karena luka dihatinya.
Dan saat itu Saburo Matsuyama sudah
berhadapan dengan si Bungsu!
Ketika Saburo maju menggeserkan kakinya
di lantai, perlahan si Bungsu menyarungkan kembali Samurainya. Samurainya itu
dia pegang di tangan kiri. Tangan kanannya terkulai lemah. Dia menahan nafas.
Semua pendeta yang mengelilingi mereka
jadi terheran-heran akan sikap demikian. Tadi anak ini yang menantang Obosan mereka.
Tapi kini, ketika Obosan maju dengan samurai siap menyerang, tahu-tahu anak
muda itu menyarungkan samurainya kembali.
Apakah anak muda ini merasa takut dan
merobah niatnya? Pikir mereka.
Namun yang tak heran, malah terkejut
melihat sikap anak muda itu adalah Saburo Matsuyama.
Tadi dia sudah menebak, bahwa anak muda
ini bertarung dengan hati dan nalurinya. Tidak dengan sistim dan ilmu silat
samurai biasa.
Dan begitu melihat samurai si Bungsu
menyisipkan samurai, dia segera tahu, bahwa anak muda ini benar-benar seorang
yang tangguh. Seorang yang amat percaya pada diri dan kemampuannya.
Dan dia ingin mencoba.
Sebuah bentakan berikut suatu serangan
tiga kali bacokan cepat dia lakukan pada si Bungsu. serangannya amat cepat.
Malah cepat sekali. Dia menyerang sambil pindah tempat dua kali. Serangan
pertama ke arah leher dari depan. Serangan kedua dari kiridengan memindahkan
kaki kanannya ke samping menyerang pinggang. Serangan ketiga dari kanan dengan
menggeserkan kaki kirinya menyerang lutut!
Namun tangan kanan si Bungsu bergerak
seperti bayang-bayang. Ketiga serangan itu dia tangkis tanpa menggeser tegak
seincipun! Bunga api beberapa kali memercik ketika samurai mereka beradu!
Mereka kini tegak saling pandang. Saburo
dengan kaki kiri di depan dengan samurai teracung setinggi dada. Si Bungsu
tegak dengan kaki terpentang ke kiri dan ke kanan selebar bahu. Samurai sudah
dalam sarung di tangan kiri!
Tiba-tiba kembali dengan gerakan cepat
Saburo mengelilingi si Bungsu, dan begitu dia berada di belakang, dia
melancarkan serangan kilat memancung dari atas. Si Bungsu membelintangkan
samurainya di atas kepala.
Tapi ternyata serangan itu hanya serangan
tipuan. Serangan yang sebenarnya bukanlah dengan samurai. Melainkan dengan
tendangan! Tendangan Saburo menghantam punggung si Bungsu!
Namun tipuan ternyata di balas dengan
tipuan. Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa gerakan itu adalah gerakan tipuan.
Hal itu dia ketahui dari arah angin yang berpindah akibat serangan kaki Saburo!
Dia menarik samurainya yang membelintang
di atas kepala dan kini samurai bersarung itu menghantam lutu Saburo!
“Prakkk!!” sarung samurainya mengebrak
lutut Obosan itu. Saburo tersurut. Dia jadi pucat. Sebenarnya kalau si Bungsu
mau, maka dia tak perlu menangkis dengan samurai bersarung. Melainkan dengan
samurai telanjang. Dan kalu itu sampai dilakukan anak muda itu, maka kini
Saburo tidak lagi memeiliki kaki kanan dari lutut ke bawah!
Dia jadi ngeri. Namun sekali lagi dia
menggebrak maju. Waktu itulah Michiko yang pinsan jadi sadar. Melihat betapa
ayahnya menyerang anak muida itu, dia memekik memanggil:
“Ayaaaah. Jangaaaaaannn!!!” dan gadis itu
tidak hanya sekedar menjerit, dia langsung berdiri dan lompat ke tengah
pertarungan!
Saat itu samurai Saburo telah melayang ke
arah belikat si Bungsu. samurai si Bungsu menghantam dengan kekuatan penuh.
Samurai Saburo terlempar ke udara. Persisi seperti terlemparnya samurai di
tangan ayah si Bungsu, Datuk Berbangsa di Situjuh Ladang Laweh beberapa tahun
yang lalu.
Kini samurai itu meluncur turun.
Sebenarnya dengan mudah si Bungsu dapat menyudahi nyawa Saburo. Namun Michiko
telah memeluk ayahnya!
Tanpa sadar sedikitpun, samurai yang tadi
melambung meluncur turun, persis tentang kedua anak beranak itu. Si Bungsu
ntertegun. Samurai itu pasti akan menancap di tengkuk Saburo yang memeluk
anaknya!
Selintas dia teringat betapa pedihnya
hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan saudara. Oo, bertahun dia telah hidup demikian.
Kini, ada seorang gadis yang telah kematian ibu, seorang anak tunggal, yang
akan kematian ayahnya pula.
Akan dia tambahkah jumlah kanak-kanak
yang yatim piatu? Yang tersikasa oleh kesepian tanpa kasih sayang ayah dan
bunda? Pantaskah dia membalaskan penderitaannya pada orang lain?
Pikiran itu demikian cepat menyelinapnya.
Dan dengan sebuah gerakan lompat tupai yang sempurna, dia bergulingan di
lantai. Dan sejari lagi samurai yang meluncur turun itu akan menancap di
tengkuk Saburo, samurai si Bungsu datang menghantamnya. Samurai itu terpukul
dan menancap dilantai jauh dari Saburo!
Semua pendeta yang tadi sudah meramalkan
kematian Obosan mereka, jadi terkesima oleh gerakan yang tak pernah mereka
bayangkan akan sanggup dilakukan seorang manusia biasa itu!
Saburo selamat!
Saburo menyadari bahwa nyawanya telah
diselamatkan lagi. Dai menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu menatap pada
Saburo tanpa berkedip. Michiko juga menatapnya diantara deraian airmata…
“Lelaki kejam. Lelaki yang berperasaan.
Kau bunuhlah aku jika engkau mau membunuh ayahku!!” Michiko berkata diantara
tangisnya.
Si bungsu terdiam.
Perlahan sekali, dia menyarungkan kembali
samurainya. Memandang pada Michiko. Memandang pada Saburo. Memandang keliling.
Pada para pendeta kuil Shimogamo itu. Memandang pada mayat-mayat para pendeta.
Dan tiba-tiba dia merasakan dirinya sebagai pembunuh.
Membunuh para pendeta di kuil mereka yang
suci. Kenapa harus saling bunuh di kuil ini!
“Maafkan saya….” Katanya kepada para
pendeta itu. Kemudian dia melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Para pendeta
yang melingkar berkuak memberi jalan.
“Bungsu-san….”suara Michiko terdengar
memanggil. Si Bungsu mendengarnya, tapi dia tak menoleh.
“Bungsu-saaan…’ suara Michiko terdengar
getir. Namun si Bungsu sudah berada di luar. Angin musim dingin menampar-nampar
wajahnya.
Dan ketika dia melangkah di altar di
depan Doyo dimana para pendeta muda itu tadi berlatih, dia dengar pekikan
Michiko. Dia ingin berhenti, tapi buat apa?
Bersambung ke…..Tikam Samurai (67)
Komentar
Posting Komentar