Suara Michiko terdengar lantang dan
bergetar. Dan hanya dalam waktu beberapa detik setelah ucapannya itu, semua
orang yang hadir segera mengetahui, bahwa anak muda itulah rupanya yang telah
mengalahkan Obosan kuil Shimogamo ini dan beberapa murid utamanya!
Semua mereka kini memperhatikan dengan
seksama.
“Indonesia-Jin…. Indonesia-Jin….” (Orang
Indonesia…orang Indonesia!) terdengar suara berbisik-bisik.
Para pendeta kuil Shimogamo itu berlarian
mengelilingi Michiko dan si Bungsu.
Wakil Saburo di kuil itu, seorang pendeta
tua gemuk dan berwibawa segera membungkuk hormat dan berkata perlahan:
“Mohon Michiko-san jangan menuruti hati
marah. Obosan meninggal dengan terhormat. Dia mati dengan Harakiri. Bukan
dibunuh oleh anak muda ini. Lagipula bukankah kemaren sebelum dia meninggal
Obosan berpesan bahwa dia tak ingin ada dendam yang berlanjut antara kita
dengan Bungsu-san…? Bukankah Obosan sudah menerima salah atas perbuatannya
terhadap keluarga Bungsu-san? Mohon Michiko-san menyabarkan hati….”
Namun Michiko nampaknya sangat terpukul
atas kematian ayahnya. Itu terbukti ketika dia berkata dengan lantang:
“Dengan pihak kuil Shimogamo boleh tak
ada urusan. Tapi dengan diriku, huh, kenapa harus kalian larang? Apakah ada
aturan yang melarang seorang anak menuntut balas kematian ayahnya?”
Pendeta itu tersurut mendengar ucapan yang
kurang pantas ini. Si Bungsu masih tegak. Tangannya tergantung lemas. Bahu
kirinya berlumur darah.
Namun dia tetap tegak dengan tenang. Dan
dengan tenang pula dia menghadap pendeta-pendeta kuil Shimogamo, lalu berkata:
“Saya minta maaf atas kejadian kemaren.
Dan saya ikut berduka atas kematian Obosan Saburo…” dia membungkuk dalam. Dua
belas pendeta yang tegak mengitarinya membalas penghormatannya dengan
membungkuk pula dalam-dalam.
“Terimakasih atas kunjunganmu kemari
Bungsu-san. Kami menghargai sikap satria. Dan kami memuliakan kejujuran…” wakil
obosan itu menjawab.
Ucapan mereka diputus oleh Michiko:
“Nah, kita lanjutkan persoalan antara
kita yang belum selesai. Cabutlah samuraimu. Jangan kau kira engkau saja yang
mampu mempergunakannya!”
Suara Michiko terdengar nyaring, getir
dan bernada luka. Si Bungsu menatapnya. Dan dia dapat merasakan betapa
hancurnya hati gadis itu.
Bukankah dia juga pernah manruh dendam
yang sama seperti yang dialami gadis ini? Dendam dan kebencian yang berkobar,
yang menjalani segenap pembuluh darah dan segenap tulang belulang terhadap
orang yang membunuh ayah, ibu dan kakaknya?
Dan itulah kini yang dialami Michiko.
Tidak, yang dialami Michiko sebenarnya
bukan hanya kebencian dan dendam saja. Jika dibandingkan antara dia jutuh dan
delapan tahun yang lalu, yaitu ketika ayah, ibu dan kakaknya dibunuh Saburo,
maka keadaan gais ini jauh lebih menyedihkan.
Perbedaannya terutama pada dua hal.
Pertama, si Bungsu adalah seorang lelaki. Betapapun sengsara yang menimpa
dirinya, sebagai seorang lelaki dia masih tetap punya keteguhan.
Sementara Michiko adalah seorang wanita.
Betapa perkasanya seorang perempuan, namun fitrahnya tetap saja seorang
perempuan. Lengkap dengan kelemahan-kelemahannya.
Dan perbedaan yang kedua adalah soal
perasaan. Si Bungsu mendendam dan membenci Saburo sebagai lawan yang
benar-benar tegak berlain sisi dengan dirinya. Artinya, dia tak kenal Saburo.
Dan dalam situasi itu, Saburo justru adalah lelaki yang harus dia bunuh. Sebab
lelaki itu adalah tentara dari suatu negeri yang menjajah negerinya.
Jadi tak ada beban jiwa yang dipikul si
Bungsu dalam memusuhi Saburo.
Berlainan halnya dengan Michiko. Dia kini
membenci dan memusuhi lelaki yang telah menyelamatkan kehormatan dan nyawanya.
Dan lebih daripada sekedar hanya pertolongan itu, yang lebih parah adalah
karena dia harus membenci dan mendendam pada lelaki yang dia cintai! Inilah
beban yang paling berat yang harus dipikul gadis itu!
Sejak anak muda itu menyelamatkan dirinya
dari perkosaan di hotel Asakusa di Tokyo dahulu, dia sudah tak bisa
melupakannya. Dan peristiwa di kereta api ketika menuju ke Kyoto ini
menyebabkan hatinya benar-benar tertambat pada pemuda Indonesia ini.
Sikap si Bungsu yang lembut, tutur
sapanya yang sopan dan tahu menempatkan diri, dan sudah tentu keperkasaannya,
meruntuhkan hatinya.
Setiap yang dia pikirkan adalah bagaimana
bisa bertemu dengan anak muda itu. Dia benar-benar merindukannya.
Dan dalam saat seperti itulah bencana itu
terjadi. Si Bungsu ternyata mencari ayahnya untuk membalaskan dendam. Dan dalam
pertarungan kemarin, si Bungsu telah melukai punggungnya dan mengalahkan
ayahnya. Meskipun ayahnya mati karena harakiri, namun hal itu takkan terjadi
kalau tidak karena si Bungsu.
Kematian ayahnya adalah kematian
segala-galnya bagi gadis ini. Itulah sebanya kenapa dia merasa benci dan
berniat menuntut balas pada si Bungsu. membenci dan memusuhi orang yang sangat
dicintai! Adakah hal lain yang lebih menyiksa dalam hidup ini selain yang
dialami Michiko?
Dan si Bungsu menyadari hal itu. Itulah
sebanya dia tak sampai hati melayani amarah gadis tersebut.
Dan ketika Michiko kembali melontarkan
tantangannya, si Bungsu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam, kemudian
dengan tangan kanan tetap memegang luka yang mengalirkan darah di bahu kirinya,
dia melangkah pergi.
Michiko yang perasaannya benar-benar
terluka dan menderita, berteriak menahannya:
“Lelaki pengecut, jangan pergi sebelum
kau lunasi hutang nayawamu!!”
Sambil berkata begini, dia menghayunkan
samurai di tangannya. Namun pendeta-pendeta kuil Shimogamo yang mengitarinya
segera turun tangan mencegah. Para pendeta ini memang menghormati sikap si
Bungsu.
Dan secara kesatria pula, mereka
mengagumi anak muda itu. Mereka memang menghormati Obosan mereka. Tapi kisah
anak muda ini, bagaimana bertahun-tahun dia mencari Saburo yang telah jadi
Obosan itu untuk membalaskan dendamnya, benar-benar membuat mereka jadi
simpati!
Apalagi dari mulut Saburo sendiri sesaat
sebelum meninggal mereka mengetahui bahwa anak muda itu telah menolong Michiko
dari perkosaan tentara Amerika di Tokyo.
Michiko terkulai pingsan.
Bukan karena dendamnya tak kesampaian
untuk membunuh si Bungsu. tidak. Dia pingsan karena pukulan bathin yang luar
biasa.
Dia ingin si Bungsu tak meninggalkan
tempat itu. Dia ingin si Bungsu menemanyinya dalam saat dukanya ini. Dia ingin
pemuda itu melindunginya dalam dekapan yang kukuh. Dia ingin pemuda itu
membelai wajahnya. Menciumnya dengan penuh sayang. Dia ingin sekali semuanya.
Tapi disaat yang bersamaan, dia juga
ingin anak muda itu mati ditangannya. Dia ingin anak muda itu tercencang
tubuhnya oleh samurainya. Dia ingin membalaskan dendam kematian ayahnya. Dia
ingin anak muda itu tak pernah ada di permukaan bumi ini.
Dan keinginan yang alangkah bertolak
belakangnya ini, memukul bathinnya secara dahsyat. Itulah yang membuat dirinya
tak sanggup tegak dan rubuh pingsan! Gadis ini benar-benar seorang yang patut
dikasihani. Demikian berat cobaan yang mendera dirinya dalam usia yang belum
cukup dua puluh tahun.
Si Bungsu tak mengetahui, bahwa di saat
dia membelakang dan menjauhi tempat itu. Michiko rubuh pingsan.
Dia melanjutkan langkahnya meninggalkan
altar tersebut. Meninggalkan kuil Shimogamo itu. Meninggalkan prosesi pemakaman
Obosan Saburo Matsuyama. Lelaki yang pernah dia cari selama bertahun-tahun untuk
membalaskan dendam keluarganya.
Dan hari ini, lelaki itu dikuburkan
dengan upacara penuh kehormatan.
***0***
Sepuluh hari lamanya dia terbaring dalam
musim dingin itu. Terbaring dihotelnya sambil mengobati luka bekas hantaman
samurai Michiko.
Namun hari ke sepuluh nampaknya dia harus
meninggalkan hotel itu. Sore harinya dia tengah duduk selesai minum sake ketika
di luar dia dengar suara bertengkar.
Salah satu suar itu dikenalnya baik
sebagai suara seorang pelayan hotel tersebut.
Kemudian didengarnya suara tamparan. Dan
pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Dia menatap empat lelaki
tegak dipintu kamarnya. Keempatnya memakai senjata.
Dua orang menggantungkan samurai di
pinggangnya. Seorang memakai rantai sebsar ibu jari kaki yang digantungkan ke
lehernya. Seorang lagi memaki trisula. Sejenis senjata seperti tombak yang
mempunyai tiga cabang.
“Kami dari Kumagaigumi!” yang memegang
tombak trisula itu berkata dengan suara serak. Dan ucapannya diiringi dengan
hayunan tombak trisulanya ke arah si Bungsu!
Si Bungsu sudah merasa sejak dia
mendengar pertengkaran di luar tadi. Bahwa orang yang datang ini pastilah
berniat tak baik.
Dan ketika lelaki itu menyebut
Kumagaigumi, dia segera ingat pada organisasi bandit yang anggotanya pernah dia
sudahi di depan stasiun kota Gamagori.
Yaitu ketika dia menyelamatkan Michiko
dari gangguan dua orang anggota komplotan itu. Kemudian ternyata yang dua orang
ini memanggil tiga temannya lagi. Salah seorang diantaranya ternyata adalah
pimpinan Kumagaigumi di kota itu.
Dan kini kelompok itu datang membalas
dendam. Si Bungsu sudah waspada disaat orang itu menghayunkan tangannya
menghujamkan tongkat trisula.
Anak muda ini menggulingkan tubuh ke
belakang. Dan tombak itu menghujam di kasurnya. Dan tanpa memberi waktu sedikitpun,
ketiga lelaki lainnya segera mengepungnya dan mengahntamnya dengan senjata di
tangan mereka.
“Tahan….!” Si Bungsu berseru.
Anak muda ini sudah merasa jenuh dengan
perkelahian. Dia sudah merasa seperti tukang bantai. Karena itu, dia tak ingin
berlarut-larut.
Untungnya, keempat lelaki itu mau menahan
serangan mereka.
“Kalian datang untuk membalaskan kematian
lima teman kalian di stasiun Gamagori?”
Keempat lelaki itu menyeringai. Dan yang
menjawab adalah yang memakai tombak trisula itu. Nampaknya dia adalah pimpinan
di antara keempat lelaki tersebut.
“Ya. Kami datang untuk menuntut balas
kematiannya. Dan kini engkau bersiaplah menerima nasibmu…”
“Tunggu! Untuk apa kita memperpanjang
persengketaan ini? Saya tidak ingin mengatakan siapa yang salah dan siapa yang
benar dalam peristiwa itu, tapi apakah tak ada jalan lain untuk
menyelesaikannya tanpa menumpahkan darah?”
Keempat lelaki itu saling pandang.
Dan malangnya, keempat mereka jadi salah
duga terhadap maksud ucapan si Bungsu. anak muda ini benar-benar tak ingin
menumpahkan darah lagi. Dia sudah merasa penuh dosa.
Tapi keempat lelaki itu justru
menafsirkan bahwa anak muda ini takut kepada mereka berempat. Dan inilah
pangkal celaka itu. Kalau saja mereka mau sedikit berfikir agak waras, bahwa
anak muda ini datang dari jauh tanpa bekal kecuali samurai dan dendam, mungkin
mereka akan dapat mengerti.
Namun sudah dasarnya kaum rampok dan
penyamun, yang ada pada mereka adalah keangkuhan. Sikap mengalah orang dia duga
sebagai sikap takut.
“He…he…jangan menangis anak muda. Engkau
barangkali bisa kami ampuni kalau engkau mau merangkak keliling kamar ini….:
Si Bungsu menatapnya. Keempat lelaki itu
menyeringai.
“Ya, kalau kau mau merangkak dan minta
ampun pada kami, maka kami akan pertimbangkan untuk tetap membiarkan engkau
hidup…”
Si Bungsu masih menatap mereka.
“Kalau kau mau, mulailah….”
Si Bungsu masih menatap dengan diam.
“Kau tak mau? Kami akan menguliti
kepalamu dan engkau akan kami cencang…”
“Apakah persoalan memang bisa selesai
dengan hanya merangkak dan minta ampun?” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Anak muda ini sebenarnya memang bersedia
melakukan seperti yang diminta oleh bandit-bandit Kumagaigumi itu. Yaitu kalau
persoalan itu memang bisa diselesaikan dengan cara demikian.
Tapi orang Kumagaigumi ini mana mau
persoalan hanya sampai disana. Mereka datang memang untuk membalas dendam.
Kemudian dengan pernyataan anak muda itu, mereka merasa di atas angin.
Mereka menduga anak muda itu takut.
Karena itu, kesombongan mereka menjadi-jadi.
“Ya, merangkaklah. Dan kemudian menyembah
minta ampun. Lalu tindakan berikutnya boleh kita pikirkan apakah engkau bisa
bebas atau ditambah dengan acara lainnya…” kembali yang memakai tombak trisula
itu bicara.
Si Bungsu menyadari, bahwa apapun yang
dia lakukan, maka keempat orang ini hanya berniat satu. Yaitu menghendaki
nyawanya.
Dia jadi menyesal. Menyesal karena tak
bisa menghindarkan diri dari perkelahian. Kalau berkelahi, itu tak lain artinya
adalah maut. Sampai bila dia harus jadi tukang bantai?
Dia menarik nafas panjang.
Dan karena dia tetap tak merangkak, tidak
pula minta maaf atau menyembah seperti yang diminta, maka yang memakai rantai
segera melecutkan rantainya ke arah si Bungsu.
Anak muda ini kembali bergulingan di
lantai dengan jurus lompat tupai itu. Dan dia luput dari hantaman rantai besar
itu. Tiga orang lagi maju dengan senjata mereka. Si Bungsu menyambar samurainya
yang terletak di tempat tidur.
Dan sebelum orang-orang Kumagaigumi itu
sadar apa yang terjadi, terdengar mereka saling berseru kaget.
Dan mereka tersurut. Dada mereka
keempatnya terasa perih. Ketika mereka menoleh, ternyata kimono mereka telah
robek tentang dada. Melintang dari kanan ke kiri. Dan dari balik kimono yang
robek itu darah mengalir perlahan.
Si Bungsu telah bergerak amat cepat,.
Namun tetap saja anak muda ini tak menginginkan ada nyawa yang tercabut. Itulah
sebabnya dia tak mau membunuh keempat lelaki itu. Meskipun kalau dia mau,
dengan mudah bisa dia lakukan.
Kini dia tegak di atas tempat tidur
dengan samurai sudah berada dalam sarungnya.
“Saya berharap hal ini bisa diselesaikan
dengan baik-baik” kembali suaranya terdengar perlahan.
Namun keempat anggota Kumagaigumi itu
bukannya merasa beruntung bahwa anak muda itu telah berlaku sabar. Mereka
justru merasa terhina dan menjadi meluap amarahnya. Seperti dikomando, mereka
lalu serentak maju menyerang.
Kembali samurai si Bungsu berkelebat. Dia
tak mau menjatuhkan tangan kejam.
Samurainya kembali hanya melukai kaki dan
tangan mereka. Dia berharap dengan itu keempat mereka jadi jera. Namun karena tak
mau mencederai, maka gerakannya jadi lambat. Suatu saat, rantai besar itu
berhasil membelit samurainya. Dan disaat yang sama dua samurai yang lain
membabat tangannya.
Benar-benar berbahaya.
Dan satu-satunya jalan untuk selamat
adalah melepaskan samurai tersebut! Dan itulah yang dilakukan anak muda ini.
Dia melepaskan samurainya yang terbelit
rantai. Dengan demikian tangannya selamat dari pancungan kedua samurai
lawannya. Serangan tombak trisula yang datang menghujam rusuknya dia elakkan
dengan melompat ke sisi.
Serangan berikutnya, yaitu hantaman
rantai, terkaman mata samurai dan tikaman tombak, dia elakkan dengan
bergulungan di lantai memakai lompat tupai yang terkenal itu.
Tapi sampai kapan dia dapat bertahan?
Nafasnya memburu. Lawan yang dia hadapi bukan lawan sembarangan. Lawannya ini
adalah pembunuh-pembunuh kelas satu di kota Kyoto. Pembunuh kelas satu dalam
organisasi Kumagaigumi!
Maka dia hanya dapat bertahan dengan
bergulingan beberapa saat saja. Sambil bergulingan dia mencari kemungkinan
untuk lari keluar. Tapi keempat lelaki itu seperti menebak apa yang dia
inginkan. Karena itu pintu mereka jaga dengan ketat!
Dan akhirnya si Bungsu lelah diburu
keempat senjata Kumagaigumi ini. Pada jurus keenam belas dari serangan mereka,
rantai sebesar empu kaki dengan panjang dua meter itu menghajar perut si
Bungsu.
Sakitnya bukan main.
Dia bergulingan berusaha mencapai
samurainya. Namun samurai itu ditendang oleh yang memakai tombak hingga
terpental ke dekat pintu.
Dan kembali rantai itu menghajar
punggungnya! Dia tersandar ke dinding. Tubuhnya lemah. Keempat anggota
Kumagaigumi itu berhenti.
Menyeringai buruk.
Yang memakai samurai tiba-tiba bergerak.
Dan tanpa ampun, kedua bilah samurai itu berkerja. Dada, perut, bahu dan paha
si Bungsu kena sabet oleh samurai itu. Luka menganga!
Si Bungsu berusaha untuk tak memekik
meski sakitnya bukan main! Darah merembes terus.
“Indonesia jin! Engkau telah lancang dan
kurang ajar membunuh lima orang anggota kami di kota Gamagori. Kini saatnya kau
merasakan pembalasan kami…!”
Yang bicara ini adalah yang pakai tombak
trisula. Dan kata-katanya diakhiri dengan meluncurnya tombak bercabang tiga di
tangannya.
Si Bungsu yakin, betapapun dia coba
mengelak, namun sudah tak ada gunanya lagi. Dia tak lagi punya tenaga. Dan
tombak bercabang tiga itu menghujam dalam di pahanya!
Hanya Tuhan yang tahu betapa sakitnya
paha si Bungsu. namun dia tak memekik sedikitpun! Bukankah azaban yang jauh
lebih dahsyat, yaitu ketika kuku dan jarinya dicabut dan dipatahkan Jepang di
terowongan bawah tanah Bukittinggi dulu jauh lebih hebat?
Dia hanya menatap diam pada keempat
anggota Kumagaigumi itu. Keempat lelaki Jepang itu mau tak mau mengerenyitkan
kening mereka. Dan saling pandang sesamanya. Ketabahan dan ketangguhan anak
muda Indonesia ini benar-benar luar biasa bagi mereka!
“Kita sudahi saja cepat anak ini…” kata
yang memakai samurai.
Dan keempat mereka nampaknya sepakat
untuk “menyudahi” orang Indonesia itu.
Si Bungsu sudah pasrah pada nasibnya.
Tanpa dia sengaja, jari jemarinya meraba cincin bermata berlian di jari
manisnya.
Cincin pemberian Salma. Sesaat dia
teringat pada gadis itu. Teringat pada kampung halamannya. Pada Situjuh Ladang
Laweh. Pada Gunung Sago dan Payakumbuh.
Tugasku selesai, aku rela mati di sini,
hatinya berkata perlahan begitu keempat lelaki itu mengambil ancang-ancang
untuk menyudahi nyawanya.
Dia menatap keempat anggota Beruang
Gunung itu. Menatap dengan tak berkedip.
Namun saat itu terdengar seseorang batuk
di pintu.
Bersambung ke…..Tikam Samurai (69)
Komentar
Posting Komentar