Dia melangkah di jalan yang terbuat dari
batu dalam taman di depan kuil Shimogamo itu. Kemudian ke luar ke jalan raya
Shimogamo Hon. Dia melangkah ke mana saja kakinya membawa.
Di jalan raya, dia berbaur dengan tentara
Amerika yang berseliwearan. Berbaur dengan orang-orang Jepang yang juga
berseliweran. Dia tak tahu ke mana kainya membawa.
Dia tak ingin berhenti. Tapi juga tak
ingin berjalan. Dia tak ingin berbuat apa-apa. Dia tak ingin, tak ingin…. Apa
yang dia ingini kini?
Akhirnya dia mendapatkan dirinya terduduk
di sebuah kursi kayu yang dingin di sebuah taman yang rasanya belum pernah dia
jejak. Bila pula dia akan menjejak taman di kota ini, padahal baru tiga hari
dia di Kyoto ini?
Tak ada orang di taman itu. Siapa pula
orang yang akan berada di taman dalam musim dingin begini? Dia duduk sendiri.
Duduk menyesali diri. Kenapa Saburo tak
dia bunuh? Kenapa dia lepaskan setelah bertahun dia mencarinya. Kenapa dia
biarkan jahanam itu hidup padahal ayahnya bersumpah akan membunuh jahanam itu
sesaat sebelum dia menghentakkan nafasnya?
Apakah dia menjadi lemah karena Michiko?
Apakah nyawa ayah dan ibunya, kehormatan dan nyawa kakaknya, dan kehormatan
puluhan gadis serta nyawa puluhan orang kampungnya, penduduk Situjuh Ladang
Laweh di kaki Gunung Sago di Minangkabau sana lebih rendahnya daripada nyawa
Saburo? Apakah hanya karena sayang pada Michiko dia biarkan ayah, ibu dan kakak
serta orang kampungnya mati tanpa ada yang menuntut bela?
Dia merasa pikirannya jadi buntu. Jadi
tak menentu. Sampai suatu saat, di taman itu dia mendengar bunyi tabuh. Suara
tabuh mengingatkan dia pada sholat.
Tabuh apakah itu? Pastilah gendang
upacara agama Shinto. Dan dia teringat bahwa belum sholat. Dia sedang berniat
bangkit ketika tiba-tiba dia mendengar suara azan!
Suara azan di Kyoto! Mungkinkah itu? Dia
tegak tertegun sambil mempertajam pendengarannya.
“Asyhaduala ila hailallaaaahh….”
Suara azan itu berkumandang dalam suara
dingin. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkunya merinding dan matanya basah
mendengar azan itu.
Ya, pastilah beduk tadi dari sebuah
mesjid atau langgar di sekitar taman ini. Dia coba mencari suara itu.
Suara azan di Kyoto. Menyebabkan dia
teringat pada kampung halamannya. Suara azan itu seperti suara azan dari mesjid
di kampungnya. Menyelinap diantara dedaun pohon. Menembus udara dingin.
Dan kakinya melangkah mencari sumber
suara azan itu. Dimanakah dia kini?
Seorang tua terlihat berjalan cepat-cepat
dengan sandal kayunya yang berbunyi berdetak-detak di jalan yang terbuat dari
semen.
“Maaf, numpang tanya…”
“Hai….” Jawab orang tua itu sambil
berhenti.
“Dengar suara itu?”
“Anda maksud suara azan itu?” tanya
lelaki tua itu.
“Ya, suara azan itu…” jawab si Bungsu
heran. Heran kenapa orang tua Jepang ini mengetahui kalau suara itu adalah
suara azan.
“Apakah anda orang Kristen?” tanya orang
tua itu.
“Tidak, saya orang Islam…”
“Itu dari mesjid kami. Mesjid Okazaki….”
Kata orang tua itu sambil mempercepat langkahnya. Si Bungsu mengikuti langkah
orang tua itu. Setelah berbelok ke kiri dua kali, tiba-tiba dia melihat sebuah
gedung tua yang ditengahnya ada kubah.
“Mesjid…!” katanya hampir-hampir tak
percaya. Orang tua itu telah masuk.
Di kanan mesjid yang tak seberapa besar
itu ada sebuah kolam yang airnya mengalir terus. Si Bungsu mengambil wudhuk di
sana. Kemudian menaiki tangga mar-mar. lalu dia berada di pintu sebuah ruangan
yang bersih mengkilap.
“Assalamualaikum…” katanya.
“Waalaikumussalam…” belasan lelaki yang
ada dalam ruangan itu menjawab tanpa menolehkan kepala.
Jam dinding tua yang tergantung
menunjukkan angka tiga romawi. Suara detaknya bergema perlahan. Seorang Imam
langsung tegak. Dan sembahyang berjemaah itupun mulai.
Si Bungsu tegak di saf kedua.
Bacaan ayat Imam tua itu terdengar lancar
dan fasih sekali. Si Bungsu seperti sholat ketika di Bukittinggi bersama
penduduk Tarok. Yaitu takkala dia hidup di kampung kecil itu bersama Mei-mei.
Ketika membaca doa, tiba-tiba dia rasa
tenteram dan bahagia menyelimuti hatinya. Dia merasa suatu ketentraman karena
tak membunuh Saburo.
Dia yakin, ayah, ibu dan kakaknya yang
sudah almarhum juga menyetujui putusannya untuk tidak membunuh Saburo.
Bukankah melupakan dendam merupakan suatu
pekerjaan mulia? Memang suatu pekerjaan yang alangkah sulitnya buat melupakan
segala amarah. Menghapiskan dendam. Tapi bukankah Islam mengajarkan bahwa melupakan
dendam itu merupakan bahagian dari keimanan?
Dia sendiri, sudah berapa nyawa yang dia
cabut? Benar dia membela diri. Tapi bagaimana kalau anak dari orang-orang yang
dia bunuh lalu mencari dirinya dan menuntut balas?
Dia terduduk lama sekali di mesjid kecil
disudut taman Okazaki di daerah Higashiyama-ku. Yaitu suatu taman di seberang
sungai Takano.
Dia merasa tenteram.
Kini tugasnya selesai. Dia harus kembali
ke Indonesia. Begitu ingatan untuk kembali menyelusup dihatinya, dia segera
teringat pada cincin jari manisnya.
Dia menatap cincin itu.
Cincin pemberian Salma di Bukittinggi.
Sedang mengapa gadis itu kini? Sudah berlalu masa empat tahun sejak dia
meninggalkan kota itu.
Apakah dia sudah menikah? Dia lalu
berniat pulang ke hotelnya. Tapi kemana dia harus pergi?
Hari sudah senja. Tadi dia berjalan tanpa
tujuan. Tak dinyana dia sudah sampai kemari. Jalan mana saja yang dia tempuh?
Dia keluar dari mesjid itu dengan
perasaan benar-benar lapang dan lega.
Ketika tiba di jalan besar, sebuah taksi
tua lewat. Dia menyetopnya.
“Bisa mengantar saya ke hotel Kamo di
daerah persimpangan Imadegawa?”
“Bisa, silakan naik….” Jawab sopir taksi
tersebut. Dia lalu naik. Dan tak si tua itu melaju mengantarkannya ke hotel
dimana dia menginap.
Hari telah senja benar ketika dia sampai
di hotelnya. Dia tidur dengan lelap malam itu. Apalagi yang harus dia fikirkan?
Selama ini dia selalu tak lelap tidur. Bagaimana dia akan tidur nyenyak kalau
dihatinya selalu membara dendam yang amat dahsyat?
Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun
terakhir ini, dia bisa bernafas dengan lega. Dia tak lagi memikirkan bagaimana
cara untuk mencari Saburo. Dan tak pula harus memikirkan bagaimana caranya
berkelahi melawan bekas perwira itu. Fikirannya tak lagi dibebani ketakutan.
Takut berhadapan dan takur dikalahkan.
Bekankah beban mental begini selalu
dialami oleh orang-orang yang akan bertarung? Kekalahan adalah sesuatu yang
amat ditakuti setiap orang yang akan bertanding.
Padahal dalam kalimat pertarungan hany
ada dua kemungkinan. Kalah atau menang. Keinginan untuk menang adalah hasrat
terakhir dari setiap orang yang bertarung. Namun kekalahan adalah juga
merupakan haknya.
Setiap yang meginginkan kemenangan harus
sadar bahwa kekalahan juga mengintainya. Dan kini masa, memikul beban seperti
itu sudah dia lalui.
Barangkali dia dianggap orang lemah.
Bertahun mencari musuh. Dan ketika musuh itu dengan mudah bisa dibunuh, dia
melepaskan begitu saja. Apakah itu suatu “kelemahan?” atau itu juga suatu
“Kekalahan?”
Kalau itu dianggap suatu kelemahan atau
suatu kekalahan, maka dia dengan lapang hati menerima kenyataan itu. Yang
jelas, dia merasa lega kini. Lega karena tak membunuh orang lebih banyak.
…
Pagi harinya dia jadi heran. Di jalan
raya di depan hotelnya, kelihatan arak-arakan para pendeta menuju ke utara.
Dari berbagai penjuru jalan, kelihatan barisan pendeta-pendeta Budha dan Shinto
berbaris dengan wajah sedih.
“Ada apa?” tanyanya pada seorang pengurus
hotel.
“Pendeta Besar kuil Shimogamo meninggal
karena harakiri kemaren..” jawab pengurus hotel itu.
Si Bungsu merasa dirinya terlambung. Dia
tertegak kaku.
“Bunuh diri?” desisnya perlahan.
“Ya. Pagi kemaren, kabarnya seorang
musuhnya datang ke sana untuk menuntut balas. Muridnya, para pendekar kuil
Shimogamo yang tersohor pendekarnya itu, berusaha membantunya.
Namun kabarnya delapan orang di antara
mereka mati dimakan samurai musuh Obosan itu. Menurut orang yang menyaksikan di
kuil itu kemaren pagi, belum pernah ada manusia yang demikian cepatnya
mempergunakan samurai di Jepang ini, seperti musuh Obosan itu.
Mungkin orang itu murid atau turunan
dinasti Tokugawa. Pendekar Samurai yang tershor itu…..”
Pengurus gotel itu bicara terus.
Namun si Bungsu tak mendengarkannya. Dia
teringat pada pekikan Michiko kemaren sesaat dia akan meninggalkan kuil
Shimogamo itu.
Apakah saat itu Saburo bunuh diri?
“Kini semua pendeta dari seluruh kuil
yang ada di Kyoto ini…” pengurus hotel itu melanjutkan…” menuju ke sana. Untuk
memberikan penghormatan pada Obosan itu. Obosan itu sangat disegani di kota
ini. Sangat berpengaruh dan dihormati…”
Si Bungsu tak mendengarkannya. Dia justru
tengah melangkah mengikuti palunan manusia menuju kuil Shimogamo!
Pikirannya yang malam tadi telah tenang,
kini kembali mendapat beban lagi.
Kini beban itu justru makin berat. Dia
sampai di altar kuil dimana kemaren dia melihat puluhan pendeta muda sedang
berlatih beladiri.
Altar itu kini sudah penuh di kiri
kanannya. Ada jalan selebar tiga meter di tengah untuk menuju ke tangga utama
di kuil tersebut.
Dan di sana, di puncak anak tangga kuil
yang belasan jumlahnya itu, terletak peti jenazah Obosan kuil Shimogamo.
Diselimuti dengan kain beludru merah.
Jenjang kuil itu dialas seluruhnya dengan
beludru kuning. Dan di samping peti yang diletakkan agak tinggi itu, kelihatan
seorang gadis berbaju serba putih duduk berlutut. Tangannya menelungkup bersama
wajahnya ke peti jenazah.
“Michiko….” Kata si Bungsu perlahan. Di
sekitar peti jenazah kelihatan puluhan lilin tengah dipasang. Dan berjejer di
setiap anak tangga, kelihatan puluhan pendeta kuil Shimogamo berjubah merah dan
kuning berguman membaca doa.
Jarak antara si Bungsu dengan peti
jenazah di mana Michiko menelungkup itu masih jauh. Si Bungsu berusaha mendekat
lewat di antara jubelan manusia yang ribuan orang banyaknya itu.
Yang hadir dalam upacara tersebut
ternyata tidak hanya pendeta dari kuil-kuil di kota Kyoto saja. Berita itu
ternyata telah pecah dan menyelusup ke seluruh pelosok kota.
Orang berdatangan ingin memberi
penghormatan akhir pada Obosan itu. Selain itu, tentara Amerika juga
berdatangan. Ada yang datang karena bersifat politis, ada yang datang karena
ingin melihat upacara sakral itu dilangsungkan.
Gong tiba-tiba dipalu. Berdengung dan
bersipongang. Menggetarkan hati setiap orang yang berada di sekitar kuil itu.
Si Bungsu baru menyadari bahwa musuh bebuyutannya itu ternyata memang bukan
orang sembarangan. Ternyata dia orang terhormat dan berpengaruh. Upacara dihari
kematiannya ini membuktikan hal itu.
Begitu gong ketiga berakhir,
utusan-utusan dari selusin kuil yang ada di kota Kyoto itu maju dalam barisan
yang teratur. Dua orang tiap kuil. Mereka maju membawa semacam baki mendaki
tangga upacara.
Michiko berdiri menerima penghormatan
itu. Si Bungsu melihat betapa mata gadis itu bengkak bekas menangis. Wajahnya
yang cantik kelihatan pucat sekali.
Dan saat itulah Michiko melihat si Bungsu
tegak di baris kedua dari jalan di tangga paling bawah. Mata mereka saling
tatap.
Wajah Michiko tiba-tiba jadi keras. Dan
tiba-tiba pula lilin ditangannya jatuh. Dia menatap lurus pada si Bungsu.
Semua orang jadi kaget. Termasuk para
pendeta, para biksu dari seluruh kuil yang hadir di sana.
“Michiko-san…” seorang pendeta tua wakil
Saburo mengingatkan Michiko atas sikapnya itu. Namun Michiko sudah melangkah
menuruni anak tangga. Menuju lurus-lurus ke arah si Bungsu.
“Michiko-san…!” wakil Obosan itu kembali
menegur Michiko yang meninggalkan altar upacara.
Namun Michiko sudah sampai di bawah.
Melihat gadis itu datang padanya, si Bungsu maju menyeruak di antara barisan
pendeta. Dan kini berdiri di depan.
Semua mata menatap kedua anak muda ini.
Selain para pendeta dari kuil Shimogamo, tak seorangpun yang mengenal anak muda
asing itu.
“Saya menyampaikan rasa duka cita yang…”
ucapan si Bungsu sambil membungkuk dalam itu terhenti takkala tiba-tiba tangan
Michiko secepat kilat menyambar samurai dari seorang pendeta yang tegak di
dekatnya.
Dan samurai itu dengan kecepatan yang
sulit diikuti mata pula, menghajar bahu si Bungsu!
Darah menyembur dari bekas luka yang
menganga itu!
“Michiko-san!!!” wakil Saburo di kuil
Shimogamo itu membentak seiring dengan teriakan-teriakan kaget dari seluruh
pengunjung melihat kejadian itu.
Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa ada
bunyi senjata menyerangnya. Kalau dia mau, dia bisa mengelak. Bahkan dia bisa
mematahkan serangan itu.
Namun dia sengaja tak melakukannya!
Bukankah hal yang sama juga dia lakukan dahulu ketika ayahnya mati ditangan
Saburo? Bukankah waktu itu dia ingin berlari memeluk ayah dan ibunya tapi
kemudian Saburo membabatnya dengan samurai?
Dan itulah penyebab kenapa dia
bertahun-tahun mencari Saburo sampai kemari. Kini, kalau dia patahkan pula
serangan Michiko. Gadis itu tentu akan mencarinya untuk membalas dendamnya!
Dia tak ingin hal itu terjadi. Dia ingin
hal ini selesai disini. Makanya dia
membiarkan dirinya dilukai.
“Lelaki jahanam! Cabut samuraimu! Aku
Michiko Matsuyama akan membalas dendam kematian ayahku! Apakah engkau sangka
engkau saja yang berhak membalas kematian ayah dan ibumu?”
Bersambung ke…..Tikam Samurai (68)
Komentar
Posting Komentar